8/22/2019

KEDUDUKAN TAUHID DAN JIHAD


KEDUDUKAN
TAUHID DAN JIHAD
Oleh :SYAIKH ‘ALLAMAH ABDUL QODIR  BIN ‘ABDUL AZIZ



Alih Bahasa: MUHAMMAD ROHIL AS-SOLOFI
Penerbit : AL-QO’IDUN GROUP

Jama’ah Simpatisan & Pendukung Mujahidin Semoga Allah  Jalla wa ‘Alaa membalas kebaikan orang yang menyebar buku ini tanpa merubah isinya dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan komersil kecuali seijin Publisher, pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !

“…Maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian…”

**********

Segala puji bagi Allah , Robb semesta alam. Dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada pemuka para Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya. Amma Ba’du:

Sebelumnya saya sampaikan tujuh Kata Pengantar (Pendahuluan) yang merupakan landasan pembahasan:



Kata Pengantar Pertama
TAUHID ADALAH KEWAJIBAN YANG PERTAMA

Pensyarh kitab Al 'Aqidah Ath Thohawiyah berkata: “Kewajiban pertama yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf (orang yang berakal yang telah baligh) adalah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Allah . ” [Syarh Al 'Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 75, cet. 1403 H.]


Ibnu Abbas ra berkata: Ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya:

“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sebuah kaum dari kalangan ahlul kitab, maka hendaknya pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allah  ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah  telah mewajibkan kepada mereka untuk melaksanakan sholat lima waktu”
(HR. Al-Bukhori).

Dalam riwayat lain:

فَإِذَا جَئَتْهُمْ فَادْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهَ

“Apabila kamu datang kepada mereka serukanlah agar mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Allah  dan Muhammad adalah utusan Allah .”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)

Hadits itu menunjukkan bahwa tauhid --- yang diterima dengan cara mengikrarkan dua kalimat syahadat --- itu adalah kewajiban yang paling pertama, dan sesungguhnya khitob (perintah) yang berupa kewajiban-kewajiban dan syariat-syariat --- yang berbentuk ibadah --- tidak terwujud kecuali setelah mengikrarkan keimanan dan tauhid.

Allah  Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

“Dan barang siapa yang mengingkari keimanan maka telah terhapus amalnya.”
[Al Maidah : 5]

Maka tidak ada perintah (khitob) yang berupa syareat-syareat kecuali setelah iman.

**********

Kata Pengantar Kedua
IMAN ITU ADA YANG FARDLU ‘AIN
DAN ADA YANG FARDLU KIFAYAH

Tauhid adalah rukun yang pertama dalam rukun iman yang berjumlah enam, sementara iman itu ada yang fardhu ‘ain, yaitu iman yang mujmal (secara global) dan ada yang fardhu kifayah, yaitu iman yang mufashol (secara terperinci) yang mana iman yang mufashol ini merupakan buah dari ilmu. Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang wajib untuk beriman secara mujmal (global) dengan ajaran yang dibawa oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak diragukan lagi bahwa mengetahui ajaran yang dibawa oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mufashol (terperinci) itu adalah fardhu kifayah”. [Majmu’ Fatawa : III / 312]

Perkataan ini disebutkan secara lengkap oleh pensyarah kitab Al 'Aqidah Ath Thohawiyah. [Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah hal. 66, cet. Al Maktab Al Islaami 1403 H. 8]

Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan bahwa: Imam Al-Ghozali berkata: “Suatu kaum telah melampaui batas, mereka mengkafirkan kaum muslimin yang awwam, dan mereka menganggap bahwa orang yang tidak mengetahui al 'aqoid asy-syar'iyah (keyakinan-keyakinan dalam syariat) beserta dalil-dalilnya yang mereka paparkan, maka orang tersebut kafir. Dengan demikian mereka telah menyempitkan rahmat Allah  yang luas, dan menjadikan syurga yang luas itu khusus hanya untuk segelintir mutakallimin (orang-orang ahli filsafat).

Yang senada dengan ini juga dikatakan oleh Abul Mudhofar bin As Sam’ani, dan beliau membantah secara panjang lebar terhadap orang yang berpendapat seperti ini. Beliau juga menukil dari kebanyakan para imam fatwa, bahwa mereka mengatakan: Tidak boleh memberikan beban kepada masyarakat awam untuk meyakini dasar-dasar aqidah disertai dalil-dalilnya, karena hal itu terkadang lebih berat daripada mempelajari cabang-cabang fiqh. ” [Fat-hul Bari XIII / 349]

Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa: “Sebagian di antara mereka ada yang berkata: Yang dituntut dari setiap orang adalah membenarkan secara mantap dengan tidak bercampur dengan keraguan terhadap wujud Allah  ta’ala dan beriman kepada para Rosul-Nya serta ajaran yang mereka bawa, dengan cara bagaimanapun dia melakukannya dan dengan jalan apa saja yang dapat menghantarkan dia seperti itu, walaupun hanya semata-mata dengan taqlid (ikut-ikutan) apabila hal itu dapat membebaskannya dari kebimbangan. Imam Al-Qurthubi berkata: Inilah yang dilakukan oleh para imam fatwa dan para imam salaf sebelum mereka. Kemudian sebagian mereka berhujjah dengan perkataan yang telah disebutkan di muka mengenai dasar fithroh dan dengan hadits mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian para sahabat, bahwasanya mereka semua menganggap Islam terhadap setiap orang yang masuk Islam dari orang-orang Arab kolot penyembah berhala, mereka semua menerima orang-orang Arab kolot penyembah berhala tersebut (sebagai orang Islam-pent.) dengan mengikrarkan dua kaliamat syahadat, dan dengan melaksanakan hukum-hukum Islam tanpa mengharuskan mereka untuk mempelajari dalil-dalilnya.” [Fat-hul Bari XIII / 352-353]

**********

Kata Pengantar Ketiga
TAUHID ADALAH TUJUAN
SEDANGKAN JIHAD
SALAH SATU SARANA UNTUK MEWUJUDKANNYA

Allah  ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ

“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sehingga seluruh agama menjadi milik Allah .” [Al Anfal : 39]

Dan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلُ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهَ

“Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Allah  dan bahwa Muhammad adalah Rosululloh.”
(HR. Muttafaqun ‘Alaih).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيَّ السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدُ اللهَ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ

“Aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah  ta’ala saja yang diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya”
(HR.Ahmad, dan dishohihkan oleh Al-Albani).

Sebagaimana yang anda lihat, kata “ حتى ” (sehingga) diulang-ulang pada ketiga hadits di atas, sedangkan kata “ حتى ” (sehingga) itu berfungsi sebagai tujuan, yaitu apa yang disebutkan sesudah kata tersebut merupakan tujuan dari apa yang disebutkan sebelum kata tersebut [Sayrhut Talwih I / 112]. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa tauhid itu adalah tujuan dari jihad sedangkan jihad adalah sarana untuk mewujudkan tauhid.

Dengan begitu dapat kita pahami bahwa jihad bukan merupakan sebuah tujuan, akan tetapi jihad itu fungsinya adalah untuk mewujudkan tauhid. Dan diantara yang dapat menjelaskan permasalahan ini secara gamblang adalah: Jika kita memahami bahwasanya Allah  ta’ala mewajibkan kepada seluruh para nabi dan seluruh umat untuk bertauhid, sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah  ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan telah Kami utus kepada tiap-tiap umat seorang Rosul agar yang menyerukan: beribadahlah kalian kepada Allah  dan jauhilah thoghut.”
[An Nahl : 36]

Akan tetapi Allah tidak mewajibkan jihad --- dalam bentuk peperangan orang-orang mu’min melawan orang-orang kafir --- terhadap seluruh Nabi karena kewajiban jihad itu dimulai pada masa Nabi Musa 'alaihis salam. Hal ini disebutkan oleh Al-Qurthubi di dalam tafsirannya terhadap firman Allah  ta'ala yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ...

“Sesungguhnya Allah  telah membeli dari orang-orang mu’min…”
[At Taubah: 111]

Dan disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirannya terhadap firman Allah ta'ala yang berbunyi:

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا آهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَى

“Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurot) sesudah kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu”
[Al Qoshosh: 43]

**********

Kata Pengantar Keempat
DALAM BEBERAPA KEADAAN
JIHAD HUKUMNYA FARDHU ‘AIN
SEDANGKAN ORANG YANG MENINGGALKAN JIHAD
YANG BERHUKUM FARDHU ‘AIN ITU ADALAH
BERDOSA BESAR DAN FASIQ

Keadaan-keadaan yang mana pada saat itu jihad fardhu ‘ain itu ada 3 yaitu:

1) Apabila dua barisan (barisan orang beriman dan barisan orang kafir) saling bertemu dan dua pasukan saling berhadapan.

Hal ini berdasarkan firman Allah  ta’ala yang berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ ١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak bergabung dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah , dan tempatnya adalah Neraka Jahannam dan amat buruklah tempat kembalinya.”
[Al Anfal: 15-16]

Dan firman Allah :

إِذَا لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ
“Apabila kalian bertemu dengan musuh maka tetap teguhlah”
[Al Anfal: 45]

2) Apabila musuh menyerang suatu negeri tertentu, fardlu 'ain hukumnya bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh yang menyerang tersebut.

Dalil atas wajibnya hal ini adalah juga ayat-ayat di atas karena disini juga terjadi pertemuan dengan orang-orang kafir, dan pertemuan dengan sebuah kelompok yang menyerang kaum muslimin. Inilah yang dimaksudkan oleh DR. Abdulloh Azzam rahimahullah dengan “Membela Negeri-negeri Kaum Muslimin”

3) Apabila imam melakukan istinfar (memobilisasi) suatu kaum untuk berangkat berperang, maka mereka wajib berangkat bersamanya.

Karena Allah  ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah!", kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu?”
[At Taubah : 38]

Hingga firman Allah ta'ala yang berbunyi:

إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا

“Jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Allah  akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih”
[At Taubah : 39]

Dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِذَا اسْتَنْفَرُوا فَانْفِرُوا

“Apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang maka berangkatlah.”
(Muttafaqun ‘alaih).

Inilah kondisi-kondisi di mana pasa saat itu jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah. Dan anda dapat lihat sendiri bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia diancam mendapatkan kemarahan dari Allah  ta’ala dan mendapatkan siksaan, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah  ta’ala:

فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ

… sungguh dia mendapat kemarahan dari Allah  dan tempat kembalinya adalah Jahannam…

Dan firman Allah :

إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا

"Jika kalian tidak berangkat jihad niscaya Allah  akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih".

Dan oleh karena di antara tanda-tanda dosa besar itu adalah disebutkannya ancaman di akherat, maka dengan demikian setiap orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia berdosa besar karena dia diancam dengan siksaan, dan pelaku dosa besar itu adalah fasiq, sedangkan orang yang fasiq gugur sifat 'adalahnya (artinya; dia tidak dapat dipercaya lagi-pent.) baik 'adalahtur riwayah (kepercayaan untuk menjadi rowi) maupun 'adalatusy syahadah (kepercayaan untuk menjadi saksi-pent.).

**********

Kata Pengantar Kelima
SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA JIHAD

Syarat-syarat yang menjadikan jihad itu menjadi fardhu kifayah ada sembilan, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, tidak cacat, merdeka, memiliki biaya, idzin kedua orang tua dan izin kepada orang yang menghutangi. [Al Mughni Wa Syarhul Kabir X]

Namun apabila jihad menjadi fardhu ‘ain maka syarat-syaratnya ada lima, yaitu lima syarat pertama dari sembilan syarat di atas, tidak sebagai mana orang yang tidak mensyaratkan laki-laki dalam jihad yang hukumnya fardlu 'ain, sehingga ia mengatakan:

“Seorang wanita keluar tanpa perlu izin kepada suaminya.” Dan orang yang berpendapat seperti ini banyak dari kalangan fuqoha'. Masalah ini telah saya bahas secara detail dalam kitabku yang berjudul “Al Umdah Fi I’dadil 'Uddah”. Di sana saya katakan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jihad itu sering hukumnya fardlu 'ain, namun demikian Rosululloh SAW tidak memerintahkan kaum wanita untuk keluar berperang.

Pada perang Tabuk, ketika itu terjadi mobilisasi umum --- dan ini adalah keadaan yang ketiga di mana jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang telah disebutkan dalam kata pengantar yang telah --- dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Ali sebagai penggantinya di Madinah, maka Ali berkata:

أَتَخْلِفَنِي فِي النِّسَاءِ وَ الصِّبْيَانِ

“Apakah engakau tinggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak.”
(HR. Al-Bukhoriy)

Para wanitapun tidak ikut berangkat berperang meskipun ketika mobilisasi umum, dan meskipun mereka juga masuk orang yang mendapatkan perintah dalam keumuman ayat yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا

“Wahai orang-orang yang beriman mengapa apabila dikatakan kepada kalian: Berangkatlah untuk berperang…”
[At Taubah: 38]

…maka itu menunjukkan bahwa mereka bukan termasuk orang yang keluar berangkat untuk berjihad. Dan juga dalam perang Khandaq ketika musuh menduduki kota Madinah dan itu kondisi kedua jihad menjadi fardhu ‘ain seperti yang telah lalu para wanita tidak keluar untuk berjihad, dan mereka juga tidak diperintah untuk keluar. Ini menunjukkan bahwa jihad tidak wajib bagi mereka baik ketika fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah. Maka yang ada adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

جِهَادُكُنَّ الْحَجِّ
“Jihad kalian adalah berhaji”

Secara umum tanpa ada pengkhususan, dan hadits ini shohih, diriwayatkan oleh  Imam Ahmad dari Aisyah rodliyAllah u 'anha.

Namun demikian bagi seorang wanita boleh melakukan hal yang sunnah dengan keluar untuk berperang atas izin Amir [Al Mughni Wa Syarhul Kabir] dan hendaknya dia berperang demi jiwanya apabila musuh masuk ke dalam rumah-rumah mereka, karena itu termasuk dalam bab membela diri.

Maksud daripada menyebutkan syarat-syarat di atas untuk menerangkan dua hal:

Pertama : bahwa ilmu bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad wajib bagi orang yang berilmu maupun yang bodoh dan makna lain: tidak boleh seorangpun meninggalkan jihad yang bersifat fardhu ‘ain yang telah kami sebutkan kondisi-kondisinya dengan alasan sibuk untuk mencari ilmu yang fardhu ‘ain maupun yang fardhu kifayah sebagaimana dalam kata pengantar yang keenam.

Kedua : bahwa sifat adil bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad wajib bagi orang yang sholih maupun yang berdosa. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam kitab Al-Bahri: “Secara ijma; boleh meminta pertolongan kepada orang munafiq karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pertolongan kepada Ibnu Ubay dan sahabat-sahabatnya, dan secara ijma’ boleh meminta pertolongan kepada orang fasiq melawan orang-orang kafir” [Nailul Author: 8]

Berkata di dalam Al-Majmu’: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam kitab Ahkamul Qurban: “Jihad itu wajib bersama orang-orang fasiq sebagaimana wajib jihad bersama orang-orang yang adil, dan seluruh ayat yang mewajibkan kewajiban jihad tidak membedakan antara melakukan jihad bersama orang-orang fasiq dengan berjihad bersama orang-orang adil yang sholih, dan juga orang-orang fasiq itu apabila berjihad, mereka taat dalam hal itu”. [Al Majmu’ Syarhul Muhadzab]

Permasalahan ini telah disepakati dalam dasar-dasar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Sebab-sebab dibebankan kepada orang yang tidak adil dan fasiq untuk berjihad atau orang-orang yang memiliki mutlakul iman (iman yang lemah) yang wajib karena mendapat beban syariat-syariat. Walaupun dia tidak memiliki iman yang mutlak artinya sempurna. Maka orang fasiq dengan keimanannya yang kurang termasuk di dalam keumuman ayat dalam firman Allah  Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا

“Wahai orang-orang yang beriman kenapa apabila dikatakan kalian berangkatlah berperang…”
dan ayat-ayat yang lainnya.

Namun demikian sesungguhnya Amir boleh melarang orang yang fasiq atau fajir (jahat) untuk keluar berjihad apabila mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rohimahulloh. [Al Mughni wa Syarhul Kabir]

**********



Kata Pengantar Keenam
APABILA ADA BEBERAPA KEWAJIBAN
ATAU BEBERAPA HAK YANG SALING BERTENTANGAN,
MAKA DIDAHULUKAN YANG MUDLOYYAQ (MENDESAK)
DARIPADA YANG MUWASSA' (LONGGAR)

Imam Al-Qurofi Al-Maliki berkata: “Sesungguhnya permasalahan ini dibangun diatas pemahaman yang disimpulkan dari salah satu kaidah tarjih (menentukan yang lebih utama) dan patokan untuk menentukan mana perintah yang Alloh ta'ala lebih dahulukan, yaitu yang menyatakan bahwa apabila ada beberapa hak yang saling bertentangan maka didahulukan yang mudloyyaq (lebih mendesak) daripada yang muwassa' (longgar), karena sempitnya waktu itu menunjukkan seolah-olah lebih diperhatikan oleh Sang Pembuat syariat sehingga waktu pelaksanannya dibuat mudloyyaq (sempit), dan bahwa apa yang dibolehkan untuk diundur pelaksanaannya, dan dijadikannya sebagai kelonggaran, tanpa ada dalil. Dan yang bersifat al fauri (segera) itu lebih didahulukan daripada yang bersifat al mutarokhi (memiliki toleransi waktu), karena perintah yang bersifat segera itu menunjukkan bahwa perintah tersebut lebih kuat daripada yang diakhirkan.

Dan fardhu ‘ain lebih di dahulukan daripada fardhu kifayah, karena perintah yang ditujukan untuk seluruh orang yang mukallaf (berakal dan baligh) itu menunjukkan bahwa perintah tersebut lebih kuat daripada perintah yang hanya ditujukan kepada sebagian orang saja, dan juga karena fardhu kifayah itu kemashlahatannya tidak terulang dengan diulanginya amalan, padahal sebuah amalan yang kemashlahatan berulang dalam segala bentuknya itu lebih kuat keterkaitannya dengan maslahat dari pada amalan yang tidak ada maslahatnya kecuali dalam beberapa bentuk saja. Oleh karena itu sesuatu yang dikhawatirkan akan terlewatkan itu lebih didahulukan pelaksanaannya daripada sesuatu yang tidak dikhawatirkan akan terlewatkan meskipun derajatnya lebih tinggi darinya”. [Al Furuq, karangan Al Qurofi, cet. Darul Ma’rifah II / 20]


Kata Pengantar Ketujuh
LEBIH DIDAHULUKAN
TIDAK MESTI BERARTI LEBIH DIUTAMAKAN

Sesuatu itu jika lebih didahulukan itu terasa seakan-akan sesuatu tersebut lebih diutamakan, akan tetapi tidak selalu begitu. Contohnya adalah jihad dengan harta, ia lebih di dahulukan daripada jihad dengan jiwa (fisik) di seluruh ayat Al Qur'an yang menyebutkan kedua macam jihad itu secara bersamaan, kecuali hanya dalam satu ayat saja, yaitu firman Alloh ta'ala yang berbunyi:

إِنَّ اللهَ اشْتَرَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ

“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min jiwa dan harta mereka”.

Namun, lebih didahulukannya jihad dengan harta daripada jihad dengan fisik di kebanyakan ayat Al-Qur'an tidaklah menunjukkan bahwa jihad dengan harta itu lebih utama daripada jihad dengan jiwa (fisik), bahkan justru jiwa itu lebih diutamakan daripada harta di dalam adl dlorurotul khomsi (lima kebutuhan mendesak). Akan tetapi karena dalam banyak keadaan jihad secara fisik itu tidak dapat terwujud kecuali dengan pengorbanan harta. Oleh karena itu tersedianya biaya itu menjadi salah satu syarat diwajibkannya jihad, sebagaimana yang telah kami terangkan di depan, sehingga tidak tersedianya biaya itu menggugurkan kewajiban jihad --- dalam hal ini ada perinciannya --- sebagaimana yang diterangkan dalam firman Alloh ta'ala:

وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَايُنْفِقُونَ حَرَجٌ

“Dan tidak ada dosa (lantaran tiada pergi berjihad) bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya”.
[At Taubah: 91]

Maka lebih didahulukannya harta pada kebanyakan ayat bukan karena ia lebih utama, akan tetapi karena kedudukannya sebagai pendahulu dari jihad dengan fisik. Hal ini telah disinggung oleh Al-‘Allamah Asy-Syanqithi rohimahulloh di dalam kitab Adhwa-ul Bayan, dan telah saya bahas secara detail di dalam kitabku yang berjudul Al-‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...