AMONG THE BELIEVERS ARE MEN:
SYAIKH ABU
TALHAH
ABDUR-RAUF KHADIM AL KHURASANI
Syaikh Abu Thalhah
‘Abdurrauf Khadim Al-Khurasani (rahimahullah), juga dikenal sebagai Mulla
Khadim, dilahirkan di Helmand di desa Adzan. Beliau mulai mempelajari ilmu-ilmu
syari’at pada usia muda disebabkan kuatnya keinginan untuk belajar agama.
Beliau kemudian bergabung dengan kafilah jihad, membuka sebuah lembaran baru
kehidupan beliau. Syaikh Abu Thalhah bergabung dengan Muhammad ‘Umar (pemimpin
Thaliban) di mana beliau kemudian bekerjasama dengannya di dewan hisbah (‘amar
ma’ruf dan nahi mungkar), dan beliau biasanya memandang menjadi petugas hisbah
merupakan suatu bagian terpenting di dalam hidup beliau.
Setelah beberapa waktu
dan dengan rahmat Allah, Kabul dibebaskan dan Syaikh menderita cedera akibat
tembakan tank dalam sebuah pertempuran di Syar Asiyat dan kehilangan kakinya.
Ini merupakan pengorbanan besar di jalan Allah dalam pertempuran. Beliau
ditunjuk oleh Thaliban sebagai direktur pendidikan tinggi militer di Kabul dan
juga melanjutkan peran pentingnya sebagai komandan lapangan di garis depan
selama invasi pasukan salib di Afghanistan. Beliau ditangkap oleh Amerika dalam
salah satu pertempuran dan termasuk di antara sejumlah tawanan yang dipindahkan
ke Guantanamo di mana beliau ditahan selama enam setengah tahun di salah satu
tempat dengan kondisi yang paling menakutkan. Pihak Amerika kemudian
menyerahkan beliau kepada boneka-boneka Afghanistan dan kembali dimasukkan ke
dalam penjara selama satu setengah tahun oleh rezim murtad.
Masa di penjara ini,
bagaimana pun justru menjadi periode baginya untuk lebih lanjut mencari ilmu
dan meninjau kembali ‘aqidah Ahlus Sunnah. Pada awalnya beliau berada di atas
‘aqidah Deobandi yang diliputi penyimpangan berkaitan dengan asma’ dan sifat
Allah serta aspek-aspek keimanan lainnya (termasuk irja’). Beliau meninggalkan
‘aqidah ini, mengadopsi Sunnah yang murni, dan sesudah itu, berjuang di
sisa-sisa hidup beliau untuk mengajak manusia kepada rahmat yang besar ini.
Setelah dibebaskan dari
penjara di Kabul, beliau bergabung kembali dengan Thaliban dan menjadi seorang
anggota majelis syura mereka. Beliau diangkat menjadi wali atas 14 wilayah
Afghanistan. Beliau aktif dalam berdakwah, mengajak manusia kepada ‘aqidah
tauhid. Sebagai akibatnya beliau dipecat dari posisi sebagai wali, sebab
‘aqidah tauhid bertentangan dengan ‘aqidah Deobandi yang dipegang oleh sejumlah
besar pemimpin Thaliban. Beliau tetap menjadi komandan lapangan dan benar-benar
membuktikan kemampuannya, sehingga hasilnya beliau sekali lagi diangkat menjadi
wali, kali ini atas tiga wilayah. Beliau kembali fokus dalam menyeru kepada
tauhid dan sebagai akibatnya kembali beliau dipecat dari posisi sebagai wali.
Beliau kembali menjadi komandan lapangan sekali lagi.
Syaikh Abu Thalhah telah
lama sekali memimpikan untuk melihat kembalinya Khilafah, sebagaimana halnya
banyak di antara mujahid yang berperang untuk meraih tujuan besar itu, sehingga
kejayaan umat muncul kembali. Ketika Khilafah diumumkan, beliau berada di
antara ikhwan yang ingin segera mendeklarasikan bai’at mereka dan bergabung
dengan kafilah Khilafah. Bersama dengan ikhwan di Khurasan, beliau menunjukkan
syarat yang diperlukan bagi mereka agar kepemimpinan Daulah Islam secara resmi
mengakui bai’at mereka. Maka Khilafah mengadakan ekspansi ke Khurasan dan
menunjuk Syaikh Abu Thalhah sebagai deputi wali bagi daerah tersebut, menjadi
orang kedua setelah wali Syaikh Hafizh Sa’id Khan (hafizhahullāh).
Setelah pengumuman bai’at
Khurasan, Syaikh Abu Thalhah mulai berkeliling daerah di dalam kafilah tentara
Khilafah, mengajak suku-suku lokal untuk memberikan bai’at kepada Khalifah.
Sejumlah tetua suku menjawabnya dengan positif, mengulurkan tangan mereka dan
menyatakan janji setia mereka. Akhirnya, mendengar kehadiran Syaikh Abu Thalhah
di Adzan, para partisan Deobandi yang pro Thaliban di daerah tersebut memblokir
jalan dan pos pemeriksaan, mencegah beliau untuk meninggalkan desa hingga
sebuah serangan udara Amerika membunuh beliau bersama dengan lima orang sahabat
beliau pada hari Senin, 21 Rabi’ul Akhir. Dengan demikian, Syaikh Abu Thalhah meraih
syahadah pada usia 45 tahun setelah kehidupan yang dipenuhi jihad, hisbah, dan
dakwah.
Kami memandang demikian
dan hanya kepada Allah hisabnya. Semoga Allah merahmati beliau beserta
sahabat-sahabat beliau dalam kesyahidan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar