5/17/2019

KONSEP IMAMAH BERASAL DARI MILLAH IBRAHIM (lanjutan)

BAGIAN 3
KONSEP IMAMAH BERASAL DARI 
MILLAH IBRAHIM

Di antara symbol dari millah yang agung ini, yang telah mulai memudar dari dalam jiwa‐jiwa kebanyakan orang dan dipandang tidak lebih dari sekedar khayalan, adalah gagasan bahwa Umat Muslim (secara bangsa) harus berusaha untuk bersatu di belakang satu imam (pemimpin), berjuang di bawah panji-panjinya dan mendukungnya untukmenjaga tanah agama ini dan menerapkan syariat Allah Rabb semesta alam.


Hal ini, pada kenyataannya, merupakan hasil dari sekulerisme yang telah meresapi pikiran manusia di zaman kita, memisahkan antara agama dan negara, antara syariat dan pemerintah, dan memperlakukan Alquran tidak lebih dari sekedar buku nyanyian dan bacaan daripada buku pemerintahan, undang‐undang, dan penegakan hukum. Lingkungan seperti ini memiliki efek bagi para da’i, di mana mereka mulai terus‐menerus meyakinkan orang-orang tidak adanya keinginan dari para da’I yang tulus akan kekuasan dan legalitas. Dan Seolah salah satu dari mereka telah rela bagi diri mereka perlakuan menjadi dai yang terkurung dalam penjara thaghut, selama salah satu dari mereka mengkafirkan taghut dan mengkafirkan mereka yang berperang di jalannya. Dia lebih memilih peran ini daripada hidup bebas di bawah naungan seorang imam Muslim, menyeru orang lain kepadanya, dan membantu untuk memperkuat posisinya. Du'at ini tidak bisa memahami gagasan bahwa Islam bisa memiliki negara dan seorang imam, mereka juga tidak bisa mulai memahami apa harga yang harus kita bayar untuk mencapai hal ini. Seolah‐olah mereka tidak pernah belajar sejarah Islam dan belajar bahwa usaha ini akan membutuhkan kita dalam hal darah. Seolah mereka tidak menyadari bahwa yang telah mencurahkan darahnya demi alasan ini adalah sebuah kaum yang bersaksi akan laa ilaha illallah. Akan tetapi, mereka tidak lain adalah bughot (pemberontak) yang halal untuk diperangi, lantaran mereka menolak untuk memberikan bai’at ke imam ini atau itu.

Bahkan seandainya imam itu – setelah dia ditunjuk – membiarkan mereka di atas pemberontakan dan pemisahan mereka, maka imam itu telah berdosa dan tidak dianggap berbuat baik kepada rakyatnya kaum muslimin. Allah Ta’ala telah mengaruniakan kepada kekasih‐Nya, Ibrahim (Alaihissalam) imamah. Allah berfirman; “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna.

Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin (imam) bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji‐Ku tidak berlaku bagi orang‐orang zalim.” (al‐Baqarah: 124).

Allah menjadikan balasan atas sikap Ibrahim yang telah menyempurnakan kalimat‐Nya yang diujikan kepadanya, Dia mengaruniakan kepadanya kedudukan imamah, memuliakannya Dan imamah ini, yang tersebut dalam ayat di atas, tidaklah bermaksud hanya imamah dalam agama saja. Sebagaimana nanti akan dijelaskan oleh banyak ahli tafsir. Namun imamah di sini juga mencakup imamah dalam politik, yang kebanyakan ahli agama menjauhinya, membencinya karena akan membuat hati terpaut atasnya, dan juga membenci jalan untuk meraihnya. Orang‐orang hari ini tidak memahami, bahwa imamah yang hakiki di dalam agama, tidak akan diraih kecuali jika para pengemban kebanaran itu berhasil meraih imamah di dalam politik secara total, atas Negara dan warga.

Adapun jika ada seorang individu dari umat ini berusaha untuk menikmati sedikit kebebasan dalam dakwah dan khotbah di bawah pemerintahan thaghut, atau mencari perlindungan dari mereka untuk tujuan menyampaikan dakwahnya, maka dia hanya melompat keluar dari penggorengan menuju ke dalam api. Juga seperti orang yang haus dan melihat fatamorgana yang dia kira air, namun ketika dia akan mengambilnya dengan tangan, dia tidak mendapati apa‐apa.

Adapun yang mendorong kita untuk berpendapat bahwa lafazh imamah yang dikaruniakan kepada nabi Ibrahim dalam ayat di atas adalah mencakup dua makna, karena tidak diragukan bahwa istilah bahasa dan syariat telah membawa makna keduanya. Dan mengambil banyak makna dalam satu kata selama tidak terdapat kontradiksi didalamnya merupakan madzhab paling selamat dalam hal seperti ini, tidak
diragukan lagi.


BAGIAN 4
PERINTAH ALLAH KEPADA IBRAHIM

Ayat yang mulia di atas (QS. Al‐Baqarah [2]: 124) ‐ pent, telah menjelaskan, tentang bentuk ‘penyempunaan kalimat’ yang merupakan sebab langsung nabi Ibrahim Alaihissalam meraih posisi imamah, sehingga sangatlah baik jika kalimat yang sama ini, menjadi sebab bagi keturunannya untuk meraih posisi mulia ini.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Firman Allah Ta’ala ((Dengan kalimat‐kalimat)) maknanya adalah dengan syariat‐syariat, perintah‐perintah dan larangan‐larangan, maka kata ‘kalimat’ jika digunakan terkadang maknanya adalah takdir, seperti firman Allah kepada Maryam alaihassalam, ((dan dia membenarkan kalimat‐kalimat Tuhannya dan kitab‐kitab‐Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat.)) (QS. At‐Tahrim: 12), Dan terkadang juga bermakna syariat, seperti firman Allah Ta’ala: ((Dan telah sempurna kalimat‐kalimat Tuhanmu dengan benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah kalimat ‐Nya”)) (QS. Al‐An’am: 115) yakni syari’at‐Nya, baik itu berupa kabar yang benar, atau tuntutan keadilan jika dia berupa perintah atau larangan.

Dan termasuk dalam hal ini adalah ayat mulia ini ((Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia  melaksanakannya dengan sempurna.)) maksudnya mengerjakannya. Allah berfirman ((“Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.”)) yakni sebagai balasan atas apa yang telah beliau lakukan. Sebagaimana beliau telah melaksanakan perintah‐perintah dan menjauhi larangan-larangan‐Nya, sehingga Allah menjadikan beliau sebagai teladan dan imam yang diteladani dan diikuti jejak langkahnya” (At‐Tafsir 1:405).

Dan di antara tafsiran kata ‘kalimat’ apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu; “kalimat yang dengannya Allah menguji Ibrahim lalu beliau menyempurnakannya adalah berpisah dengan kaumnya – di jalan Allah – ketika dia diperintah untuk meninggalkan mereka, dan perdebatannya dengan Namrudz – karena Allah – lantaran sikapnya kepadanya yang melawan yang dia membantahnya, kemudian kesabarannya ketika beliau dilemparkan ke dalam api – karena Allah –atas kemarahan mereka, dan hijrahnya dari negeri‐nya setelah itu – karena Allah – ketika beliau diperintahkan untuk keluar meninggalkan mereka” (Tafsir Ibnu Katsir 1:)


BAGIAN 5
DAULAH ISLAMIAH
IMAMAH SESUNGGUHNYA

Dari pembahasan sebelumnya, kita ketahui bahwa Daulah Islamiah di Irak dan Syam merupakan yang paling layak –dengan pertolongan Allah‐ untuk mendapatkan kedudukan imamah secara penuh di tempat mereka berada. Yang demikian karena Daulah telah melaksanakan perintah Allah –semampu yang dia lakukan‐ dengan sebaik‐baiknya. Mereka menjalankan agama di tempat mereka berkuasa dan terus berusaha sekuat mungkin. Itu semua setelah Allah mengaruniakan kepada pemimpinnya dengan jihad dan hijrah di jalan‐Nya, di samping atas kemulian nasabnya yang menonjol dan ketajaman akal, serta kedudukan yang tinggi dalam ilmu dan agama.

Maka tidak ada seorang pun, siapa pun dia, yang berhak untuk merobohkan bangunan ini, yang telah bertahun‐tahun dibangun dan ditinggikan oleh orang‐orang jujur dari umat ini. Dan janganlah bermimpi seorang pun, walau dia memiliki keutamaan dan jasa, untuk menjinakkan seorang tentara yang ikhlas, dari tentara‐tentara Daulah Islamiah, untuk mundur dari misinya, demi beralih ke misi lainnya yang penuh syubhat, atau yang lainnya. Bahkan amirul mukminin sendiri tidak berhak hari ini, untuk memerintahkan pembubaran Daulah Islamiah dan mengembalikan keadaan seperti sebelumnya, (namun yang bisa dilakukan olehnya – menurut salah satu pendapat ulama – ia boleh mengundurkan dirinya sendiri, sehingga ketika itu Ahlul Halli wal Aqdi di Daulah Islamiah akan menunjuk imam yang baru, dan Daulah Islamiah tetap eksis.)

Allah telah berfirman setelah mengaruniakan kepada Ibrahim Alaihissalam dengan imamah; 
Dan barangsiapa yang membenci agama Ibrahim, dia hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Dan sungguh, Kami telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini. Dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang‐orang yang saleh” 
(QS. Al‐Baqarah: 130).

Maka kita ketahui dari bentuk ayat di atas bahwa Imamah merupakan bagian dari Millah Ibrahim, dan orang yang membencinya berarti telah membenci bagian dari millah agung ini. Dan millah adalah jalan yang mesti diikuti secara mutlak, jalan yang telah dipilih oleh Allah bagi Ibrahim dan keturunannya, dan orang‐orang yang setelahnya, dia adalah jalan imamah dengan dua jenisnya bagi siapa yang mampu ke arah sana.

Maka bagi siapa saja dari kalangan ulama yang menyeru atau menulis tentang wajibnya mengikuti Millah Ibrahim, hendaknya tidak membenci imamah pada Daulah Islam hari ini, dan tidak berusaha menghancurkannya atau merusaknya. Dan hendaknya mereka memahami bahwa Daulah Islam hari ini – dengan apa yang telah Allah karuniakan kepadanya, berupa penaklukan, tamkin dan menegakkan dien –terhitung sebagai imamah sebenarnya di Irak dan Syam, dan orang yang keluar darinya Dan dia akan tetap bersikap seperti ini dengan izin Allah, walau harus menghadapi berbagai ujian yang berat dalam menjalaninya, hingga memecah satu sama lain.

Dari Abdurrahman bin Abdu Rabb al‐Ka’bah berkata; “Aku memasuki Masjid Al‐Haram, dan ternyata Abdullah bin Amr bin Ash sedang duduk di bawah naungan Ka’bah dan orang‐orang berkumpul di sekitarnya, lalu aku mendatangi mereka dan duduk di sisinya, lalu dia berkata; ‘Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dalam sebuah perjalanan, lalu kami singgah di suatu tempat. Lalu di antara kami ada yang memperbaiki tenda, ada yang berlatih memanah dan ada yang mengurus binatang tunggangan, lalu penyeru Rasulullah mengumandangkan seruan untuk shalat berjamaah, kami pun segera berkumpul kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berliau bersabda; ‘Sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun sebelumku kecuali dia benar‐benar telah menunjukkan kepada kaumnya atas kebaikan yang dia ketahui, dan memperingatkan mereka dari keburukan yang dia ketahui. Sedangkan umat kalian ini dijadikan keselamatannya pada pendahulunya, sedangkan orang‐orang sesudahnya akan ditimpa bala’ (ujian) dan perkara yang tidak mereka sukai, maka muncullah fitnah sehingga mereka menghina satu sama lain, lalu muncullah fitnah (ujian) sehingga seorang mukmin akan mengatakan ini adalah kebinasaanku, kemudian fitnah itu tersingkap, lalu datanglah fitnah lainnya dan seorang mukmin mengatakan inilah inilah (yang akan membinasakanku).

Maka siapa yang suka untuk dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke surga maka hendaknya dia didatangi kematian dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaknya dia mendatangi orang‐orang yang suka untuk didatangi olehnya, dan siapa yang membai’at seorang imam dan dia memberikan sepenuh tangannya dan sepenuh hatinya maka hendaknya dia menaatinya sesuai kemampuannya, jika datang seseorang yang ingin mencabutnya maka tebaslah leher orang lain tersebut” (HR.Muslim)

Dan dahulu hadits ini terdengar sangat keras di kalangan salaf, terutama yang berkaitan dengan masalah imamah, dan tentang penjelasan hukum atas siapa yang keluar dari imam‐imam kaum muslimin.

Perawi hadits mengatakan; “Lalu aku mendekatinya dan berkata, Aku bertanya kepadamu dengan nama Allah, apakah engkau mendengar ini dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?” Lalu beliau menunjuk dua telinganya dan dadanya sambil berkata; “Aku mendengarnya dengan kedua telingaku dan aku menyimpannya di dalam hatiku”. Aku berkata; “Ini anak pamanmu, padahal Allah berfirman ((Wahai orang‐orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara batil, kecuali karena perdagangan yang kalian lakukan dengan dasar keridhoan, dan janganlah kalian membunuh diri kalin sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian)). Dia berkata; ‘lalu dia diam sejenak, kemudian berkata; ‘Taatilah dia dalam ketaatan kepada Allah, dan jangan kalian taati dia dalam maksiat kepada Allah” (HR. Muslim).

Maka sesungguhnya kami akan selalu menaati imam selama dia memerintahkan kami dalam ketaatan Ar‐Rahman, dan jika dia memerintahkan kami dalam kemaksiatan maka kami tidak akan menaatinya. Sungguh akan kami penggal leher orang yang berusaha mencabutnya dari imamah, siapa pun dia, dan sungguh kami akan bersabar atas setiap fitnah dalam hal ini semua, karena pertolongan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Memberi. Maka biarkanlah kami menyukai urusan kami, karena kami akan selalu setia atas bai’at kami, tanpa tawar menawar.

Ya Allah curahkanlah shalawat atas Nabi Muhammad yang memberi kabar gembira dan peringatan, juga atas keluarga dan shahabatnya semua.

source: Artikel Majalah DABIQ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...