Kenali Musuhmu:
Siapakah Safawiyyah?
Singkatnya, Negara Safawi adalah politik pengkultusan dari Rāfidhah Itsnā-'Ashriyyah [Dua
Belas Imam], yang negaranya didirikan oleh
Ismā'il Ibnu Haydar tahun 906 H
dan resmi jatuh tahun 1148 H. Selain mereka secara
kejam membangkitkan kembali Rafd (agama
orang Rāfidhah), mereka menaruh perhatian besar pada bahasa Persia (Farsi) dan
budayanya. Rāfidah hari ini yang tidak diragukan lagi merupakan kelanjutan dari
pengkultusan ini karena mereka mempraktekan Rafd yang sama, menerapkan
perlakuan yang sama terhadap Ahlus Sunnah, dan menyebarkan Persianisme yang
sama.
Dinamakan berdasarkan Ishāq al-Ardabili (mati tahun 735 H), orang asli Turkmenistan
atau Kurdi dan dikenal sebagai "Sala ad-Din," Safawiyyah adalah
kelompok yang awalnya adalah tariqah (tingkatan Sufi) Syafi'i, yang berubah menjadi
gerakan militan Rāfidhi untuk menjadi negara tirani yang menguasai persia
dengan ambisi untuk menghapus semua jejak Sunnah dan orang-orangnya.
"Shāh" (raja Persia) pertama mereka berkuasa
pada tahun 906 H. Dia adalah Ismā'il
Ibnu Haydar, keturunan langsung dari Sala
ad-Din, dan dikenal dengan penyimpangan yang parah dan kekejamannya. Asy
Syaukani berkata tentangnya, "Pengikutnya bertambah hingga ia menyerang
dan mengalahkan Sultan Shirvan, yang ditangkap oleh pasukannya. Dia
memerintahkan mereka untuk memasaknya dalam kuali lalu memakannya"[Al-Badr
at-Tāli']. Tidak mengherankan jika kemudian ketika Ismā'il mengalahkan amir Merv, ia memutilasinya -menyebar anggota tubuhnya di penjuru Persia
– dan menutupi tengkorak dengan emas dan permata untuk digunakan sebagai piala
di acara-acara sosial.
Ismā'il mengklaim bahwa ia menerima perintah dari
"al-Mahdi" yang dinanti, untuk menjadi "perwakilan Allah di bumi"
untuk mengurus negara baru dan membela 12 imām yang dianggap
"ma'shum" oleh Rāfidah. Karena latar belakang Sufi-nya, ia mengaku
menerima "ilhām ghaybi," semacam "inspirasi gaib," sehingga
pengikutnya menganggap ia memiliki status keilahian, bahkan menganggap ia
"penjelmaan dari ruh Allah," kita berlindung kepada Allah dari kekafiran
terang-terangan seperti itu!.
Dengan dukungan penuh dari milisi Rāfidhi Qizilbāsh[1],
Ismā'il membantai banyak Muslim, terutama setiap ulama yang mengajarkan Sunnah.
Dia membantai ribuan orang dan membakar semua buku Ahlus Sunnah, bahkan tidak menyisakan
salinan Al-Qur'an mereka. Awalnya berpenduduk mayoritas Sunni, Persia, timur
Irak, dan Khurāsān pernah dipenuhi ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh ulama
ahli bahasa Sibawayh dan al-Azhari; ahli hadits al-Bukhāri dan Muslim; ahli tafsir ath-Thabari dan al-Baghawi, dan Fuqahā'
al-Marwazi dan Ibnul-Mundzir. Namun begitu dikuasai oleh Safawiyyah, wilayah
itu hampir kosong dari ilmu.
[1] Mereka adalah milisi Turki yang dikelola oleh ayah Ismāil
dan dikenal dengan Qizilbāsh (bahasa Turki dari "kepala Merah")
karena mahkota merah mereka yang masing-masing memiliki dua belas tanduk, menunjukkan
kesetiaan mereka kepada sekte Dua Belas.
Zaman kegelapan cepat menyebar di Persia yang sebelumnya terang
benderang. Ismā'il dan keturunannya secara paksa mengubah Sunni mayoritas ke
agama Rāfidhi. Hal yang sama terjadi di daerah bermayoritas Sunni lainnya, termasuk
Azerbaijan. "Ulama" Rāfidhi Arab dari Lebanon, Bahrain, dan Irak
diimpor untuk mengajarkan aqidah-aqidah sesat mereka. Yang paling terkenal dari
mereka - dan yang pertama datang - adalah 'Ali bin Husain al-Karaki (mati tahun 940
H), yang diberikan posisi "Syaikhul-Islām" dan
memimpin lembaga yang didirikan untuk mengawasi perubahan Ahlus Sunnah. Al-Karaki itulah
yang mengeluarkan fatwā membolehkan Rāfdhah
Ithnā-'Ashra untuk menggunakan kekuatan militer guna mendirikan pemerintahan
mereka, sehingga "memperkuat" klaim Ismā'il dan membenarkan semua
pelanggarannya.
Banyak Sunni meninggalkan Persia, tapi mereka yang tetap
tinggal dianiaya, harus memilih antara murtad atau mati. Mengenai proses ini
dan kekejamannya terhadap Ahlus Sunnah, Ismā'il berkata, "Hal ini tidak
membuatku khawatir, karena Allah dan imām yang ma'shum bersamaku, jadi aku
tidak takut siapapun. Jika satu saja tujuanku menemui halangan, aku akan menghunus
pedangku dan tidak meninggalkan seorang pun hidup."
Adzān diubah menyesuaikan "fiqh" Rāfidhi,
menambahkan kalimat "Asyhadu anna 'aliyyan waliyullāh" ("Aku
bersaksi bahwa 'Ali adalah wali Allah"). Para imām diperintah untuk mengutuk
Abu Bakar ash-Shiddiq, 'Umar bin Khattāb, dan 'Utsmān bin 'Affān dalam setiap
khutbah Jum'at.
Pemakaman Sunni dinodai dan masjid mereka dihancurkan. Tome
Pires, seorang salibis dan duta besar Portugis untuk Cina, yang melewati Persia
selama 916 dan 917 H, menyaksikan hal ini dan mengatakan, "Dia [Ismā'il]
merenovasi gereja kami padahal mereka menghancurkan masjid umat Islam yang
mengikuti Sunnah" [Summa Oriental].
Mengikuti Ibnu Buwayh, pemimpin Rāfidhi di abad keempat,
Ismā'il menghidupkan kembali ritual umum untuk kematian al-Husain, ritual yang
dijelaskan oleh Ibnu Katsir, "Perintah diberikan [oleh Ibnu Buwayh] untuk
menutup pasar, perempuan memakai kain tenun dari rambut, dan pergi keluar
menampakkan wajah dan rambut mereka, lalu mereka menampar wajah mereka dan
meratap untuk al-Husain bin 'Ali bin Abu Thālib. Ahlus Sunnah tidak dapat
mencegahnya karena banyaknya jumlah kaum Syi'ah dan dominasi mereka, karena kekuasaan
ada di tangan Syi'ah" [Al-Bidāyah wan-Nihāyah].
Perayaan untuk memperingati terbunuhnya 'Umar bin Khattāb
juga digalakkan ketika itu. Praktek ini didukung oleh Muhammad Bāqir al-Majlisi
mati tahun 1111 H, yang dianggap
sebagai salah satu "ulama" istana Safawi yang
paling utama dan juga diberi gelar "Syaikhul-Islām" oleh
"shāh." Dalam perayaan kematian 'Umar, ia berkata, "Yang
terkenal di antara Syi'ah di kota-kota dan daerah-daerah besar pada waktu kita
ini adalah bahwa hal itu [pembunuhan 'Umar] terjadi tanggal 9 Rabi'al-Awwal,
dan itu adalah hari raya" [Bihār al-Anwār]. Lalu dia menyebutkan riwayat
palsu sebagai dalil bahwa itu adalah hari kematian 'Umar (yang sebenarnya
adalah 26 Dzul-Hijjah) dan bahwa hari itu
adalah hari 'id terbesar bagi pendukung Ahlul-Bait!
Sebagaimana Rāfidhah masa ini, Safawiyyah juga dikenal akan
kesetiaan mereka kepada salibis. Ismā'il – kemudian memegang kendali Hormuz -
bersekutu dengan salibis Portugis antara tahun 921
dan 927 H untuk membantu mereka
menaklukan al-Bahrain dan al-Qatif di timur Jazirah Arab, yang secara langsung
melanggar salah satu perintah terakhir dari Nabi untuk mengusir musyrikin dari
Jazirah Arab. Namun karena Portugis mengambil bantuan dari boneka-boneka
"Sunni" dan bukan dari Rāfidhi, cicit Ismā'il' bernama 'Abbās memutus
hubungan Safawi dengan salibis itu - hanya untuk merayu salibis Inggris dalam
persekutuan lain yang diawali dengan surat-menyurat terus menerus dengan
penguasa Eropa sejak era kakeknya, Tahmāsp Ibnu Ismā'il.
'Abbās itulah yang mengundang salibis Anthony dan Robert
Shirley, di bawah komando Earl dari Essex, untuk "memodernisasi"
tentara Safawi untuk membantu sekutu penyembah salib mereka. Bahkan menjelang
akhir dari dinasti Rāfidhi, di 1119
H, Husain Safawi meminta bantuan angkatan laut dari Louis XIV Perancis untuk menaklukkan
sebagian Teluk Arab.
Mereka menggunakan persekutuan seperti itu, serta politik
licik dengan tetangga mereka, untuk semakin memasuki daerah-daerah Sunni.
Melalui perjanjian dengan penyembah kuburan Utsmaniyah di tahun 962 H, Rāfidhi Safawiyyah diberi izin untuk masuk ke Jazirah
Arab – sebagaimana Alu Salul mengizinkan mereka hari ini – untuk melakukan haji
di Makkah, meskipun Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Masjidil haram sesudah tahun ini” [at-Taubah: 28].
Meskipun pengaruh mereka tersebar ke seluruh negeri yang mereka
taklukkan, dan efek jangka panjang mereka dirasakan bahkan hari ini,
"shah" Safawi hidup dan mati dalam kehinaan. Ismā'il, setelah
kekalahan parah yang merusak citra "keilahian" yang diklaimnya,
mengurung diri di istananya, di mana ia menghabiskan sisa hidupnya dengan mabuk-mabukan
lalu mati tahun 930 H, hanya berumur 38
tahun. Tahmāsp Ibnu Ismā'il mati karena keracunan tahun 984 H. Ismā'il Ibnu Tahmāsp harus membuat saudara-saudaranya
mati dan buta untuk mengamankan tahtanya, tapi setelah hanya satu tahun berkuasa
ia dituduh kurang Rāfidhi, diracuni sampai mati, dan digulingkan oleh saudaranya
yang hampir buta Muhammad Khudābandah. Bertindak sebagai "shāh"
selama 10 tahun, pemerintahan Khudābandah berakhir ketika ia dipenjarakan oleh
anaknya sendiri, 'Abbās, yang menginginkan posisi ayahnya. Selain pemabuk dan
pelaku sodomi, ia membunuh pewarisnya sendiri Muhammad Bāqir, membutakan dua anaknya
yang lain, lalu mati tahun 1038
H. Cucunya yang kecanduan alkohol dan opium, dan sekaligus lemah, Sām Ibnu
Muhammad Bāqir, menggantikannya dan mati tahun tahun 1052 H. Putranya 'Abbās memerintah sampai kematiannya tahun 1077
H. Sulaymān Ibnu 'Abbās Ibnu Sām
mengambil alih dan mati karena penyalahgunaan alkohol tahun 1105 H. Diikuti oleh Husain, yang ditangkap di ibukotanya
sendiri, sekarat dan gila di dalam penjara. Tahmāsp Ibnu Husain memimpin
beberapa tahun, sampai anaknya 'Abbās menggulingkannya dengan bantuan Nādir khān
yang tidak memiliki kaitan keluarga, yang kemudian mengambil alih kekuasaan
untuk dirinya sendiri. Sehingga berakhirlah dinasti Safawi, tetapi ideologi
politik Rāfidhi-Safawi dan penganiayaannya terhadap Ahlus Sunnah dilanjutkan di
Persia oleh Ashfāriyyah dari Nādir khān, lalu Zandiyyah, lalu Qājāriyyah, lalu Pahlaviyyah,
dan kemudian hari ini rezim Iran yang terinspirasi Khomeini, yang didukung oleh
"ulama" yang mengambil "bimbingan" dari Safawiyyah, menganggap
mereka sebagi standar bagi pemerintahan yang "baik".
"Ulama" Rāfidhi Iran, Abbās al-Qummi (mati tahun 1359 H) menulis, "Safi ad-Din al-Ardabili”
Dia adalah Wali Agung, Bukti dari kemurnian Sempurna... keturunannya adalah
sultan Safawi yang menyebarkan syi’ar-syi’ar
agama dan menolong pembela Amirul-Mu'minin
(yaitu 'Ali bin Abi Thālib), semoga keselamatan atasnya" [Al-Kunā
wal-Alqāb]. Bagi ulama Rāfidhi hari ini, Ismā'il telah menegakkan agama Allah, berjihad
di jalan-Nya. "Ulama" Rāfidhi Irak, Hasan as-Sadr (mati tahun 1354 H)
menyebutnya, "Penyerang di jalan Allah, Shāh Ismā'il as-Safawi" [Takmilat Amal al-Amil].
Namun, sebagaimana penerus Rāfidhi mereka hari ini, Safawiyyah
tidak ada kaitannya dengan Islam selain hanya untuk menghalang-halangi manusia
darinya. Negara Rāfidhi mereka meninggalkan warisan budaya busuk penuh
kedengkian, dan kebencian itu diarahkan tidak lain kepada Ahlus Sunnah. Adalah
penting untuk menghubungkan fakta
bahwa warisan jahat ini - tentang permusuhan utama mereka terhadap
Ahlus-Sunnah, bukan yahudi, salibis, atau murtaddin -
masih diterapkan oleh Iran, Irak, Lebanon
dan Rāfidhah lainnya pada zaman kita ini
sebagai agama mereka di samping peribadahan mereka kepada orang mati dan
berbagai bentuk kekafiran dan kesyirikan lainnya.
Sama seperti kekaisaran
Romawi yang tidak pernah sepenuhnya jatuh, tapi hanya mengadopsi nama baru, Safa-wiyyah berkembang - dengan basis di Iran – dengan tujuan
Rāfidhi mereka untuk memberantas Ahlus Sunnah dan menggantinya dengan kaum
murtad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar