5/17/2019

KONSEP IMAMAH (KEPEMIMPINAN) BERASAL DARI MILLAH IBRAHIM

KONSEP IMAMAH (KEPEMIMPINAN)
BERASAL DARI MILLAH IBRAHIM


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Amma ba’du:

Abdullah bin 'Amr (radhiyallahu anhu) meriwayatkan bahwa Nabi (sallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda, "Sesungguhnya iman itu akan usang di dalam hati kalian sebagaimana pakaian kalian menjadi usang. Maka mintalah kepada Allah agar memperbaharui iman kalian"
Diriwayatkan oleh al‐Hakim dan dia mengatakan bahwa sanad haditsnya hasan.

Allah (subhanahu wa ta'ala) berfirman,

"{Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Allah hanya menguji kamu dengan hal itu, dan pasti pada hari Kiamat akan dijelaskan‐Nya kepadamu"

Dalam menjelaskan ayat ini, para ulama tafsir menyatakan, "Ini adalah tentang seorang wanita bodoh di Mekah. Setiap kali dia memintal beberapa benang dan membuatnya kuat, dia akan melepaskannya lagi."

Sesungguhnya millah Ibrahim (Alaihissalam) telah benar‐benar kembali muncul dalam jiwa para pemuda muslim muwahhid, mereka meyakininya , mencintainya , menyatakannya secara terang‐terangan, dan menjalankan sesuai syarat-syaratnya.Para pemuda muwahhid ini tidak lain hanya mengikuti orang‐orang yang telah mendahului mereka dalam iman, dari kalangan para ulama yang ilmu dan praktik agamanya dapat dipercaya.

Dengan demikian, para ulama ini membimbing mereka dengan dalil syar'i, kepada hakekat millah yang agung ini, dan menulis sejumlah karya yang mencantumkan namanya, berusaha keras menjelaskan kewajiban untuk mengikutinya dan menyeru orang lain kepadanya. Hingga hal ini mencapai titik di mana gema millah yang agung ini bergaung di antara pemuda muwahhidin di hampir setiap sudut dunia, termasuk Negara-negara Eropa.

Banyak pemuda ini mulai mengajak orang lain untuknya, dan menjadikan hal ini motto mereka, berbicara tentang hal itu dan menjelaskan maknanya dalam masjid‐masjid, Islamic center, dan tempat‐tempat umum. Beberapa bahkan mengungkapkan cinta mereka terhadap millah ini dengan menyanyikan nasyid‐nasyid Islam dalam bahasa Inggris dan berbagai bahasa Eropa lainnya.

Rahasia di balik semua ini ‐ dan Allah yang lebih tahu ‐ adalah bahwa millah ini mampu memuaskan rasa haus dalam jiwa para pemuda i n i dan mengembalikan kepercayaan dalam agama dan keyakinan mereka, terutama berkenaan dengan masalah berlepas diri dari orang‐orang kafir dan musyrik (baraa’). Hal ini berbeda dengan mereka yang begitu lama memilih membungkuk dan bersujud patuh terhadap kaum musyirikin, dan kini mereka mulai mencegah orang‐orang yang secara terbuka memperlihatkan agama mereka (izhharuddien) di tengah‐tengah masyarakat yang berseberangan dengan mereka, dengan dalih bahwa ini adalah demi perdamaian global yang diserukan PBB dan oleh wahyu agama. – beginilah mereka berdusta.

Kemudian setelah itu, sejak waktu yang lama, millah ini telah menderita di dalam jiwa‐jiwa para pendukungnya, oleh hal yang sama yang menimpa iman dalam hati manusia, dan mulai menjadi compang‐camping dan usang sebagaimana pakaian menjadi compang ‐camping dan usang.

Hal ini bahkan sampai terjadi pada individu‐individu yang telah menenun “benang” ini, memperkuatnya, menulis tentangnya, dan menyatakan hal ini dengan terang‐terangan, kini berusaha untuk membatalkannya (mengurainya) dengan tangan mereka sendiri seperti wanita Makkah bodoh itu.

Jadi menjadi tugas kita untuk menghidupkan kembali karakteristik millah ini yang mulai membusuk dalam jiwa manusia, dan mencoba untuk menyadarkan orang‐orang yang berusaha mengurai kembali pintalan mereka yang telah mereka tenun dengan kuat.

Semua ini, dengan harapan semoga Allah akan menerima taubat mereka dan semoga mereka kembali lagi kepada petunjuk yang dahulu mereka di atasnya, mendukung kebenaran dan mengikuti millah ini.


BAGIAN 2
CONTOH DALIL YANG
MENUNJUKKAN KATA IMAMAH BERMAKNA 
IMAMAH POLITIK


Abdullah bin Umar (Radiyallahu 'anhuma) meriwayatkan bahwa Nabi (sallallahu 'alaihi wa sallam) bersabda:, "Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung‐jawaban atas apa yang dipimpinnya, imam adalah seorang pemimpin yang akan dimintai pertanggung‐jawaban atas rakyatnya”.
[HR Al‐Bukhari]

Dalam bagian dari hadits Hudzaifah (Radiyallahu 'anhu), Nabi (sallallahu' alaihi wa sallam) bersabda:, "Berpegang teguhlah pada jama'ah kaum muslimin dan imam mereka. " Aku berkata, "Dan jika mereka tidak memiliki jama'ah atau imam?" beliau bersabda, "jauhilah olehmu semua kelompok itu, walaupun dengan menggigit akar pohon dan kematian datang menjemputmu dan engkau dalam kondisi seperti itu." [Diriwayatkan oleh Al‐ Bukhari dan Muslim]

Qays Ibn Hazim meriwayatkan, bahwa Abu Bakar (radhiyallahu anhu) menemui seorang wanita dari suku Ahmas bernama Zainab dan melihat bahwa dia tidak berbicara kepada siapa pun. Beliau bertanya, "Mengapa dia tidak mau berbicara?" Mereka berkata, "Dia bersumpah untuk melaksanakan haji tanpa berbicara dengan siapa pun." beliau berkata kepadanya, "Berbicaralah, sebab hal ini tidak diperbolehkan. Ini termasuk perbuatan jahiliyyah." Wanita itupun mulai berbicara, dan bertanya kepadanya: "Siapakah engkau?" menjawab, "Seorang laki‐laki dari muhajirin." Dia bertanya, "Muhajirin yang mana?" Beliau menjawab, "Quraisy". Dia bertanya, "Quraisy cabang yang mana Anda berasal?" beliau pun mejawab, "Kau terlalu banyak bertanya. Aku adalah Abu Bakr. " Dia bertanya "Berapa lama kita akan tetap dalam kondisi baik ini, yang telah Allah anugerahkan, setelah kita sebelumnya berada di masa jahiliah?” Abu Bakar menjawab," Kau akan tetap seperti ini selama imam‐imam kalian memperlakukan kalian dengan adil." Wanita itu bertanya," Dan apa maksud imam‐imam itu?" beliau menjawab, "Bukankah orang‐orangmu memiliki pemimpin dan pembesar yang perintahnya mereka taati?" wanita itu berkata, "Ya", Abu Bakar berkata, "Mereka itulah imam‐imam mereka." [diriwayatkan
oleh Al‐Bukhari]

Di antara bukti yang digunakan untuk menyatakan bahwa imamah yang dimaksud dalam ayat di atas (al‐Baqarah: 124) adalah imamah dalam politik, yaitu bahwa para ulama tafsir menggunakan ayat ini sebagai dasar ketika menjelaskan sifat terpenting dari sifat‐sifat al‐imamah al‐kubra (kepemimpinan terbesar, yaitu khilafah Islam).

Sifat itu adalah al‐‘adalah (keadilan). Ketika Allah ('Azza wa Jalla) memberikan kepada nabi Ibrahim (alaihissalam) kedudukan mulia ini, yakni berupa imamah, beliau mengerti keagungan dalam nikmat ini, sehingga ia segera meminta untuknya juga untuk keturunannya: {Dia (Ibrahim) memohon, 'Dan juga (pemimpin) dari keturunanku? "}Hanya saja Allah memberitahukan syarat utama yang harus dipenuhi oleh siapa pun yang menginginkan posisi ini setelah dia. {(Allah) berfirman, 'perjanjian‐Ku tidak termasuk orang-orang yang zhalim. '}

Al‐Qurtubi (rahimahullah) mengatakan, "Sejumlah ulama menggunakan ayat ini sebagai bukti bahwa imam haruslah seorang yang adil, berperilaku yang baik dan bijak, serta memiliki kekuatan untuk menjalankan perannya. Dan imam yang seperti inilah yang mana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan umat Islam untuk tidak memberontak terhadapnya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Adapun pendosa, tidak adil, dan bermoral tiran, maka individu seperti ini tidak memenuhi syarat untuk posisi ini, menurut kesimpulan dari pernyataan Allah, {perjanjian‐Ku tidak termasuk orang‐orang yang zhalim.}

Atas alasan inilah Ibn Az‐Zubair dan Al Husain Ibn Ali memberontak. Demikian juga, orang terbaik dari rakyat Irak dan ulama mereka memberontak melawan Al‐Hajjaj, dan orang‐orang Madinah mengusir suku Bani Umayyah dari Madinah dan kemudian memberontak melawan mereka (penguasa Umayyah), sehingga (terjadi pembantaian) Al‐Harrah yang dilakukan oleh Muslim bin ‘Uqbah atas mereka. "[Ahkamul‐ Qur'an, 2: 108]

Maka kami mengambil dalil dari perkataan ini, atas kebenaran pendapat yang kami pilih bahwa lafazh imamah mencakup dua makna, yaitu imamah dalam agama dan politik, dan keduanya memiliki syarat yang sama. Catatan: al‐Qurtubi kemudian melanjutkan dengan mengatakan, "Mayoritas ulama mengmbil pendapat bahwa bersabar terhadap penguasa yang menindas lebih baik daripada memberontak melawannya, karena memberontak akan merubah rasa aman menjadi rasa takut, menyebabkan pertumpahan darah, melepaskan tangan‐tangan bodoh [untuk merugikan], memungkinkan terjadinya serangan yang akan dilakukan terhadap Muslim, dan menyebarnya korupsi di muka bumi. Pendapat pertama [membolehkan pemberontakan] adalah pemikiran dari kelompok Mu'tazilah dan pendapat kaum Khawarij, jadi berhati‐hatilah. "[akhir kutipan]

Pemberontakan melawan penguasa Muslim yang zhalim juga berlawanan dengan hadits‐hadits Nabi (sallallahu'alaihi wa sallam) yang sangat jelas. Oleh karena itu, banyak ayat menunjukkan larangan awal memilih seorang Pemimpin Muslim yang zhalim, tetapi tidak mengizinkan pemberontakan terhadap dirinya setelah dia mencapai kekuasaan.

source: artikel Majalah DABIQ


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...