Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman hafidzahullah
1. HADITS MUADZ IBNU JABAL
Banyak
orang yang mengudzur para pelaku syirik akbar karena kebodohan terhadap hukum
dengan berdalil dengan beberapa atsar yang mereka pahami secara salah, di
antaranya adalah atsar tentang sujud Mu‟adz radliyallaahu „anhu kepada
Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam saat beliau pulang dari Syam.
Di Syam, beliau melihat orang-orang ahli kitab sujud kepada para pembesar
mereka (Haditsnya diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Aisyah).
Orang-orang itu mengatakan: “Ini kisah Mu‟adz sujud kepada Rasulullah, namun
beliau tidak mengkafirkannya karena Mu‟adz jahil akan hal itu, padahal sujud
itu adalah ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah adalah syirik.
Sehingga pelaku syirik akbar karena kebodohan tidaklah boleh dikafirkan. Bahkan
Al Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan: “Di dalam hadits ini ada dalil
yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena kebodohan
adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631)
Jawaban
terhadap syubhat tersebut: Di dalam
bahasan yang lalu sudah dijelaskan dalil dari Al Qur‟an, As Sunnah dan Ijma
para ulama yang menjelaskan secara gamblang bahwa para pelaku syrik akbar
karena kebodohan adalah tidak diudzur. Sehingga ketika kita mendapatkan suatu
atsar yang secara selintas menyelisihi kaidah di atas karena kekurangan
pemahaman kita terhadap kandungannya, maka tidak boleh secara serta merta kita
membenturkan atsar itu dengan kaidah yang sudah baku yang berdasarkan
dalil-dalil qath‟iy yang banyak tersebut. Karena tidak mungkin wahyu
berbenturan dengan wahyu, tapi seharusnya yang dilakukan adalah mencari
kejelasan tentang muatan atsar tersebut, dalam hal ini adalah hadits Mu‟adz
itu.
Di
dalam atsar itu dikisahkan bahwa Mu‟adz sujud kepada Rasulullah shallallaahu
„alaihi wasallam. Sebelum menjelaskan isi hadits Mu‟adz, kita tanyakan
kepada orang yang melontarkan syubhat tersebut beberapa pertanyaan ini:
Ø Mungkinkah Allah memerintahkan
malaikat-Nya untuk beribadah kepada selain-Nya?
Ø Mungkinkah para malaikat
melakukan kemusyrikan?
Ø Mungkinkah Allah melaknat dan
mengkafirkan makhluk-Nya karena tidak beribadah kepada selain-Nya?
Ø Mungkinkah seorang rasul menerima
peribadatan kepada dirinya?
Ø Mungkinkah seorang rasul
beribadah kepada selain Allah?
Ø Dan mungkinkah terjadi penasakhan
(penghapusan) hukum dalam masalah tauhidullah?
Orang itu pasti menjawab semua
pertanyaan ini dengan jawaban “Tidak mungkin.”
Maka
katakanlah kepada orang itu: Bukankah Allah memerintahkan malaikat agar sujud
kepada Adam, dan merekapun sujud kepadanya, namun Iblis tidak mau sujud kepada
Adam sehingga dia divonis kafir dan dilaknat Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa:
”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:”Sujudlah kalian
kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabbur dan
adalah ia termasuk golongan yang kafir”. (Al Baqarah: 34). Apakah
ini sujud ibadah atau sujud tahiyyah dan ikram (sujud
penghormatan)? Ini adalah sujud tahiyyah dan ikram.
Al
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: ”Sujud kepada Adam dalam rangka
penghormatan, pengagungan, pemuliaan dan ucapan selamat, dan ia adalah ketaatan
kepada Allah „Azza Wa Jalla, karena ia adalah perealisasian perintah Allah Ta‟alaa”.
(Tafsir Al Qur‟anil „Adhim: 1/100-101) dan beliau berkata sebelumnya
dalam halaman yang sama: ”Dan hal ini (maksudnya sujud tahiyyah) adalah
dahulu disyari‟atkan pada umat-umat terdahulu, akan tetapi kemudian dinasakh di
dalam syari‟at kita…(kemudian beliau mengutarakan hadits Mu‟adz)”. Jadi
sujud tahiyyah adalah syari‟at bukan tauhid, karena tauhid tidak ada
penasakhan di dalamnya, karena ia (tauhid yang merupakan lawan syirik)
adalah hukum yang baku lagi mendasar yang tidak menerima perubahan dan penasakhan.
(Lihat Ilmu Ushul Fiqhi, Abdul Wahhab Khalaaf: 226).
Al
Imam Asy Syaukanirahimahullah berkata seraya menjelaskan bahwa sujud di sini adalah
sujud tahiyyah: ”Karena sesungguhnya sujud kepada manusia adalah
kadang boleh dalam sebagian syari‟at sesuai apa yang dituntut oleh mashlahat.
Dan ayat ini menunjukan bahwa sujud itu adalah kepada Adam, dan begitu juga
ayat yang lain yaitu firman-Nya:”Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan Aku telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Al Hijr: 29) dan firman-Nya Ta‟alaa:
”Dan ia menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya)
merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100) sehingga
pengharaman sujud (tahiyyah) kepada selain Allah di dalam syari‟at Nabi kita
shallallaahu „alaihi wasallam itu tidaklah memestikan hal itu diharamkan di
dalam syari‟at-syari‟at yang lain. Dan makna sujud adalah meletakkan kening di
atas bumi, dan inilah pendapat Jumhur.”(Fathul Qadir: 1/86).
Semua
ini merupakan penjelasan bahwa ada yang dinamakan sujud tahiyyah (sujud
penghormatan). Hal ini merupakan salah satu syari‟at yang diperbolehkan di
dalam umat terdahulu, dan ia itu di luar sujud ibadah yang berkaitan dengan
syirik dan tauhid.
Allah
Subhaanahu Wa Ta‟aalaa mengabarkan kepada kita bahwa Nabi Ya‟qub „alaihissalam
bersama putera-puteranya sujud tahiyyah kepada Nabi Yusuf „alaihissalam:”
Dan ia (Yusuf) menaikan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka
(semuanya) merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf.” (Yusuf: 100).
Al
Imam Asy Syaukanirahimahullah berkata: “Dan mereka (semuanya) merebahkan diri
seraya sujud kepada Yusuf” yaitu kedua orang tua Yusuf dan saudara-saudaranya;
dan maknanya: Bahwa mereka merebahkan dirinya seraya sujud kepada Yusuf, dan
hal itu adalah boleh di dalam syari‟at mereka sebagai tahiyyah (penghormatan)”
(Fathul Qadir: 3/69).
Beliau
rahimahullah berkata juga: “Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Abu Asy
Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Ibnu Zaid, berkata: “Itu adalah sujud
penghormatan sebagaimana para malaikat sujud sebagai penghormatan kepada Adam,
dan bukan sujud ibadah.” (Fathul Qadir: 3/71).
Syaikh
Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata
ketika menjelaskan masalah-masalah yang dikandung ayat ini: “Sujud mereka
seluruhnya kepada Yusuf.” (Majmuu‟ Mu-allafat Asy Syaikh Muhammad Ibnu
Abdil Wahhab, Kitab Fadlaailul Qur‟an Wat Tafsir:2/137), yaitu mereka sujud
tahiyyah kepada Yusuf.
Al
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsir ayat ini: ”Dan mereka (semuanya)
merebahkan diri seraya sujud kepada Yusuf,” yaitu sujud kepadanya; kedua orang
tuanya dan saudara-saudaranya, dan mereka itu berjumlah sebelas orang”. Dan
berkata Yusuf: ”Wahai ayahku inilah ta‟bir mimpiku yang dahulu itu,” yaitu yang
pernah diceritakan kepada ayahnya dahulu ”Sesungguhnya aku bermimpi melihat
sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku” (Yusuf:
4), di mana hal ini (yaitu sujud tahiyyah) adalah diperbolehkan di
dalam syari‟at mereka, bila mereka mengucapkan salam kepada orang besar maka
mereka sujud kepadanya, dan hal ini terus diperbolehkan berjalan sejak zaman
Adam sampai syari‟at Musa „alaihissalam, kemudian sujud ini diharamkan di
dalam millah (Muhammad) ini, dan Allah menjadikannya khusus bagi Allah Subhaanahu
Wa Ta‟aalaa. Ini adalah isi ucapan Qatadah dan ulama (salaf) lainnya. Di
dalam hadits disebutkan bahwa ketika Mu‟adz tiba di Syam, ternyata ia
mendapatkan mereka (ahli kitab) sujud kepada para uskup mereka, kemudian
tatkala ia sujud kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, maka beliau
bertanya: Apa-apaan ini wahai Mu‟adz? Maka ia menjawab: “Sesungguhnya saya
melihat mereka sujud kepada para uskup mereka, sedangkan engkau adalah lebih
berhak untuk diperlakukan seperti itu wahai Rasulullah.” Maka beliau
berkata: ”Seandainya saya boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang
tentu saya perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya
hak suami terhadapnya.” Dan di dalam hadits lain disebutkan bahwa Salman
berjumpa dengan Nabi shallallaahu „alaihi wasallam di suatu jalan di Madinah,
sedangkan Salman ini adalah baru masuk Islam, maka ia sujud kepada Nabi
shallallaahu „alaihi wasallam, maka beliau berkata: ”Janganlah kamu wahai
Salman bersujud kepadaku, tapi bersujudlah kepada Dzat Yang Maha Hidup Yang
Tidak akan pernah mati.” Dan maksudnya adalah bahwa hal ini (yaitu sujud
tahiyyah) adalah boleh di dalam syari‟at mereka, oleh sebab itu mereka (orang
tua Yusuf dan saudara-saudaranya) sujud kepadanya.” ( Tafsir Al Qur‟anil
„Adhim: 1/597).
Perhatikanlah wahai saudaraku,
bahwa para ulama salaf menjelaskan kepada kita bahwa sujud itu ada 2 macam,
sujud IBADAH dan sujud TAHIYYAH:
1.
Sujud ibadah adalah sujud yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu
Wa Ta’aalaa merupakan syirik akbar yang tidak mungkin ada penasakhan
tentang hukumnya dan yang tidak mungkin boleh di dalam syari’at nabi manapun.
2.
Sedangkan sujud tahiyyah adalah yang berkaitan dengan syari‟at halal
dan haram yang bisa berbeda hukumnya antara satu nabi dengan nabi yang lainnya,
dan yang bisa masuk di dalamnya pintu nasakh dan mansukh, dan tidak berkaitan
dengan syirik akbar atau dengan tauhid, serta orang yang tidak mengetahui dalil
pengharamannya adalah diudzur.
Sedangkan hadits Mu‟adz ini adalah berkaitan dengan
sujud tahiyyah sebagaimana uraian ulama salaf di atas, bukan tentang
sujud ibadah yang bila dipalingkan kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa
adalah merupakan syirik akbar. Sehingga jelaslah bahwa menempatkan hadits
Mu‟adz sebagai dalil pengudzuran pelaku syirik akbar karena kebodohan adalah
termasuk sikap menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan itu bukan manhaj
salaf. Manakah slogan ”harus memahami Al Qur‟an dan As Sunnah sesuai manhaj
salaf” yang diklaim oleh orang-orang yang mengaku pengikut salaf yang
berdalil dengan hadits Mu‟adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena
kebodohan, sedangkan mereka sama sekali tidak mengutarakan ucapan seorang salaf
-pun tentang penjelasan hadits Mu‟adz ini?-
Perhatikanlah ucapan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ketika menjelaskan kedudukan sujud
yang ada di dalam hadits Mu‟adz ini, beliau menjelaskan bahwa sujud Mu‟adz ini
adalah sujud tahiyyah: ”…sampai-sampai (Allah) melarang melakukan (hal yang
menyerupai) ibadah dalam rangka tahiyyah dan ikraam (penghormatan) kepada
makhluk, oleh sebab itu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam melarang Mu‟adz dari
sujud kepadanya dan beliau berkata kepadanya: “Seandainya saya boleh
memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang tentu saya perintahkan wanita
untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadapnya” dan
beliau melarang dari membungkuk di dalam penghormatan, serta melarang mereka
dari berdiri di belakangnya di dalam shalat sedangkan beliau berdiri.” (Majmuu
Al Fatawaa: 1/75).
Di Dalam
catatan kaki Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu
Abdil Wahhabrahimahullah, Syaikh Muhammad Rasyid Ridla berkata:
“Sujud itu hanyalah menjadi ibadah dengan sebab penetapan dari syari‟at, dan
ia itu dahulu adalah adat kebiasaan di dalam tahiyyah (penghormatan), dan
termasuk contohnya adalah sujud (Nabi) Ya‟qub dan putera-puteranya kepada Yusuf
„alaihissalam.”(Kitab Al Jawahir Al Mudliyyah karya Syaikh Muhammad Ibnu
Abdil Wahhab: 17)
Adapun
ucapan Al Imam Asy Syaukanirahimahullah: “Di dalam hadits
ini ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang sujud kepada selain Allah karena
kebodohan adalah tidak kafir”. (Nailul Authar: 6/631). Beliau tidak
mengatakan bahwa barangsiapa melakukan syirik akbar karena kebodohan maka
dia tidak kafir, tapi beliau mengatakan “bahwa orang yang sujud kepada
selain Allah karena kebodohan adalah tidak kafir”, sedangkan beliau
berbicara tentang hadits yang menjelaskan larangan sujud tahiyyah kepada
selain Allah. Maka dhalimlah bila kita menisbatkan pengudzuran pelaku syirik
akbar karena kejahilan kepada beliau rahimahullah dengan hanya bersandar
kepada ucapannya yang samar. Seharusnya kita berhati-hati, karena beliau sedang
mengutarakan sujud tahiyyah yang berkaitan dengan syari‟at bukan
berkaitan dengan syirik akbar. Justeru ucapan beliau rahimahullah yang
sangat tegas menyatakan bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidak
diudzur, beliau berkata: ”Bila kamu mengatakan: “Orang-orang yang
mengkultuskan mayit itu tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu
adalah syirik, bahkan seandainya seseorang di antara mereka dihadapkan dengan
ancaman pedang sekalipun tentu dia tidak akan mengakui bahwa dia itu
menyekutukan Allah, bahkan seandainya dia mengetahui sedikit saja bahwa hal itu
adalah syirik tentulah dia tidak akan melakukannya.” Maka saya katakan:
Realitanya memang seperti apa yang kamu katakan, tapi tidak samar lagi atas
kamu apa yang sudah baku di dalam sebab-sebab kemurtadan, bahwa di dalam
keterbuktian kemurtadan itu tidaklah disyaratkan adanya pengetahuan…” (Ad
Durr An Nadliid: 82).
Beliau
rahimahullah juga berkata ketika mengingkari pengudzuran kejahilan di
dalam syirik akbar: “Sesungguhnya kelompok-kelompok kafir seluruhnya dan
para pelaku syirik semuanya, hanyalah terjatuh ke dalam kekafiran dan ke dalam
sikap penolakan terhadap al haq serta kebersikukuhan mereka di atas
kebatilannya adalah dengan sebab keyakinan (yang mereka anut) dalam kebodohan.”
(Ad Durr An Nadliid: 111).
Beliau
rahimahullah juga berkata seraya menukil ucapan Abul Wafaa Ali Ibnu, Uqail
Al Baghdadi rahimahullah dan mengakuinya: ”Dan berkata Abul Wafaa
Ibnu, Uqail di dalam Al Funuun: ”Tatkala taklif-taklif (syari‟at)
itu dirasa berat oleh orang-orang bodoh dan para pengekor, maka mereka
berpaling dari tuntunan-tuntunan syari‟at kepada sikap pengagungan
ajaran-ajaran yang mereka ada-adakan sendiri, sehingga ajaran-ajaran itu terasa
ringan atas mereka, karena dengannya mereka tidak masuk di dalam perintah selain
diri mereka. Dan mereka itu adalah kafir menurut saya dengan sebab
ajaran-ajaran ini.” (Ad Durr An Nadliid: 119).
Jadi begitulah ucapan beliau
yang jelas lagi tidak ada kesamaran di dalamnya.
Bahkan
Asy Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata di dalam Risalah
Al Jawab Al Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid: “Dan berkata juga Asy Syaukani:
“Dan bila sudah terbukti jelas apa yang telah kami utarakan prihal orang
yang menghina Nabi shallallaahu „alaihi wasallam, maka lebih utama lagi orang yang
menghina Allah tabaaraka wa ta‟alaa atau menghina Kitab-Nya atau (menghina)
Islam atau mencela dein-Nya. Dan kafirnya orang yang melakukan hal ini adalah
tidak membutuhkan kepada burhaan (dalil)”. Bahkan lihatlah ucapan Al
Imam Asy Syaukani sendiri di dalam salah satu tulisannya yang di dalamnya
beliau mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman di zamannya dan memvonis mereka
murtad dari Islam, dan beliau menuturkan dalil-dalil terhadap hal ini.
Umpamanya beliau berkata: “Dan telah sah dari Nabi shallallaahu „alaihi
wasallam bahwa beliau berkata,” Tidak ada pemisah di antara seorang hamba
dengan kekafiran kecuali meninggalkan shalat,” jadi orang yang meninggalkan
shalat dari kalangan masyarakat adalah kafir, dan sama kafirnya juga orang yang
mengerjakan shalat sedangkan dia tidak benar di dalam dzikir-dzikir dan
rukun-rukunnya yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya, karena dia itu
meninggalkan hal fardlu yang tergolong kefardluan terpenting atas dirinya dan
(meninggalkan) kewajiban yang tergolong kewajiban paling besar, yaitu mengetahui
apa yang mana shalat tidak sah kecuali dengannya…” sampai beliau berkata:
“Dan sering sekali masyarakat itu mendatangkan ucapan-ucapan kekafiran, di mana
dia mengatakan: Dia Yahudi, hendaklah dia mengerjakan ini atau itu. Dan
sesekali dia murtad dengan sebab ucapan dan sesekali (dia murtad) dengan sebab
perbuatan sedangkan dia tidak menyadarinya. Dan dia mencerai isterinya
sampai baa-in (lepas total) darinya dengan ucapan-ucapan yang selalu dia
ucapakan”. Dan beliau (Al Imam) Asy Syaukani berkata juga: “Dan
tidak diragukan lagi bahwa tingkah mereka melakukan hal-hal besar semacam ini
adalah tergolong sebab-sebab terbesar yang menyebabkan mereka kafir dan
melenyapkan keimanan, yang wajib atas setiap individu kaum muslimin untuk
mengingkarinya, dan wajib atas setiap orang yang mampu untuk memerangi para
pelakunya sampai mereka kembali kepada dienul Islam yang dengannya Allah
mengutus penutup para rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam”. Maka lihatlah
semoga Allah merahmatimu, bagaimana penulis (yaitu Asy Syaukani)
berbicara di sini tentang syirik akbar dan beliau memvonis pelakunya sebagai
orang musyrik, dan bahwa kekafirannya tidak butuh kepada dalil…!
Dan lihatlah bagaimana Asy Syaukani mengkafirkan mayoritas penduduk Yaman padahal
mereka itu menunaikan shalat, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa
shalat mereka itu tidak sah, sehingga menurut beliau status mereka itu sama
dengan status orang yang tidak shalat. Dan bagaimana bahwa di antara mereka itu
ada yang murtad dengan sebab ucapan atau perbuatan sedangkan dia tidak
menyadari bahwa dirinya itu telah kafir dengan sebab hal itu, dan hal ini
tidaklah menjadi udzur dalam memvonis dia sebagai orang kafir. Bahkan Asy
Syaukani memandang bahwa mereka itu berada di luar dienul Islam yang dibawa
oleh Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam, sehingga wajib untuk memerangi
mereka atas setiap orang yang mampu sampai mereka kembali kepada dienullah! Fa
laa haula wa laa quwwata illaa billaah.”(Aqidatul Muwahhidin, Al Jawabul
Mufid: 375).
Ini
adalah penjelasan berkaitan dengan jawaban terhadap orang-orang yang berdalih
dengan hadits Mu‟adz untuk mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan.
2. HADITS KISAH ORANG YANG BERWASIAT
MEMBAKAR JENAZAHNYA
Sebagian
orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilannya terhadap hukum,
berdalih untuk pemahaman mereka yang batil itu dengan hadits prihal orang yang
berwasiat kepada keluarganya agar membakar jasadnya bila dia sudah mati. Yaitu
apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu „anhu bahwa Rasulullah shallallaahu
„alaihi wasallam berkata: ”Seorang laki-laki yang tidak mengamalkan
sedikitpun amalan kebaikan berkata kepada keluarganya bahwa bila dia mati, maka
bakarklah jasadnya kemudian taburkan separuhnya di daratan dan separuhnya di
lautan, di mana demi Allah seandainya Allah kuasa terhadapnya tentu Dia
benar-benar akan mengadzabnya dengan adzab yang tidak Dia timpakan kepada
seorangpun. Kemudian tatkala si orang itu mati, maka mereka (keluarganya)
melakukan terhadapnya apa yang telah diperintahkan kepada mereka. Maka Allah
memerintahkan daratan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya, dan Dia
memerintahkan lautan agar mengumpulkan apa yang ada di dalamnya. Kemudian Dia
berkata: ”Kenapa kamu melakukan hal ini? Orang itu menjawab: Karena takut
kepada-Mu Ya Rabb, sedangkan Engkau lebih mengetahui. Maka Dia-pun
mengampuninya.”
Mereka
mengatakan: “Orang ini jahil dan mengingkari kebangkitan setelah mati,
namun dia tidak dikafirkan dan bahkan dia malah diampuni, karena dia jahil.
Sehingga diketahuilah bahwa pelaku syirik akbar karena kejahilan itu diudzur
dan tidak dikafirkan”.
Maka
kita jawab: Bahwa hadits ini bukan
berkaitan dengan pelaku syirik akbar, di mana orang tersebut adalah orang yang
bertauhid lagi tidak melakukan syirik akbar, dan ini dengan nash hadits itu
sendiri, di mana di dalam riwayat lain yang shahih dinyatakan bahwa orang
tersebut ”tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali tauhid,” sebagaimana
dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi‟ dari Abu Hurairah radliyallaahu
„anhu. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya
dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah secara marfu‟ dan dari Ibnu Mas’ud
secara mauquf.
Al
Imam Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata
saat membantah seorang ulama kaum musyrikin (Dawud Ibnu Jirjis Al „Iraqi) yang
mengudzur pelaku syirik akbar karena kejahilan yang berdalih dengan hadits di
atas: “Hadits orang yang memerintahkan keluarganya untuk membakar jasadnya
adalah dia itu orang yang bertauhid bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana
telah tsabit (shahih) dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu
Rafi‟ dari Abu Hurairah radliyallaahu „anhu, ”tidak mengamalkan sedikitpun
amalan kebaikan kecuali tauhid” sehingga gugurlah pengambilan dalih dengan
hadits ini di dalam masalah yang sedang diperbincangkan”. (Minhaj
At Ta-sis Wat Taqdis Fi Kasyfi Syubuhat Dawud Ibni Jirjis: 217).
Syaikh
Sulaiman Ibnu Sahman rahimahullah berkata di dalam kitabnya Tamyiz Ash Shidqi Minal
Main Fi Muhawaratir Rajulain: “…Orang yang memerintahkan
keluarganya bila dia mati agar membakarnya dan menaburkan (abu)nya ke laut,
maka sesungguhnya dia itu walaupun ragu terhadap qudrah Allah adalah seorang
muwahhid lagi bukan termasuk pelaku kemusyrikan, di mana telah tsabit (shahih)
dari jalur Abu Kamil dari Hammad dari Tsabit dari Abu Rafi‟ dari Abu Hurairah
radliyallaahu „anhu, “tidak mengamalkan sedikitpun amalan kebaikan kecuali
tauhid”…”.(Dinukil dari Kitab Ath Thabaqat, Al Khudlair: 17).
Al
Hafidh Ibnu Rajab Al Hanbaliy rahimahullah
berkata seraya mengomentari hadits “maka dikeluarkan dari api neraka
orang-orang yang tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun…” “Yang
dimaksud dengan sabdanya “tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun” dari
amalan jawarih (anggota badan) meskipun mereka itu memiliki inti tauhid,
oleh sebab itu telah ada di dalam hadits orang yang memerintahkan keluarganya
agar membakar jasadnya setelah dia mati (tambahan, ed.) ”sesungguhnya dia
tidak melakukan amalan kebaikan sedikitpun selain tauhid” yang diriwayatkan
oleh imam Ahmad dari Abu Hurairah secara marfu‟ dan dari hadits Ibnu Mas‟ud
secara mauquf”. (Dari Kitab At Takhwif Minan Nar Wat Ta‟rif Bi Haali
daril Bawaar, bab ke 28 hal 260 terbitan Dar Ar Rasyid, dinukil dari Ar Risalah
Ats Tsalatsiniyyah, kekeliruan takfir no 27, Al Maqdisiy).
Syaikh
Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid berkata saat membantah syubhat orang yang mengudzur pelaku syirik akbar
karena kejahilan seraya berdalih dengan hadits di atas: “Yang nampak jelas
dari nash-nash itu bahwa si laki-laki itu bukanlah orang musyrik, di mana dia
tidak melakukan kemusyrikan dalam keadaan tidak mengetahui bahwa Allah-lah Dzat
yang hanya berhak diibadati terus dia diudzur dengan sebab hal itu!! justeru
dia itu adalah berada di atas tauhid, dan tidak mengibadati sesuatupun bersama
Allah dengan bentuk peribadatan apapun, terus Allah mengudzurnya dengan sebab
kejahilannya di dalam kemusyrikan kepada Allah!! Sejumlah ulama berkata: Orang
ini adalah berada di masa fatrah di saat bermanfaat sekedar tauhid, dan tidak
ada taklif sebelum datangnya syari‟at menurut pendapat yang shahih”. (Al
Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 361).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang tersebut adalah
beriman kepada Allah secara umum dan beriman kepada hari akhir secara umum, dan
beriman bahwa Allah akan memberikan balasan dan siksaan setelah kematian”. (Majmu
Al Fatawa 12/263, dinukil dari Ar Risalah Ats Tsalatsiniyyah hal. 279).
Sedangkan
di dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah, sesungguhnya pelaku syirik akbar atau
pelaku tawalli kepada kaum musyrikin itu tidak disebut orang muslim apalagi
disebut orang yang beriman (mu‟min), Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata dalam kitab beliau Thariqul Hijratain wa Babus Sa‟adatain (hal
452): “Islam itu adalah mentauhidkan Allah dan ibadah hanya kepada Allah
saja tidak ada satupun sekutu bagi-Nya, iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta
mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul, dan barangsiapa tidak membawa hal ini,
maka ia bukan Muslim”.
Syaikh
„Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammadrahimahullah
berkata: “Ulama berijma, baik
ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi‟in, para imam
dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim, kecuali dengan cara mengosongkan
diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya…”(Ad Durar As
Saniyyah: 11/545).
Jadi
hadits itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan orang yang melakukan syirik
akbar, sehingga menempatkan hadits ini untuk mengudzur para thaghut dan
ansharnya yang bergelimang kekafiran dan kemusyrikan yang nyata dengan dalih
kejahilan mereka adalah merupakan pemalsuan dalil dan pemalingan makna dari
posisi yang sebenarnya.
Bila
hal ini sudah jelas, maka tentang apa sebenarnya hadits tersebut?
Syaikh
Abdullah Aba Buthainrahimahullah berkata: “Sebagian orang yang membela-bela kaum
musyrikin berhujjah dengan “kisah orang yang berwasiat kepada keluarganya
agar membakarnya setelah dia mati”, bahwa orang yang melakukan kekafiran
(akbar) karena ketidaktahuan adalah tidak dikafirkan dan tidak dikafirkan
kecuali orang yang mu‟anid (orang yang bersikeras membangkang setelah
mengetahui”.
Jawaban:
“Terhadap hal ini adalah bahwa
Allah Subhaanahu Wa Ta‟alaa telah mengutus rasul-rasul-Nya dalam rangka memberi
kabar gembira dan memberikan peringatan supaya tidak ada hujjah lagi bagi
manusia terhadap Allah setelah para Rasul itu. Sedangkan ajaran terbesar yang
mana mereka diutus dengannya dan mereka mengajak kepadanya adalah beribadah
kepada Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya serta melarang syirik yang mana ia
adalah peribadatan kepada selain-Nya. Bila pelaku syirik akbar itu diudzur
karena kebodohannya, maka siapa yang tidak diudzur? Maka lazim (konsekuensi
logis)nya klaim ini adalah bahwa tidak ada hujjah bagi Allah terhadap seorang
pun kecuali orang yang mu‟anid, padahal sesungguhnya penganut klaim ini tidak
bisa memberlakukan secara baku kaidah dasar pemahamannya ini, akan tetapi dia
pasti jatuh dalam kontradiksi pemahamannya sendiri, karena sesungguhnya dia
tidak mungkin tawaqquf dalam mengkafirkan orang yang yang ragu terhadap
kerasulan Muhammad shallallaahu „alaihi wasallam atau orang yang ragu terhadap
hari kebangkitan atau hal lain yang tergolong ushuluddin, sedangkan orang yang
ragu itu adalah orang yang tidak mengetahui (jahil)”.
Dan
para fuqaha rahimahullah di dalam kitab-kitab fiqh menuturkan hukum orang-orang
murtad, di mana “Ia adalah orang muslim yang kafir setelah keislamannya baik
secara ucapan, perbuatan, keyakinan ataupun keraguan,” sedangkan sebab
keraguan adalah kebodohan. Dan konsekuensi logis pendapat ini adalah
tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang bodoh dari kalangan Yahudi, Nasrani
dan orang-orang yang menyembah matahari dan bulan karena sebab kebodohan
mereka, dan tidak boleh mengkafirkan orang-orang yang dibakar hidup-hidup oleh
Ali Ibnu Abi Thalib radliyallaahu „anhu, karena kita memastikan bahwa mereka
itu orang-orang yang bodoh, sedangkan para „ulama rahimahullah ajma‟in telah
ijma (sepakat) terhadap kekafiran orang-orang Yahudi dan Nasrani atau orang
yang ragu terhadap kekafiran mereka, dan kita yakin bahwa mayoritas mereka
adalah orang-orang yang jahil.
Syaikh
Taqiyyuddin rahimahullah
berkata: “Barangsiapa yang menghina para sahabat atau salah seorang dari mereka
dan penghinaannya ini disertai klaim bahwa Ali adalah tuhan atau bahwa Jibril
keliru, maka tidak ada keraguan perihal kekafiran orang ini, bahkan tidak ada
keraguan prihal orang yang tawaqquf dalam mengkafirkannya”.
Beliau
juga berkata: “Barangsiapa mengklaim bahwa sahabat telah murtad sepeninggal
Rasul shallallaahu „alaihi wasallam kecuali beberapa orang saja yang tidak
sampai sekian belas orang atau bahwa mereka itu fasiq, maka tidak ada keraguan
perihak kekafiran orang itu, bahkan barangsiapa ragu perihal kekafirannya, maka
dia kafir”.
Beliau
berkata: “Barang siapa mengira bahwa firman Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa “wa
qadlaa rabbuka an laa ta‟buduu illa iyyah” (Al Isra: 23) bahwa qadlaa di sini
bermakna qaddara (mentaqdirkan)dan bahwa Allah tidak mentaqdirkan sesuatupun
kecuali pasti terjadi, kemudian dia menjadikan para penyembah berhala itu tidak
beribadah kecuali kepada Allah, maka sesungguhnya orang ini adalah tergolong
manusia yang paling kafir terhadap semua kitab”.( Selesai)
“Di
mana tidak diragukan bahwa para penganut pendapat ini adalah orang yang
berilmu, zuhud dan ahli ibadah dan bahwa penyebab klaim mereka ini adalah
kebodohan, sedangkan Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa telah mengabarkan tentang
orang-orang kafir bahwa mereka itu berada di dalam keraguan dari apa yang
diserukan para rasul kepada mereka dan bahwa mereka itu dalam keraguan perihal
adanya kebangkitan, di mana mereka berkata kepada para rasul mereka: ”Dan
sesungguhnya kami benar-benar dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap
apa yang kamu ajak kami kepadanya,” (Ibrahim: 9) dan Allah berfirman:
”Dan sesungguhnya mereka dalam keragu-raguan yang menggelisahkan terhadap Al
Qur‟an,” (Huud: 110) dan Dia berfirman seraya mengabarkan tentang
mereka: ”Kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami
sekali-kali tidak meyakini(nya),” (Al Jatsiyah: 32) dan Dia berfirman
tentang orang-orang kafir: ”Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan
sebagai sembahan-semabahan (mereka) selain Allah, dan mereka mengira bahwa
mereka mendapat petunjuk.” (Al A’raf: 30) dan Dia ta‟alaa berfirman:
”Katakanlah: Apakah akan Kami beritahu kepadamu tentang orang-orang yang paling
rugi amalannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya di dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya,” (Al Kahfi: 103-104) dan Dia mensifati mereka dengan
puncak kebodohan, sebagaimana di dalm firman-Nya ta‟alaa: ”Mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al An’am:
179).
“Dan
Allah ta‟alaa mencela kaum muqallidin dengan firman-Nya tentang ucapan mereka:
”Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu ajaran, dan
sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti)
mereka.” Dan demikianlah Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangpun pemberi
peringatan dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri
itu berkata: Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami menganut suatu
ajaran dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Az
Zukhruf: 22-23). Namun demikian Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa mengkafirkan
mereka. Para ulama dengan ayat ini dan ayat-ayat yang semakna dengannya
berdalil bahwa tidak boleh taqlid di dalam mengenal Allah dan kerasulan. Hujjah
Allah itu telah tegak atas manusia dengan pengutusan para rasul kepada mereka
meskipun mereka tidak memahami hujjah-hujjah Allah dan
penjelasan-penjelasan-Nya”…, sampai beliau mengatakan: ”Jadi orang yang
mengklaim bahwa pelaku kekafiran ini (syirik akbar) karena takwil, atau ijtihad
atau kesalahan atau taqlid atau kebodohan adalah diudzur, maka dia itu menyelisihi
Al Kitab, As Sunnah dan Ijma tanpa diragukan lagi. Padahal dai itu mesti
menggugurkan dasar pemahamannya ini, karena seandainya dia membakukan dasar
pemahamannya ini tentulah dia menjadi kafir tanpa diragukan lagi, umpamanya
andaikata dia tawaqquf di dalam mengkafirkan orang yang ragu terhadap kerasulan
Muhammad shallallaahu „alaihi wasallam”.
Adapun
laki-laki yang berwasiat kepada keluarganya agar membakarnya dan bahwa Allah
mengampuninya padahal dia itu ragu terhadap satu sifat Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa,
maka sesungguhnya sebab dia diampuni itu adalah karena belum sampainya hujjah
risaliyyah kepadanya, sebagaimana yang dikatakan oleh banyak ulama. Oleh sebab
itu Syaikh Taqiyyuddin rahimahullah berkata: “Barangsiapa ragu terhadap suatu
sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu tidak wajar tidak mengetahuinya,
maka dia itu kafir, dan bila wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak kafir.”
Beliau berkata: “Oleh sebab itu Nabi shallallaahu „alaihi wasallam tidak
mengkafirkan orang yang ragu terhadap qudrah Allah ta‟alaa, karena hal itu
tidak terjadi kecuali setelah sampainya hujjah risaliyyah. Begitu juga Ibnu
Uqail mengatakan dan membawanya kepada makna bahwa dakwah belum sampai
kepadanya. Sedangkan pilihan Syaikh Taqiyyuddin dalam masalah sifat adalah
bahwa orang yang jahil (terhadapnya) tidak dikafirkan, dan adapun di dalam
masalah syirik dan yang serupa dengannya maka sikap beliau tidak seperti itu,
sebagaimana nanti insya Allah kita akan melihat sebagian ucapannya, dan telah
kami utarakan sebagian ucapan beliau tentang paham ittihadiyyah (Wihdatul
Wujud) dan yang lainnya serta pengkafiran beliau terhadap orang yang ragu akan
kekafiran mereka. Penyusun Ikhtiyarat (pendapat-pendapat pilihan) Syaikh
berkata: “Orang murtad itu adalah orang yang menyekutukan Allah, atau orang
yang membenci Rasul-Nya atau apa yang beliau bawa atau meninggalkan
pengingkaran setiap yang mungkar dengan hatinya atau mengira bahwa di antara
sahabat ada orang yang berperang bersama orang-orang kafir atau membolehkan hal
itu atau mengingkari suatu ijma yang diijmakan secara qath‟iy atau menjadikan
antara dirinya dengan Allah para perantara yang mana dia tawakkal kepadanya,
menyerunya dan memohon syafa‟at kepadanya, maka dia itu kafir berdasarkan ijma.
Dan barangsiapa ragu tentang suatu sifat Allah sedangkan orang semacam dia itu
tidak wajar tidak mengetahuinya maka dia murtad, dan bila orang semacam dia itu
wajar tidak mengetahuinya maka dia tidak murtad, oleh sebab itu Nabi
shallallaahu „alaihi wasallam tidak mengkafirkan orang yang ragu terhadap
qudrah Allah ta‟alaa.” Di dalam mukaffirat (hal-hal yang mengkafirkan) yang
dituturkan lebih dahulu beliau memuthlaqkannya begitu saja, namun dalam hal
sifat beliau membedakan antara oarng yang jahil dengan yang lainnya.”(Al Intishar Li Hizbillahil Muwahhidin, Aqidatul
Muwahhidin: 18).
Namun
sebenarnya, hadits itu bukan berkaitan dengan orang yang ragu terhadap sifat
qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa, karena seandainya orang tersebut
mengingkari qudrah-Nya, tentu dia tidak perlu mewasiatkan kepada keluarganya
agar membakar jasadnya bila dia sudah mati dan akan membiarkan jasadnya dikubur
biasa saja, sebab Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa tidak akan mampu untuk
membangkitkannya (sesuai keyakinannya). Dan tatkala dia mewasiatkan hal tersebut,
berarti dia meyakini benar bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa akan
membangkitkan jasadnya bila dikubur biasa. Ini artinya bahwa yang dia ingkari
itu bukan qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa secara umum, akan tetapi
rincian dari qudrah Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa tersebut, yaitu qudrah
Allah untuk membangkitkan jasadnnya bila telah dibakar dan ditaburkan di
mana-mana, dan inilah yang tidak dia ketahui.
Syaikhul
Islam rahimahullah berkata: “Laki-laki ini mengira bahwa Allah tidak
kuasa terhadap dirinya bila jasadnya sudah bertebaran di mana-mana, di mana dia
mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkannya bila jasadnya sudah seperti itu…”
sampai ucapannya ”…Yang ada di dalam hadits ini paling tidak adalah
bahwa dia itu adalah orang yang tidak mengetahui segala apa yang menjadi hak
Allah dari sifat-sifat itu, dan (tidak mengetahui) terhadap rincian bahwa Dia
itu adalah Yang Maha Kuasa, sedangkan banyak dari kaum mukminin bisa saja jahil
terhadap hal seperti ini, maka dia tidak menjadi kafir”. (Majmu Al Fatawa:11/224-225,
dinukil dari Risalatul Jufri, Al Maqdisiy:279).
Al
Khaththabi rahimahullah berkata: “Hal ini bisa saja dianggap isykal (hal
yang membingungkan), yaitu bagaimana dia diampuni sedangkan dia itu mengingkari
kebangkitan setelah mati dan qudrah (Allah) untuk menghidupkan orang-orang yang
sudaha mati? Maka jawabannya adalah bahwa orang itu tidak mengingkari
kebangkitan setelah mati, namun yang terjadi adalah bahwa dia itu tidak
mengetahui bahwa bila jasadnya diperlakukan seperti itu maka dia tidak akan
dibangkitkan dan tidak akan diadzab, sedangkan telah nampak keimanannya dengan
bentuk pengakuan dia bahwa sebab dia melakukan hal itu hanyalah karena rasa
takut kepada Allah” (Dituturkan Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari 6/604,
dari Risalatul Jufri: 280).
Ada
juga ulama yang mengatakan bahwa orang tersebut mengucapkan ucapan itu dalam
kondisi diliputi rasa takut yang sangat sehingga dia tidak mampu mengendalikan
lisannya dan hilang kesadaran kontrolnya, sehingga dia sama dengan orang yang
lupa, sedangkan dalam kondisi seperti ini orang tidak dikenakan sangsi hukum
dengan sebab apa yang diucapapkannya. (Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit
Tauhid, Aqidatul Muwahhidin: 359-360).
Bagaimanapun
penafsiran para ulama itu, yang jelas semuanya tidak ada yang mengatakan bahwa
hadits ini adalah dalil bagi pengudzuran pelaku syirik akbar karena kejahilan,
sebagaimana yang dilontarkan oleh orang-orang sesat pada masa sekarang.
Wallaahu A‟lam.
*******
3. HADITS KISAH DZAATU ANWAATH
Sebagian
orang yang mengudzur pelaku syirik akbar karena kebodohan berdalih dengan kisah
Dzatu Anwaath. At Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid Al Laitsiy, berkata: “Kami
keluar bersama Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam menuju Hunain sedangkan
kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Dan orang-orang musyrik memiliki
sebuah pohon Sidr yang mana mereka duduk i‟tikaf di sana dan mereka
menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, yang dinamakan Dzatu Anwath.
Maka kami melewati sebuah pohon Sidr, dan kami berkata: “Wahai Rasulullah
jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka itu memiliki Dzatu
Anwath.” Maka Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam berkata: “Allahu Akbar,
sesungguhnya ia adalah tuntunan-tuntunan itu, kalian telah mengatakan –demi
Dzat Yang jiwaku ada di Tangan-Nya– seperti apa yang dikatakan Banu Israil
kepada Musa: ”Jadikanlah bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak
tuhan,” Dia (Musa) berkata: “Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang
tidak mengetahui.” Sungguh kalian akan meniti jalan-jalan orang sebelum
kalian.”(HR At Tirmidzi Dan Beliau Menilainya Shahih).Mereka
mengatakan: “Ini sebagian sahabat yang baru masuk Islam karena
ketidaktahuannya, meminta tuhan kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam, namun beliau tidak mengkafirkannya, dan beliau menyamakan
permintaan mereka seperti permintaan Banu Israil kepada Nabi Musa „alaihissalam.
Berarti pelaku syirik akbar karena kejahilan itu tidaklah dikafirkan, namun
mereka itu diudzur.”
Jawabannya:
Perlu diluruskan bahwa yang diminta oleh para sahabat yang baru masuk islam itu
bukanlah meminta tuhan untuk diibadati, akan tetapi meminta suatu pohon yang
memiliki barakah yang mana mereka bisa bertabarruk dengannya
dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, di mana
mereka mengira bahwa kalau Nabi shallallaahu „alaihi wasallam memerintahkan
mereka bertabarruk dengan pohon tersebut maka pohon itu menjadi memiliki
barakah. Sedangkan bertabarruk dengan sesuatu itu bukanlah artinya mengibadati
sesuatu itu. Tabarruk adalah mencari barakah (kebaikan) dari sesuatu
yang memiliki barakah sesuai penjelasan syari‟at dengan cara yang ditentukan
atau dibolehkan oleh syari‟at, dan ini adalah tabarruk yang syar‟iy.
Sedangkan tabarruk yang tidak syar‟iy adalah dengan sesuatu yang tidak ada
dalilnya bahwa hal itu memiliki barakah, atau dengan cara yang tidak ada
tuntunannya.
Para
sahabat sering bertabarruk dengan anggota badan Rasululllah shallallaahu „alaihi
wasallam atau dengan suatu yang pernah beliau gunakan. Al Miswar Ibnu
Makhramah dan Marwan Ibnul Hakam berkata: ”Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam tidak berdahak melainkan dahaknya itu jatuh di telapak tangan
seseorang, kemudian dia mengusapkannya ke wajah dan kulitnya. Dan bila beliau
berwudlu, maka para sahabat hampir berebutan mengambil air bekas wudlunya.” (HR
Ahmad dan Al Bukhari).
Abu
Juhaifah radliyallaahu’anhu berkata: ”Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam keluar siang-siang kepada kami, maka beliau diambilkan air wudlunya
kemudian beliaupun berwudlu, kemudian orang-orang mengambil dari sisa air
wudlunya dan terus mereka mengusapkannya ke badan mereka.” (HR Al
Bukhari).
Di
dalam hadits Asma Bintu Abi Bakar radliyallaahu „anha, beliau menyimpan
pakaian Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam dan mencucinya bila ada
orang yang sakit untuk mengobatinya, sebagaimana di dalam Shahih Muslim.
Ini
semuanya menjelaskan tentang tabarruk yang syar‟iy, dan bahwa tabarruk dengan
sesuatu itu bukanlah berarti beribadah kepada sesuatu tersebut. Sebagaimana
tabarruk dengan jasad Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam bukanlah
beribadah kepada beliau.
Sedangkan
kisah Dzatu Anwath, adalah bahwa para sahabat yang baru masuk islam itu meminta
kepada Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam agar menjadikan suatu
pohon memiliki barakah sehingga mereka bisa bertabarruk dengannya
dengan cara menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut, sedangkan
ini adalah tergolong syirik ashghar atau bid‟ah bukan syirik
akbar, karena sesungguhnya mereka itu orang arab asli yang murni yang memahami
bahasa dan makna dan mengetahui apa yang diinginkan Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam dari mereka, di mana beliau telah mendakwahi mereka sebelum itu dan
mereka mengetahui bahwa meminta tuhan (ilaah) itu adalah dien mereka terdahulu
yang pernah mereka anut dan telah mereka tinggalkan atas dasar ilmu, maka
bagaimana bisa mereka meminta tuhan (ilaah) sedangkan Latta dan „Uzza telah
mereka tinggalkan, dan permintaan seperti itu sangatlah tidak mungkin dari
mereka karena keislaman mereka. (Lihat Kitab At Taudlih Wat Tatimmat ‘Alaa
Kasyfi Asy Sybuhaat, Ali Al Khudlair: 123).
Jadi
kisah Dzatu Anwath ini adalah tentang syirik ashghar bukan syirik
akbar. Dan ini adalah yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
di dalam Iqtidlaa Ash Shiraathil Mustaqiim: “Dan tatkala kaum
musyrikin memiliki sebuah pohon yang mana mereka menggantungkan senjata–senjata
mereka diatas pohon itu, dan mereka menamakannya Dzatu Anwath, maka sebagian
orang berkata: “Wahai Rasulullah buatkan bagi kami Dzatu Anwath…!” maka beliau
berkata: “Allahu Akbar, sesunguhnya ia adalah jalan–jalan umat sebelum kalian”.
Maka beliau shallallaahu „alaihi wasallam mengingkari sekedar penyerupaan mereka
terhadap orang–orang kafir dalam hal menjadikan sebuah pohon yang mereka
gunakan untuk duduk–duduk di sekelilingnya seraya menggantungkan senjata mereka
di atasnya, maka bagaimana dengan suatu yang lebih dasyat dari hal itu
berupa syirik itu sendiri…?” (Lihat Mufidul Mustafid Fi Kufri
Tarikit Tauhid, Tarikh Nejed: 364).
Jadi
Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa itu bukan syirik akbar, karena
penyerupaan terhadap orang-orang kafir itu tidak memestikan kafirnya orang yang
menyerupai mereka dalam setiap keadaan, kecuali bila menyerupai mereka di dalam
kekafiran atau syirik akbar.
Al
Imam Asy Syathibi berkata di dalam Al
Muwafaqat: “Namun sesungguhnya tidak mesti dalam mengikuti mereka
(orang-orang kafir) itu selalu di dalam ajaran bid‟ah mereka, tapi bisa jadi
mengikuti mereka di dalam ajaran bid‟ahnya dan bisa jadi mengikuti mereka di
dalam hal-hal yang menyerupainya. Adapun yang menunjukan terhadap hal yang
pertama, maka adalah sabdanya: “Sungguh kalian akan mengikuti tuntunan
orang-orang sebelum kalian,” di mana beliau mengatakan di dalamnya: ”sampai
seandainya mereka memasuki lubang hewan dlabb tentu kalian akan ikut masuk
juga.” Sedangkan yang menunjukan terhadap macam yang kedua maka adalah hadits:
”Maka kami berkata: Wahai Rasulullah, jadikanlah bagi kami Dzatu Anwath.” Maka
beliau shallallaahu „alaihi wasallam berkata: “Ini adalah seperti apa yang
dikatakan oleh Banu Israil…” di mana sesungguhnya menjadikan Dzatu Anwath itu
adalah menyerupai penjadian tuhan-tuhan selain Allah, bukan
pentuhanan itu sendiri”.(Al Jawabul Mufid, Aqidatul Muwahhidien:
363). Lihat beliau di sini menjadikan kisah Dzatu Anwath itu hanya sekedar musyaabahah
(penyerupaan) terhadap kemusyrikan bukan kemusyrikan itu sendiri.
Dan Syaikh
Muhammad Ibnu Abdil Wahhabrahimahullah pun menjadikan kisah ini
sebagai syirik ashghar, di mana beliau menukil ucapan Ibnu Taimiyyah tadi di
dalam Kitabnya Mufidul Mustafid seraya mengakuinya.
Dan
beliau juga mengatakan di dalam Kitabut Tauhid saat menuturkan
masalah-masalah yang diambil dari kisah Dzatu Anwath ini: “…masalah
kesebelas: bahwa syirik itu ada yang akbar dan ada yang ashghar, karena
sesungguhnya mereka tidak menjadi murtad dengan sebab hal itu. …..kelima belas:
Larangan dari Tasyabbuh (menyerupai) dengan ahli jahiliyyah”. (Majmu‟ah
At Tauhid: 127) di mana beliau menggolongkan permintaan mereka itu dalam
jajaran syirik ashghar.
Beliau
juga berkata setelah menuturkan kisah Dzatu Anwath di dalam risalah Makna
Tauhid: “Bila ini adalah sikap keras Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam terhadap para sahabat itu tatkala mereka meminta darinya sekedar musyaabahah
(penyerupaan) terhadap kaum musyrikin di dalam menjadikan sebatang pohon
untuk menggantungkan senjata (mereka) dan bertabarruk dengannya serta
duduk-duduk di bawahnya, maka bagaimana dengan sesuatu yang lebih dasyat
dari hal itu, yaitu syirik akbar yang dilakukan oleh mayoritas manusia pada
hari ini”. (Tarikh Nejed:48).
Beliau
rahimahullah berkata juga tentang kisah ini: “Adapun syirik yang
muncul dari orang mu‟min sedangkan dia tidak mengetahuinya padahal dia itu
bersungguh-sungguh di dalam mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, maka saya
berharap hal ini tidak mengeluarkan dia dari janji tersebut, karena hal-hal
semacam ini telah pernah muncul para sahabat: seperti mereka bersumpah dengan
nama nenek moyang mereka, mereka bersumpah dengan nama Ka‟bah, ucapan mereka:
“Apa yang dikehendaki Allah dan Muhammad”, dan ucapan mereka: “Jadikanlah bagi
kami Dzatu Anwath….” Namun mereka itu saat telah nampak al haq di hadapan
mereka maka mereka mengikutinya dan tidak mendebat di dalamnya dengan fanatisme
jahiliyyah terhadap nenek moyang dan adat istiadat. Dan adapun orang yang
mengaku Islam sedangkan dia itu melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan
itu, kemudian bila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh
darinya, maka dia itu bukan orang muslim…” (Tarikh Nejed: 428-429). Lihat
beliau menjadikan permintaan sebagian sahabat itu sebagai syirik ashghar,
karena ucapan beliau di awal kalimat “Adapun syirik” adalah syirik ashghar, dan
ini berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1.Beliau
mengatakan sesudahnya : ”yang muncul dari orang mu‟min” sedangkan syirik
akbar itu hanya muncul dari orang musyrik bukan orang mu‟min, di mana beliau
berkata: “Bila amalan kamu seluruhnya kepada Allah, maka kamu ini adalah
muwahhid. Dan bila di dalamnya ada penyekutuan kepada makhluk, maka kamu adalah
orang musyrik”. (Ad Durar As Saniyyah Fil Ajwibah An Najdiyyah).
2.Karena
beliau menyertakannya dengan sumpah dengan nama nenek moyang sedangkan ia
adalah termasuk syirik ashghar.
3.Beliau
mengatakan sesudahnya “Dan adapun orang yang mengaku Islam sedangkan dia itu
melakukan hal-hal yang besar dari kemusyrikan itu, kemudian bila dibacakan
kepadanya ayat-ayat Allah maka dia malah angkuh darinya, maka dia itu bukan
orang muslim”, maka ini menunjukan bahwa yang sebelumnya adalah syirik
ashghar.
Dan
penyataan beliau bahwa kisah Dzatu Anwath itu adalah tentang syirik ashghar ada
juga di dalam Tarikh Nejed 253 di dalam surat beliau kepada Abdullah
Ibnu Suhaim qadli wilayah Majma‟ah.
Dan
juga ditegaskan oleh Syaikh Abu Abdillah Abdurrahman Ibnu Abdil Hamid di
dalam Kitab Al Jawabul Mufid Fi Hukmi Jahilit Tauhid seraya mengutip
ucapan Ibnu Taimiyyah dan Asy Syathibiy, silahkan rujuk Kitab ‘Aqidatul
Muwahhidin hal 363-364. Bila ini adalah pernyataan para ulama yang
bermanhaj salaf tentang makna hadits itu, maka kenapa sebagian kita malah
mencari pemahaman yang menyimpang dari kebenaran demi mengudzur kaum musyrikin
dan para thaghut murtad…???!!!
Tinggal
satu masalah lagi: Yaitu kenapa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyerupakan
permintaan para sahabat yang baru masuk Islam itu dengan permintaan Banu Israil
kepada Musa yang merupakan syirik akbar, seraya berdalil dengan ayat “Jadikanlah
bagi kami tuhan sebagaimana mereka memiliki banyak tuhan,” Dia (Musa) berkata:
Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang tidak mengetahui.”…?
Maka
jawabnya adalah bahwa hal itu tergolong istidlal (berdalil) dengan ayat-ayat
yang turun berkenaan dengan syirik akbar digunakan terhadap syirik ashghar atau
ayat-ayat yang berkenaan dengan kufur akbar digunakan terhadap kufur ashghar
sebagai bentuk pentahdziran dan penjeraan darinya. Dan cara ini adalah cara
yang syar‟iy yang sering digunakan oleh salaf.
Contohnya
Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam menggunakan ayat yang berkenaan dengan orang-orang kafir terhadap
Ali radliyallaahu „anhu, sebagaimana di dalam hadits bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam mendatangi Ali dan Fathimah Bintu Rasulullah shallallaahu
„alaihi wasallam di suatu malam, terus beliau bertanya: “Apa kalian
berdua tidak melaksanakan shalat (malam)? Maka saya berkata: “Wahai Rasulullah
sesungguhnya jiwa kami ini hanyalah di Tangan Allah, bila Dia menghendaki untuk
membangunkan kami tentu Dia membangunkan kami,” maka beliau pergi saat saya
mengatakan hal itu dan tidak menjawab sepatah katapun kepada saya, kemudian
saya mendengar beliau saat pergi seraya memukul pahanya dan mengatakan: ”Dan
manusia adalah makhluk yang banyak membantah.” (Al Kahfi: 54) (HR Al
Bukhari dan Muslim). Ayat ini berkaitan dengan orang kafir yang banyak
mendebat dalam menolak Al Islam, kemudian Rasulullah shallallaahu „alaihi
wasallam gunakan kepada Ali radliyallaahu „anhu karena ada
keserupaan dari sisi mendebat, walaupun beda muatan debatnya.
Contoh lain: Firman Allah Subhaanahu Wa Ta‟aalaa: “Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain).” (Yusuf:106).
Ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang beriman kepada rubuubiyyah
Allah namun mereka menyekutukan Allah di dalam Uluuhiyyah-Nya. Namun Hudzaifah radliyallaahu
„anhu menggunakan ayat ini juga, di mana beliau menjenguk orang yang sakit
kemudian melihat di lengannya azimat, maka beliau memutuskannya terus membaca
ayat “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan yang lain” (Lihat
Tafsir Ibnu Katsir: 2/601).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar