8/12/2019

Kenali Musuhmu ! Siapakah Safawiyyah?


Kenali Musuhmu:
Siapakah Safawiyyah?

Singkatnya, Negara Safawi adalah politik pengkultusan dari Rāfidhah Itsnā-'Ashriyyah [Dua Belas Imam], yang negaranya didirikan oleh Ismā'il Ibnu Haydar tahun 906 H dan resmi jatuh tahun 1148 H. Selain mereka secara kejam membangkitkan kembali Rafd (agama orang Rāfidhah), mereka menaruh perhatian besar pada bahasa Persia (Farsi) dan budayanya. Rāfidah hari ini yang tidak diragukan lagi merupakan kelanjutan dari pengkultusan ini karena mereka mempraktekan Rafd yang sama, menerapkan perlakuan yang sama terhadap Ahlus Sunnah, dan menyebarkan Persianisme yang sama.

Dinamakan berdasarkan Ishāq al-Ardabili (mati tahun 735 H), orang asli Turkmenistan atau Kurdi dan dikenal sebagai "Sala ad-Din," Safawiyyah adalah kelompok yang awalnya adalah tariqah (tingkatan Sufi) Syafi'i, yang berubah menjadi gerakan militan Rāfidhi untuk menjadi negara tirani yang menguasai persia dengan ambisi untuk menghapus semua jejak Sunnah dan orang-orangnya.

"Shāh" (raja Persia) pertama mereka berkuasa pada tahun 906 H. Dia adalah Ismā'il Ibnu Haydar, keturunan langsung dari Sala ad-Din, dan dikenal dengan penyimpangan yang parah dan kekejamannya. Asy Syaukani berkata tentangnya, "Pengikutnya bertambah hingga ia menyerang dan mengalahkan Sultan Shirvan, yang ditangkap oleh pasukannya. Dia memerintahkan mereka untuk memasaknya dalam kuali lalu memakannya"[Al-Badr at-Tāli']. Tidak mengherankan jika kemudian ketika Ismā'il mengalahkan amir Merv, ia memutilasinya -menyebar anggota tubuhnya di penjuru Persia – dan menutupi tengkorak dengan emas dan permata untuk digunakan sebagai piala di acara-acara sosial.

Ismā'il mengklaim bahwa ia menerima perintah dari "al-Mahdi" yang dinanti, untuk menjadi "perwakilan Allah di bumi" untuk mengurus negara baru dan membela 12 imām yang dianggap "ma'shum" oleh Rāfidah. Karena latar belakang Sufi-nya, ia mengaku menerima "ilhām ghaybi," semacam "inspirasi gaib," sehingga pengikutnya menganggap ia memiliki status keilahian, bahkan menganggap ia "penjelmaan dari ruh Allah," kita berlindung kepada Allah dari kekafiran terang-terangan seperti itu!.

Dengan dukungan penuh dari milisi Rāfidhi Qizilbāsh[1], Ismā'il membantai banyak Muslim, terutama setiap ulama yang mengajarkan Sunnah. Dia membantai ribuan orang dan membakar semua buku Ahlus Sunnah, bahkan tidak menyisakan salinan Al-Qur'an mereka. Awalnya berpenduduk mayoritas Sunni, Persia, timur Irak, dan Khurāsān pernah dipenuhi ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh ulama ahli bahasa Sibawayh dan al-Azhari; ahli hadits al-Bukhāri dan Muslim; ahli tafsir ath-Thabari dan al-Baghawi, dan Fuqahā' al-Marwazi dan Ibnul-Mundzir. Namun begitu dikuasai oleh Safawiyyah, wilayah itu hampir kosong dari ilmu.

[1] Mereka adalah milisi Turki yang dikelola oleh ayah Ismāil dan dikenal dengan Qizilbāsh (bahasa Turki dari "kepala Merah") karena mahkota merah mereka yang masing-masing memiliki dua belas tanduk, menunjukkan kesetiaan mereka kepada sekte Dua Belas.

Zaman kegelapan cepat menyebar di Persia yang sebelumnya terang benderang. Ismā'il dan keturunannya secara paksa mengubah Sunni mayoritas ke agama Rāfidhi. Hal yang sama terjadi di daerah bermayoritas Sunni lainnya, termasuk Azerbaijan. "Ulama" Rāfidhi Arab dari Lebanon, Bahrain, dan Irak diimpor untuk mengajarkan aqidah-aqidah sesat mereka. Yang paling terkenal dari mereka - dan yang pertama datang - adalah 'Ali bin Husain al-Karaki (mati tahun 940 H), yang diberikan posisi "Syaikhul-Islām" dan memimpin lembaga yang didirikan untuk mengawasi perubahan Ahlus Sunnah. Al-Karaki itulah yang mengeluarkan fatwā membolehkan Rāfdhah Ithnā-'Ashra untuk menggunakan kekuatan militer guna mendirikan pemerintahan mereka, sehingga "memperkuat" klaim Ismā'il dan membenarkan semua pelanggarannya. 

Banyak Sunni meninggalkan Persia, tapi mereka yang tetap tinggal dianiaya, harus memilih antara murtad atau mati. Mengenai proses ini dan kekejamannya terhadap Ahlus Sunnah, Ismā'il berkata, "Hal ini tidak membuatku khawatir, karena Allah dan imām yang ma'shum bersamaku, jadi aku tidak takut siapapun. Jika satu saja tujuanku menemui halangan, aku akan menghunus pedangku dan tidak meninggalkan seorang pun hidup."

Adzān diubah menyesuaikan "fiqh" Rāfidhi, menambahkan kalimat "Asyhadu anna 'aliyyan waliyullāh" ("Aku bersaksi bahwa 'Ali adalah wali Allah"). Para imām diperintah untuk mengutuk Abu Bakar ash-Shiddiq, 'Umar bin Khattāb, dan 'Utsmān bin 'Affān dalam setiap khutbah Jum'at.

Pemakaman Sunni dinodai dan masjid mereka dihancurkan. Tome Pires, seorang salibis dan duta besar Portugis untuk Cina, yang melewati Persia selama 916 dan 917 H, menyaksikan hal ini dan mengatakan, "Dia [Ismā'il] merenovasi gereja kami padahal mereka menghancurkan masjid umat Islam yang mengikuti Sunnah" [Summa Oriental].

Mengikuti Ibnu Buwayh, pemimpin Rāfidhi di abad keempat, Ismā'il menghidupkan kembali ritual umum untuk kematian al-Husain, ritual yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir, "Perintah diberikan [oleh Ibnu Buwayh] untuk menutup pasar, perempuan memakai kain tenun dari rambut, dan pergi keluar menampakkan wajah dan rambut mereka, lalu mereka menampar wajah mereka dan meratap untuk al-Husain bin 'Ali bin Abu Thālib. Ahlus Sunnah tidak dapat mencegahnya karena banyaknya jumlah kaum Syi'ah dan dominasi mereka, karena kekuasaan ada di tangan Syi'ah" [Al-Bidāyah wan-Nihāyah].

Perayaan untuk memperingati terbunuhnya 'Umar bin Khattāb juga digalakkan ketika itu. Praktek ini didukung oleh Muhammad Bāqir al-Majlisi mati tahun 1111 H, yang dianggap sebagai salah satu "ulama" istana Safawi yang paling utama dan juga diberi gelar "Syaikhul-Islām" oleh "shāh." Dalam perayaan kematian 'Umar, ia berkata, "Yang terkenal di antara Syi'ah di kota-kota dan daerah-daerah besar pada waktu kita ini adalah bahwa hal itu [pembunuhan 'Umar] terjadi tanggal 9 Rabi'al-Awwal, dan itu adalah hari raya" [Bihār al-Anwār]. Lalu dia menyebutkan riwayat palsu sebagai dalil bahwa itu adalah hari kematian 'Umar (yang sebenarnya adalah 26 Dzul-Hijjah) dan bahwa hari itu adalah hari 'id terbesar bagi pendukung Ahlul-Bait!

Sebagaimana Rāfidhah masa ini, Safawiyyah juga dikenal akan kesetiaan mereka kepada salibis. Ismā'il – kemudian memegang kendali Hormuz - bersekutu dengan salibis Portugis antara tahun 921 dan 927 H untuk membantu mereka menaklukan al-Bahrain dan al-Qatif di timur Jazirah Arab, yang secara langsung melanggar salah satu perintah terakhir dari Nabi untuk mengusir musyrikin dari Jazirah Arab. Namun karena Portugis mengambil bantuan dari boneka-boneka "Sunni" dan bukan dari Rāfidhi, cicit Ismā'il' bernama 'Abbās memutus hubungan Safawi dengan salibis itu - hanya untuk merayu salibis Inggris dalam persekutuan lain yang diawali dengan surat-menyurat terus menerus dengan penguasa Eropa sejak era kakeknya, Tahmāsp Ibnu Ismā'il.

'Abbās itulah yang mengundang salibis Anthony dan Robert Shirley, di bawah komando Earl dari Essex, untuk "memodernisasi" tentara Safawi untuk membantu sekutu penyembah salib mereka. Bahkan menjelang akhir dari dinasti Rāfidhi, di 1119 H, Husain Safawi meminta bantuan angkatan laut dari Louis XIV Perancis untuk menaklukkan sebagian Teluk Arab.

Mereka menggunakan persekutuan seperti itu, serta politik licik dengan tetangga mereka, untuk semakin memasuki daerah-daerah Sunni. Melalui perjanjian dengan penyembah kuburan Utsmaniyah di tahun 962 H, Rāfidhi Safawiyyah diberi izin untuk masuk ke Jazirah Arab – sebagaimana Alu Salul mengizinkan mereka hari ini – untuk melakukan haji di Makkah, meskipun Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini” [at-Taubah: 28].

Meskipun pengaruh mereka tersebar ke seluruh negeri yang mereka taklukkan, dan efek jangka panjang mereka dirasakan bahkan hari ini, "shah" Safawi hidup dan mati dalam kehinaan. Ismā'il, setelah kekalahan parah yang merusak citra "keilahian" yang diklaimnya, mengurung diri di istananya, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mabuk-mabukan lalu mati tahun 930 H, hanya berumur 38 tahun. Tahmāsp Ibnu Ismā'il mati karena keracunan tahun 984 H. Ismā'il Ibnu Tahmāsp harus membuat saudara-saudaranya mati dan buta untuk mengamankan tahtanya, tapi setelah hanya satu tahun berkuasa ia dituduh kurang Rāfidhi, diracuni sampai mati, dan digulingkan oleh saudaranya yang hampir buta Muhammad Khudābandah. Bertindak sebagai "shāh" selama 10 tahun, pemerintahan Khudābandah berakhir ketika ia dipenjarakan oleh anaknya sendiri, 'Abbās, yang menginginkan posisi ayahnya. Selain pemabuk dan pelaku sodomi, ia membunuh pewarisnya sendiri Muhammad Bāqir, membutakan dua anaknya yang lain, lalu mati tahun 1038 H. Cucunya yang kecanduan alkohol dan opium, dan sekaligus lemah, Sām Ibnu Muhammad Bāqir, menggantikannya dan mati tahun tahun 1052 H. Putranya 'Abbās memerintah sampai kematiannya tahun 1077  H. Sulaymān Ibnu 'Abbās Ibnu Sām mengambil alih dan mati karena penyalahgunaan alkohol tahun 1105 H. Diikuti oleh Husain, yang ditangkap di ibukotanya sendiri, sekarat dan gila di dalam penjara. Tahmāsp Ibnu Husain memimpin beberapa tahun, sampai anaknya 'Abbās menggulingkannya dengan bantuan Nādir khān yang tidak memiliki kaitan keluarga, yang kemudian mengambil alih kekuasaan untuk dirinya sendiri. Sehingga berakhirlah dinasti Safawi, tetapi ideologi politik Rāfidhi-Safawi dan penganiayaannya terhadap Ahlus Sunnah dilanjutkan di Persia oleh Ashfāriyyah dari Nādir khān, lalu Zandiyyah, lalu Qājāriyyah, lalu Pahlaviyyah, dan kemudian hari ini rezim Iran yang terinspirasi Khomeini, yang didukung oleh "ulama" yang mengambil "bimbingan" dari Safawiyyah, menganggap mereka sebagi standar bagi pemerintahan yang "baik". "Ulama" Rāfidhi Iran, Abbās al-Qummi (mati tahun 1359 H) menulis, "Safi ad-Din al-Ardabili” Dia adalah Wali Agung, Bukti dari kemurnian Sempurna... keturunannya adalah sultan Safawi yang menyebarkan syi’ar-syi’ar agama dan menolong pembela Amirul-Mu'minin (yaitu 'Ali bin Abi Thālib), semoga keselamatan atasnya" [Al-Kunā wal-Alqāb]. Bagi ulama Rāfidhi hari ini, Ismā'il telah menegakkan agama Allah, berjihad di jalan-Nya. "Ulama" Rāfidhi Irak, Hasan as-Sadr (mati tahun 1354 H) menyebutnya, "Penyerang di jalan Allah, Shāh Ismā'il as-Safawi" [Takmilat Amal al-Amil].

Namun, sebagaimana penerus Rāfidhi mereka hari ini, Safawiyyah tidak ada kaitannya dengan Islam selain hanya untuk menghalang-halangi manusia darinya. Negara Rāfidhi mereka meninggalkan warisan budaya busuk penuh kedengkian, dan kebencian itu diarahkan tidak lain kepada Ahlus Sunnah. Adalah penting untuk menghubungkan fakta bahwa warisan jahat ini - tentang permusuhan utama mereka terhadap Ahlus-Sunnah, bukan yahudi, salibis, atau murtaddin - masih diterapkan oleh Iran, Irak, Lebanon dan Rāfidhah lainnya pada zaman kita ini sebagai agama mereka di samping peribadahan mereka kepada orang mati dan berbagai bentuk kekafiran dan kesyirikan lainnya.

Sama seperti kekaisaran Romawi yang tidak pernah sepenuhnya jatuh, tapi hanya mengadopsi nama baru, Safa-wiyyah berkembang - dengan basis di Iran – dengan tujuan Rāfidhi mereka untuk memberantas Ahlus Sunnah dan menggantinya dengan kaum murtad.


Source: DABIQ 13

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...