KEDUDUKAN
TAUHID DAN JIHAD
Oleh :SYAIKH ‘ALLAMAH ABDUL QODIR BIN ‘ABDUL AZIZ
Alih Bahasa: MUHAMMAD ROHIL
AS-SOLOFI
Penerbit : AL-QO’IDUN GROUP
Jama’ah Simpatisan &
Pendukung Mujahidin Semoga Allah Jalla
wa ‘Alaa membalas kebaikan orang yang menyebar buku ini tanpa merubah isinya
dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan komersil kecuali seijin Publisher,
pergunakanlah untuk kepentingan kaum Muslimin !
“…Maka Bunuhlah orang-orang
musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah
mereka dan intailah ditempat pengintaian…”
**********
Segala puji bagi Allah , Robb semesta
alam. Dan sholawat serta salam semoga terlimpahkan kepada pemuka para Rosul shallallahu
‘alaihi wasallam, keluarga, dan para sahabatnya. Amma Ba’du:
Sebelumnya saya sampaikan tujuh
Kata Pengantar (Pendahuluan) yang merupakan landasan pembahasan:
Kata Pengantar Pertama
TAUHID ADALAH KEWAJIBAN YANG PERTAMA
Pensyarh kitab Al 'Aqidah Ath
Thohawiyah berkata: “Kewajiban pertama yang harus dikerjakan oleh setiap
mukallaf (orang yang berakal yang telah baligh) adalah bersaksi bahwa tidak ada
ilah (sesembahan yang hakiki) selain Allah . ” [Syarh
Al 'Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 75, cet. 1403 H.]
Ibnu Abbas ra berkata: Ketika
Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan
mendatangi sebuah kaum dari kalangan ahlul kitab, maka hendaknya pertama kali
kamu serukan kepada mereka adalah agar mereka mengesakan Allah ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal
itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk
melaksanakan sholat lima waktu”
(HR. Al-Bukhori).
Dalam riwayat lain:
فَإِذَا
جَئَتْهُمْ فَادْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَ
أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهَ
“Apabila kamu datang kepada
mereka serukanlah agar mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan yang
hakiki) selain Allah dan Muhammad adalah
utusan Allah .”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
Hadits itu menunjukkan bahwa
tauhid --- yang diterima dengan cara mengikrarkan dua kalimat syahadat --- itu
adalah kewajiban yang paling pertama, dan sesungguhnya khitob (perintah) yang
berupa kewajiban-kewajiban dan syariat-syariat --- yang berbentuk ibadah ---
tidak terwujud kecuali setelah mengikrarkan keimanan dan tauhid.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ
يَكْفُرْ بِالْإِيْمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Dan barang siapa yang
mengingkari keimanan maka telah terhapus amalnya.”
[Al
Maidah : 5]
Maka tidak
ada perintah (khitob) yang berupa syareat-syareat kecuali setelah iman.
**********
Kata Pengantar Kedua
IMAN ITU ADA YANG FARDLU ‘AIN
DAN ADA YANG FARDLU KIFAYAH
Tauhid adalah rukun yang pertama
dalam rukun iman yang berjumlah enam, sementara iman itu ada yang fardhu ‘ain,
yaitu iman yang mujmal (secara global) dan ada yang fardhu kifayah, yaitu iman
yang mufashol (secara terperinci) yang mana iman yang mufashol ini merupakan
buah dari ilmu. Ibnu Taimiyah rohimahulloh berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa
setiap orang wajib untuk beriman secara mujmal (global) dengan ajaran yang
dibawa oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak diragukan lagi
bahwa mengetahui ajaran yang dibawa oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam secara mufashol (terperinci) itu adalah fardhu kifayah”. [Majmu’
Fatawa : III / 312]
Perkataan ini disebutkan secara lengkap oleh pensyarah kitab Al
'Aqidah Ath Thohawiyah. [Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah hal. 66, cet. Al Maktab Al
Islaami 1403 H. 8]
Ibnu Hajar rohimahulloh
mengatakan bahwa: Imam Al-Ghozali berkata: “Suatu kaum telah melampaui batas,
mereka mengkafirkan kaum muslimin yang awwam, dan mereka menganggap bahwa orang
yang tidak mengetahui al 'aqoid asy-syar'iyah (keyakinan-keyakinan dalam
syariat) beserta dalil-dalilnya yang mereka paparkan, maka orang tersebut
kafir. Dengan demikian mereka telah menyempitkan rahmat Allah yang luas, dan menjadikan syurga yang luas itu
khusus hanya untuk segelintir mutakallimin (orang-orang ahli filsafat).
Yang senada dengan ini juga
dikatakan oleh Abul Mudhofar bin As Sam’ani, dan beliau membantah secara
panjang lebar terhadap orang yang berpendapat seperti ini. Beliau juga menukil
dari kebanyakan para imam fatwa, bahwa mereka mengatakan: Tidak boleh memberikan
beban kepada masyarakat awam untuk meyakini dasar-dasar aqidah disertai
dalil-dalilnya, karena hal itu terkadang lebih berat daripada mempelajari
cabang-cabang fiqh. ” [Fat-hul Bari XIII / 349]
Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa:
“Sebagian di antara mereka ada yang berkata: Yang dituntut dari setiap orang
adalah membenarkan secara mantap dengan tidak bercampur dengan keraguan
terhadap wujud Allah ta’ala dan beriman
kepada para Rosul-Nya serta ajaran yang mereka bawa, dengan cara bagaimanapun
dia melakukannya dan dengan jalan apa saja yang dapat menghantarkan dia seperti
itu, walaupun hanya semata-mata dengan taqlid (ikut-ikutan) apabila hal itu
dapat membebaskannya dari kebimbangan. Imam Al-Qurthubi berkata: Inilah yang dilakukan
oleh para imam fatwa dan para imam salaf sebelum mereka. Kemudian sebagian
mereka berhujjah dengan perkataan yang telah disebutkan di muka mengenai dasar
fithroh dan dengan hadits mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kemudian para sahabat, bahwasanya mereka semua menganggap Islam terhadap setiap
orang yang masuk Islam dari orang-orang Arab kolot penyembah berhala, mereka
semua menerima orang-orang Arab kolot penyembah berhala tersebut (sebagai orang
Islam-pent.) dengan mengikrarkan dua kaliamat syahadat, dan dengan melaksanakan
hukum-hukum Islam tanpa mengharuskan mereka untuk mempelajari dalil-dalilnya.”
[Fat-hul
Bari XIII / 352-353]
**********
Kata Pengantar Ketiga
TAUHID ADALAH TUJUAN
SEDANGKAN JIHAD
SALAH SATU SARANA UNTUK MEWUJUDKANNYA
Allah ta’ala berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah
mereka sehingga tidak ada fitnah dan sehingga seluruh agama menjadi milik Allah
.” [Al Anfal : 39]
Dan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلُ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهَ
“Aku
diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi bahwa
tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rosululloh.”
(HR.
Muttafaqun ‘Alaih).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُعِثْتُ
بَيْنَ يَدَيَّ السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدُ اللهَ تَعَالَى وَحْدَهُ
لَا شَرِيْكَ لَهُ
“Aku
diutus menjelang hari kiamat dengan pedang sehingga hanya Allah ta’ala saja yang diibadahi, tidak ada sekutu
bagi-Nya”
(HR.Ahmad,
dan dishohihkan oleh Al-Albani).
Sebagaimana yang anda lihat, kata “ حتى ” (sehingga) diulang-ulang pada
ketiga hadits di atas, sedangkan kata “ حتى ” (sehingga) itu berfungsi sebagai
tujuan, yaitu apa yang disebutkan sesudah kata tersebut merupakan tujuan dari
apa yang disebutkan sebelum kata tersebut [Sayrhut Talwih I / 112].
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa tauhid itu adalah tujuan dari jihad
sedangkan jihad adalah sarana untuk mewujudkan tauhid.
Dengan begitu dapat kita pahami bahwa jihad bukan merupakan sebuah
tujuan, akan tetapi jihad itu fungsinya adalah untuk mewujudkan tauhid. Dan diantara
yang dapat menjelaskan permasalahan ini secara gamblang adalah: Jika kita
memahami bahwasanya Allah ta’ala
mewajibkan kepada seluruh para nabi dan seluruh umat untuk bertauhid, sebagaimana
yang diterangkan dalam firman Allah ta’ala:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّاغُوتَ
“Dan
telah Kami utus kepada tiap-tiap umat seorang Rosul agar yang menyerukan:
beribadahlah kalian kepada Allah dan
jauhilah thoghut.”
[An
Nahl : 36]
Akan tetapi Allah tidak mewajibkan jihad --- dalam bentuk peperangan
orang-orang mu’min melawan orang-orang kafir --- terhadap seluruh Nabi karena
kewajiban jihad itu dimulai pada masa Nabi Musa 'alaihis salam. Hal ini
disebutkan oleh Al-Qurthubi di dalam tafsirannya terhadap firman Allah ta'ala yang berbunyi:
إِنَّ
اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ...
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mu’min…”
[At
Taubah: 111]
Dan disebutkan
oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirannya terhadap firman Allah ta'ala yang berbunyi:
وَلَقَدْ
آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا آهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَى
“Dan
sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurot) sesudah kami
binasakan generasi-generasi yang terdahulu”
[Al
Qoshosh: 43]
**********
Kata Pengantar Keempat
DALAM BEBERAPA KEADAAN
JIHAD HUKUMNYA FARDHU ‘AIN
SEDANGKAN ORANG YANG MENINGGALKAN
JIHAD
YANG BERHUKUM FARDHU ‘AIN ITU
ADALAH
BERDOSA BESAR DAN FASIQ
Keadaan-keadaan
yang mana pada saat itu jihad fardhu ‘ain itu ada 3 yaitu:
1) Apabila dua barisan (barisan orang
beriman dan barisan orang kafir) saling bertemu dan dua pasukan saling
berhadapan.
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ
١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ
مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ
جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka
janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi
mereka (mundur) pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak bergabung dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali
dengan membawa kemurkaan dari Allah , dan tempatnya adalah Neraka Jahannam dan
amat buruklah tempat kembalinya.”
[Al
Anfal: 15-16]
Dan firman Allah :
إِذَا
لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ
“Apabila
kalian bertemu dengan musuh maka tetap teguhlah”
[Al
Anfal: 45]
2) Apabila musuh menyerang suatu
negeri tertentu, fardlu 'ain hukumnya bagi penduduk negeri tersebut untuk
memerangi musuh yang menyerang tersebut.
Dalil atas wajibnya hal ini adalah
juga ayat-ayat di atas karena disini juga terjadi pertemuan dengan orang-orang
kafir, dan pertemuan dengan sebuah kelompok yang menyerang kaum muslimin.
Inilah yang dimaksudkan oleh DR. Abdulloh Azzam rahimahullah dengan “Membela Negeri-negeri
Kaum Muslimin”
3) Apabila imam melakukan istinfar (memobilisasi)
suatu kaum untuk berangkat berperang, maka mereka wajib berangkat bersamanya.
Karena Allah ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ
“Hai
orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah
untuk berperang di jalan Allah!", kalian merasa berat dan ingin tinggal di
tempatmu?”
[At
Taubah : 38]
Hingga firman Allah ta'ala yang berbunyi:
إِلَّا تَنفِرُواْ
يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
“Jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih”
[At Taubah : 39]
Dan Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا اسْتَنْفَرُوا
فَانْفِرُوا
“Apabila
kalian diperintahkan untuk berangkat berperang maka berangkatlah.”
(Muttafaqun
‘alaih).
Inilah kondisi-kondisi di mana pasa saat itu jihad hukumnya fardhu
‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah. Dan anda dapat lihat
sendiri bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu
‘ain, ia diancam mendapatkan kemarahan dari Allah ta’ala dan mendapatkan siksaan, sebagaimana
disebutkan dalam firman Allah ta’ala:
فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ
مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ
… sungguh dia mendapat kemarahan dari Allah dan tempat kembalinya adalah Jahannam…
Dan firman Allah
:
إِلَّا تَنفِرُواْ
يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
"Jika kalian tidak berangkat jihad niscaya Allah akan menyiksa kalian dengan siksaan yang pedih".
Dan
oleh karena di antara tanda-tanda dosa besar itu adalah disebutkannya ancaman
di akherat, maka dengan demikian setiap orang yang tidak melaksanakan jihad
ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia berdosa besar karena dia diancam dengan
siksaan, dan pelaku dosa besar itu adalah fasiq, sedangkan orang yang fasiq
gugur sifat 'adalahnya (artinya; dia tidak dapat dipercaya lagi-pent.)
baik 'adalahtur riwayah (kepercayaan untuk menjadi rowi) maupun
'adalatusy syahadah (kepercayaan untuk menjadi saksi-pent.).
**********
Kata Pengantar Kelima
SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA JIHAD
Syarat-syarat yang menjadikan jihad itu menjadi fardhu kifayah ada
sembilan, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, tidak cacat, merdeka,
memiliki biaya, idzin kedua orang tua dan izin kepada orang yang menghutangi. [Al
Mughni Wa Syarhul Kabir X]
Namun apabila jihad menjadi fardhu ‘ain maka syarat-syaratnya ada
lima, yaitu lima syarat pertama dari sembilan syarat di atas, tidak sebagai
mana orang yang tidak mensyaratkan laki-laki dalam jihad yang hukumnya fardlu
'ain, sehingga ia mengatakan:
“Seorang
wanita keluar tanpa perlu izin kepada suaminya.” Dan orang yang berpendapat
seperti ini banyak dari kalangan fuqoha'. Masalah ini telah saya bahas secara detail
dalam kitabku yang berjudul “Al Umdah Fi I’dadil 'Uddah”. Di sana saya katakan
bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jihad itu sering hukumnya fardlu
'ain, namun demikian Rosululloh SAW tidak memerintahkan kaum wanita untuk
keluar berperang.
Pada
perang Tabuk, ketika itu terjadi mobilisasi umum --- dan ini adalah keadaan
yang ketiga di mana jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang telah disebutkan
dalam kata pengantar yang telah --- dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan
Ali sebagai penggantinya di Madinah, maka Ali berkata:
أَتَخْلِفَنِي فِي
النِّسَاءِ وَ الصِّبْيَانِ
“Apakah
engakau tinggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak.”
(HR.
Al-Bukhoriy)
Para wanitapun tidak ikut berangkat berperang meskipun ketika mobilisasi
umum, dan meskipun mereka juga masuk orang yang mendapatkan perintah dalam
keumuman ayat yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا
“Wahai
orang-orang yang beriman mengapa apabila dikatakan kepada kalian: Berangkatlah
untuk berperang…”
[At
Taubah: 38]
…maka itu menunjukkan bahwa mereka bukan termasuk orang yang keluar
berangkat untuk berjihad. Dan juga dalam perang Khandaq ketika musuh menduduki
kota Madinah dan itu kondisi kedua jihad menjadi fardhu ‘ain seperti yang telah
lalu para wanita tidak keluar untuk berjihad, dan mereka juga tidak diperintah
untuk keluar. Ini menunjukkan bahwa jihad tidak wajib bagi mereka baik ketika
fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah. Maka yang ada adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam:
جِهَادُكُنَّ
الْحَجِّ
“Jihad
kalian adalah berhaji”
Secara umum tanpa ada pengkhususan, dan hadits ini shohih,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah
rodliyAllah u 'anha.
Namun demikian bagi seorang wanita boleh melakukan hal yang sunnah
dengan keluar untuk berperang atas izin Amir [Al
Mughni Wa Syarhul Kabir] dan hendaknya dia berperang demi jiwanya apabila musuh masuk ke dalam
rumah-rumah mereka, karena itu termasuk dalam bab membela diri.
Maksud daripada menyebutkan syarat-syarat di atas untuk menerangkan
dua hal:
Pertama :
bahwa ilmu bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad wajib bagi orang yang
berilmu maupun yang bodoh dan makna lain: tidak boleh seorangpun meninggalkan
jihad yang bersifat fardhu ‘ain yang telah kami sebutkan kondisi-kondisinya dengan
alasan sibuk untuk mencari ilmu yang fardhu ‘ain maupun yang fardhu kifayah
sebagaimana dalam kata pengantar yang keenam.
Kedua :
bahwa sifat adil bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad wajib bagi orang
yang sholih maupun yang berdosa. Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam
kitab Al-Bahri: “Secara ijma; boleh meminta pertolongan kepada orang munafiq
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta pertolongan kepada Ibnu Ubay
dan sahabat-sahabatnya, dan secara ijma’ boleh meminta pertolongan kepada orang
fasiq melawan orang-orang kafir” [Nailul
Author: 8]
Berkata di dalam Al-Majmu’: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam
kitab Ahkamul Qurban: “Jihad itu wajib bersama orang-orang fasiq sebagaimana
wajib jihad bersama orang-orang yang adil, dan seluruh ayat yang mewajibkan
kewajiban jihad tidak membedakan antara melakukan jihad bersama orang-orang
fasiq dengan berjihad bersama orang-orang adil yang sholih, dan juga
orang-orang fasiq itu apabila berjihad, mereka taat dalam hal itu”. [Al
Majmu’ Syarhul Muhadzab]
Permasalahan ini telah disepakati dalam dasar-dasar Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah.
Sebab-sebab dibebankan kepada orang yang tidak adil dan fasiq untuk
berjihad atau orang-orang yang memiliki mutlakul iman (iman yang lemah) yang
wajib karena mendapat beban syariat-syariat. Walaupun dia tidak memiliki iman
yang mutlak artinya sempurna. Maka orang fasiq dengan keimanannya yang kurang termasuk
di dalam keumuman ayat dalam firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا
“Wahai orang-orang yang beriman kenapa
apabila dikatakan kalian berangkatlah berperang…”
dan ayat-ayat yang lainnya.
Namun demikian sesungguhnya Amir boleh melarang orang yang fasiq atau
fajir (jahat) untuk keluar berjihad apabila mudhorotnya lebih besar daripada
manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rohimahulloh. [Al
Mughni wa Syarhul Kabir]
**********
Kata Pengantar Keenam
APABILA ADA BEBERAPA KEWAJIBAN
ATAU BEBERAPA HAK YANG SALING
BERTENTANGAN,
MAKA DIDAHULUKAN YANG MUDLOYYAQ (MENDESAK)
DARIPADA YANG MUWASSA' (LONGGAR)
Imam Al-Qurofi Al-Maliki berkata: “Sesungguhnya permasalahan ini
dibangun diatas pemahaman yang disimpulkan dari salah satu kaidah tarjih
(menentukan yang lebih utama) dan patokan untuk menentukan mana perintah yang
Alloh ta'ala lebih dahulukan, yaitu yang menyatakan bahwa apabila ada beberapa
hak yang saling bertentangan maka didahulukan yang mudloyyaq (lebih
mendesak) daripada yang muwassa' (longgar), karena sempitnya waktu itu
menunjukkan seolah-olah lebih diperhatikan oleh Sang Pembuat syariat sehingga
waktu pelaksanannya dibuat mudloyyaq (sempit), dan bahwa apa yang
dibolehkan untuk diundur pelaksanaannya, dan dijadikannya sebagai kelonggaran,
tanpa ada dalil. Dan yang bersifat al fauri (segera) itu lebih
didahulukan daripada yang bersifat al mutarokhi (memiliki toleransi
waktu), karena perintah yang bersifat segera itu menunjukkan bahwa perintah
tersebut lebih kuat daripada yang diakhirkan.
Dan fardhu ‘ain lebih di dahulukan daripada fardhu kifayah, karena
perintah yang ditujukan untuk seluruh orang yang mukallaf (berakal dan baligh)
itu menunjukkan bahwa perintah tersebut lebih kuat daripada perintah yang hanya
ditujukan kepada sebagian orang saja, dan juga karena fardhu kifayah itu kemashlahatannya
tidak terulang dengan diulanginya amalan, padahal sebuah amalan yang
kemashlahatan berulang dalam segala bentuknya itu lebih kuat keterkaitannya
dengan maslahat dari pada amalan yang tidak ada maslahatnya kecuali dalam
beberapa bentuk saja. Oleh karena itu sesuatu yang dikhawatirkan akan
terlewatkan itu lebih didahulukan pelaksanaannya daripada sesuatu yang tidak dikhawatirkan
akan terlewatkan meskipun derajatnya lebih tinggi darinya”. [Al Furuq,
karangan Al Qurofi, cet. Darul Ma’rifah II / 20]
Kata Pengantar Ketujuh
LEBIH DIDAHULUKAN
TIDAK MESTI BERARTI LEBIH
DIUTAMAKAN
Sesuatu itu jika lebih
didahulukan itu terasa seakan-akan sesuatu tersebut lebih diutamakan, akan tetapi
tidak selalu begitu. Contohnya adalah jihad dengan harta, ia lebih di dahulukan
daripada jihad dengan jiwa (fisik) di seluruh ayat Al Qur'an yang menyebutkan
kedua macam jihad itu secara bersamaan, kecuali hanya dalam satu ayat saja,
yaitu firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ
اشْتَرَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ
“Sesungguhnya
Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min jiwa dan harta mereka”.
Namun, lebih didahulukannya jihad
dengan harta daripada jihad dengan fisik di kebanyakan ayat Al-Qur'an tidaklah
menunjukkan bahwa jihad dengan harta itu lebih utama daripada jihad dengan jiwa
(fisik), bahkan justru jiwa itu lebih diutamakan daripada harta di dalam adl
dlorurotul khomsi (lima kebutuhan mendesak). Akan tetapi karena dalam banyak
keadaan jihad secara fisik itu tidak dapat terwujud kecuali dengan pengorbanan
harta. Oleh karena itu tersedianya biaya itu menjadi salah satu syarat diwajibkannya
jihad, sebagaimana yang telah kami terangkan di depan, sehingga tidak
tersedianya biaya itu menggugurkan kewajiban jihad --- dalam hal ini ada
perinciannya --- sebagaimana yang diterangkan dalam firman Alloh ta'ala:
وَلَا عَلَى
الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَايُنْفِقُونَ حَرَجٌ
“Dan tidak ada dosa (lantaran tiada pergi
berjihad) bagi orang-orang yang tidak memiliki biaya”.
[At Taubah: 91]
Maka lebih didahulukannya harta
pada kebanyakan ayat bukan karena ia lebih utama, akan tetapi karena
kedudukannya sebagai pendahulu dari jihad dengan fisik. Hal ini telah
disinggung oleh Al-‘Allamah Asy-Syanqithi rohimahulloh di dalam kitab Adhwa-ul
Bayan, dan telah saya bahas secara detail di dalam kitabku yang berjudul
Al-‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar