BAGI THOIFAH MANSHUROH PADA ZAMAN
INI.
Sesungguhnya diantara kewajiban yang paling penting
bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini adalah berjihad melawan
penguasa yang murtad, yang mengganti syari‟at Alloh dan memberlakukan undang-undang kafir buatan
manusia terhadap kaum muslimin, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Katsiir dalam menafsirkan firman Alloh Ta‟ala :
أَفَحُكۡمَ
ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ يَبۡغُونَ
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki…” (QS. Al Maaidah
: 50)
Alloh mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh yang
mengandung segala kebaikan, melarang segala kejelekan, serta berpaling kepada
yang lain seperti pandangan-pandangan hawa nafsu serta istilah-istilah yang dibuat
oleh manusia tanpa bersandar pada syari‟at
Alloh – sampai pada perkataannya – barang siapa yang berbuat hal itu diantara
mereka maka ia telah kafir wajib diperangi, sampai mereka kembali kepada hukum
Alloh dan RasulNya, sehingga tidak ada hukum kecuali hukum Alloh, baik sedikit maupun
banyak”.
Banyak ulama-ulama masa kini yang telah memberi catatan
terhadap perkataan Ibnu Katsiir tersebut dengan menerangkan bahwa inilah keadaan para penguasa
yang mengatur kaum muslimin dengan undang-undang buatan manusia saat ini.
Syaikh
Ahmad Syaakir Rahimahulloh berkata:
”Apakah diperbolehkan --- dengan ini --- didalam syari’at Alloh orang-orang muslim berhukum dinegara mereka dengan
hukum yang diambil dari undang-undang negara Eropa yang menyembah patung dan
atheis (sekuler)?, bahkan undang-undangnya telah dimasuki oleh hawa nafsu dan
pendapat bathil yang bisa mereka rubah-rubah dan diganti semau mereka. Tidak
menghiraukan siapa yang membuatnya, apakah sesuai dengan syari‟at Islam atau tidak ?”, --- sampai pada perkataannya --- “Sesungguhnya
masalah undang-undang buatan manusia ini adalah permasalahan jelas, sejelas
sinar matahari yaitu kuffrun bawwaah (kekafiran yang nyata), tidak ada kesamaran dan penutup padanya
serta tidak ada uzur (alasan) bagi seorangpun yang menganut agama Islam ---
siapapun orangnya --- untuk mengamalkan atau tunduk kepadanya atau mengakuinya”
(Umdatut Tafsir Mukhtashar Tafsiir
Ibnu Katsiir, karya Ahmad
Syaakir, cet. Daarul Ma‟arif, IV / 173-174)
Dan Al ‘Allaamah Muhammad Haamid Al Fiqi
berkata, dalam mengomentari perkataan Ibnu Katsiir Rahimahullah :”Dan yang seperti ini bahkan yang lebih jelek lagi
adalah orang-orang yang menjadikan pendapat orang eropa sebagai undang-undang
untuk sandaran hukum dalam masalah darah (nyawa), seks dan harta, dan lebih mengutamakannya
dari apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari kitab Alloh dan sunnah
Rasul SAW, orang tersebut tidak diragukan lagi murtad, apabila terus melakukan
hal itu dan tidak kembali kepada hukum yang diturunkan oleh Alloh. Dan tidak
ada gunanya apapun nama yang ia gunakan serta amalan apapun yang ia kerjakan dari
amalan-amalan yang nampak seperti shalat, shiyam, zakat, dan yang semisalnya”.
(Fat-hul Majiid, cet. Anshoorus Sunnah, catatan, 396).
Muhammad bin Ibrohim Aalu Syaikh Mufti (juru fatwa) Arab Saudi terdahulu rahimahulloh berkata:
“Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan oleh
Alloh adalah kufur akbar keluar dari agama pada enam macam keadaan, yang kelima
beliau menggambarkan keadaan negara-negara kaum muslimin pada saat ini dengan
secara detil, disana beliau berkata: ”Yang paling besar dan paling menyeluruh
dan yang paling jelas pertentangannya terhadap syari‟at, kesombongannya terhadap hukum-hukum Alloh, pembangkangannya
terhadap Alloh dan rasulNya, persaingan terhadap hukum-hukum syar‟i dari persiapan-persiapan dukungan, pengawasan dan pengukuhan
baik dari sisipembentukannya, keragaman dan ketetapannya sertakomitmen, juga
dari segi referensi dan sandaran.
Sebagaimana pengadilan-pengadilan syar’i memiliki referensi dan sandaran yang semuanya bersumber dari
kitab Alloh dan sunnah RasulNya begitu juga pengadilan tersebut juga memiliki
beberapa referensi diantaranya :
Undang-undang yang dibuat dari berbagai macam syari‟at dan undang-undang seperti undang-undang Perancis,
undang-undang Amerika, undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya, serta
berbagai pandangan-pandangan ahlul bid‟ah yang
menyandarkan dirinya kepada syari‟at dan
yang lainnya.
Mahkamah ini tersedia secara sempurna diberbagai wilayah-wilayah
ummat Islam dibuka pintunya lebar-lebar sedangkan manusia berbondong-bondong
untuk mendatanginya, para penguasanya menghukumi mereka dengan hukum-hukum yang
menyelisihi Al Qur‟an dan As Sunnah yaitu dengan hukum-hukum dan undang-undang tersebut
dan mengharuskan mereka untuk mengikutinya, diterapkan baginya serta diwajibkan
untuk berhukum dengannya. Maka kekufuran apakah yang lebih tinggi dari kekufuran
ini, dan perbuatan apa yang lebih membatalkan terhadap kesaksian bahwa Muhammad
adalah Rasulullah, yang melebihi perbuatan ini.” (Risaalah Tahkiimul Qowaaniin).
Inilah beberapa pendapat ahlul
ilmu (ulama) mengenai penguasa-penguasa hari
ini. Adapun kewajiban kaum muslimin terhadap penguasa yang murtad, adalah sebagaimana
perkataan Al Qoodhii ‘Iyaadh Rahimahullah :
”Apabila terjadi kekufuran atau perobahan syari‟at atau terjadi bid‟ah maka
gugurlah kepemimpinannya dan gugurlah kewajiban taat kepadanya, dan wajib bagi
kaum muslimin bangkit mencopot dan mengangkat Imam yang adil. Apabila tidak ada
yang bisa melaksanakannya kecuali sekelompok orang maka wajib bagi kelompok
tersebut untuk mencopot penguasa kafir tersebut. Namun hal ini tidak wajib
dilakukan terhadap imam yang berbuat bid‟ah
kecuali kalau diperkirakan mampu untuk melakukannya, apabilatidak mampu untuk
melakukannya / melaksanakannyakarena lemah maka tidak wajib untuk
melaksanakannyanamun hendaknya setiap muslim berhijrah dari negerinya untuk
menyelamatkan diennya ketempat yang lain. (SohiihMuslim
Bisyarh An Nawawiy, Kitaabul Imaaroh, XII
/229).
Dan telah kami sampaikan sebelumnya perkataan Syaikhul Islam
Imam Ibnu Taimiyyah: ”Sebagaimana wajib melakuka i‟dad
untuk jihad dengan mempersiapkan kekuatan dan kuda-kuda perang, disaat dalam
keadaan lemah, karena sesungguhnya jika suatu kewajiban tidak bisa dilaksanakan
kecuali dengan sesuatu sarana maka sarana itu menjadi wajib.” (Majmu’ Fatawa, XVIII / 259) dan firman Alloh Ta‟ala :
وَأَعِدُّواْ
لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُمْ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS.
Al Anfaal : 60)
Mereka mempersiapkan diri untuk berjihad melawan orang-orang
murtad itu adalah kewajiban yang paling wajib bagi kaum muslimin pada hari ini
khususnya karena tidak ada tempat yang sesuai untuk berhijrah, dan hijrah
bukanlah hal yang mudah bagi mayoritas kaum muslimin disebabkan keadaan pribadi
mereka, negeri mereka, sistem yang berlaku di negara mereka.
Inilah
pembahasan yang berkenaan dengan kewajiban terbesar bagi Thoifah Manshuroh pada zaman ini.
Permasalahan ini, yaitu kafirnya para penguasa yang berhukum
dengan syari‟at Islam serta kewajiban memeranginya --- menurutku bahayanya
--- menyerupai pemurtadan yang terjadi setelah wafatnya Nabi SAW, karena
sesungguhnya masalah ini mengancam mayoritas kaum muslimin dan generasinya
dengan pemurtadan yang menyeluruh. Apabila mereka dibiarkan seperti itu dengan kerusakan
dan pengerusakan yang dilakukan oleh penguasa tersebut, mereka rubah syari‟at dan sebarkan perbuatan-perbuatan keji dikalangan kaum
muslimin. Seandainya para sahabat hidup pada hari ini niscaya amal mereka yang paling
utama adalah memeragi para penguasa tersebut.Selain itu fitnah yang ditimbulkan
oleh masalah ini melebihi dari fitnah yang ditimbulkan oleh masalah khalqul qur‟an (pendapat bahwa Al qur‟an
adalah makhluq).
Dan kami berpendapat tidaklah seorangpun yang memiliki ilmu
syar‟i pada zaman kita ini yang tidak membicarakan masalah ini ---
dengan cara mengingkari dan menghasung kaum muslimin untuk berjihad --- kami berpendapat
orang yang seperti ini tidak bertemu dengan Alloh, kecuali Alloh akan murka
terhadapnya, Alloh Ta‟ala berfirman :
إِنَّ ٱلَّذِينَ
يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا
بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ
وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ
وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ
١٦٠
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab,
mereka itu dila`nati Alloh dan dila`nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat
mela`nati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan
menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan
Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Baqarah : 159-160)
Maka seorang alim dituntut oleh syar’i untuk menerangkan kebenaran yang seharusnya dilakukan dalam keadaan
seperti ini sebelum dia ditanya, berdasarkan firman Alloh Ta‟ala :
قُلۡ
تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡ
“Katakanlah: "Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,…” (QS. Al An ‘aam : 151)
Seorang alim juga, dituntut untuk menyatukan manusia
berdasarkan firman Alloh Ta‟ala ) تَعَالَوْا (
untuk memahamkan pada mereka mana yang haq
dan mana yang bathil.
Al Qurthubiy berkata dalam menafsirkan ayat ini:
”Dan beginilah kewajiban orang-orang hidup setelah nabi SAW
dari kalangan ulama untuk menyampaikan kepada para manusia dan menerangkan
kepada mereka apa-apa yang diharamkan dan apa-apa yang dihalalkan bagi mereka, Alloh
Ta‟ala berfirman :
لَتُبَيِّنُنَّهُۥ
لِلنَّاسِ وَلَا تَكۡتُمُونَهُ
“Untuk menerangkan pada manusia
dan jangan disembunyikan‟ (QS.
Ali Imraan : 187) (Tafsiir
Al Qurthubiy VII / 131)
Saya
katakan dan tidak boleh ditangguhkan keterangan diwaktu dibutuhkan, jika ada
seorang alim yang berkata: “Aku takut terhadap manusia” maka sesungguhnya Alloh
Ta‟ala berfirman :
أَلَا تُقَٰتِلُونَ قَوۡمٗا
نَّكَثُوٓاْ أَيۡمَٰنَهُمۡ وَهَمُّواْ بِإِخۡرَاجِ ٱلرَّسُولِ وَهُم بَدَءُوكُمۡ
أَوَّلَ مَرَّةٍۚ أَتَخۡشَوۡنَهُمۡۚ فَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَوۡهُ إِن كُنتُم
مُّؤۡمِنِينَ ١٣
“…Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Alloh-lah yang
berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. At Taubah : 13)
Ayat ini berkenaan dengan para ulama yang berdiam diri, lalu
bagaimana dengan ulama-ulama yang bermudaahanah (kompromi)?, bagaimana dengan ulama yang membela mereka ?,
Alloh Ta‟ala berfirman :
وَمَن
يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُم
“…Barangsiapa di antara kamu
berwala’ (loyal) kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka…”
(QS. Al Maa-idah : 51)
Diterjemahkan
dari Buku Al ‘Umdah Fii ‘Idaadil ‘Uddah Lil
Jihaadi Fii Sabiilillaah, Syaikh ‘Abdul Qoodir bin ‘Abdul ‘Aziiz, hal. 130-138.
____________________________
Sumber: Pengertian
Thoifah Manshuroh Dan Tugas-Tugas Utamanya; Penulis
: Syaikh
Abqul Qodir bin Abdul Aziiz; Alih Bahasa : Abu
Musa Ath Thoyyar; Publikasi : Maktab
Al Jaami'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar