8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (7) - Ibnu Qudamah An Najdi


Syubhat Ketujuh:
Tidak Boleh Membunuh Orang Amerika Dalam Kondisi Lengah (Ightiyal)
Berdasarkan Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak Selayaknya Seorang Nabi Melakukan Pengkhianatan Mata.”

Jawaban:

Diperbolehkan melakukan ightiyal terhadap orang kafir harbi, yakni orang kafir yang tidak ada ikatan janji.

Sunnah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kebolehannya jika dilakukan terhadap orang yang gangguan terhadap Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sangat keras. Masalah ini juga diisyaratkan dalam firman Alloh ta‘ala:

“…maka bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka, dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
[At-Taubah: 5]

Al-Qurthubi berkata,
“…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian” maksudnya, intailah mereka di tempat-tempat ketika mereka lalai. Ini merupakan dalil bolehnya melakukan ightiyal terhadap mereka sebelum mendakwahi mereka.”

Perkataan Al-Qurthubi, “…sebelum mendakwahi mereka” maksudnya, bagi orang yang sebelumnya sudah menerima dakwah. Sedangkan ayat “…dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.” [At-Taubah: 5] berisi dalil disyariatkannya aksi pengintaian, pemantauan dan memata-matai musuh.

Adapun sunnah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof dan Abu Rofî‘ bin Abil Huqoiq, keduanya adalah orang Yahudi.

Mengenai Ka‘ab, disebabkan karena ia memprovokasi kaum musyrikin untuk memerangi Kaum Muslimin. Ia juga gemar mencaci Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan syairnya dan suka mengganggu isteri-isteri kaum Muslimin.

Adapun kisah pembunuhannya terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim. Bukhori meriwayatkan dari Jabir:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang mau membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamah berdiri lalu berkata, “Wahai Rosululloh, apakah tuan suka kalau saya membunuhnya?” beliau bersabda, “Ya.” Ia berkata, “Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu.” Beliau bersabda, “Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka‘b.” [Hadits 4037]

Selanjutnya dalam hadits ini dikisahkan bahwasanya Muhammad bin Salamah dan teman-temannya mengelabui Ka‘ab dengan berpura-pura kecewa terhadap Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka juga menipunya sebelum berhasil membunuhnya ketika Ka‘b berada di benteng Manî‘.

Ibnu Hajar berkata, “Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebutkan: ‘..Maka orang-orang yahudi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan itu, kemudian mereka mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, ‘Pembesar kami terbunuh diam-diam.’

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu menceritakan kelakuan Ka‘ab yang suka memprovokasi orang lain untuk memerangi beliau dan menyakiti Kaum Muslimin.’”

Sa‘d menambahkan, “…akhirnya mereka ketakutan dan tidak bicara sepatahpun.”

Hingga Ibnu Hajar mengatakan:
“Hadits ini berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa mendakwahinya dulu, jika dakwah secara umum sudah sampai kepadanya. Dan berisi bolehnya berbicara dalam perang sesuai keperluan, meskipun orang yang mengatakan tidak bermaksud makna yang sebenarnya.” [Fathul Bari (VII/ 340)]

Bukhori meriwayatkan hadits ini dalam Kitabul Jihad (Bab Al-Kidzbu fil Harbi/ Bab Berdusta Dalam Perang) dan (Bab Al-Fatku bi Ahlil Harbi/ Bab: Membunuh Orang Kafir Harbi)

Maka barangsiapa yang menyebut aksi ightiyal terhadap orang-orang kafir yang memerangi Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sebuah pengkhianatan janji atau sebutan semisal, atau mengatakan Islam mengharamkannya, berarti ia sesat dan mendustakan Al-Qur’an dan Sunnah.

An-Nawawi berkata:
“Al-Qodhi berkata, ‘Tidak halal bagi siapapun mengatakan bahwa membunuh orang seperti ini adalah mengkhianati janji. Dulu pernah ada seseorang yang mengatakannya di majelis Ali bin Abi Tholib RA , maka diperintahkan agar kepalanya dipenggal, iapun akhirnya dipenggal.’” [Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi (XII/ 160)]

Kisah terakhir ini disebutkan Al-Qurthubi dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “…maka bunuhlah para pemimpin-pemimpin kekafiran.” [At-Taubah: 12]

Disebutkan juga oleh Ibnu Taimiyah dalam As-Shorimul Maslul ‘Ala Syatimir Rosul. Ia juga menyebutkan peristiwa yang terjadi antara Muawiyah dan Muhammad bin Maslamah RA.

Adapun Ibnu Abil Huqoiq adalah Yahudi dari Khoibar dan pedagang Hijaz. Dulu dialah yang pergi ke Mekkah untuk membujuk rayu kaum Quraisy menyerang Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mereka membentuk pasukan Ahzab (pasukan sekutu), jadi dialah penyulut api perang Ahzab.

Bukhori meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang Anshor kepada Abu Rofi‘, beliau menunjuk Abdulloh bin ‘Atik sebagai pemimpin. Abu Rofi‘ ini selalu menyakiti Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan bersekongkol melawan beliau. Waktu itu ia berada di bentengnya di tanah Hijaz.” [Hadits 4039]

Masih dari Barro’, Bukhori meriwayatkan lagi, ia berkata:
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu rohth (pasukan berjumlah antara 3-10) untuk membunuh Abu Rofi‘, maka Abdulloh bin ‘Atik masuk ke rumahnya pada suatu malam kemudian membunuhnya.” [Hadits 4038]

Abdulloh bin Atik mengunakan berbagai tipuan sampai ia berhasil membunuhnya, ia menyamar hingga bisa masuk ke benteng, kemudian itu tutup pintu rumah orang-orang Yahudi dari luar, baru kemudian ia berjalan ke ruangan Abu Rofi‘. Tidaklah ia berjalan melewati satu pintu melainkan ia kunci pintu itu dari dalam, ia juga merubah suaranya hingga tidak dapat dikenali.

Ibnu Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kesimpulan, yaitu: Bolehnya melakukan ightiyal terhadap orang musyrik yang dakwah sudah disampaikan kepadanya kemudian ia masih saja berada di atas kesyirikannya. Dan boleh membunuh orang yang membantu musuh dalam melawan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan tangan (perbuatan), hartanya, atau lisannya. Juga bolehnya memata-matai dan mencari celah kelalaian pasukan perang musuh, dan bersikap keras dalam memerangi orang-orang musyrik. Juga bolehnya menyamarkan perkataan demi sebuah kemashlahatan, dan diperbolehkannya kaum Muslimin yang sedikit maju menghadapi orang musyrik yang banyak.” [Fathul Bari (VII/ 345) dan dikeluarkan Bukhori di dalam Kitabul Jihad (Bab Qotlun Naim Al-Musyrik)]

Dalam masalah ini, Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari Rahimahulloh berkata ketika menyebutkan tingkatan-tingkatan ‘Ubudiyyah di dalam tafsirnya terhadap firman Alloh ta‘ala:

“Hanya kepada-Mulah hamba beribadah dan hanya kepada-Mulah hamba mohon pertolongan.”
[Al-Fatihah: 5]

Ia berkata,

“Kemudian, menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekwensi dalam menegakkannya. Maka seorang hamba yang ibadahnya kepada Alloh benar, tidak akan menunda-nunda dalam urusan ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Seorang hamba yang beribadah kepada Alloh dan dalam dirinya terdapat tekad kuat untuk berjihad, ia akan melaksanakan aksi ightiyal terhadap para pemimpin kekafiran dari kalangan para Aktifis gerakan Atheis dan Pornografi, dan siapa saja yang mencela wahyu Alloh atau menulis dan melancarkan propaganda untuk melawan agama yang lurus ini, sebab orang-orang seperti ini telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslimin di jengkal bumi manapun, baik orang alimnya atau awamnya, membiarkan orang seperti mereka tetap hidup. Sebab mereka lebih berbahaya daripada Ibnu Abil Huqoiq dan lain-lain yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk melakukan ightiyal kepada mereka.

Maka tidak melakukan ightiyal terhadap orang-orangyang menjadi pewaris mereka di zaman sekarangmerupakan pengabaian wasiat Nabi pilihan Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, kekurangan yang parah dalam ibadah kepada Alloh, dan merupakan toleransi terangterangan sekaligus jahat terhadap “cangkul-cangkul” yang menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilapangkan dadanya dalam hal itu kecuali orang yang tidak memiliki ghiroh terhadap agama Alloh dan rasa marah demi wajah-Nya yang Mahamulia. Itu merupakan kekurangan besar dalam kecintaan dan pengagungan kepada Alloh dan rosul-Nya, tidak mungkin dilakukan oleh orang yang merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang benar dan sesuai yang diwajibkan.” [Shofwatul Atsar wal Mafahim min Tafsiril Qur’anil ‘Adzim]

Ibnu Qudamah berkata:
“Boleh melakukan tabyit terhadap orang-orang kafir, yaitu menyerang mereka di malam hari serta membunuh mereka ketika lengah. Ahmad berkata: Tidak mengapa menyerang malam hari, bukankah Romawi juga diperangi di malam hari? Ia berkata lagi: Kami tidak mengetahui seorang pun yang memakruhkan penyerangan musuh di malam hari.

Sufyan membacakan kepadanya dari Az-Zuhri dari Abdulloh dari Ibnu ‘Abbas dari Ash-Sho‘b bin Jatsamah ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai perkampungan-perkampungan orang musyrik yang kami serang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk mereka.”

Ahmad berkata: Isnad-nya jayyid.

Jika dikatakan: bukankah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak? Kami katakan: Ini jika membunuh mereka dengan sengaja.

Ahmad berkata, ‘Kalau membunuh mereka dengan sengaja, maka tidak boleh.’ Ia berkata: Hadits Ash-Sho‘b datang setelah larangan Nabi SAW untuk membunuh wanita di saat mengutus pasukan untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq.

Juga, kompromi dari dua hadits tersebut bisa dilakukan, yaitu: larangan dibawa kepada makna jika sengaja, dan boleh dalam kondisi tidak sengaja.” [Al-Mughni was Syarhul Kabir (X/ 503)]

As-Sarkhosi berkata dalam As-Sairul Kabir:
“Jika orang-orang Islam yang ditawan bisa membunuh musuh yang memerangi dengan cara ightiyal dan mengambil harta mereka, maka itu tidak mengapa. Sebab kaum tersebut memerangi mereka, di saat yang sama, mereka dalam kondisi ditindas dan didzalimi, maka mereka boleh melakukan perlakuan setimpal terhadap orang yang menzalimi jika hal itu memungkinkan.”

Dalil lain (yang mereka gunakan) adalah kisah Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh dalam riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Al-Bazzar, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari hadits ‘Utsman RA, bahwasanya ia meminta jaminan keamanan untuk Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh, lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Ia mengulangi untuk kedua kalinya.

Maka tatkala Abdulloh pergi, beliau bersabda, “Mengapa tidak ada seorangpun dari kalian yang membunuhnya ketika aku berpaling darinya?” para shahabat mengatakan, “Mengapa tuan tidak mengisyaratkan dengan mata tuan?” beliau bersabda, “Tidak selayaknya bagi seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.”

Para ulama berkata: Ini berlaku khusus bagi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Artinya, itu boleh dilakukan oleh selain beliau. Seandainya ada seseorang selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang memberikan isyarat, tentu itu sesuai dengan keinginan Rosululloh ‘Alaihis Sallam ketika berpaling dari permintaan keamanan ‘Utsman untuk Abdulloh, maksud beliau barangkali ada salah satu dari shahabat yang datang kemudian membunuh Abdulloh bin Abis Sarh.”

Abu Dawud, Tirmizi dan Baihaqi meriwayatkan melalui jalur lain dari Anas, ia berkata: “Aku berperang bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu kaum musyrikin maju ke arah kami sampai kami lihat kuda kami berada di punggung-punggung kami. Di antara mereka ada seorang lelaki yang maju menerobos barisan kami, ia memukul serta memporak-porandakan dan membuat kami kocar kacir, kemudian Alloh kalahkan mereka. Maka ada seorang lelaki yang mengatakan: “Sungguh aku bernadzar, jika Alloh datangkan lelaki tadi kepadaku, aku akan penggal kepalanya.”

Akhirnya orang itu datang kedua kalinya, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menahannya, tidak membaiatnya. Maka lelaki yang bersumpah tadi menghadangnya, namun ia sungkan kepada Rosululloh Saw untuk membunuhnya. Tatkala Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat ia tidak melakukan apapun, baru beliau membaiatnya. Lelaki itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?” beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menahan diri dari orang itu sejak hari ini kecuali agar engkau tunaikan nazarmu.” Lelaki itu berkata, “Wahai Rosululloh, mengapa tuan tidak mengerdipkan mata kepadaku?” beliau bersabda, “Tidak boleh seorang nabi mengedipkan mata.”

Di sini muncul permasalahan, yaitu jika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak yang menyertainya, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?

Jawabnya:
Boleh membunuh mereka meskipun mereka tidak berperang dan membantu peperangan, yaitu ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan itu, dan tidak melakukannya dengan sengaja. Dalam masalah ini ada dua hadits:

a. Hadits Ibnu ‘Umar ia berkata,
“Ada seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” Di dalam riwayat lain: “Beliau mengingkarinya.” Menggantikan kata-kata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.” [Muttafaq Alaih]

b. Hadits Ash-Sho‘b bin Jatstsamah ia berkata,
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka diserang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anakanak kaum musyrikin. Maka beliau bersabda, “Mereka adalah dari mereka.” [Muttafaq ‘Alaih]

Dalam lain riwayat: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya bahwa pasukan kuda menyerang pada malam hari kemudian mengenai anak-anak kaum musyrikin, maka beliau bersabda, “Mereka termasuk ayah mereka.” [HR. Muslim]

An-Nawawi berkata, ““Mereka termasuk ayah mereka,”
artinya: tidak mengapa melakukan serangan tersebut; sebab hukum-hukum yang berlaku bagi ayah mereka  juga berlaku untuk mereka dalam hal waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya. Di sini maksudnya adalah jika mereka terkena dengan tidak sengaja dan bukan dalam keadaan terpaksa.

Hadits berisi larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan malam itu adalah madzhab yang kami pegang, termasuk madzhab Malik, Abu Hanifah dan Jumhur. Makna dari kata Al-bayaat dan yubayyatuuna adalah: mereka diserang di malam hari di mana antara lelaki, wanita dan anak-anak tidak bisa diketahui. Hadits ini berisi bolehnya penyerangan malam hari dan bolehnya menyerang orang yang sudah didakwahi tanpa harus memberitahukan penyerangan itu terlebih dahulu.

Termasuk kandungan hadits ini adalah: Hukum anak-anak orang kafir di dunia sama dengan hukum ayahnya; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh ada tiga madzhab dalam hal ini.” [Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi (XII/ 48-50)]

Adapun berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghukum mati seorang Muslim dalam perang Khaibar karena ia membunuh orang kafir dengan cara meng-ightiyalnya, dan ketika itu beliau bersabda, “Aku paling utama atau paling berhak sebagai orang yang memenuhi jaminannya.”

Maka hadits ini dho‘îf, disebutkan Abu Dawud dalam Marosil-nya, semua jalur periwayatannya cacat (ma‘lulah). Pengarang Ad-Diroyah fi Takhriji Ahaditsil Hidayah mengupas dengan baik sebagian besar jalur periwayatannya (II/ 262), demikian juga dengan pengarang Nashbur Royah milik Az-Zaila‘i, ia menyebutkan dan menilainya sebagai hadits dho‘if, silahkan memeriksa pembahasan tentang hal itu.
Asy-Syafi‘i –semoga Alloh ta‘ala merahmati beliau—berkata, “Kalaulah kita anggap hadits itu shohih, maka itu sudah manshukh dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu Fathu Makkah, ‘Seorang muslim tidak dibunuh lantaran membunuh orang kafir.’ Hadits ini tercantum dalam riwayat Bukhori dan yang lain. Kalaulah hadits itu shohih, dan kita anggap ia tidak ter-manshukh, maka hukum itu berlaku bagi kafir dzimmi yang mu‘ahad , sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwaththo’ tulisan Imam Malik –semoga Alloh ta‘ala merahmatinya— kemudian ia ter-manshukh. Tinggallah dosa tersebut bagi yang membunuh orang kafir mu‘ahad.

Menurut kami,membunuh kafir dzimmi yang mu‘ahad adalah terlarang dan kami katakan hal itu berdasarkan hadits dari Abdulloh bin ‘Amru RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu‘ahad, ia tidak akan mencium bau surga, dan sungguh baunya tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.”

Sekarang ini, orang-orang Amerika bukan berstatus mu‘ahad sebagaimana akan dijelaskan. Lebih-lebih para pelaku yang melancarkan operasi serangan terhadap mereka sudah memberitahukan bahwa tidak ada ikatan dan perjanjian apapun dengan mereka. Maka bagaimana hadits dan petunjuk Nabi Al-Mushthofâ Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengenai bolehnya membunuh orang kafir secara ightiyâl ini akan diterapkan dengan kondisi Bani Ashfar (Amerika) seperti sudah dijelaskan?


Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...