Syubhat Ketujuh:
Tidak Boleh Membunuh Orang
Amerika Dalam Kondisi Lengah (Ightiyal)
Berdasarkan Sabda Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam: “Tidak Selayaknya Seorang Nabi Melakukan Pengkhianatan
Mata.”
Jawaban:
Diperbolehkan
melakukan ightiyal terhadap orang kafir harbi, yakni orang kafir yang tidak ada
ikatan janji.
Sunnah
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kebolehannya jika dilakukan
terhadap orang yang gangguan terhadap Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam sangat keras. Masalah ini juga diisyaratkan dalam firman Alloh
ta‘ala:
“…maka
bunuhlah orang-orang musyrik di manapun kalian jumpai mereka, kepunglah mereka,
dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.”
[At-Taubah:
5]
Al-Qurthubi berkata,
“…dan
intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian” maksudnya, intailah mereka di
tempat-tempat ketika mereka lalai. Ini merupakan dalil bolehnya melakukan
ightiyal terhadap mereka sebelum mendakwahi mereka.”
Perkataan Al-Qurthubi, “…sebelum mendakwahi mereka” maksudnya,
bagi orang yang sebelumnya sudah menerima dakwah. Sedangkan ayat “…dan
intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian.” [At-Taubah:
5] berisi dalil disyariatkannya aksi pengintaian, pemantauan dan
memata-matai musuh.
Adapun
sunnah, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah memerintahkan untuk
membunuh Ka‘b bin Al-Asyrof dan Abu Rofî‘ bin Abil Huqoiq, keduanya adalah
orang Yahudi.
Mengenai
Ka‘ab, disebabkan karena ia memprovokasi kaum musyrikin untuk memerangi Kaum
Muslimin. Ia juga gemar mencaci Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan syairnya
dan suka mengganggu isteri-isteri kaum Muslimin.
Adapun kisah
pembunuhannya terdapat dalam riwayat Bukhori dan Muslim. Bukhori meriwayatkan
dari Jabir:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Siapa yang
mau membunuh Ka‘b
bin Al-Asyrof? Sesungguhnya ia telah menyakiti Alloh
dan rosul-Nya.” Maka Muhammad bin Salamah berdiri lalu berkata, “Wahai
Rosululloh, apakah tuan suka kalau saya membunuhnya?” beliau bersabda, “Ya.” Ia
berkata, “Kalau begitu, izinkan aku mengatakan sesuatu.” Beliau bersabda,
“Katakan saja.” Akhirnya Muhammad bin Maslamah mendatangi Ka‘b.” [Hadits
4037]
Selanjutnya dalam hadits ini dikisahkan bahwasanya Muhammad
bin Salamah dan teman-temannya mengelabui Ka‘ab dengan berpura-pura kecewa
terhadap Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, mereka juga menipunya sebelum
berhasil membunuhnya ketika Ka‘b berada di benteng Manî‘.
Ibnu Hajar berkata, “Di dalam Mursal ‘Ikrimah disebutkan:
‘..Maka orang-orang yahudi ketakutan dengan peristiwa pembunuhan itu, kemudian
mereka mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, ‘Pembesar
kami terbunuh diam-diam.’
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu menceritakan kelakuan
Ka‘ab yang suka memprovokasi orang lain untuk memerangi beliau dan menyakiti
Kaum Muslimin.’”
Sa‘d menambahkan, “…akhirnya mereka ketakutan dan tidak bicara
sepatahpun.”
Hingga Ibnu Hajar mengatakan:
“Hadits
ini berisi bolehnya membunuh orang musyrik tanpa mendakwahinya dulu, jika
dakwah secara umum sudah sampai kepadanya. Dan berisi bolehnya berbicara dalam
perang sesuai keperluan, meskipun orang yang mengatakan tidak bermaksud makna
yang sebenarnya.” [Fathul Bari (VII/
340)]
Bukhori
meriwayatkan hadits ini dalam Kitabul Jihad (Bab Al-Kidzbu fil Harbi/ Bab
Berdusta Dalam Perang) dan (Bab Al-Fatku bi Ahlil Harbi/ Bab: Membunuh Orang
Kafir Harbi)
Maka
barangsiapa yang menyebut aksi ightiyal terhadap orang-orang kafir yang
memerangi Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai sebuah
pengkhianatan janji atau sebutan semisal, atau mengatakan Islam mengharamkannya,
berarti ia sesat dan mendustakan Al-Qur’an dan Sunnah.
An-Nawawi
berkata:
“Al-Qodhi
berkata, ‘Tidak halal bagi siapapun mengatakan bahwa membunuh orang seperti ini
adalah mengkhianati janji. Dulu pernah ada seseorang yang mengatakannya di majelis
Ali bin Abi Tholib RA , maka diperintahkan agar kepalanya dipenggal, iapun
akhirnya dipenggal.’” [Shohih Muslim bi Syarhin
Nawawi (XII/ 160)]
Kisah terakhir
ini disebutkan Al-Qurthubi dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “…maka bunuhlah
para pemimpin-pemimpin kekafiran.” [At-Taubah: 12]
Disebutkan
juga oleh Ibnu Taimiyah dalam As-Shorimul Maslul ‘Ala Syatimir Rosul. Ia juga
menyebutkan peristiwa yang terjadi antara Muawiyah dan Muhammad bin Maslamah RA.
Adapun
Ibnu Abil Huqoiq adalah Yahudi dari Khoibar dan pedagang Hijaz. Dulu dialah
yang pergi ke Mekkah untuk membujuk rayu kaum Quraisy menyerang Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sehingga mereka membentuk pasukan Ahzab (pasukan
sekutu), jadi dialah penyulut api perang Ahzab.
Bukhori
meriwayatkan dari Al-Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam mengutus beberapa orang Anshor kepada Abu Rofi‘, beliau
menunjuk Abdulloh bin ‘Atik sebagai pemimpin. Abu Rofi‘ ini selalu menyakiti
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan bersekongkol melawan beliau. Waktu itu
ia berada di bentengnya di tanah Hijaz.” [Hadits 4039]
Masih
dari Barro’, Bukhori meriwayatkan lagi, ia berkata:
“Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus satu rohth (pasukan berjumlah antara
3-10) untuk membunuh Abu Rofi‘, maka Abdulloh bin ‘Atik masuk ke rumahnya pada
suatu malam kemudian membunuhnya.” [Hadits 4038]
Abdulloh
bin Atik mengunakan berbagai tipuan sampai ia berhasil membunuhnya, ia menyamar
hingga bisa masuk ke benteng, kemudian itu tutup pintu rumah orang-orang Yahudi
dari luar, baru kemudian ia berjalan ke ruangan Abu Rofi‘. Tidaklah ia berjalan
melewati satu pintu melainkan ia kunci pintu itu dari dalam, ia juga merubah
suaranya hingga tidak dapat dikenali.
Ibnu
Hajar berkata, “Di dalam hadits ini terdapat beberapa kesimpulan, yaitu:
Bolehnya melakukan ightiyal terhadap orang musyrik yang dakwah sudah
disampaikan kepadanya kemudian ia masih saja berada di atas kesyirikannya. Dan boleh
membunuh orang yang membantu musuh dalam melawan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam dengan tangan (perbuatan), hartanya, atau lisannya. Juga bolehnya memata-matai
dan mencari celah kelalaian pasukan perang musuh, dan bersikap keras dalam
memerangi orang-orang musyrik. Juga bolehnya menyamarkan perkataan demi sebuah
kemashlahatan, dan diperbolehkannya kaum Muslimin yang sedikit maju menghadapi
orang musyrik yang banyak.” [Fathul Bari (VII/
345) dan dikeluarkan Bukhori di dalam Kitabul Jihad (Bab Qotlun Naim
Al-Musyrik)]
Dalam
masalah ini, Syaikh Abdurrohman Ad-Dausari Rahimahulloh berkata ketika
menyebutkan tingkatan-tingkatan ‘Ubudiyyah di dalam tafsirnya terhadap firman
Alloh ta‘ala:
“Hanya
kepada-Mulah hamba beribadah dan hanya kepada-Mulah hamba mohon pertolongan.”
[Al-Fatihah:
5]
Ia berkata,
“Kemudian,
menyiapkan kekuatan semampunya termasuk kewajiban agama dan konsekwensi dalam menegakkannya.
Maka seorang hamba yang ibadahnya kepada Alloh benar, tidak akan menunda-nunda
dalam urusan ini, apalagi meninggalkan atau meremehkannya. Seorang hamba yang
beribadah kepada Alloh dan dalam dirinya terdapat tekad kuat untuk berjihad, ia
akan melaksanakan aksi ightiyal terhadap para pemimpin kekafiran dari kalangan
para Aktifis gerakan Atheis dan Pornografi, dan siapa saja yang mencela wahyu
Alloh atau menulis dan melancarkan propaganda untuk melawan agama yang lurus
ini, sebab orang-orang seperti ini telah menyakiti Alloh dan rosul-Nya
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Tidak
diperbolehkan bagi kaum Muslimin di jengkal bumi manapun, baik orang alimnya
atau awamnya, membiarkan orang seperti mereka tetap hidup. Sebab mereka lebih
berbahaya daripada Ibnu Abil Huqoiq dan lain-lain yang Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan untuk melakukan ightiyal kepada mereka.
Maka
tidak melakukan ightiyal terhadap orang-orangyang menjadi pewaris mereka di
zaman sekarangmerupakan pengabaian wasiat Nabi pilihan Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam, kekurangan yang parah dalam ibadah kepada Alloh, dan merupakan
toleransi terangterangan sekaligus jahat terhadap “cangkul-cangkul” yang
menghancurkan agama Alloh. Tidak ada yang dilapangkan dadanya dalam hal itu
kecuali orang yang tidak memiliki ghiroh terhadap agama Alloh dan rasa marah
demi wajah-Nya yang Mahamulia. Itu merupakan kekurangan besar dalam kecintaan
dan pengagungan kepada Alloh dan rosul-Nya, tidak mungkin dilakukan oleh orang
yang merealisasikan ‘ubudiyyah kepada Alloh dengan maknanya yang benar dan sesuai
yang diwajibkan.” [Shofwatul Atsar wal Mafahim min
Tafsiril Qur’anil ‘Adzim]
Ibnu Qudamah berkata:
“Boleh
melakukan tabyit terhadap orang-orang kafir, yaitu menyerang mereka di malam
hari serta membunuh mereka ketika lengah. Ahmad berkata: Tidak mengapa
menyerang malam hari, bukankah Romawi juga diperangi di malam hari? Ia berkata
lagi: Kami tidak mengetahui seorang pun yang memakruhkan penyerangan musuh di
malam hari.
Sufyan
membacakan kepadanya dari Az-Zuhri dari Abdulloh dari Ibnu ‘Abbas dari Ash-Sho‘b
bin Jatsamah ia berkata: Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
ditanya mengenai perkampungan-perkampungan orang musyrik yang kami serang di
malam hari kemudian mengenai wanita dan anak-anak mereka, maka beliau bersabda,
“Mereka termasuk mereka.”
Ahmad
berkata: Isnad-nya jayyid.
Jika
dikatakan: bukankah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita
dan anak-anak? Kami katakan: Ini jika membunuh mereka dengan sengaja.
Ahmad
berkata, ‘Kalau membunuh mereka dengan sengaja, maka tidak boleh.’ Ia berkata:
Hadits Ash-Sho‘b datang setelah larangan Nabi SAW untuk membunuh wanita di saat
mengutus pasukan untuk membunuh Ibnu Abil Huqoiq.
Juga,
kompromi dari dua hadits tersebut bisa dilakukan, yaitu: larangan dibawa kepada
makna jika sengaja, dan boleh dalam kondisi tidak sengaja.” [Al-Mughni
was Syarhul Kabir (X/ 503)]
As-Sarkhosi berkata dalam As-Sairul Kabir:
“Jika
orang-orang Islam yang ditawan bisa membunuh musuh yang memerangi dengan cara
ightiyal dan mengambil harta mereka, maka itu tidak mengapa. Sebab kaum
tersebut memerangi mereka, di saat yang sama, mereka dalam kondisi ditindas dan
didzalimi, maka mereka boleh melakukan perlakuan setimpal terhadap orang yang
menzalimi jika hal itu memungkinkan.”
Dalil
lain (yang mereka gunakan) adalah kisah Abdulloh bin Sa‘d bin Abis Sarh dalam
riwayat Abu Dawud, Nasa’i, Al-Bazzar, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari hadits
‘Utsman RA, bahwasanya ia meminta jaminan keamanan untuk Abdulloh bin Sa‘d bin
Abis Sarh, lalu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berpaling darinya. Ia
mengulangi untuk kedua kalinya.
Maka
tatkala Abdulloh pergi, beliau bersabda, “Mengapa tidak ada seorangpun dari
kalian yang membunuhnya ketika aku berpaling darinya?” para shahabat
mengatakan, “Mengapa tuan tidak mengisyaratkan dengan mata tuan?” beliau bersabda,
“Tidak selayaknya bagi seorang Nabi melakukan pengkhianatan mata.”
Para
ulama berkata: Ini berlaku khusus bagi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam. Artinya, itu boleh dilakukan oleh selain beliau. Seandainya ada
seseorang selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang memberikan isyarat,
tentu itu sesuai dengan keinginan Rosululloh ‘Alaihis Sallam ketika berpaling
dari permintaan keamanan ‘Utsman untuk Abdulloh, maksud beliau barangkali ada
salah satu dari shahabat yang datang kemudian membunuh Abdulloh bin Abis Sarh.”
Abu
Dawud, Tirmizi dan Baihaqi meriwayatkan melalui jalur lain dari Anas, ia
berkata: “Aku berperang bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu
kaum musyrikin maju ke arah kami sampai kami lihat kuda kami berada di
punggung-punggung kami. Di antara mereka ada seorang lelaki yang maju menerobos
barisan kami, ia memukul serta memporak-porandakan dan membuat kami kocar
kacir, kemudian Alloh kalahkan mereka. Maka ada seorang lelaki yang mengatakan:
“Sungguh aku bernadzar, jika Alloh datangkan lelaki tadi kepadaku, aku akan
penggal kepalanya.”
Akhirnya
orang itu datang kedua kalinya, kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam menahannya, tidak membaiatnya. Maka lelaki yang bersumpah tadi menghadangnya,
namun ia sungkan kepada Rosululloh Saw untuk membunuhnya. Tatkala Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melihat ia tidak melakukan apapun, baru beliau
membaiatnya. Lelaki itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?” beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku tidak menahan diri dari orang itu sejak hari ini kecuali agar
engkau tunaikan nazarmu.” Lelaki itu berkata, “Wahai Rosululloh, mengapa tuan
tidak mengerdipkan mata kepadaku?” beliau bersabda, “Tidak boleh seorang nabi mengedipkan
mata.”
Di
sini muncul permasalahan, yaitu jika tidak
memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan membunuh wanita dan anak-anak
yang menyertainya, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?
Jawabnya:
Boleh
membunuh mereka meskipun mereka tidak berperang dan membantu peperangan, yaitu
ketika tidak memungkinkan membunuh orang kafir kecuali dengan itu, dan tidak
melakukannya dengan sengaja. Dalam masalah ini ada dua hadits:
a. Hadits Ibnu
‘Umar ia berkata,
“Ada
seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan, maka Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam melarang membunuh wanita dan anak-anak.” Di dalam riwayat
lain: “Beliau mengingkarinya.” Menggantikan kata-kata: “Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam melarangnya.” [Muttafaq Alaih]
b.
Hadits Ash-Sho‘b bin Jatstsamah ia berkata,
“Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya mengenai anak-anak kaum musyrikin, mereka
diserang di malam hari kemudian mengenai wanita dan anakanak kaum musyrikin.
Maka beliau bersabda, “Mereka adalah dari mereka.” [Muttafaq
‘Alaih]
Dalam
lain riwayat: “Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ditanya bahwa pasukan kuda
menyerang pada malam hari kemudian mengenai anak-anak kaum musyrikin, maka
beliau bersabda, “Mereka termasuk ayah mereka.” [HR.
Muslim]
An-Nawawi berkata, ““Mereka termasuk ayah
mereka,”
artinya:
tidak mengapa melakukan serangan tersebut; sebab hukum-hukum yang berlaku bagi
ayah mereka juga berlaku untuk mereka
dalam hal waris, nikah, qishosh, diyat dan sebagainya. Di sini maksudnya adalah
jika mereka terkena dengan tidak sengaja dan bukan dalam keadaan terpaksa.
Hadits
berisi larangan membunuh wanita dan anak-anak dalam penyerangan malam itu
adalah madzhab yang kami pegang, termasuk madzhab Malik, Abu Hanifah dan Jumhur.
Makna dari kata Al-bayaat dan yubayyatuuna adalah: mereka diserang di malam
hari di mana antara lelaki, wanita dan anak-anak tidak bisa diketahui. Hadits ini
berisi bolehnya penyerangan malam hari dan bolehnya menyerang orang yang sudah
didakwahi tanpa harus memberitahukan penyerangan itu terlebih dahulu.
Termasuk
kandungan hadits ini adalah: Hukum anak-anak orang kafir di dunia sama dengan
hukum ayahnya; adapun di akhirat, jika mereka mati sebelum baligh ada tiga
madzhab dalam hal ini.” [Shohih Muslim bi Syarhin
Nawawi (XII/ 48-50)]
Adapun
berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwasanya Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menghukum mati seorang Muslim dalam perang Khaibar karena ia
membunuh orang kafir dengan cara meng-ightiyalnya, dan ketika itu beliau
bersabda, “Aku paling utama atau paling berhak sebagai orang yang memenuhi
jaminannya.”
Maka
hadits ini dho‘îf, disebutkan Abu Dawud dalam Marosil-nya, semua jalur
periwayatannya cacat (ma‘lulah). Pengarang Ad-Diroyah fi Takhriji Ahaditsil
Hidayah mengupas dengan baik sebagian besar jalur periwayatannya (II/ 262), demikian
juga dengan pengarang Nashbur Royah milik Az-Zaila‘i, ia menyebutkan dan
menilainya sebagai hadits dho‘if, silahkan memeriksa pembahasan tentang hal
itu.
Asy-Syafi‘i
–semoga Alloh ta‘ala merahmati beliau—berkata, “Kalaulah kita anggap hadits itu
shohih, maka itu sudah manshukh dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
pada waktu Fathu Makkah, ‘Seorang muslim tidak dibunuh lantaran membunuh orang
kafir.’ Hadits ini tercantum dalam riwayat Bukhori dan yang lain. Kalaulah hadits
itu shohih, dan kita anggap ia tidak ter-manshukh, maka hukum itu berlaku bagi
kafir dzimmi yang mu‘ahad , sebagaimana disebutkan di dalam kitab Al-Muwaththo’
tulisan Imam Malik –semoga Alloh ta‘ala merahmatinya— kemudian ia ter-manshukh.
Tinggallah dosa tersebut bagi yang membunuh orang kafir mu‘ahad.
Menurut
kami,membunuh kafir dzimmi yang mu‘ahad adalah terlarang dan kami katakan hal
itu berdasarkan hadits dari Abdulloh bin ‘Amru RA dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam beliau bersabda, “Barangsiapa membunuh kafir mu‘ahad, ia tidak
akan mencium bau surga, dan sungguh baunya tercium dari jarak perjalanan empat
puluh tahun.”
Sekarang
ini, orang-orang Amerika bukan berstatus mu‘ahad sebagaimana akan dijelaskan.
Lebih-lebih para pelaku yang melancarkan operasi serangan terhadap mereka sudah
memberitahukan bahwa tidak ada ikatan dan perjanjian apapun dengan mereka. Maka
bagaimana hadits dan petunjuk Nabi Al-Mushthofâ Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengenai
bolehnya membunuh orang kafir secara ightiyâl ini akan diterapkan dengan
kondisi Bani Ashfar (Amerika) seperti sudah dijelaskan?
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar