Bab 3
Ikhtilaf
Pada dasarnya ikhtilaf ada dua macam, yaitu
ikhtilaf dalam bentuk perbedaan dan ikhtilaf dalam bentuk berlawanan. Ikhtilaf
dalam bentuk perbedaan ada beberapa macam, di antaranya adalah adanya dua
pendapat atau dua perbuatan yang kedua-duanya benar, seperti:
1. Perbedaaan bacaan Al-Qur‘an yang ada di
kalangan para sahabat. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak
melarang hal semacam itu dari mereka, beliau bersabda: “Kamu masing-masing
baik.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
2. Dua pendapat yang sebenarnya sama hanya berbeda dalam
pengungkapan.
3. Dua pengertian yang berbeda tetapi tidak
saling bertentangan. Pendapat yang satu benar dan pendapat yang lain juga benar
sekalipun pengertian yang satu tidak sama dengan pengertian yang lain. Inilah
yang banyak sekali terjadi dalam benturan pendapat.
4. Ada dua cara yang kedua-duanya benar. Ketika
seseorang atau suatu golongan melakukan cara tertentu dan yang lain melakukan
cara yang lain yang kedua-duanya menurut
agama baik, kedua belah pihak saling mencela atau memuji diri sendiri karena
kebodohan atau sifat zalim atau memang tidak punya ilmu atau memang ada tujuan
yang tidak baik.
Adapun ikhtilaf dalam bentuk berlawanan yaitu
dua pendapat yang saling berlawanan, baik dalam masalah pokok atau masalah
cabang. Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang benar hanya satu. Lalu orang
yang berpendapat bahwa tiap-tiap mujtahid itu benar, memahami bahwa pendapatnya
tidak berlawanan, dan termasuk ikhtilaf dalam bentuk perbedaan. Pendapat
semacam ini dampaknya sangat besar karena sebenarnya dua pendapat di atas
adalah saling berlawanan. Akan tetapi kita menemukan banyak di kalangan ulama
yang terkadang pendapatnya batil karena bertentangan dengan kebenaran atau
terkadang sebagian dalilnya mendukung kebenaran, tetapi ia menolak seluruh
kebenaran itu.
Dengan demikian ia telah menafikan sebagian
kebatilan, sebagaimana pendapat pihak pertama menolak keseluruhan. Perbedaan
semacam ini banyak ditemui pada kalangan ahlus Sunnah berkenaan dengan
masalah-masalah taqdir, sifat-sifat Allah, sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
lain sebagainya. Demikian juga pada pendapat kebanyakan ahli fiqih atau
kebanyakan kalangan mutaakhir dalam masalah-masalah fiqih. Banyak juga ditemui
pada kebanyakan orang yang mengaku ahli fiqih dan ahli tasawuf dan
kelompok-kelompok sufi serta yang sejenisnya. Adapun tentang kesesatan ahli bid‘ah,
maka masalahnya sudah jelas.
Orang yang Allah beri hidayah dan cahaya akan
dapat memahami hal ini dengan baik, sehingga ia dengan jelas dapat memperoleh
manfaat adanya larangan ikhtilaf dan semacamnya
yang tersebut dalam Al-Qur‘an dan As-Sunnah.
Bagi seseorang yang berhati jernih, ia tentu
menolak ikhtilaf ini, karena ia menyadari bahwa agama Allah itu berada di atas
semua agama lain, sebagaimana firman-Nya pada surah An Nuur ayat 40:
وَمَن
لَّمۡ يَجۡعَلِ ٱللَّهُ لَهُۥ نُورٗا فَمَا لَهُۥ مِن نُّورٍ
“Dan barang siapa yang tidak Allah berikan cahaya kepadanya maka
dia tidak akan mempunyai cahaya sedikit pun.”
Dalam hal ikhtilaf dalam bentuk perbedaan, maka
tanpa diragukan lagi bahwa kedua pihak yang berselisih adalah dalam kebenaran.
Sedangkan terjadinya saling mencela merupakan kezaliman kepada pihak lain,
padahal Al-Qur‘an telah mengisyaratkan adanya pujian terhadap masing-masing pihak,
selama yang satu tidak berbuat zalim kepada yang lain.
Hal ini sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
membenarkan dua kejadian yang berbeda pada hari menyerang Bani Quraidhah. Pada
waktu itu beliau menyuruh seseorang untuk menyampaikan seruan:
لَايُصَلِّيَنَّ
أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِيْ بَنِى قُرَيْظَةَ
“Janganlah seseorang melakukan shalat ‘Ashar kecuali di kampung
Bani Quraidhah.”
Tetapi ternyata di antara sahabat ada yang tetap
melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya dan sebagian lagi menundanya sehingga ia
sampai ke kampung Bani Quraidhah.
أِذَا
اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ,
وَإِذَا اجْتَهَدَ وَلَمْ يُصِبْ فَلَهُ أَجِرٌ
Begitu pula halnya sabda Nabi “Apabila seorang hakim berijtihad lalu dia mendapatkan kebenaran,
maka dia memperoleh dua pahala. Apabila dia berijtihad tetapi tidak memperoleh
kebenaran, maka dia mendapat satu pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim), dan banyak
lagi kejadian yang lain.
_____________
source:
Bahaya Mengekor Non Muslim; Penulis, Muhammad bin Ali Adh-Dhabi‘i,
Mukhtarat Iqtidha’ Ash-Shirathal Mustaqim; Syaikh Ibnu Taimiyah; Penerjemah: Drs. Muhammad Thalib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar