5/23/2019

3 SYUBHAT TERBESAR UDZUR JAHIL


 Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah



1. HADITS MUADZ IBNU JABAL

Banyak orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan terhadap hukum dengan berdalil dengan beberapa atsar yang mereka pahami secara salah, di antaranya adalah atsar tentang sujud Mu‟adz radliyallaahu „anhu kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam saat beliau pulang dari Syam. Di Syam, beliau melihat orang-orang ahli kitab sujud kepada para pembesar mereka (Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah). Orang-orang itu mengatakan: “Ini kisah Mu‟adz sujud kepada Rasulullah, namun beliau tidak mengkafirkannya karena Mu‟adz jahil akan hal itu, padahal sujud itu adalah ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah adalah syirik. Sehingga pelaku syirik akbar karena kebodohan tidaklah boleh dikafirkan. Bahkan Al Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631)

Jawaban terhadap syubhat tersebut: Di dalam bahasan yang lalu sudah dijelaskan dalil dari Al Qur‟an, As Sunnah dan Ijma para ulama yang menjelaskan secara gamblang bahwa para pelaku syrik akbar karena kebodohan adalah tidak diudzur. Sehingga ketika kita mendapatkan suatu atsar yang secara selintas menyelisihi kaidah di atas karena kekurangan pemahaman kita terhadap kandungannya, maka tidak boleh secara serta merta kita membenturkan atsar itu dengan kaidah yang sudah baku yang berdasarkan dalil-dalil qath‟iy yang banyak tersebut. Karena tidak mungkin wahyu berbenturan dengan wahyu, tapi seharusnya yang dilakukan adalah mencari kejelasan tentang muatan atsar tersebut, dalam hal ini adalah hadits Mu‟adz itu.

Di dalam atsar itu dikisahkan bahwa Mu‟adz sujud kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam. Sebelum menjelaskan isi hadits Mu‟adz, kita tanyakan kepada orang yang melontarkan syubhat tersebut beberapa pertanyaan ini:

Ø  Mungkinkah Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk beribadah kepada selain-Nya?
Ø  Mungkinkah para malaikat melakukan kemusyrikan?
Ø  Mungkinkah Allah melaknat dan mengkafirkan makhluk-Nya karena tidak beribadah kepada selain-Nya?
Ø  Mungkinkah seorang rasul menerima peribadatan kepada dirinya?
Ø  Mungkinkah seorang rasul beribadah kepada selain Allah?
Ø  Dan mungkinkah terjadi penasakhan (penghapusan) hukum dalam masalah tauhidullah?

Orang itu pasti menjawab semua pertanyaan ini dengan jawaban “Tidak mungkin.”

Maka katakanlah kepada orang itu: Bukankah Allah memerintahkan malaikat agar sujud kepada Adam, dan merekapun sujud kepadanya, namun Iblis tidak mau sujud kepada Adam sehingga dia divonis kafir dan dilaknat Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa: ”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kalian kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan yang kafir”. (Al Baqarah: 34). Apakah ini sujud ibadah atau sujud tahiyyah dan ikram (sujud penghormatan)? Ini adalah sujud tahiyyah dan ikram. 

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: ”Sujud kepada Adam dalam rangka penghormatan, pengagungan, pemuliaan dan ucapan selamat, dan ia adalah ketaatan kepada Allah „Azza Wa Jalla, karena ia adalah perealisasian perintah Allah Ta‟alaa”. (Tafsir Al Qur‟anil „Adhim: 1/100-101) dan beliau berkata sebelumnya dalam halaman yang sama: ”Dan hal ini (maksudnya sujud tahiyyah) adalah dahulu disyari‟atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi kemudian dinasakh di dalam syari‟at kita…(kemudian beliau mengutarakan hadits Mu‟adz)”. Jadi sujud tahiyyah adalah syari‟at bukan tauhid, karena tauhid tidak ada penasakhan di dalamnya, karena ia (tauhid yang merupakan lawan syirik) adalah hukum yang baku lagi mendasar yang tidak menerima perubahan dan penasakhan. (Lihat Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahhab Khalaaf: 226).

Al Imam Asy Syaukanirahimahullah berkata seraya menjelaskan bahwa sujud di sini adalah sujud tahiyyah: ”Karena sesungguhnya sujud kepada manusia adalah kadang boleh dalam sebagian syari‟at sesuai apa yang dituntut oleh mashlahat. Dan ayat ini menunjukan bahwa sujud itu adalah kepada Adam, dan begitu juga ayat yang lain yaitu firman-Nya:”Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr: 29) dan firman-Nya Ta‟alaa: ”Dan ia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100) sehingga pengharaman sujud (tahiyyah) kepada selain Allah di dalam syari‟at Nabi kita shallallaahu „alaihi wasallam itu tidaklah memestikan hal itu diharamkan di dalam syari‟at-syari‟at yang lain. Dan makna sujud adalah meletakkan kening di atas bumi, dan inilah pendapat Jumhur.”(Fathul Qadir: 1/86).

Semua ini merupakan penjelasan bahwa ada yang dinamakan sujud tahiyyah (sujud penghormatan). Hal ini merupakan salah satu syari‟at yang diperbolehkan di dalam umat terdahulu, dan ia itu di luar sujud ibadah yang berkaitan dengan syirik dan tauhid.

Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Ya‟qub „alaihissalam bersama putera-puteranya sujud tahiyyah kepada Nabi Yusuf „alaihissalam:” Dan ia (Yusuf) menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100).

Al Imam Asy Syaukanirahimahullah berkata: “Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf” yaitu kedua orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya; dan maknanya: Bahwa mereka merebahkan dirinya seraya sujud kepada Yusuf, dan hal itu adalah boleh di dalam syari‟at mereka sebagai tahiyyah (penghormatan)” (Fathul Qadir: 3/69).

Beliau rahimahullah berkata juga: “Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Ibnu Zaid, berkata: “Itu adalah sujud penghormatan sebagaimana para malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam, dan bukan sujud ibadah.” (Fathul Qadir: 3/71).

Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata ketika menjelaskan masalah-masalah yang dikandung ayat ini: “Sujud mereka seluruhnya kepada Yusuf.” (Majmuu‟ Mu-allafat Asy Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab, Kitab Fadlaailul Qur‟an Wat Tafsir:2/137), yaitu mereka sujud tahiyyah kepada Yusuf.

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: ”Dan mereka (semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,” yaitu sujud kepadanya; kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya, dan mereka itu berjumlah sebelas orang”. Dan berkata Yusuf: ”Wahai ayahku inilah ta‟bir mimpiku yang dahulu itu,” yaitu yang pernah diceritakan kepada ayahnya dahulu ”Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (Yusuf: 4), di mana hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah diperbolehkan di dalam syari‟at mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada orang besar maka mereka sujud kepadanya, dan hal ini terus diperbolehkan berjalan sejak zaman Adam sampai syari‟at Musa „alaihissalam, kemudian sujud ini diharamkan di dalam millah (Muhammad) ini, dan Allah menjadikannya khusus bagi Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa. Ini adalah isi ucapan Qatadah dan ulama (salaf) lainnya. Di dalam hadits disebutkan bahwa ketika Mu‟adz tiba di Syam, ternyata ia mendapatkan mereka (ahli kitab) sujud kepada para uskup mereka, kemudian tatkala ia sujud kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, maka beliau bertanya: Apa-apaan ini wahai Mu‟adz? Maka ia menjawab: “Sesungguhnya saya melihat mereka sujud kepada para uskup mereka, sedangkan engkau adalah lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu wahai Rasulullah.” Maka beliau berkata: ”Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya.” Dan di dalam hadits lain disebutkan bahwa Salman berjumpa dengan Nabi shallallaahu „alaihi wasallam di suatu jalan di Madinah, sedangkan Salman ini adalah baru masuk Islam, maka ia sujud kepada Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, maka beliau berkata: ”Janganlah kamu wahai Salman bersujud kepadaku, tapi bersujudlah kepada Dzat Yang Maha Hidup Yang Tidak akan pernah mati.” Dan maksudnya adalah bahwa hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah boleh di dalam syari‟at mereka, oleh sebab itu mereka (orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya) sujud kepadanya.” ( Tafsir Al Qur‟anil „Adhim: 1/597).

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa para ulama salaf menjelaskan kepada kita bahwa sujud itu ada 2 macam, sujud IBADAH dan sujud TAHIYYAH:

       1.            Sujud ibadah adalah sujud yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa merupakan syirik akbar yang tidak mungkin ada penasakhan tentang hukumnya dan yang tidak mungkin boleh di dalam syari’at nabi manapun.
       2.            Sedangkan sujud tahiyyah adalah yang berkaitan dengan syari‟at halal dan haram yang bisa berbeda hukumnya antara satu nabi dengan nabi yang lainnya, dan yang bisa masuk di dalamnya pintu nasakh dan mansukh, dan tidak berkaitan dengan syirik akbar atau dengan tauhid, serta orang yang tidak mengetahui dalil pengharamannya adalah diudzur.

Sedangkan hadits Mu‟adz ini adalah berkaitan dengan sujud tahiyyah sebagaimana uraian ulama salaf di atas, bukan tentang sujud ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa adalah merupakan syirik akbar. Sehingga jelaslah bahwa menempatkan hadits Mu‟adz sebagai dalil pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan adalah termasuk sikap menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan itu bukan manhaj salaf. Manakah slogan ”harus memahami Al Qur‟an dan As Sunnah sesuai manhaj salaf” yang diklaim oleh orang-orang yang mengaku pengikut salaf yang berdalil dengan hadits Mu‟adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan, sedangkan mereka sama sekali tidak mengutarakan ucapan seorang salaf -pun tentang penjelasan hadits Mu‟adz ini?-

Perhatikanlah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan sujud yang ada di dalam hadits Mu‟adz ini, beliau menjelaskan bahwa sujud Mu‟adz ini adalah sujud tahiyyah: ”…sampai-sampai (Allah) melarang melakukan (hal yang menyerupai) ibadah dalam rangka tahiyyah dan ikraam (penghormatan) kepada makhluk, oleh sebab itu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam melarang Mu‟adz dari sujud kepadanya dan beliau berkata kepadanya: “Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya” dan beliau melarang dari membungkuk di dalam penghormatan, serta melarang mereka dari berdiri di belakangnya di dalam shalat sedangkan beliau berdiri.” (Majmuu Al Fatawaa: 1/75).

Di Dalam catatan kaki Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla berkata: “Sujud itu hanyalah menjadi ibadah dengan sebab penetapan dari syari‟at, dan ia itu dahulu adalah adat kebiasaan di dalam tahiyyah (penghormatan), dan termasuk contohnya adalah sujud (Nabi) Ya‟qub dan putera-puteranya kepada Yusuf „alaihissalam.”(Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: 17)

Adapun ucapan Al Imam Asy Syaukanirahimahullah: “Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631). Beliau tidak mengatakan bahwa barangsiapa melakukan syirik akbar karena kebodohan maka dia tidak kafir, tapi beliau mengatakan “bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”, sedangkan beliau berbicara tentang hadits yang menjelaskan larangan sujud tahiyyah kepada selain Allah. Maka dhalimlah bila kita menisbatkan pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan kepada beliau rahimahullah dengan hanya bersandar kepada ucapannya yang samar. Seharusnya kita berhati-hati, karena beliau sedang mengutarakan sujud tahiyyah yang berkaitan dengan syari‟at bukan berkaitan dengan syirik akbar. Justeru ucapan beliau rahimahullah yang sangat tegas menyatakan bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidak diudzur, beliau berkata: ”Bila kamu mengatakan: “Orang-orang yang mengkultuskan mayit itu tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah syirik, bahkan seandainya seseorang di antara mereka dihadapkan dengan ancaman pedang sekalipun tentu dia tidak akan mengakui bahwa dia itu menyekutukan Allah, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa hal itu adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya.” Maka saya katakan: Realitanya memang seperti apa yang kamu katakan, tapi tidak samar lagi atas kamu apa yang sudah baku di dalam sebab-sebab kemurtadan, bahwa di dalam keterbuktian kemurtadan itu tidaklah disyaratkan adanya pengetahuan…” (Ad Durr An Nadliid: 82).

Beliau rahimahullah juga berkata ketika mengingkari pengudzuran kejahilan di dalam syirik akbar: “Sesungguhnya kelompok-kelompok kafir seluruhnya dan para pelaku syirik semuanya, hanyalah terjatuh ke dalam kekafiran dan ke dalam sikap penolakan terhadap al haq serta kebersikukuhan mereka di atas kebatilannya adalah dengan sebab keyakinan (yang mereka anut) dalam kebodohan.” (Ad Durr An Nadliid: 111).

Beliau rahimahullah juga berkata seraya menukil ucapan Abul Wafaa Ali Ibnu, Uqail Al Baghdadi rahimahullah dan mengakuinya: ”Dan berkata Abul Wafaa Ibnu, Uqail di dalam Al Funuun: ”Tatkala taklif-taklif (syari‟at) itu dirasa berat oleh orang-orang bodoh dan para pengekor, maka mereka berpaling dari tuntunan-tuntunan syari‟at kepada sikap pengagungan ajaran-ajaran yang mereka ada-adakan sendiri, sehingga ajaran-ajaran itu terasa ringan atas mereka, karena dengannya mereka tidak masuk di dalam perintah selain diri mereka. Dan mereka itu adalah kafir menurut saya dengan sebab ajaran-ajaran ini.” (Ad Durr An Nadliid: 119).

Jadi begitulah ucapan beliau yang jelas lagi tidak ada kesamaran di dalamnya.

Bahkan Asy Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata di dalam Risalah Al Jawab Al Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: “Dan berkata juga Asy Syaukani: “Dan bila sudah terbukti jelas apa yang telah kami utarakan prihal orang yang menghina Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, maka lebih utama lagi orang yang menghina Allah tabaaraka wa ta‟alaa atau menghina Kitab-Nya atau (menghina) Islam atau mencela dein-Nya. Dan kafirnya orang yang melakukan hal ini adalah tidak membutuhkan kepada burhaan (dalil)”. Bahkan lihatlah ucapan Al Imam Asy Syaukani sendiri di dalam salah satu tulisannya yang di dalamnya beliau mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman di zamannya dan memvonis mereka murtad dari Islam, dan beliau menuturkan dalil-dalil terhadap hal ini. Umpamanya beliau berkata: “Dan telah sah dari Nabi shallallaahu „alaihi wasallam bahwa beliau berkata,” Tidak ada pemisah di antara seorang hamba dengan kekafiran kecuali meninggalkan shalat,” jadi orang yang meninggalkan shalat dari kalangan masyarakat adalah kafir, dan sama kafirnya juga orang yang mengerjakan shalat sedangkan dia tidak benar di dalam dzikir-dzikir dan rukun-rukunnya yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya, karena dia itu meninggalkan hal fardlu yang tergolong kefardluan terpenting atas dirinya dan (meninggalkan) kewajiban yang tergolong kewajiban paling besar, yaitu mengetahui apa yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya…” sampai beliau berkata: “Dan sering sekali masyarakat itu mendatangkan ucapan-ucapan kekafiran, di mana dia mengatakan: Dia Yahudi, hendaklah dia mengerjakan ini atau itu. Dan sesekali dia murtad dengan sebab ucapan dan sesekali (dia murtad) dengan sebab perbuatan sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan dia mencerai isterinya sampai baa-in (lepas total) darinya dengan ucapan-ucapan yang selalu dia ucapakan”. Dan beliau (Al Imam) Asy Syaukani berkata juga: “Dan tidak diragukan lagi bahwa tingkah mereka melakukan hal-hal besar semacam ini adalah tergolong sebab-sebab terbesar yang menyebabkan mereka kafir dan melenyapkan keimanan, yang wajib atas setiap individu kaum muslimin untuk mengingkarinya, dan wajib atas setiap orang yang mampu untuk memerangi para pelakunya sampai mereka kembali kepada dienul Islam yang dengannya Allah mengutus penutup para rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka lihatlah semoga Allah merahmatimu, bagaimana penulis (yaitu Asy Syaukani) berbicara di sini tentang syirik akbar dan beliau memvonis pelakunya sebagai orang musyrik, dan bahwa kekafirannya tidak butuh kepada dalil…! Dan lihatlah bagaimana Asy Syaukani mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman padahal mereka itu menunaikan shalat, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa shalat mereka itu tidak sah, sehingga menurut beliau status mereka itu sama dengan status orang yang tidak shalat. Dan bagaimana bahwa di antara mereka itu ada yang murtad dengan sebab ucapan atau perbuatan sedangkan dia tidak menyadari bahwa dirinya itu telah kafir dengan sebab hal itu, dan hal ini tidaklah menjadi udzur dalam memvonis dia sebagai orang kafir. Bahkan Asy Syaukani memandang bahwa mereka itu berada di luar dienul Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, sehingga wajib untuk memerangi mereka atas setiap orang yang mampu sampai mereka kembali kepada dienullah! Fa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”(Aqidatul Muwahhidin, Al Jawabul Mufid: 375).

Ini adalah penjelasan berkaitan dengan jawaban terhadap orang-orang yang berdalih dengan hadits Mu‟adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan.

2. HADITS KISAH ORANG YANG BERWASIAT MEMBAKAR JENAZAHNYA


Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilannya terhadap hukum, berdalih untuk pemahaman mereka yang batil itu dengan hadits prihal orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu „anhu bahwa Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam berkata: ”Seorang laki-laki yang tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan berkata kepada keluarganya bahwa bila dia mati, maka bakarklah jasadnya kemudian taburkan separuhnya di daratan dan separuhnya di lautan, di mana demi Allah seandainya Allah kuasa terhadapnya tentu Dia benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak Dia timpakan kepada seorangpun. Kemudian tatkala si orang itu mati, maka mereka (keluarganya) melakukan terhadapnya apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Maka Allah memerintahkan daratan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya, dan Dia memerintahkan lautan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Dia berkata: ”Kenapa kamu melakukan hal ini? Orang itu menjawab: Karena takut kepada-Mu Ya Rabb, sedangkan Engkau lebih mengetahui. Maka Dia-pun mengampuninya.”

Mereka mengatakan: “Orang ini jahil dan mengingkari kebangkitan setelah mati, namun dia tidak dikafirkan dan bahkan dia malah diampuni, karena dia jahil. Sehingga diketahuilah bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu diudzur dan tidak dikafirkan”.

Maka kita jawab: Bahwa hadits ini bukan berkaitan dengan pelaku syirik akbar, di mana orang tersebut adalah orang yang bertauhid lagi tidak melakukan syirik akbar, dan ini dengan nash hadits itu sendiri, di mana di dalam riwayat lain yang shahih dinyatakan bahwa orang tersebut tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid,” sebagaimana dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi‟ dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah secara marfu‟ dan dari Ibnu Mas’ud secara mauquf.

Al Imam Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis Al „Iraqi) yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan yang berdalih dengan hadits di atas: “Hadits orang yang memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya adalah dia itu orang yang bertauhid bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi‟ dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu, ”tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid” sehingga gugurlah pengambilan dalih dengan hadits ini di dalam masalah yang sedang diperbincangkan. (Minhaj At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 217).

Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata di dalam kitabnya Tamyiz Ash Shidqi Minal Main Fi Muhawaratir Rajulain: “…Orang yang memerintahkan keluarganya bila dia mati agar membakarnya dan menaburkan (abu)nya ke laut, maka sesungguhnya dia itu walaupun ragu terhadap qudrah Allah adalah seorang muwahhid lagi bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi‟ dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu, “tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid”…”.(Dinukil dari Kitab Ath Thabaqat, Al Khudlair: 17).

Al Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah berkata seraya mengomentari hadits “maka dikeluarkan dari api neraka orang-orang yang tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun…” “Yang dimaksud dengan sabdanya “tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dari amalan jawarih (anggota badan) meskipun mereka itu memiliki inti tauhid, oleh sebab itu telah ada di dalam hadits orang yang memerintahkan keluarganya agar membakar jasadnya setelah dia mati (tambahan, ed.) ”sesungguhnya dia tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun selain tauhid” yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dari Abu Hurairah secara marfu‟ dan dari hadits Ibnu Mas‟ud secara mauquf”. (Dari Kitab At Takhwif Minan Nar Wat Ta‟rif Bi Haali daril Bawaar, bab ke 28 hal 260 terbitan Dar Ar Rasyid, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah, kekeliruan takfir no 27, Al Maqdisiy).

Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata saat membantah syubhat orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan seraya berdalih dengan hadits di atas: “Yang nampak jelas dari nash-nash itu bahwa si laki-laki itu bukanlah orang musyrik, di mana dia tidak melakukan kemusyrikan dalam keadaan tidak mengetahui bahwa Allah-lah Dzat yang hanya berhak diibadati terus dia diudzur dengan sebab hal itu!! justeru dia itu adalah berada di atas tauhid, dan tidak mengibadati sesuatupun bersama Allah dengan bentuk peribadatan apapun, terus Allah mengudzurnya dengan sebab kejahilannya di dalam kemusyrikan kepada Allah!! Sejumlah ulama berkata: Orang ini adalah berada di masa fatrah di saat bermanfaat sekedar tauhid, dan tidak ada taklif sebelum datangnya syari‟at menurut pendapat yang shahih”. (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 361).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang tersebut adalah beriman kepada Allah secara umum dan beriman kepada hari akhir secara umum, dan beriman bahwa Allah akan memberikan balasan dan siksaan setelah kematian”. (Majmu Al Fatawa 12/263, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah hal. 279).

Sedangkan di dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah, sesungguhnya pelaku syirik akbar atau pelaku tawalli kepada kaum musyrikin itu tidak disebut orang muslim apalagi disebut orang yang beriman (mu‟min), Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa‟adatain (hal 452): “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini, maka ia bukan Muslim”.

Syaikh „Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammadrahimahullah berkata: “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi‟in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…”(Ad Durar As Saniyyah: 11/545).

Jadi hadits itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang yang melakukan syirik akbar, sehingga menempatkan hadits ini untuk mengudzur para thaghut dan ansharnya yang bergelimang kekafiran dan kemusyrikan yang nyata dengan dalih kejahilan mereka adalah merupakan pemalsuan dalil dan pemalingan makna dari posisi yang sebenarnya.

Bila hal ini sudah jelas, maka tentang apa sebenarnya hadits tersebut?

Syaikh Abdullah Aba Buthainrahimahullah berkata: “Sebagian orang yang membela-bela kaum musyrikin berhujjah dengan “kisah orang yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya setelah dia mati”, bahwa orang yang melakukan kekafiran (akbar) karena ketidaktahuan adalah tidak dikafirkan dan tidak dikafirkan kecuali orang yang mu‟anid (orang yang bersikeras membangkang setelah mengetahui”.

Jawaban: Terhadap hal ini adalah bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta‟alaa telah mengutus rasul-rasul-Nya dalam rangka memberi kabar gembira dan memberikan peringatan supaya tidak ada hujjah lagi bagi manusia terhadap Allah setelah para Rasul itu. Sedangkan ajaran terbesar yang mana mereka diutus dengannya dan mereka mengajak kepadanya adalah beribadah kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melarang syirik yang mana ia adalah peribadatan kepada selain-Nya. Bila pelaku syirik akbar itu diudzur karena kebodohannya, maka siapa yang tidak diudzur? Maka lazim (konsekuensi logis)nya klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah terhadap seorang pun kecuali orang yang mu‟anid, padahal sesungguhnya penganut klaim ini tidak bisa memberlakukan secara baku kaidah dasar pemahamannya ini, akan tetapi dia pasti jatuh dalam kontradiksi pemahamannya sendiri, karena sesungguhnya dia tidak mungkin tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu „alaihi wasallam atau orang yang ragu terhadap hari kebangkitan atau hal lain yang tergolong ushuluddin, sedangkan orang yang ragu itu adalah orang yang tidak mengetahui (jahil).

Dan para fuqaha rahimahullah di dalam kitab-kitab fiqh menuturkan hukum orang-orang murtad, di mana “Ia adalah orang muslim yang kafir setelah keislamannya baik secara ucapan, perbuatan, keyakinan ataupun keraguan,” sedangkan sebab keraguan adalah kebodohan. Dan konsekuensi logis pendapat ini adalah tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi, Nasrani dan orang-orang yang menyembah matahari dan bulan karena sebab kebodohan mereka, dan tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh Ali Ibnu Abi Thalib radliyallaahu „anhu, karena kita memastikan bahwa mereka itu orang-orang yang bodoh, sedangkan para „ulama rahimahullah ajma‟in telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran orang-orang Yahudi dan Nasrani atau orang yang ragu terhadap kekafiran mereka, dan kita yakin bahwa mayoritas mereka adalah orang-orang yang jahil.

Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang menghina para sahabat atau salah seorang dari mereka dan penghinaannya ini disertai klaim bahwa Ali adalah tuhan atau bahwa Jibril keliru, maka tidak ada keraguan perihal kekafiran orang ini, bahkan tidak ada keraguan prihal orang yang tawaqquf dalam mengkafirkannya”.

Beliau juga berkata: “Barangsiapa mengklaim bahwa sahabat telah murtad sepeninggal Rasul shallallaahu „alaihi wasallam kecuali beberapa orang saja yang tidak sampai sekian belas orang atau bahwa mereka itu fasiq, maka tidak ada keraguan perihak kekafiran orang itu, bahkan barangsiapa ragu perihal kekafirannya, maka dia kafir”.

Beliau berkata: “Barang siapa mengira bahwa firman Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa “wa qadlaa rabbuka an laa ta‟buduu illa iyyah” (Al Isra: 23) bahwa qadlaa di sini bermakna qaddara (mentaqdirkan)dan bahwa Allah tidak mentaqdirkan sesuatupun kecuali pasti terjadi, kemudian dia menjadikan para penyembah berhala itu tidak beribadah kecuali kepada Allah, maka sesungguhnya orang ini adalah tergolong manusia yang paling kafir terhadap semua kitab”.( Selesai)

“Di mana tidak diragukan bahwa para penganut pendapat ini adalah orang yang berilmu, zuhud dan ahli ibadah dan bahwa penyebab klaim mereka ini adalah kebodohan, sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa telah mengabarkan tentang orang-orang kafir bahwa mereka itu berada di dalam keraguan dari apa yang diserukan para rasul kepada mereka dan bahwa mereka itu dalam keraguan perihal adanya kebangkitan, di mana mereka berkata kepada para rasul mereka: ”Dan sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap apa yang kamu ajak kami kepadanya,” (Ibrahim: 9) dan Allah berfirman: ”Dan sesungguhnya mereka dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap Al Qur‟an,” (Huud: 110) dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang mereka: ”Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini(nya),” (Al Jatsiyah: 32) dan Dia berfirman tentang orang-orang kafir: ”Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan sebagai sembahan-semabahan (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 30) dan Dia ta‟alaa berfirman: ”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahu kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi amalannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya di dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya,” (Al Kahfi: 103-104) dan Dia mensifati mereka dengan puncak kebodohan, sebagaimana di dalm firman-Nya ta‟alaa: ”Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al An’am: 179).

“Dan Allah ta‟alaa mencela kaum muqallidin dengan firman-Nya tentang ucapan mereka: ”Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) mereka.” Dan demikianlah Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun pemberi peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az Zukhruf: 22-23). Namun demikian Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa mengkafirkan mereka. Para ulama dengan ayat ini dan ayat-ayat yang semakna dengannya berdalil bahwa tidak boleh taqlid di dalam mengenal Allah dan kerasulan. Hujjah Allah itu telah tegak atas manusia dengan pengutusan para rasul kepada mereka meskipun mereka tidak memahami hujjah-hujjah Allah dan penjelasan-penjelasan-Nya”…, sampai beliau mengatakan: ”Jadi orang yang mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. Padahal dai itu mesti menggugurkan dasar pemahamannya ini, karena seandainya dia membakukan dasar pemahamannya ini tentulah dia menjadi kafir tanpa diragukan lagi, umpamanya andaikata dia tawaqquf di dalam mengkafirkan orang yang ragu terhadap kerasulan Muhammad shallallaahu „alaihi wasallam”.

Adapun laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya dan bahwa Allah mengampuninya padahal dia itu ragu terhadap satu sifat Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa, maka sesungguhnya sebab dia diampuni itu adalah karena belum sampainya hujjah risaliyyah kepadanya, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak ulama. Oleh sebab itu Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata: “Barangsiapa ragu terhadap suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya, maka dia itu kafir, dan bila wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak kafir.” Beliau berkata: “Oleh sebab itu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta‟alaa, karena hal itu tidak terjadi kecuali setelah sampainya hujjah risaliyyah. Begitu juga Ibnu Uqail mengatakan dan membawanya kepada makna bahwa dakwah belum sampai kepadanya. Sedangkan pilihan Syaikh Taqiyyuddin dalam masalah sifat adalah bahwa orang yang jahil (terhadapnya) tidak dikafirkan, dan adapun di dalam masalah syirik dan yang serupa dengannya maka sikap beliau tidak seperti itu, sebagaimana nanti insya Allah kita akan melihat sebagian ucapannya, dan telah kami utarakan sebagian ucapan beliau tentang paham ittihadiyyah (Wihdatul Wujud) dan yang lainnya serta pengkafiran beliau terhadap orang yang ragu akan kekafiran mereka. Penyusun Ikhtiyarat (pendapat-pendapat pilihan) Syaikh berkata: “Orang murtad itu adalah orang yang menyekutukan Allah, atau orang yang membenci Rasul-Nya atau apa yang beliau bawa atau meninggalkan pengingkaran setiap yang mungkar dengan hatinya atau mengira bahwa di antara sahabat ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal itu atau mengingkari suatu ijma yang diijmakan secara qath‟iy atau menjadikan antara dirinya dengan Allah para perantara yang mana dia tawakkal kepadanya, menyerunya dan memohon syafa‟at kepadanya, maka dia itu kafir berdasarkan ijma. Dan barangsiapa ragu tentang suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya maka dia murtad, dan bila orang semacam dia itu wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab itu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta‟alaa.” Di dalam mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang dituturkan lebih dahulu beliau memuthlaqkannya begitu saja, namun dalam hal sifat beliau membedakan antara oarng yang jahil dengan yang lainnya.”(Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul Muwahhidin: 18).

Namun sebenarnya, hadits itu bukan berkaitan dengan orang yang ragu terhadap sifat qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa, karena seandainya orang tersebut mengingkari qudrah-Nya, tentu dia tidak perlu mewasiatkan kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati dan akan membiarkan jasadnya dikubur biasa saja, sebab Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa tidak akan mampu untuk membangkitkannya (sesuai keyakinannya). Dan tatkala dia mewasiatkan hal tersebut, berarti dia meyakini benar bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa akan membangkitkan jasadnya bila dikubur biasa. Ini artinya bahwa yang dia ingkari itu bukan qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa secara umum, akan tetapi rincian dari qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa tersebut, yaitu qudrah Allah untuk membangkitkan jasadnnya bila telah dibakar dan ditaburkan di mana-mana, dan inilah yang tidak dia ketahui.

Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Laki-laki ini mengira bahwa Allah tidak kuasa terhadap dirinya bila jasadnya sudah bertebaran di mana-mana, di mana dia mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya bila jasadnya sudah seperti itu…” sampai ucapannya ”…Yang ada di dalam hadits ini paling tidak adalah bahwa dia itu adalah orang yang tidak mengetahui segala apa yang menjadi hak Allah dari sifat-sifat itu, dan (tidak mengetahui) terhadap rincian bahwa Dia itu adalah Yang Maha Kuasa, sedangkan banyak dari kaum mukminin bisa saja jahil terhadap hal seperti ini, maka dia tidak menjadi kafir”. (Majmu Al Fatawa:11/224-225, dinukil dari Risalatul Jufri, Al Maqdisiy:279).

Al Khaththabi rahimahullah berkata: “Hal ini bisa saja dianggap isykal (hal yang membingungkan), yaitu bagaimana dia diampuni sedangkan dia itu mengingkari kebangkitan setelah mati dan qudrah (Allah) untuk menghidupkan orang-orang yang sudaha mati? Maka jawabannya adalah bahwa orang itu tidak mengingkari kebangkitan setelah mati, namun yang terjadi adalah bahwa dia itu tidak mengetahui bahwa bila jasadnya diperlakukan seperti itu maka dia tidak akan dibangkitkan dan tidak akan diadzab, sedangkan telah nampak keimanannya dengan bentuk pengakuan dia bahwa sebab dia melakukan hal itu hanyalah karena rasa takut kepada Allah” (Dituturkan Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 6/604, dari Risalatul Jufri: 280).

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa orang tersebut mengucapkan ucapan itu dalam kondisi diliputi rasa takut yang sangat sehingga dia tidak mampu mengendalikan lisannya dan hilang kesadaran kontrolnya, sehingga dia sama dengan orang yang lupa, sedangkan dalam kondisi seperti ini orang tidak dikenakan sangsi hukum dengan sebab apa yang diucapapkannya. (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 359-360).

Bagaimanapun penafsiran para ulama itu, yang jelas semuanya tidak ada yang mengatakan bahwa hadits ini adalah dalil bagi pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan, sebagaimana yang dilontarkan oleh orang-orang sesat pada masa sekarang. Wallaahu A‟lam.
*******
3. HADITS KISAH DZAATU ANWAATH

Sebagian orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: “Kami keluar bersama Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i‟tikaf di sana dan mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath. Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: “Wahai Rasulullah jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar, sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan –demi Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya– seperti apa yang dikatakan Banu Israil kepada Musa: ”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum kalian.”(HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih).Mereka mengatakan: “Ini sebagian sahabat yang baru masuk Islam karena ketidaktahuannya, meminta tuhan kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, namun beliau tidak mengkafirkannya, dan beliau menyamakan permintaan mereka seperti permintaan Banu Israil kepada Nabi Musa „alaihissalam. Berarti pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidaklah dikafirkan, namun mereka itu diudzur.”

Jawabannya: Perlu diluruskan bahwa yang diminta oleh para sahabat yang baru masuk islam itu bukanlah meminta tuhan untuk diibadati, akan tetapi meminta suatu pohon yang memiliki barakah yang mana mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, di mana mereka mengira bahwa kalau Nabi shallallaahu „alaihi wasallam memerintahkan mereka bertabarruk dengan pohon tersebut maka pohon itu menjadi memiliki barakah. Sedangkan bertabarruk dengan sesuatu itu bukanlah artinya mengibadati sesuatu itu. Tabarruk adalah mencari barakah (kebaikan) dari sesuatu yang memiliki barakah sesuai penjelasan syari‟at dengan cara yang ditentukan atau dibolehkan oleh syari‟at, dan ini adalah tabarruk yang syar‟iy. Sedangkan tabarruk yang tidak syar‟iy adalah dengan sesuatu yang tidak ada dalilnya bahwa hal itu memiliki barakah, atau dengan cara yang tidak ada tuntunannya.

Para sahabat sering bertabarruk dengan anggota badan Rasululllah shallallaahu „alaihi wasallam atau dengan suatu yang pernah beliau gunakan. Al Miswar Ibnu Makhramah dan Marwan Ibnul Hakam berkata: ”Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan seseorang, kemudian dia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya. Dan bila beliau berwudlu, maka para sahabat hampir berebutan mengambil air bekas wudlunya.” (HR Ahmad dan Al Bukhari).

Abu Juhaifah radliyallaahu’anhu berkata: ”Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam keluar siang-siang kepada kami, maka beliau diambilkan air wudlunya kemudian beliaupun berwudlu, kemudian orang-orang mengambil dari sisa air wudlunya dan terus mereka mengusapkannya ke badan mereka.” (HR Al Bukhari).
Di dalam hadits Asma Bintu Abi Bakar radliyallaahu „anha, beliau menyimpan pakaian Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam dan mencucinya bila ada orang yang sakit untuk mengobatinya, sebagaimana di dalam Shahih Muslim.

Ini semuanya menjelaskan tentang tabarruk yang syar‟iy, dan bahwa tabarruk dengan sesuatu itu bukanlah berarti beribadah kepada sesuatu tersebut. Sebagaimana tabarruk dengan jasad Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bukanlah beribadah kepada beliau.

Sedangkan kisah Dzatu Anwath, adalah bahwa para sahabat yang baru masuk islam itu meminta kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam agar menjadikan suatu pohon memiliki barakah sehingga mereka bisa bertabarruk dengannya dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, sedangkan ini adalah tergolong syirik ashghar atau bid‟ah bukan syirik akbar, karena sesungguhnya mereka itu orang arab asli yang murni yang memahami bahasa dan makna dan mengetahui apa yang diinginkan Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam dari mereka, di mana beliau telah mendakwahi mereka sebelum itu dan mereka mengetahui bahwa meminta tuhan (ilaah) itu adalah dien mereka terdahulu yang pernah mereka anut dan telah mereka tinggalkan atas dasar ilmu, maka bagaimana bisa mereka meminta tuhan (ilaah) sedangkan Latta dan „Uzza telah mereka tinggalkan, dan permintaan seperti itu sangatlah tidak mungkin dari mereka karena keislaman mereka. (Lihat Kitab At Taudlih Wat Tatimmat ‘Alaa Kasyfi Asy Sybuhaat, Ali Al Khudlair: 123).

Jadi kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: “Dan tatkala kaum musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya Dzatu Anwath, maka sebagian orang berkata: “Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath…!” maka beliau berkata: “Allahu Akbar, sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian”. Maka beliau shallallaahu „alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu berupa syirik itu sendiri…?” (Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 364).

Jadi Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam kekafiran atau syirik akbar.

Al Imam Asy Syathibi berkata di dalam Al Muwafaqat: “Namun sesungguhnya tidak mesti dalam mengikuti mereka (orang-orang kafir) itu selalu di dalam ajaran bid‟ah mereka, tapi bisa jadi mengikuti mereka di dalam ajaran bid‟ahnya dan bisa jadi mengikuti mereka di dalam hal-hal yang menyerupainya. Adapun yang menunjukan terhadap hal yang pertama, maka adalah sabdanya: “Sungguh kalian akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian,” di mana beliau mengatakan di dalamnya: ”sampai seandainya mereka memasuki lubang hewan dlabb tentu kalian akan ikut masuk juga.” Sedangkan yang menunjukan terhadap macam yang kedua maka adalah hadits: ”Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath.” Maka beliau shallallaahu „alaihi wasallam berkata: “Ini adalah seperti apa yang dikatakan oleh Banu Israil…” di mana sesungguhnya menjadikan Dzatu Anwath itu adalah menyerupai penjadian tuhan-tuhan selain Allah, bukan pentuhanan itu sendiri”.(Al Jawabul Mufid, Aqidatul Muwahhidien: 363). Lihat beliau di sini menjadikan kisah Dzatu Anwath itu hanya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kemusyrikan bukan kemusyrikan itu sendiri.

Dan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah pun menjadikan kisah ini sebagai syirik ashghar, di mana beliau menukil ucapan Ibnu Taimiyyah tadi di dalam Kitabnya Mufidul Mustafid seraya mengakuinya.

Dan beliau juga mengatakan di dalam Kitabut Tauhid saat menuturkan masalah-masalah yang diambil dari kisah Dzatu Anwath ini: “…masalah kesebelas: bahwa syirik itu ada yang akbar dan ada yang ashghar, karena sesungguhnya mereka tidak menjadi murtad dengan sebab hal itu. …..kelima belas: Larangan dari Tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli jahiliyyah”. (Majmu‟ah At Tauhid: 127) di mana beliau menggolongkan permintaan mereka itu dalam jajaran syirik ashghar.

Beliau juga berkata setelah menuturkan kisah Dzatu Anwath di dalam risalah Makna Tauhid: “Bila ini adalah sikap keras Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam terhadap para sahabat itu tatkala mereka meminta darinya sekedar musyaabahah (penyerupaan) terhadap kaum musyrikin di dalam menjadikan sebatang pohon untuk menggantungkan senjata (mereka) dan bertabarruk dengannya serta duduk-duduk di bawahnya, maka bagaimana dengan sesuatu yang lebih dasyat dari hal itu, yaitu syirik akbar yang dilakukan oleh mayoritas manusia pada hari ini”. (Tarikh Nejed:48).

Beliau rahimahullah berkata juga tentang kisah ini: “Adapun syirik yang muncul dari orang mu‟min sedangkan dia tidak mengetahuinya padahal dia itu bersungguh-sungguh di dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, maka saya berharap hal ini tidak mengeluarkan dia dari janji tersebut, karena hal-hal semacam ini telah pernah muncul para sahabat: seperti mereka bersumpah dengan nama nenek moyang mereka, mereka bersumpah dengan nama Ka‟bah, ucapan mereka: “Apa yang dikehendaki Allah dan Muhammad”, dan ucapan mereka: “Jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath….” Namun mereka itu saat telah nampak al haq di hadapan mereka maka mereka mengikutinya dan tidak mendebat di dalamnya dengan fanatisme jahiliyyah terhadap nenek moyang dan adat istiadat. Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim…” (Tarikh Nejed: 428-429). Lihat beliau menjadikan permintaan sebagian sahabat itu sebagai syirik ashghar, karena ucapan beliau di awal kalimat “Adapun syirik” adalah syirik ashghar, dan ini berdasarkan beberapa dalil di antaranya:

1.Beliau mengatakan sesudahnya : ”yang muncul dari orang mu‟min” sedangkan syirik akbar itu hanya muncul dari orang musyrik bukan orang mu‟min, di mana beliau berkata: “Bila amalan kamu seluruhnya kepada Allah, maka kamu ini adalah muwahhid. Dan bila di dalamnya ada penyekutuan kepada makhluk, maka kamu adalah orang musyrik”. (Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah).

2.Karena beliau menyertakannya dengan sumpah dengan nama nenek moyang sedangkan ia adalah termasuk syirik ashghar.

3.Beliau mengatakan sesudahnya “Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan orang muslim”, maka ini menunjukan bahwa yang sebelumnya adalah syirik ashghar.
Dan penyataan beliau bahwa kisah Dzatu Anwath itu adalah tentang syirik ashghar ada juga di dalam Tarikh Nejed 253 di dalam surat beliau kepada Abdullah Ibnu Suhaim qadli wilayah Majma‟ah.

Dan juga ditegaskan oleh Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid di dalam Kitab Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid seraya mengutip ucapan Ibnu Taimiyyah dan Asy Syathibiy, silahkan rujuk Kitab ‘Aqidatul Muwahhidin hal 363-364. Bila ini adalah pernyataan para ulama yang bermanhaj salaf tentang makna hadits itu, maka kenapa sebagian kita malah mencari pemahaman yang menyimpang dari kebenaran demi mengudzur kaum musyrikin dan para thaghut murtad…???!!!

Tinggal satu masalah lagi: Yaitu kenapa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyerupakan permintaan para sahabat yang baru masuk Islam itu dengan permintaan Banu Israil kepada Musa yang merupakan syirik akbar, seraya berdalil dengan ayat “Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata: Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.”…?
Maka jawabnya adalah bahwa hal itu tergolong istidlal (berdalil) dengan ayat-ayat yang turun berkenaan dengan syirik akbar digunakan terhadap syirik ashghar atau ayat-ayat yang berkenaan dengan kufur akbar digunakan terhadap kufur ashghar sebagai bentuk pentahdziran dan penjeraan darinya. Dan cara ini adalah cara yang syar‟iy yang sering digunakan oleh salaf.

Contohnya Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam menggunakan ayat yang berkenaan dengan orang-orang kafir terhadap Ali radliyallaahu „anhu, sebagaimana di dalam hadits bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendatangi Ali dan Fathimah Bintu Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam di suatu malam, terus beliau bertanya: “Apa kalian berdua tidak melaksanakan shalat (malam)? Maka saya berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya jiwa kami ini hanyalah di Tangan Allah, bila Dia menghendaki untuk membangunkan kami tentu Dia membangunkan kami,” maka beliau pergi saat saya mengatakan hal itu dan tidak menjawab sepatah katapun kepada saya, kemudian saya mendengar beliau saat pergi seraya memukul pahanya dan mengatakan: ”Dan manusia adalah makhluk yang banyak membantah.” (Al Kahfi: 54) (HR Al Bukhari dan Muslim). Ayat ini berkaitan dengan orang kafir yang banyak mendebat dalam menolak Al Islam, kemudian Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam gunakan kepada Ali radliyallaahu „anhu karena ada keserupaan dari sisi mendebat, walaupun beda muatan debatnya.

Contoh lain: Firman Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain).” (Yusuf:106). Ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang beriman kepada rubuubiyyah Allah namun mereka menyekutukan Allah di dalam Uluuhiyyah-Nya. Namun Hudzaifah radliyallaahu „anhu menggunakan ayat ini juga, di mana beliau menjenguk orang yang sakit kemudian melihat di lengannya azimat, maka beliau memutuskannya terus membaca ayat “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain(Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/601).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...