MANUSIA YANG PALING BESAR
KEIMANANNYA
“Kaum Yang Datang Setelah Kalian, Yang menemukan Lembaran-lembaran Yang Mereka Imani”
Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, sholawat dan salam senantiasa tercurah atas Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang datang setelahnya. Wa ba’du.
Barang Siapa Yang Gurunya Adalah Kitab Maka Benarnya Lebih Banyak Daripada Salahnya.
Benar, jika kitabnya adalah sebuah kitab, “Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat: 42).
Sebuah kitab yang, “Tidak terdapat keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa.” (QS. al-Baqarah: 2).
Sebuah kitab yang diturunkan oleh Allah kepada hamba-Nya, “Dan Dia tidak menjadikannya bengkok.” (QS al-Kahfi: 1).
Sebuah kitab, “(yaitu) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci dari sisi Rabb yang Maha Bijaksana lagi Mahatahu.” (QS. Hud: 1).
Sebuah kitab yang, “Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi al-Qur’an (ummul kitab) dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (QS. Ali Imran: 7).
Sebuah kitab yang seandainya, “berasal dari selain Allah, niscaya akan mendapat berbagai pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. an-Nisa: 82).
Sebuah kitab yang Allah azza wa jalla berfirman mengenainya, “Dan sungguh Kami telah memudahkan al-Qur’an untuk menjadi peringatan, maka adakah yang mengambil peringatan.” (QS. al-Qomar: 17).
Allah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikr (al-Qur’an) dan sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya.” (QS. al-Hijr: 9).
Dia berfirman, “Katakanlah, ‘Siapakah yang lebih kuat persaksiannya? Katakanlah, ‘Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kalian. Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengannya aku memberi peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang al-Qur’an telah sampai (kepadanya)’.” (QS. al-An’am: 19)
Maka siapa yang kitabnya adalah bukan perkataan makhluk, dari Allah bermula dan kepada-Nya kembali, dan yang mempelajarinya memiliki hati atau menggunakan pendengarannya sedang dia menyaksikan, maka tidak diragukan lagi benarnya lebih banyak daripada salahnya.
Begitu pula siapa yang gurunya adalah Bukhari dan Muslim sedang ia memperoleh dari keduanya riwayat yang sampai kepada orang yang paling fasih dalam melafadhkan huruf “dhadh”, yang telah diberikan Jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas namun mengandung makna yang banyak, padat dan mendalam) pun riwayat yang disandarkan pada generasi terbaik dan sebaik-baik ummat yang diutus kepada seluruh manusia radhiyallahu anhum.
Begitu pula siapa yang kitabnya adalah Tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibnul Mundzir, atau Tafsir Ibnu Abi Hatim.
Begitu pula siapa yang kitabnya dalam beraqidah adalah as-Sunnah karya Imam Ahmad, Harb al-Karmani, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, al-Khollal, al-Barbahari, atau Ibnu Batthah.
Begitu pula siapa yang kitabnya adalah risalah-risalah mujaddid Islam seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Abdil Wahhab.
Adapun jika gurunya adalah para ulama thaghut dan pelaku bid’ah yang sesat serta orang fasik yang duduk dari jihad, niscaya salahnya akan lebih banyak daripada benarnya –kecuali yang dirahmati Allah dan sedikit sekali jumlahnya–. Lalu bagaimana halnya jika dia mengikuti seruan mereka kepada kefajiran, bid’ah dan murtad? Semoga Allah melindungi kita!
Penuntut ilmu tidak akan dimuliakan karena belajar kepada para ulama thaghut dan para dai yang menyeru kepada kesesatan seperti Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Ibnu Jibrin, Fauzan, Salman al-Audah, Safar al-Hawali, al-Huwaini, al-Adawi, al-Madkhali, al-Wadi’i, Abu Qotadah al-Filistini, al-Maqdisi, al-Hadusyi, as-Siba’i dan seterusnya.
Salah satu ruwaibidhah (orang bodoh yang memimpin urusan ummat,pent) itu telah jujur ketika berkata –sedangkan ia pendusta–, “Ada sunnah yang memuji sikap kembali kepada lembaran kertas tanpa melihat kepada personal dan tokoh. Sunnah tersebut menjadi argumentasi kuat bagi kelompok ini. Sunnah tersebut adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam kepada para sahabatnya pada suatu hari, “Siapakah makhluk yang paling menakjubkan imannya menurut kalian? Mereka menjawab, “Para malaikat.” Beliau menyanggah, “Bagaimana mereka tidak beriman sedangkan mereka berada bersama Rabb mereka.” Mereka menjawab, “Para Nabi.” Sabdanya, “Bagaimana mereka tidak beriman sedangkan mereka diberi wahyu? “Kalau begitu kami”, jawab mereka. Beliau menyanggah lagi, “Bagaimana kalian tidak beriman sedangkan aku berada di tengah kalian.” Merekapun bertanya, “Lantas siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang datang setelah kalian yang hanya mendapati lembaran-lembaran (shuhuf ) lalu mengimaninya.” Dalam lafadz yang lain, “Bahkan mereka adalah kaum setelah kalian, suatu kitab datang kepada mereka diantara lembaran-lembaran lalu mereka mengimaninya, dan mengamalkan isi kandungannya. Mereka itu pahalanya lebih besar dibanding kalian.” Pada lafadz lain disebutkan, “Mereka mendapati suatu lembaran lalu mengamalkan isi kandungannya. Merekalah orang beriman yang paling utama imannya.” Hadits tersebut dengan jelas memuji metode mengambil ilmu dari sesuatu lembaran. Bahkan kaum tersebut adalah manusia yang paling besar pahalanya dan orang beriman yang paling utama keimanannya. Hal ini menunjukkan bahwa jaminan selamat di zaman perselisihan dan banyak- nya contoh rusak pengaku ulama yang jatuh kredibilitasnya yaitu dengan kembali kepada lembaran kertas. Perkataan si A dan si B serta pendapat si Zaid dan si Amr tidaklah mempengaruhi “para pembelot” itu. Tidaklah seseorang itu berpindah jalan dari metode syar’i pada metode bid’ah kecuali karena faktor kebodohan, ketidakmampuan, atau maksud yang rusak sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah. Jalan ini, yaitu metode mengambil ilmu dari sesuatu lembaran kertas –dan ini adalah metode syar’i– adalah yang akan mencegah ketergelinciran seorang alim dari mendapatkan legitimasi sebagai bagian dari Dien yang tidak bisa diganggu gugat lagi di mata pengikutnya.”
Maka dari itu, para pencari ilmu hendaknya merenungi hadits-hadits dan atsar-atsar yang memperingatkan dari ulama sesat.
Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu berkata, “Aku pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, ‘Sungguh selain Dajjal ada yang lebih aku khawatirkan atas ummatku.’ Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Akupun bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah hal tersebut yang lebih engkau khawatirkan menimpa umatmu selain Dajjal? Jawabnya, ‘Yaitu para pemimpin yang menyesatkan’.” (HR. Imam Ahmad)
Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu sekaligus dari hamba-hamba-Nya, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mewafatkan para Ulama, hingga ketika tidak tersisa seorang alimpun manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh, lalu mereka ditanya (tentang suatu hal) lantas berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr radhiyallahu anhu).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Hampir tiba saatnya suatu masa ketika Islam tinggal nama dan al-Qur’an tinggal tulisan. Masjid-masjid ramai akan tetapi kosong dari petunjuk. Para ulama mereka adalah manusia terjahat di bawah kolong langit. Dari merekalah fitnah muncul dan akan berbalik kepada mereka pula.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Apabila para ulama telah meninggal hingga hanya sedikit yang tersisa, tinggal yang berjaga-jaga di tapal batas, ditawan di penjara, dan terusir di goa-goa, menuntut ilmu kepada “para syaikh” tidak akan dianggap mulia kecuali oleh orang yang bodoh terhadap hakekat ilmu yang mulia. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang berbuah di hati dan anggota tubuh.
Ubadah bin Shamit radhiyallahu anhu berkata, “Jika kamu mau, akan aku beritahu kepadamu tentang ilmu pertama yang diangkat dari manusia. Yaitu khusyu‘. Hampir-hampir tidak akan kamu dapati seorangpun yang khusyu‘ ketika kamu memasuki masjid.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Fakih sesungguhnya adalah orang yang tidak membuat manusia berputus asa dari rahmat Allah, tidak mentolelir mereka dalam hal maksiat kepada Allah, tidak menenangkan mereka dari adzab Allah, dan tidak meninggalkan al-Qur’an karena tidak menyukainya. Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak didasari ilmu, tidak pula ilmu yang tidak disertai pemahaman dan tidak pula bacaan al-Qur’an yang tidak disertai penghayatan.” (Diriwayatkan ad-Darimi dalam sunannya).
Mujahid rahimahullah berkata, “Hanyasanya orang fakih adalah orang yang takut kepada Allah azza wa jalla.” (Diriwayatkan ad-Darimi dalam sunannya).
Dikatakan pada Hasan al-Bashri, “Bukan begini para fuqoha berkata.” Maka beliau menjawab, “Celaka kamu, apa kamu benar sudah pernah melihat seorang fakih? Seorang fakih itu adalah orang yang zuhud terhadap dunia, senang dengan akhirat, peka terhadap urusan agamanya dan tekun beribadah kepada Rabbnya.” (Diriwayatkan ad-Darimi dalam sunannya).
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berkata, “Wahai para pengemban ilmu, amalkanlah ilmu kalian. Karena seorang alim itu adalah orang yang beramal dengan yang diketahuinya dan ilmunya selaras dengan amalnya. Akan ada suatu kaum yang mengemban ilmu tapi tidak melampaui kerongkongan mereka. Amalnya menyelisihi ilmunya dan batinnya menyelisihi lahirnya. Membentuk majelis tetapi saling membanggakan diri satu sama lain. Hingga ada seorang lelaki yang marah kepada rekan majelisnya karena bermajelis dengan yang lain dan meninggalkan dirinya. Mereka itu adalah orang yang amal mereka di majelis tersebut tidak akan diangkat naik kepada Allah azza wa jalla.” (Diriwayatkan ad-Darimi dalam sunannya)
Betul. Hakekat ilmu adalah takut kepada Allah, “Sungguh, yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathiir:28)
Jadi, siapa yang tidak takut kepada Allah sehingga tidak mau meninggalkan apa yang dimurkai dan dibenci oleh Allah, ia bukanlah orang yang alim maupun fakih, meskipun telah belajar, mengajar dan mengaku sebagai alim.
Begitu juga siapa yang tidak menyeru manusia kepada perkara yang mulia dan memperingatkan mereka dari perbuatan dosa juga bukanlah seorang alim.
Jadi, menuntut ilmu pada “Orang yang paling jahat di kolong langit” dan “Para penyeru kepada pintu-pintu Jahannam” bukanlah hal yang terpuji.
Adapun menggali ilmu dari lembaran-lembaran kertas pada zaman tiadanya para ulama selain yang berada di tapal batas (tsughur), penjara dan goa-goa adalah hal yang terpuji berdasarkan atsar tersebut. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Hendaknya setiap orang waspada terhadap sifat ujub dan sombong jika diuji Allah dengan berteman dengan ulama sesat. Hendaknya dia mengingat apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dari Abdurrahman bin Abi Laila dari Ubay bin Kaab bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada dua lelaki pada zaman Nabi Musa yang berdebat soal nasab. Salah satunya berkata, ‘Aku adalah fulan bin fulan, hingga sembilan keturunan, lalu siapa kamu wahai anak tak beribu? Temannya menjawab, ‘Saya fulan bin fulan bin Islam.’ Lalu beliau melanjutkan, “Lantas Allahpun mewahyukan kepada Musa alaihis salam mengenai kedua lelaki yang saling mengunggulkan nasab ini, ‘Adapun kamu wahai yang bernasab hingga sembilan keturunan, maka di neraka dan kamu yang kesepuluhnya. Sedangkan kamu wahai yang bernasab hanya dua keturunan, maka di surga dan kamu adalah yang ketiganya di surga.” (al-Musnad).
Jadi, layakkah seorang penuntut ilmu berbangga dengan biografi yang dipenuhi dengan bermajelis bersama pelaku dosa, bid’ah dan kemurtadan?
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’, jiwa yang tidak kenyang dan dari doa yang tidak didengar.
An-Naba Edisi 27
________________
https://portalislam2018.wordpress.com/2018/04/28/manusia-yang-paling-besar-keimanannya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar