DARI LEMBARAN SEJARAH:
BENDERA-BENDERA JAHILIYYAH
Pada saat sejumlah faksi
militer di negeri yang disebut dengan “Arab Spring (Revolusi Arab)” mengibarkan
bendera-bendera yang berasal dari jahiliyyah, dan disebabkan beberapa pengklaim
jihad mengizinkan dan membenarkan mereka untuk mengibarkannya di daerah-daerah yang
dianggap telah mereka kuasai, bahkan mendukung para pembawa bendera-bendera ini
di antara tentara Shahwat murtad melawan Daulah Islam, maka penting untuk memberikan
penjelasan kepada umat Islam mengenai sejarah di balik bendera-bendera ini.
Asal historis dari bendera
“Arab Spring” tersebut – bahkan kebanyakan bendera tersebut dibawa oleh
berbagai rezim Arab murtad – bermula dari sebuah bendera yang dirancang oleh
tentara salib Inggris Mark Sykes. Ya, Mark Sykes, si pencetus Perjanjian
Sykes-Picot yang telah memecah belah negeri-negeri Muslim ke dalam negara-negara
nasionalis, orang yang sama yang mempromosikan Deklarasi Balfour yang terkenal,
yang menjadi latar belakang berdirinya negara Yahudi.
Warna hitam dipilih untuk
merepresentasikan Daulah ‘Abbasiyyah,
putih mewakili Daulah ‘Umayyah, hijau mewakili Daulah ‘Ubaidiyyah (Fathimiyyah),
dan merah merepresentasikan mendiang “Syarif”, pemimpin Hijaz. Dalam
simbolisasi ini, dia mencampurkan antara kekhalifahan Islam, Isma’iliyyah
murtad, dan agen-agen murtad. Dia harus memberikan kepada pengikut Arabnya sesuatu
yang bersifat simbolik, historis, materiil, dan ciri khas Arab agar mereka mau
mendukungnya. Bendera jahiliyyah ini menjadi bendera bagi apa yang disebut
“Arab Revolt” yang telah dirancangnya. Bendera tersebut awalnya dibuat di Mesir
oleh Militer Inggris untuk dikibarkan oleh sekutu-sekutu mereka.
Sekutu-sekutu Sykes yang
berasal dari kaum nasionalis Arab memanfaatkan baris-baris syair yang ditulis
oleh Shafiyuddin Al-Hilli – wafat tahun 750 H – untuk mengabsahkan
simbol-simbol jahiliyyah ini. Al-Hilli mengatakan, “Amal-amal kami putih, perang-perang
kami hitam, tanah-tanah kami hijau, dan pedang-pedang kami merah. Tidak
diragukan lagi, baris syairnya ini ditulis ratusan tahun sebelum “Arab Revolt”.
Mark Sykes |
Orang-orang Inggris mulai bernegosiasi dengan Al-Husain ibnu ‘Ali (“Syarif” Hijaz – wafat 1350 H/1931 M) untuk memberontak dan mendeklarasikan sebuah negara Arab nasionalis yang merdeka. Al-Husain ibnu ‘Ali memberontak melawan mantan tuannya Turki ‘Utsmani dan mendeklarasikan dirinya sendiri, atas izin Inggris, “Sultan untuk Negeri-negeri Arab” dan “Khalifah” bagi sebuah “khilafah” nasionalis yang didirikan para salibis! Dia tidak mengobarkan jihad di jalan Allah untuk melenyapkan hukum-hukum buatan manusia dan kubah-kubah pagan dari negeri-negeri Muslim dan kemudian mendirikan sebuah kekhilafahan yang syar’ī. Akan tetapi, justru dia berperang semata-mata untuk menyatukan negeri-negeri “Arab” itu sendiri di bawah sebuah “khilafah” nasionalis yang akan berkuasa, namun di bawah perintah tuan-tuan salibis barunya.
Jordanian Flag |
Selama berlangsungnya berbagai
pertempuran ini, dia dan putera-puteranya memimpin “Arab Revolt”. Pasukan
mereka ditemani dan didukung oleh tentara salib Inggris, termasuk di antaranya
Kolonel Cyril Wilson, Kolonel Pierce C. Joyce, Letnan Kolonel Stewart Francis
Newcombe, Herbert Garland, dan Kapten T.E Lawrence (yang kemudian disebut “Lawrence
of Arabia”). Tentara salib Prancis di antaranya adalah Kolonel Edouard Bremond,
Kapten Rosario Pisanim, Claude Prost, dan Laurent Depui, dan orang-orang
Prancis murtad seperti Kapten Muhammad Ould Ali Raho. Inggris bahkan ikut masuk
dengan mengerahkan angkatan laut dan angkatan udaranya agar Al-Husain dan
putra-putranya lebih unggul dalam melawan seteru-seterunya. Al-Husain dan
putra-putranya secara seksama mematuhi perintah-perintah yang didiktekan oleh
tentara salib Inggris sebagai jaminan bagi dukungan kepada mereka. Akhirnya
Inggris mengangkat mereka menjadi raja atas Suriah, Yordania, Irak, dan Hijaz.
Thaghut Yordania yang sekarang merupakan keturunan dari keluarga yang sama ini.
Keluarga Al-Husain Dengan cepat
kehilangan Suriah yang direbut oleh Prancis (salah satu mantan sekutu mereka),
Irak direbut oleh nasionalis Arab lainnya yang lebih “ideologis”, dan Hijaz
oleh murtaddin yang disokong Inggris, ‘Abdul ‘Aziz ibnu Sa’ud dan putra-putranya.
Inggris menyadari bahwa ‘Abdul ‘Aziz dan putra-putranya tidak dapat dan tidak
akan pernah menyeru untuk memperluas kerajaan mereka di luar wilayah yang telah
ditentukan oleh tentara salib di bawah klaim sebuah “khilafah”, berbeda dengan Al-Husain
dan putra-putranya – dikarenakan silsilah Quraisy mereka – yang senang dengan
gagasan sebuah “khilafah”, walau itu sebenarnya hanyalah sebuah negara
nasionalis yang didirikan oleh pasukan salibis. Dengan demikian, Inggris
sendiri mengkhianati “khilafah” nasionalis yang sebelumnya pernah mereka
dukung.
Berbagai rezim boneka murtad
yang didirikan oleh tentara salib setelah masa kolonial ini memiliki versi modifikasi
dari bendera pertama yang dirancang Mark Sykes, terkadang menggunakan tiga dari
empat warna asal. Bendera “Arab Revolt” adalah induk dari bendera-bendera yang
sekarang ini mewakili berbagai negara nasionalis Arab, di antaranya Aljazair,
Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Libya, Sudan, Suriah (baik milik rezim dan
revolusi), Uni Emirat Arab, Yaman, dan Palestina, berbagai gerakan nasionalis
Arab di wilayah Somalia, Maroko, Mali, dan Iran, sebagaimana juga Partai Ba’ats
yang murtad dan “tentara” murtad Naqsyabandi mereka.
Bendera-bendera jahiliyyah ini
intinya merepresentasikan salibis, agen-agen murtad mereka, nasionalisme Arab,
dan thaghut-thaghut boneka yang setia kepada kaum salib. Sejarah singkat ini
seharusnya menghasilkan sejumlah pelajaran:
1) Orang-orang salib tidak memiliki masalah untuk menyanjung
sekutu-sekutu mereka dengan menyebarkan simbol “Islam” atau memperbolehkan
sekutu-sekutu mereka untuk melakukannya, asalkan telah dicemari dengan sejumlah
paham nasionalisme.
2) Orang-orang salib mengandalkan strategi “memecah-belah
dan menaklukkan”. Mereka menghancurkan negeri-negeri Muslim melalui
nasionalisme, keberpihakan, dan bentuk-bentuk jahiliyyah lainnya. Mereka bahkan
mungkin saja mendukung apa yang dianggap sebagai kelompok “yang lebih Islami”
melawan kelompok-kelompok yang lebih sekuler, jika mereka merasa yang terakhir
tidak mampu memelihara kepentingan mereka di kawasan tersebut, sebagaimana
mereka mendukung “Salafi” palsu ‘Abdul ‘Aziz melawan sufi Al-Husain. Dan hal inilah
sepertinya yang terjadi di Syam. Pada saat Free Syrian Army (FSA) gagal
mengamankankan berbagai kepentingan Barat sedangkan Front “Islam” berhasil melakukannya,
maka Front “Islam” sepertinya akan lebih mendapat dukungan dari para tentara
salib melalui mediator mereka di negara-negara Teluk dan Turki.
3) Bagi tentara Salib tidak ada masalah untuk
mendukung kelompok-kelompok yang dipimpin oleh agen-agen mereka yang berjenggot
dalam mendirikan kesatuan politik “Islami” yang semu, bahkan mendukungnya dengan
pasukan tentara, angkatan laut, dan angkatan udara salibis, jika hal tersebut
membantu kepentingan mereka yang lebih besar. Mereka akan mengandalkan
proksi-proksi ini untuk menggantikan peperangan yang mereka lakukan, sehingga
mengirit nyawa tentara mereka sendiri. Bagi mereka, hal ini adalah “satu dari
dua kejahatan yang paling ringan”.
4) Tentara salib mencoba untuk menarik sekutu-sekutu mereka
ke sebuah lereng yang licin berupa berbagai konsesi hingga sekutu-sekutu mereka
tidak lagi mempunyai prinsip yang dapat dipegang dan dihargai. Agama mereka
tidak lebih menjadi kepentingan pribadi dan kepentingan faksi memungkinkan mereka
untuk meninggalkan hukum-hukum syari’at apa pun yang mereka kehendaki. Inilah
mengapa meminta bantuan kepada orang kafir untuk melawan musuh kafir lainnya
sangat berbahaya, karena syarat-syarat mereka pada awalnya tampak “polos” tapi
kemudian berubah menjadi kekafiran yang nyata. Dan masalah ini jauh lebih
serius ketika sebuah faksi “Islam” meminta bantuan orang-orang kafir untuk melawan
muhajirin dan anshar Daulah Islam!
5) Tentara salib pada akhirnya akan meninggalkan atau
mengkhianati sekutu-sekutu murtad mereka untuk mendatangi agen-agen mereka
lainnya yang lebih tenggelam dalam kemurtadan. Mereka akan memprioritaskan
musuh-musuh mereka. Terkadang mereka mendukung orang-orang murtad berjenggot yang
berasal dari kelompok “yang lebih Islami” atau faksi-faksi yang kelak akan
mereka tusuk dari belakang, atau membolehkan agen-agen dan sekutu-sekutu mereka
yang lebih loyal untuk melakukan hal tersebut.
6)
Tentara salibis bisa saja
menggunakan orang-orang yang memiliki simbol dan “sejarah” untuk meraih kepentingan
mereka. Karenanya tidak perlu seseorang kaget dengan adanya seseorang yang
memiliki sejarah dalam “dakwah” dan “jihad” duduk-duduk di atas kursi
orang-orang murtad di Turki.
7) Hubungan antara Inggris, Al-Husain, dan ‘Abdul ‘Aziz
tidak pernah menjadi sesuatu yang rahasia. Sebagaimana halnya hubungan antara
Front “Islam”, Qatar, Turki, dan Alu Salul yang juga bukan rahasia, karena
pertemuan-pertemuan mereka telah diketahui oleh publik. Adapun detail rencana
masa lalu dan masa sekarang, maka kaum murtad tersebut telah disembunyikan dari
kawanan domba-domba mereka.
Setelah membaca sejarah singkat
ini, setiap Muslim seharusnya menolak kelompok mana pun yang mengibarkan panji-panji
jahiliyyah ini dan kelompok mana pun yang bekerjasama dengan orang-orang yang
mengibarkannya dalam melawan Daulah Islam. Pengkhianatan semakin tajam di saat
Shahwah mencari perlindungan dari angkatan udara Qatar dan Alu Salul yang
menyerang Daulah Islam. Semoga Allah menghidupkan kembali mereka di barisan
bapak-bapak mereka – Al-Husain ibnu ‘Ali dan ‘Abdul ‘Aziz ibnu Sa’ud – pada
Hari Pembalasan.
Palestine Flag |
Iraq Flag |
Free Syrian Army (FSA) |
U.S. President Franklin Delano Roosevelt and King Abdulaziz of Saudi Arabia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar