B U
R U K N Y A
Perpecahan Dan Taqlid
Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan
al-Qur'an dan as-Sunnah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wasallam
sehingga umat manusia dapat mempelajari dan mempraktekkannya. Inilah agama
Islam yang telah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada
sahabatnya, yang kemudian mereka menyampaikannya kepada generasi setelahnya.
Islam telah dijaga di dalam al-Qur'an dan Sunnah, dan Sunnah dijaga di dalam
kitab-kitab hadits. Jika seorang Muslim dengan pemahaman bahasa Arab mengambil
Qur'an, atau Sahih al-Bukhari, atau Sahih Muslim, maka ia tidak membutuhkan
ensiklopedi pengetahuan lagi untuk dapat memahami dan mempraktikkan agamanya
secara keseluruhan, untuk mempelajari dasar-dasarnya semua telah difasilitasi
oleh Allah. Dia membuat Tauhid dan Iman dari hal-hal sederhana yang mana orang
awam pun bisa mengerti. Tidak berbeda pada kebanyakan masalah hukum yang pasti
dari Islam, termasuk kewajiban untuk bersatu dalam satu tubuh, menunjuk seorang
pemimpin tunggal, dan mendengar dan mematuhinya, sebagai bukti dalam syari'at
dan bukti dalam penciptaan begitu banyak seseorang lewat fitrahnya saja, bahkan
walau seandainya dia cukup bodoh, tidak akan mampu untuk mengabaikan kewajiban
ini.
{Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah bersama-sama
dan janganlah bercerai-berai} [Ali Imran: 103]. Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda; “Barangsiapa mati dan tidak ada ikatan bai‘at di atas
lehernya maka dia mati dalam keadaan jahiliah” [diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Umar].
Petunjuk-petunjuk baik yang tersurat maupun yang tersirat tentang hal ushul ini
sangat banyak, siapapun yang berusaha mencarinya pasti akan menemukannya dengan
mudah.[1]
[1]
lihat sebagai contoh “Kitab al-Ahkam” milik Imam al-Bukhari dan “Kitab al-Imarah”
milik Imam Muslim
Namun umat Islam hari ini tidak dianjurkan oleh
apa yang disebut "Salafi" atau bahkan oleh pengklaim "Salafi
Jihadi" untuk mendekati al-Qur'an dan Sunnah, membatasi mereka demi
keinginan "ulama" kontemporer dari mereka yang mendukung para thahgut
atau mereka yang kembali duduk di antara istri-istri mereka dalam nanungan
thaghut. Bisakah wasilah sesat dari sebuah kondisi seperti ini untuk memahami
agama? Apakah itu pernah menjadi sebuah prasyarat untuk jama'ah?
Ketahuilah bahwa tidak diragukan lagi ini merupakan
salah satu sifat orang-orang sesat yang ingin tetap tercerai berai tanpa
seorang imam tunggal. Karena sebab inilah, Ahlus- Sunnah disebut Ahlus Sunnah
Wal Jama'ah, yang berarti mereka mengikuti Sunnah dan patuh untuk membentuk
persatuan kaum muslimin yang diwujudkan dalam Khilafah, dan Imam ini yang akan
menjauhkan aliran-aliran yang menyimpang dan pihak-pihak yang memberontak.
Adapun "Ahlus-Sunnah" kontemporer maka mereka telah mengganti konsep
jama'ah dengan interpretasi menyimpang dari syura yang jauh lebih mirip dengan
kotak suara demokrasi daripada syura Khulafa' ar-Rasyidin radhiallahu anhum.
Imam Muhammad Ibn 'Abdil Wahhab rahimahullah
berkata, "ini adalah perkara-perkara di mana ahlul Kitab dan orang-orang
ummi dari kaum Jahiliyyah menentang Rasulullah. Seorang Muslim tidak bisa untuk
tidak mengetahui hal ini, dan dengan mengetahui lawan sesuatu maka kebaikan
akan menjadi jelas, dan dengan mengetahui lawannya maka perkara itu akan jelas
... hal yang kedua dari hal ini [setelah syirik akbar] adalah bahwa mereka
memecah belah agama mereka, seperti yang difirmankan oleh Allah {Kemudian mereka terpecah belah
dalam urusan (agama) mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa)
bangga dengan apa yang ada pada mereka}
[Al-Mu‘minun: 53].
Mereka juga memecah belah dunia mereka dan mereka merasa hal itu benar.
Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam datang dengan kesatuan dien dengan
pernyataan Allah; {Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa,
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu
berpecah-belah di dalamnya} [Asy-Syura: 13]
Allah juga
berfirman: {Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan
mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung
jawabmu (Muhammad) atas mereka} [Al-An‟am: 159].
Dia juga telah melarang kita untuk berlaku
seperti mereka dengan pernyataan dari Allah {Dan janganlah kamu menjadi
seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada
mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab
yang berat} [Ali Imran: 105]. Dia juga melarang kita dari memecah belah
dunia dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: {Dan berpegang teguhlahlah kamu
semuanya pada tali (dien) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai}
[Ali Imran: 103]. Yang ketiga dari hal ini adalah mereka menganggap bahwa tidak
mematuhi waliyul-amr dan menolak untuk tunduk kepadanya merupakan kebajikan.
Mendengar dan menaati mereka dianggap penghinaan dan aib. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menentang mereka dan memerintahkan para
sahabatnya untuk bersabar atas kedzaliman para pemimpin tersebut[2].
Dia memerintahkan mereka untuk mendengar dan menaati mereka dan memberi mereka
nasihat yang tulus. Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam menekankan hal ini,
menjelaskannya dan mengulanginya. Ketiga hal ini terkumpul dalam hadis yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim; ―Sesungguhnya Allah ridha kepada
kalian akan tiga hal, kalian beribadah kepada Allah semata dan tidak
menyekutukan Dia dengan sesuatu apapun, berpegang erat dengan tali (dien) Allah
dan tidak berpecah belah, dan memberikan nasihat yang tulus kepada siapa yang
Allah berikan otoritas diri kalian kepada mereka (waliyul-amr)”. Tidak ada
kerusakan pada dien dan dunia manusia kecuali dengan rusaknya tiga hal ini atau
sebagiannya. [Masā‘il al-Jāhiliyyah].
[2] Maksudnya adalah penguasa
muslim yang memerintah dengan syariat namun melaku-kan ketidakadilan, bukan
penguasa yang murtad secara legislatif dan eksekutif, yang berhukum dengan
hukum buatan manusia, atau penguasa yang berwala` kepada salibis dalam
memerangi umat Islam.
Dia rahimahullah juga mengatakan, "Dari hal yang paling
menakjubkan dan tanda-tanda terbesar yang menunjukkan kekuasaan Allah Ta‘ala
adalah enam prinsip yang telah Allah jadikan sangat jelas lebih daripada apa
yang orang-orang ragu fikirkan. Akan tetapi, banyak orang 'pintar' di dunia ini
dan orang-orang 'bijak' keliru tentang prinsip-prinsip ini, kecuali sangat
sedikit. ... Prinsip kedua [setelah kewajiban tauhid dan larangan syirik]
adalah bahwa Allah memerintahkan untuk bersatu dan melarang untuk bercerai berai
di dalam agama. Allah menjelaskan hal ini dengan bukti yang sangat jelas yang
dapat dimengerti bahkan oleh orang awam. Dia melarang kita untuk menjadi
seperti orang-orang yang telah terpecah belah sebelum kita sehingga dengan
demikian mereka binasa. Dia juga menyebutkan bahwa Allah telah memerintahkan
Rasul untuk bersatu di dalam dien dan melarang mereka berpecah belah di
dalamnya. Apa yang membuat ini lebih jelas adalah apa yang datang di dalam
Sunnah dari ajaran yang sangat menakjubkan dalam hal ini. Hal ini kemudian
berubah hingga perpecahan di dalam ushul dan cabang agama menjadi 'pengetahuan'
dan 'fiqh agama'! Dan kemudian tidak ada yang menyebut-nyebut kewajiban untuk
persatuan di dalam dien kecuali dianggap orang 'zindiq' atau 'orang gila'! Prinsip
ketiga adalah bahwa sempurnanya persatuan adalah dengan mendengar dan menaati
siapa yang telah diberikan otoritas kita atasnya (waliyul-amr) bahkan walau dia
seorang budak Habasyah. Allah telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang
luas dan cukup melalui berbagai macam penjelasan syar'i dan qadarī. Namun ini
kemudian menjadi dasar yang tidak diketahui oleh sebagian besar pengklaim ilmu.
Apa lagi beramal dengan hal ini!"[Sittatu Ushul ‗Adzimah Mufidah].
Dan meskipun Jama'ah merupakan salah satu
kewajiban yang paling jelas bahkan sesuai dengan fitrah dari banyak hewan yang
cenderung untuk itu, mereka yang mengklaim Islam modern berpendapat bahwa lebih
baik bagi umat untuk memiliki keberagaman dalam agama dan politik! Mereka lebih
memilih bahwa Ahlus-Sunnah mentolerir berbagai sekte bid'ah dan bahkan murtad
yang diklaim bagian dari umat Islam. Mereka juga berharap bahwa Ahlus-Sunnah
akan mengizinkan keberadaan kesesatan, yang memerangi, dan partai politik egois
dan faksi-faksi militan di negeri-negeri Muslim yang telah dibebaskan! Mereka
membuat taqlid (mengikuti secara buta) atas para pengikut mereka,
"ulama" jahat merupakan salah satu aspek penting dari
"agama." Dan melalui ini, mereka menyebarkan "kebajikan"
perpecahan dan mencela "jahatnya" Jama'ah dalam seruan mereka yang
dihidupkan kembali melawan bangkitnya persatuan Islam, Khilafah. Betapa jahat
kelompok-kelompok sesat ini dan para "ulama" buruk!
Oleh karena itu ketahuilah - semoga Allah
merahmatimu - bahwa dasar utama bagi agama-agama jahiliyyah adalah taqlid.
Setelah Imam Muhammad Ibn 'Abdil Wahhab rahimahullah menyebutkan tiga aspek pertama agama mereka
(syirik, perpecahan agama, dan keberagaman politik), ia mengatakan,
"Masalah keempat adalah bahwa agama mereka didasarkan pada prinsip-prinsip,
yang terbesar adalah taqlid. Ini adalah kaedah terbesar untuk semua orang-orang
kafir, baik yang pertama dari mereka hingga yang terakhir, sebagaimana yang
Allah firmankan {“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi
peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup
mewah (di negeri itu) selalu berkata, ―Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang
kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak
mereka."} [Az-Zukhruf: 23]. Dia juga berfirman; {Dan apabila
dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah” Mereka menjawab, “(Tidak),
tetapi kami (hanya) mengikuti kebiasaan yang kami dapati dari nenek moyang kami”.
“Apakah mereka (akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun sebenarnya setan
menyeru mereka ke dalam azab api yang menyala-nyala (neraka)?”}
[Luqman: 21]. Maka dia shallallahu alaihi
wasallam datang kepada mereka dengan
firman Allah, {Katakanlah, “Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal
saja, yaitu agar kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau
sendiri-sendiri; kemudian agar kamu pikirkan (tentang Muhammad). Kawanmu itu
tidak gila sedikit pun. Dia tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan bagi
kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”} [Saba‘: 46] dan juga dengan firman Allah
Ta‘ala {Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran}
[Al-A‘raf: 3]. [Masa`il al- Jahiliyah].
Kemudian dia mulai menjelaskan lebih rinci
tentang beragam jenis taqlid yang dikerjakan oleh orang-orang jahiliyah, dia
mengatakan; ―Di antara kaedah terbesar mereka adalah mereka tertipu dengan
jumlah kebanyakan, menjadikannya hujjah bahwa sesuatu itu di atas kebenaran, dan
menjadikannya sebagai dalil atas batilnya sesuatu dengan asingnya dan
sedikitnya orang yang mengerjakannya, maka Dia datang dengan sesuatu yang
bertentangan dengan hal ini dan menjelas-kannya bukan hanya pada satu tempat di
dalam Al-Quran[3]. Mereka juga menjadikan orang-orang terdahulu
sebagai hujjah, seperti yang Allah jelaskan tentang perkataan mereka {(Fir‗aun)
berkata, “Jadi bagaimana keadaan umat-umat yang dahulu?”} [Thaha: 51] dan firman Allah {Belum pernah
kami mendengar (seruan yang seperti) ini pada (masa) nenek moyang kami yang
dahulu} [Al-Mu`minun: 24].
[3] Misalnya firman Allah Ta’ala:
{Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, dan orang
yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpul-kan (pula) di hadapan
mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga akan beriman,
kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengeta-hui (arti
kebenaran). [Al-An’am: 111]
Mereka juga mengambil dalil dengan suatu kaum
yang menilai sebuah kekuatan pada pengetahuan dan pekerjaan, pada keuasaan,
harta dan pangkat, maka Allah membantah hal itu dengan firmannya; {Dan sungguh,
Kami telah meneguhkan kedudukan mereka (dengan kemakmuran dan kekuatan) yang
belum pernah Kami berikan kepada kamu dan Kami telah memberikan kepada mereka
pendengaran, penglihatan, dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati
mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu)
mengingkari ayat-ayat Allah, dan (ancaman) azab yang dahulu mereka perolok-olokkan
telah mengepung mereka} [Al-Ahqaf: 26].
Mereka juga mengklaim atas kebatilan sesuatu
apabila ia tidak diikuti kecuali oleh orang-orang lemah {Mereka berkata, “Apakah
kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?”} [Asy-Syu‘ara`: 111] {“Orang-orang semacam
inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?”} [Al-An‘am: 53] maka Allah menjawab itu
dengan firmannya: {―Bukankah Allah lebih mengetahui siapa yang bersyukur?}
[Al-An‘am: 53]. Mereka mengambil teladan dengan mengikuti ulama dan ahli ibadah
fasiq {Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya banyak dari orang-orang
alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang
batil, dan (mereka) menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah} [At-Taubah:
34] dan juga dalam firman Allah; {“Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara
tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang
yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka
sendiri tersesat dari jalan yang lurus.”}
[Al-Maidah: 75], mereka juga menjadikan dalil batilnya dien dengan sedikitnya
jumlah pengi-kut dan lemahnya kecerdasan mereka, seperti kata mereka {“Berpikiran
rendah”} [Hud: 27] mereka juga menjadikan dalil dari
qiyas yang salah, seperti pernyataan mereka {“Engkau tidak lain hanyalah
manusia biasa seperti kami”} [Ibrahim:
10], dan mereka juga menolak qiyas yang shahih[4], dan yang
menyatukan hal ini dengan sebelumnya adalah tidak adanya kefahaman antara
sesuatu yang menyamakan dan yang membedakan. Mereka juga bersikap ghuluw dalam
mencintai dan meniru ulama dan orang-orang shalih, seperti yang dijelaskan oleh
firman Allah: {Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu,
dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar} [An-Nisa`:
171]. Semua hal yang telah disebutkan di atas dibangun di atas kaedah yaitu
an-nafyu (peniadaan) dan itsbat (penetapan), sehingga mereka mengikuti hawa
nafsu, persangkaan dan berpaling dari apa yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam. [point ke 5-14 dari Masa`il Al-Jahiliyyah].
[4] Mereka banyak menolak
bukti-bukti logis uluhiyah dan kebangkitan, misalnya: {Dan dari langit Kami
turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu
pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen, dan pohon-pohon
kurma yang tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, (sebagai) rezeki
bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan (air) itu negeri yang mati
(tandus). Seperti itulah terjad-inya kebangkitan (dari kubur)} [Qaf: 9-11]
Ketahuilah juga bahwa taqlidnya orang-orang
jahiliah bukanlah kepada ulama-ulama shalih atau kepada ahli ibadah yang
berilmu, tapi seperti yang dijelaskan oleh Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab: Para
pemimpin agama mereka adalah ulama su‘ (buruk) dan ahli ibadah yang bodoh,
sebagaimana yang Allah jelaskan di dalam ayat-Nya {sedangkan segolongan dari
mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubah taurat setelah memahaminya,
padahal mereka mengetahuinya} [Al-Baqarah: 75] hingga fir-man Allah {Dan di
antara mereka ada yang buta huruf, tidak memahami Kitab (Taurat), kecuali hanya
berangan-angan dan mereka hanya menduga-duga.} [Al-Baqarah: 78]‖ [Masa`il al-Jahiliyyah].
Beliau rahimahullah juga menjelaskan kondisi
ini dengan mengatakan; ―Kaedah yang keempat adalah penjelasan tentang ilmu dan
ulama, fiqih dan fuqaha, dan siapakah yang merasa dirinya termasuk golongan ini
padahal bukan bagian dari mereka. Allah telah menjelaskan kaedah ini di dalam
surat Al-Baqarah ketika menjelaskan tentang Bani Israel [Al-Baqarah: 40-121].
Dan hal ini men-jadi lebih jelas dengan apa yang telah diterangkan oleh
as-sunnah dalam membicarakan hal ini dengan penjelasan yang gamblang dan terang
bahkan bagi seorang yang awam dan bodoh. Kemudian hal ini menjadi hal yang
mengherankan dan asing, sehinggu ‘ilmu’ dan ‘fiqh’ menjadi bid‘ah dan sesat,
dan amal terbaik yang mereka lakukan adalah mencampur yang haq dengan yang
bathil, sehingga ilmu yang telah Allah wajibkan atas hamba-Nya dan telah
memujinya tidak lagi diucap-kan kecuali oleh orang yang dianggap ‘zindik’ atau ‘gila’,
dan orang yang mengingkari mereka, memusuhi dan membuat tulisan untuk
memperingat-kan dari mereka, mencegah dari mereka, kecuali dia dianggap ‘aqih’
dan ‘alim’. Kaedah yang kelima adalah bahwasanya Allah menjelaskan tentang
wali-wali-Nya dan membedakan antara mereka dan antara orang-orang yang
menyerupai dari kalangan musuh-musuh-Nya kaum munafiq dan pen-dosa. Dan cukup
dalam hal ini sebuah ayat di dalam surat Ali Imran, yaitu firman Allah Ta‘ala;
{Katakanlah (Muhammad) ―Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mencintaimu} [Ali Imran: 31] dan satu ayat di dalam surat Al-Maidah: {Wahai
orang-orang yang beriman! Barang-siapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang
yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad
di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.}
[Al-Maidah: 54] dan sebuah ayat di dalam surat Yunus {Ingatlah wali-wali Allah
itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa} [Yunus: 62-63] kemudian hal
ini kebanyakan orang yang mengklaim dirinya sebagai orang yang berilmu, mendapat
petunjuk dan penjaga syariat bahwa para wali haruslah orang yang meninggalkan
sikap ittiba‘ (mengikuti) rasul, siapa yang mengikuti rasul berarti bukan wali,
dia harus orang yang meninggalkan jihad, maka siapa yang berjihad maka berarti
bukan termasuk wali, dia harus meninggalkan iman dan taqwa, maka siapa yang
memiliki sikap iman dan taqwa maka bukan termasuk wali. Wahai Rabb kami, kami
mengharap padamu maaf dan keselamatan, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do‘a.
[Sittatu Ushul ‘Azhimah Mufidah].
Begitu juga halnya para pengklaim Is-lam saat
ini meminta kaum Muslimin untuk mengikuti secara buta para ulama suu‘ dan ahli
ibadah bodoh dan menolak kewajiban berjama‘ah jika tidak maka dia adalah “khawarij”! mereka meminta kaum Muslimin untuk
mengikuti ‘ulama’ ini yang telah meninggalkan jihad di zaman di mana jihad
adalah fardhu ‘ain. Mereka meminta kaum muslimin untuk mengikuti para ‘ulama’
yang diam dengan kejahatan pemerintah yang mereka adalah thaghut dan bukan
sekedar tirani. Mereka bahkan meminta kaum muslimin untuk mengikuti para ‘ulama’
ini yang menyeru kepada kesesatan dan kemunafikan dan yang berdiri di sisi para
salibis dan kaum murtad memer-angi kaum muslimin! Bukankah ini menjadi
kewajiban untuk membenci para ‘ulama’ ini di jalan Allah dan memboikot mereka
hingga mereka bertaubat?
Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, "hijrah yang komperhensif (paripurna) adalah dengan hijrah dari
perbuatan dosa dan dari para pelaku dosa, serta dari para penyeru bid'ah,
orang-orang fasiq, orang-orang yang bersosialisasi dengan orang-orang ini atau
membantu mereka dalam dosa mereka, dan orang-orang yang meninggalkan jihad, perbuatan
yang tidak memiliki manfaat bagi umat, maka dia harus dihukum dengan diboikot
karena ia tidak membantu umat Islam dalam kesalehan dan kebenaran. Karena itu
pezina, pelaku sodomi, orang yang meninggalkan jihad, para pelaku bid'ah, dan
pemabuk, orang-orang ini dan berbaur dengan mereka adalah berbahaya bagi agama
Islam. Mereka tidak memberikan mashlahat pada kebenaran atau pada kesalehan.
Siapa pun yang tidak memboikot mereka maka telah meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan dan telah melakukan perbuatan yang layak dikecam" [Majmu
'al-Fatawa].
Ya, mereka yang meninggalkan jihad mereka
mirip dengan pezina, para pelaku sodomi dan pemabuk. Namun demikian pengklaim
Islam meminta para mujahid untuk taqlid buta mengikuti ‘ulama’ jahat ini,
mereka yang lebih memilih duduk di bawah naungan para thaghut dan salibis
daripada melakukan jihad melawan orang-orang kafir. Adapun para ‘ulama’ yang
hanya diam terhadap para thaghut, maka mereka lebih buruk dari orang-orang yang
melakukan dosa bahkan dosa besar.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata; “Siapa
yang memiliki khibrah (latar belakang) dengan apa yang telah Allah utus
dengannya Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam dan dengan apa yang diamalkan
olehnya dan juga para shahabatnya, maka dia akan melihat bahwa sebagian besar
dari mereka yang terkenal religiusitasnya sebenarnya adalah manusia yang paling
sedikit agamanya, wallahul-Musta‘an, agama apakah dan kebaikan apakah atas
orang yang melihat larangan-larangan Allah dilanggar, batas-batas-Nya dirusak,
dien-Nya ditinggalkan dan sunnah Rasul-Nya dibenci sedangkan hatinya tetap
merasa tenang dan lisannya diam? Dia adalah setan bisu, sebagaimana orang yang
berbicara kebatilan adalah setan yang bicara, adakah bencana dien kecuali
karena orang-orang yang apabila selamat lumbung makanan mereka dan jabatan
mereka maka mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan dien? Yang lebih
mending dari mereka adalah yang berusaha bersedih dan membuka mulutnya. Jika
mereka diganggu pada sebagian hal yang membuat mereka marah, pada jabatannya
atau hartanya maka dia akan berusaha dan berusaha, berjuang dan mengerahkan
semua tiga tingkat pengingkaran yang bisa untuk dia lakukan. Orang-orang ini,
selain telah jatuh di dalam pandangan Allah, murka Allah juga atas mereka.
Mereka telah tertimpa musibah di dunia dengan musibah yang terbesar sedangkan
mereka tidak menyadari, yaitu matinya hati, sesungguhnya itu adalah hati, di
mana jika kehidupan hati itu semakin baik maka semakin kuat juga murkanya
karena Allah dan Rasul-Nya serta semakin sempurna pembelaannya terhadap dien.” [I’lam al- Muwaqqi‘īn].
Dia rahimahullah juga berkata, "Agama
bukanlah hanya meninggalkan dosa yang zhahir saja, akan tetapi, dia harus
melakukan perintah yang dicintai oleh Allah. Kebanyakan dari mereka yang mengaku
sebagai orang paling religius tidak melakukan itu semua kecuali apa yang orang
awam memiliki kesamaan dengan mereka. Adapun jihad, memerintahkan kebaikan,
melarang kejahatan, memberi nasihat dengan tulus karena Allah dan Rasul-Nya, sungguh-sungguh
menasihati hamba-Nya, dan menolong Allah, Rasul-Nya, agama-Nya, dan kitab-Nya,
maka perbuatan tersebut tidak terlintas dalam pikiran mereka, apa lagi terfikir
untuk melakukannya, apalagi benar-benar melakukan itu dengan sebaik-baiknya.
Orang yang paling sedikit diennya dan paling dibenci oleh Allah adalah mereka
yang meninggalkan perbuatan ini bahkan walaupun mereka berlaku zuhud terhadap
semua dunia. Sangat sedikit engkau akan melihat salah satu dari mereka yang
wajahnya berubah dan menjadi merah karena Allah, marah karena kehormatan-Nya,
dan mengerahkan harga dirinya demi menolong dien-Nya. Orang-orang yang
melakukan dosa-dosa besar lebih baik dalam pandangan Allah dari orang-orang ini
" [‘Uddat as-Sābirīn].
Dengan demikian, bagaimana bisa seseorang
mengambil teladan dari laki-laki banci - yang meninggalkan jihad? Atau setan
bisu yang diam terhadap para thaghut, di bawah naungan mereka sambil
beristirahat bersama istri-istri mereka? Jika taklid buta dalam mengikuti
seorang ulama yang saleh atau ahli ibadah yang berilmu adalah salah, maka jauh
lebih salah mengikuti setan berdosa! Mengapa umat Islam tidak berpaling kembali
kepada ajaran dasar al-Qur'an dan Sunnah dan menerapkannya sebagaimana mestinya
diterapkan tanpa menjadikan para "ulama" ini penghalang baginya untuk
bergabung dengan jama'ah kaum muslimin; Khilafah?
Imam Muhammad ibn Abdul-Wahhab berkata: “Kaedah
keenam adalah menolak syubhat yang dibuat oleh setan untuk meninggalkan
Al-Quran dan Sunnah, dan mengikuti pendapat dan hawa nafsu para pemecah belah
dan pembuat perbedaan, yaitu: bahwa Al-Quran dan sunnah tidak dapat difahami
kecuali oleh para mujtahid mutlaq. Dan mujtahid adalah orang yang memiliki
sifat ini dan ini – yaitu sifat-sifat yang mungkin tidak dapat ditemukan secara
sempurna bahkan dalam sosok Abu Bakr dan Umar! Dan jika seseorang tidak seperti
mereka, maka ‘tidak diragukan’ lagi, dia ‘wajib’ untuk jauh-jauh dari al-Quran
dan Sunnah! Maka siapa yang mencari petunjuk dari al-Quran dan Sunnah, maka dia
adalah ‘zindiq’ atau ‘orang gila’, karena sangat sulit untuk memahami keduanya!
Maha Suci Allah dan segala puji hanya bagi-Nya! Berapa banyak Allah telah
menjelasakan syari‘at, qadar, penciptaan dan perintah, dalam menolak syubhat
terlaknat ini dari berbagai arah, bahkan mencapai derajat dharuriyat ‘ammah’
(pengetahuan umum), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. {Sungguh,
pasti berlaku perkataan (hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka
tidak beriman. Sungguh, Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu
tangan mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah. Dan Kami
jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat,
dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Dan sama saja
bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan kepada mereka atau engkau tidak
memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga. Sesungguhnya
engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti
peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, walaupun mereka
tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala
yang mulia.} [Yasin: 7-11]. [Sittatu Ushul ‘Azhimah Mufidah].
Setelah ini, setiap orang harus menghancurkan
berbagai berhala yang didirikan di dalam hati oleh para "jihadis"
muqallidīn dalam upaya untuk menghambat pertumbuhan Khilafah. Setiap patung
kesesatan harus dihancurkan hingga kejayaan hanya untuk Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam saja dan bai‘at bagi Imam Qurasyiy saja. Tidak ada berhala
hizbī yang menjadi kendala bagi seorang Muslim pada jalannya menuju Khilafah.
Semoga Allah menunjukkan kebenaran sebagai kebenaran dan menujukkan kemunafikan
orang-orang munafik.
Source:
DABIQ 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar