Figur atau Berhala?!
Fitnah
(cobaan) para figur, ketergantungan
pada mereka, dan mengikuti mereka ―dalam
kesesatan―
tidak berhenti pada mereka saja. Tetapi
kita menemukan bahwa orang-orang yang terkena fitnah biasanya melebarkan
perkara ini hingga mencakup orang-orang lain yang memiliki hubungan dengan sang
figur, baik persahabatan maupun kekerabatan. Jika sang figur mati, mereka
mencari figur baru untuk mereka kultuskan. Dan biasanya mereka memilihnya atau
ia ditetapkan untuk mereka dari tengah-tengah lingkaran yang mengelilingi figur
lama, atau bahkan dari orang-orang yang jauh darinya yang mampu menunjukkan
hubungan pertalian dengannya, meskipun tidak esensial. Mereka memperkuat
hubungan itu untuk mereka jadikan sebagai tazkiyah (rekomendasi) bagi
figur baru, sehingga dengan demikian ia menjadi perpanjangan dan pembaruan bagi
manhaj figur lama.
Memahami
fenomena pengkultusan sahabat dan kerabat sang figur adalah mudah dengan izin
Alloh. Orang-orang yang terkena fitnah, yang menjadikan figur dan tokoh
sebagai justifikasi manhaj mereka, akan terjatuh dalam kesempitan jika
kehilangan figur mereka, misalnya karena kematian. Maka bisa jadi mereka akan
mengklaim, sebagaimana klaim Rofidhoh, bahwa dia masih ada dan mendatangi
mereka secara rahasia untuk mengajarkan kepada mereka agama mereka dan
membetulkan manhaj mereka. Atau bisa jadi mereka akan memilih di antara sahabat
dan kerabatnya seorang yang akan mereka angkat sebagai figur bagi mereka dan
mereka jadikan sebagai mercusuar. Mereka akan menyeru manusia agar
menjadikannya sebagai penunjuk jalan kepada agama mereka, setelah mereka
membuktikan bahwa dia telah mewarisi imu dan sifat-sifat figur lama, dan bahwa
dia adalah orang yang paling mampu menjaga manhajnya dan melindungi sekawanan
pengikut dan muridnya.
Karena
itu, kita menemukan orang-orang yang terkena fitnah dalam pertarungan
mereka dengan selain mereka tidak pernah lelah untuk memunculkan figur-figur
mereka yang baru dan menantang manusia untuk menandingi kekuatan hubungan
mereka dengan figur lama. Ini sahabat sang figur, itu pengawal sang figur, yang
lain sopir sang figur, yang keempat anak sang figur, dan yang kelima muncul
dalam sebuah foto bersama sang figur. Semuanya ―dalam
agama orang-orang yang terkena fitnah― wajib
ditaati dan diikuti oleh umat Islam, sebagaimana wajib bagi umat Islam ―dalam agama mereka― menaati
dan mengikuti sang figur.
Kerabat
dan sahabat sang figur bisa jadi lebih berbahaya darinya dan lebih besar fitnah-nya
bagi manusia. Yang demikian itu karena banyak dari orang-orang yang dijadikan
oleh manusia sebagai figur tidak ridho dengan hal itu. Mereka hanya melakukan
amal-amal yang karenanya manusia memuji dan mengagungkannya, sementara mereka
sendiri tidak menyadari hal ini. Adapun figur-figur baru, mereka memang
berusaha mencari dan mendapatkan popularitas, meskipun mereka tidak memiliki
kapabilitas selain hubungan pertalian dengan figur lama. Anda melihat seorang
dari mereka berkelana ke timur dan ke barat sekehendaknya di jalan-jalan
kesesatan, seraya menjadikan hubungannya itu sebagai sumber kekuatan. Meskipun
dia sesat dan menyesatkan, orang-orang yang terkena fitnah akan
membelanya dan mengingatkan manusia akan hubungannya dengan figur mereka.
Mereka menganggap celaan terhadap orang yang sesat ini sebagai celaan terhadap
sang figur. Dan itu adalah salah satu dosa besar ―dalam
agama orang-orang yang terkena fitnah itu― yang
tidak bisa mereka terima.
Karena
itu, kita menemukan bahwa figur baru berusaha menjaga kedudukan pendahulunya di
dalam dan di luar jamaah. Sebab, dia memperoleh figuritasnya yang sedang
berlaku melalui pertaliannya dengan figur lama. Jika figur lama kehilangan
kedudukannya, maka dia sendiri akan kehilangan banyak dari figuritasnya, akibat
pengaruh pertalian di antara keduanya. Bahkan kadang hubungan pertalian itu
menjadi bencana baginya dalam kondisi di mana figur lama dijatuhkan dengan
ditemukannya aib dalam sejarahnya yang sebelumnya tersembunyi dari para
pengikutnya. Dalam kondisi ini pembelaan yang dilakukan oleh yang baru terhadap
yang lama adalah pembelaan terhadap dirinya sendiri.
Sisi
lain dari bahaya yang mereka timbulkan terhadap suatu jamaah atau tanzhim (organisasi)
adalah bahwa dalam banyak kesempatan mereka menerima jabatan-jabatan
kepemimpinan tertinggi di dalamnya, tanpa memiliki kemampuan dan kompetensi
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas dari jabatan-jabatan tersebut.
Mereka pun merusak negeri-negeri dan membinasakan para hamba. Sebagaimana
pengutamaan mereka atas selain mereka dalam perkara-perkara yang
diperselisihkan juga akan menciptakan permusuhan dan kebencian di dalam jamaah,
sehingga menghadapkannya pada perpecahan dan kehancuran.
Di
sisi lain, kerabat dan sahabat sang figur sangat rentan untuk berubah menjadi
pusat gravitasi di dalam jamaah. Orang-orang yang membenci kepemimpinan baru
akan berkumpul di sekitar mereka dan menjadikan mereka sebagai etalase ―meskipun palsu― bagi
orang-orang yang menyempal, agar mereka dapat memanfaatkan figuritas yang
mereka peroleh sebagai sumber kekuatan dalam menghadapi para anggota jamaah
lainnya dan kepemimpinannya, meskipun menyimpang dari jalurnya yang orisinil.
Mereka menjustifikasi klaim mereka ini dengan figur-figur baru yang dalam
tradisi orang-orang yang terkena fitnah merepresentasikan pewaris manhaj
figur lama dan pembela madzhabnya dari kesia-siaan orang-orang yang berbuat
kesia-siaan.
Selain
itu, mereka (kerabat dan sahabat sang figur) juga lebih rentan daripada selain
mereka untuk melawan perintah dan mendeklarasikan pembangkangan jika mereka
dilengserkan dari jabatan-jabatan mereka atau dilepaskan dari mereka sebagian
dari otoritas-otoritas atau keuntungan-keuntungan mereka. Sebab, bisa jadi
mereka merasa bahwa mereka kebal hukuman, dan bahwa ada orang-orang yang akan
marah karena kemarahan mereka dan memberontak karena pemberontakan mereka.
Inilah
yang kita temukan dengan jelas dalam golongan-golongan dan tanzhim-tanzhim,
baik yang sekuler maupun yang menisbatkan diri kepada Islam. Bahkan kita menemukannya
dalam tarekat-tarekat tasawuf, serta dalam kelompok-kelompok dan sekte-sekte
yang sesat dan menyesatkan.
Fakta-fakta
ini mendorong para thoghut, para pemimpin kelompok, serta para ketua golongan
dan tanzhim untuk sering kali berusaha keras mendapatkan ridho kerabat para
figur. Anda melihat mereka mendekati anak-anak dan cucu-cucu para figur untuk
memperoleh dari balik itu legalitas dalam hati dan akal orang-orang yang
terkena fitnah.
Para
penguasa Jaziroh Arab dari Alu Sa’ud (Keluarga Sa’ud) adalah sebaik-baik contoh
bagi kita. Meskipun mereka melemparkan agama ke belakang punggung mereka,
menyimpang dari jalan kakek-kakek mereka yang muwahhid, dan menjadi para
thoghut yang murtad, hanya saja mereka terus berusaha keras untuk mendekatkan
beberapa cucu asy-Syaykh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab ―rohimahulloh― yang
sekarang dikenal dengan Alu asy-Syaykh (Keluarga asy-Syaykh), lalu menyertakan
mereka dalam kemurtadan dan memilih para mufti dan para menteri dari kalangan
mereka. Yang demikian itu agar mereka dapat menipu orang-orang bodoh dan agar
para ulama suu’ dapat memberikan justifikasi bagi mereka bahwa mereka
masih mengikuti manhaj tauhid yang diperbarui oleh asy-Syaykh Muhammad bin
‘Abdul Wahhab dan didukung oleh al-Imam Muhammad bin Sa’ud sendiri beserta
anak-anak dan para pengikutnya. Selama Alu asy-Syaykh masih berada di barisan
Alu Sa’ud, maka ini ―dalam agama orang-orang yang terkena fitnah― adalah bukti bahwa mereka mengikuti manhaj asy-Syaykh
dan mengikuti sirah para pendahulu dari Alu Sa’ud.
Meskipun
sebagian dari cucu-cucu asy-Syaykh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab ―rohimahulloh― masa
kini telah terjatuh ke dalamnya kemurtadan yang nyata, seperti mufti Alu Sa’ud,
‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaykh, dan Menteri Urusan Waqof mereka, Sholih Alu
asy-Syaykh, serta para syaykh yang resmi dan tidak resmi lainnya, dengan
loyalitas mereka kepada para thoghut yang menghukumi dengan selain apa yang
diturunkan oleh Alloh, serta dengan pertolongan mereka kepada kaum salibis dan
murtaddin yang memerangi penganut tauhid dengan perkataan dan doa mereka, namun
banyak orang tidak menerima adanya celaan atau kritikan terhadap mereka, karena
baginya mereka adalah para pengusung panji asy-Syaykh Muhammad bin ‘Abdul
Wahhab dan para penjaga manhajnya.
Demikianlah,
orang-orang yang terkena fitnah itu merubah manhaj asy-Syaykh Muhammad
bin ‘Abdul Wahhab ―yang telah menghabiskan umurnya untuk da’wah kepada
tauhid dan mengikuti as-Sunnah― menjadi tarekat
tasawuf yang diwariskan secara turun-temurun, dan bersamanya diwariskan juga tazkiyah-tazkiyah
yang saat ini diberikan oleh orang-orang yang murtad dari Alu asy-Syaykh
kepada para thoghut dan para pendeta mereka.
Hubungan oportunistik antara para thoghut dari Alu
Sa’ud dan orang-orang murtad yang loyal kepada mereka dari Alu asy-Syaykh
pastilah segera berakhir dalam atmosfer percepatan roda westernisasi dan
sekularisasi di Jaziroh Arab. Tidaklah aneh ketika itu jika akhirnya terjadi
kampanye pendiskreditan yang dilancarkan oleh media Alu Sa’ud terhadap Alu asy-Syaykh, untuk menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan
yang paling keji dan menganggap mereka sebagai kelompok parasit yang mengambil
manfaat dari kedekatannya dengan pemerintah tanpa memberikan manfaat kepada
negaranya. Yang demikian itu untuk menghancurkan figuritas mereka yang telah
dimanfaatkan oleh Alu Sa’ud selama kurun waktu satu abad, sebagai persiapan
untuk menyingkirkan mereka dari etalase, untuk mencegah agar mereka tidak
berubah menjadi pusat gravitasi yang menjadi tempat berkumpulnya siapa saja
yang juga ingin memanfaatkan figuritas itu untuk menyaingi Alu Sa’ud.
Kita juga menemukan bahwa thoghut nasionalis yang telah binasa,
Akhtar Manshur, cepat-cepat meminta baiat dari keluarga amir terdahulu,
al-Mulla ‘Umar, yang telah menunda baiat selama berbulan-bulan dan tidak
memberikannya kecuali setelah diadakannya berbagai negosiasi dan lobi yang
hasilnya adalah penyerahan beberapa jabatan dalam gerakan nasionalis Tholiban
kepada beberapa anggota keluarga ini. Baiat ini menempati posisi sebagai tazkiyah bagi thoghut Akhtar Manshur, yang tanpanya kekuasannya tidak
akan menjadi stabil di tengah pergerakan yang didominasi oleh tradisi-tradisi
kekabilahan dan pemikiran-pemikiran tasawuf Diubandiyah, yang menganut asas
pewarisan kekuasaan oleh syaykh kabilah atau tarekat kepada anaknya yang terbesar
setelahnya. Seandainya Akhtar Manshur berumur panjang, barangkali kita akan
menemukannya berusaha menyingkirkan keluarga al-Mulla ‘Umar dan merampas
keuntungan-keuntungan yang telah mereka ambil sebagai kompensasi baiat mereka
kepadanya, segera setelah dia berhasil mengukuhkan pilar-pilar kekuasaannya
terhadap gerakan nasional Tholiban dan menghilangkan pusat-pusat bahaya yang
mengancam hegemoninya terhadap gerakan ini, setelah terungkap kekuasaannya
terhadap gerakan ini selama beberapa tahun atas nama al-Mulla ‘Umar yang
kematiannya dia sembunyikan bersama beberapa orang yang dekat dengannya.
Sesungguhnya para pengusung tauhid yang benar dan para pengikut
manhaj nabawi yang lurus tidak pernah mendirikan bangunan mereka di atas
individu, seberapa luas pun popularitasnya dan seberapa besar pun keagungannya.
Tetapi mereka mendirikannya di atas pilar yang kuat dari al-Kitab dan
as-Sunnah. Karena itu, mereka tidak merasakan adanya kebutuhan yang tetap untuk
memperkokoh jamaah dengan figur-figur, lalu terus-menerus menciptakan
figur-figur dalam setiap generasi untuk melindungi jamaah mereka, sebagaimana
dilakukan oleh golongan-golongan dan tanzhim-tanzhim
yang menyimpang dan sesat. Berdasarkan
prinsip ini, kita menemukan bahwa kerabat dan sahabat para pemimpin mereka
mendapatkan penghormatan dan penghargaan dari anggota jamaah sesuai dengan
kebaikan dan amal sholih yang mereka persembahkan untuk diri mereka sendiri,
tidak berdasarkan kekerabatan, persahabatan, atau hubungan.
Ayat-ayat yang jelas dan hadits-hadits yang terang menunjukkan
kepada orang-orang yang beriman bahwa manusia tidak bisa mengambil manfaat
sedikit pun dari kekerabatannya dengan pelaku kebaikan dan amal sholih. Barang
siapa yang berjalan di atas jalan orang-orang yang sholih di antara nenek moyangnya,
maka dia adalah bagian dari mereka. Dan barang siapa yang menyimpang dari jalan
mereka dan tersesat, maka Alloh akan menjauhkannya, dan nasab tidak akan bisa
mendekatkannya. Sebagaimana firman Alloh ta’ala:
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ
ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم
مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ
“Dan orang-orang yang beriman dan
diikuti oleh anak cucu mereka dengan keimanan, Kami susulkan kepada mereka anak
cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun dari
(pahala) amal mereka. Setiap orang tergadai dengan apa yang dikerjakannya.” [ath-Thur: 21]
Firman Alloh ta’ala:
وَبَٰرَكۡنَا عَلَيۡهِ
وَعَلَىٰٓ إِسۡحَٰقَۚ وَمِن ذُرِّيَّتِهِمَا مُحۡسِنٞ وَظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ
مُبِينٞ
“Dan Kami limpahkan keberkahan
kepadanya dan kepada Ishaq. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat
baik dan ada yang terang-terangan berbuat zholim terhadap dirinya sendiri.” [ash-Shoffat: 113]
Firman
Alloh ta’ala:
۞وَإِذِ ٱبۡتَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِۧمَ رَبُّهُۥ
بِكَلِمَٰتٖ فَأَتَمَّهُنَّۖ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامٗاۖ قَالَ
وَمِن ذُرِّيَّتِيۖ قَالَ لَا يَنَالُ عَهۡدِي ٱلظَّٰلِمِينَ
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim
diuji oleh Robb-nya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan
sempurna. Dia (Allah) berfirman: ‘Sesungguhnya Aku menjadikanmu sebagai
pemimpin bagi umat manusia.’ Dia (Ibrahim) berkata: ‘Dan (juga) dari anak
cucuku?’ Dia (Allah) berfirman: ‘Janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang yang
zholim.’” [al-Baqoroh: 124]
Firman
Alloh ta’ala:
وَنَادَىٰ نُوحٞ رَّبَّهُۥ
فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ٱبۡنِي مِنۡ أَهۡلِي وَإِنَّ وَعۡدَكَ ٱلۡحَقُّ وَأَنتَ
أَحۡكَمُ ٱلۡحَٰكِمِينَ ٤٥ قَالَ يَٰنُوحُ إِنَّهُۥ لَيۡسَ مِنۡ أَهۡلِكَۖ إِنَّهُۥ
عَمَلٌ غَيۡرُ صَٰلِحٖۖ فَلَا تَسَۡٔلۡنِ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۖ إِنِّيٓ
أَعِظُكَ أَن تَكُونَ مِنَ ٱلۡجَٰهِلِينَ ٤٦
“Dan Nuh memohon kepada Robbnya. Dia
berkata: ‘Ya Robbku! Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya
janji-Mu itu benar. Dan Engkau adalah hakim yang paling adil.’ Dia (Allah)
berfirman: ‘Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu. Sesungguhnya
itu adalah perbuatan yang tidak baik. Maka janganlah engkau memohon kepada-Ku
sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar engkau
tidak termasuk orang-orang yang bodoh.’” [Hud: 45-46]
Dan
sabda Rosul shollallohu ‘alaihi wa sallam:
يَا
أُمَّ الزُّبَيْرِ بْنِ الْعَوَّامِ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ, يَا فَاطِمَةَ
بِنْتَ مُحَمَّدٍ, إشْتَرِيَا أَنْفُسَكُمَا مِنَ اللَّهِ, لَا أَمْلِكُ لَكُمَا
مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
“Wahai Ummu az-Zubair bin al-‘Awwam, bibi
Rosululloh! Wahai Fathimah binti Muhammad! Belilah diri kalian berdua dari
Alloh. Aku tidak memiliki sesuatu pun untuk (melindungi) kalian berdua dari
(azab) Alloh.” [Diriwayatkan oleh al-Bukhori dan
Muslim]
Dan
segala puji bagi Alloh, Robb seluruh alam.
__________________________________
Sumber
artikel : Surat Kabar an-Naba’ edisi 44
Ditarjamah oleh : Tim Penyebar Berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar