Hukum Orang Meninggalkan Shalat
Dan Konsekuensinya
(1) Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat.
Shalat
adalah tiang agama Islam, ibadah badaniyyah paling
pokok, syari’at semua para Rasul,
hal yang paling pertama dihisab dihari kiamat, dan wasiat terakhir Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam kepada umatnya tatkala hendak meninggal dunia. Orang yang
mengingkari kewajiban shalat yang lima waktu dan dia itu hidup di kalangan kaum
muslim, maka dia itu di anggap keluar dari Islam meskipun dia itu melaksanakannya,
ini berdasarkan ijma ulama kaum
muslimin. Meninggalkan shalat
fardlu dosanya lebih besar dari dosa membunuh jiwa, mengambil
harta orang, zina,
mencuri, minum khamr. Dan orang yang meninggalkan shalat karena
malas sedangkan dia itu
meyakini kewajibannya, maka dia juga dianggap kafir murtad
dari agama Islam
sesuai pendapat yang paling benar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Pertama: Firman Allah ta’ala:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَوةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَ نُفَصِّلُ الْأَيَتِ
لِقَوْمِ يَعْلَمُوْنَ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu
seagama”.
[At
Taubah: 11]
Allah ta’ala mensyaratkan untuk adanya ukhuwwah
(persaudaraan Islam) antara kaum musyrikin dan kaum mu’minin
dengan tiga
syarat: Taubat dari syirik, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat.
Bila salah satu dari yang tiga itu tidak mereka penuhi, maka mereka itu bukan
saudara kita seagama, padahal ukhuwwah itu tidak gugur dengan sekedar maksiat,
karena Allah ta’ala masih menetapkan ukhuwwah antara orang muslim yang membunuh
dengan saudara seimannya yang dibunuhnya dalam firman-Nya ta’ala:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيْهِ شَيْءٌ
“Maka
barangsiapa mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya”.
[Al
Baqarah: 178]
Namun orang yang meninggalkan tiga syarat di atas dihukumi
bukan sebagai saudara kita seiman atau mereka itu adalah orang-orang kafir,
tapi dikecualikan zakat dari yang tiga hal itu, karena ada hadits yang
mengkhususkan yang menjelaskan bahwa yang meninggalkan zakat itu tidak kafir.
Kedua: Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَ بَيْنَ الشِّرْكِ وَ
الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلَاةِ
“Antara
seseorang dengan kemusyrikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.
[Muslim:
134, Kitabul Iman]
Al Imam An Nawawiy Asy Syafi’iy rahimahullah
berkata: Bahwa yang menghalangi dari kekafirannya adalah karena
keberadaan dia tidak meninggalkan shalat, namun bila dia meninggalkannya, maka
tidak ada penghalang antara dia dengan kemusyrikan itu bahkan dia telah masuk
ke dalamnya. [Syarhun Nawawiy ‘Ala Shahih Muslim 1/62]
Dan sebagai bukti hadits itu menunjukan kekufuran yang
mengeluarkan pelakunya dari Islam adalah kata Al Kufru وَالْكُفْرِ dan Asy Syirku الشِّركُ dalam bentuk ma’rifat
bukan nakirah, sebab
kalau maksudnya kufrun duna kufrin tentu
berbentuk nakirah كفر dan.شرك
Ketiga: Sabdanya shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَ بَيْنَهُمُ
الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian
antara kita dengan mereka (kaum munafiqin) adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.
[Ahmad
5/346, 355, At Tirmidzi 2621 Kitabul Iman]
Ini sangat gamblang sekali, pernyataan dari Nabi shalallaahu
‘alaihi wa sallam bahwa yang meninggalkan shalat
adalah kafir
murtad dari Islam, hadits ini tentang orang yang
meninggalkannya bukan tentang orang yang mengingkari kewajibannya, karena orang
yang mengingkari kewajibannya adalah kafir secara munthlaq
baik dia melaksanakannya ataupun meninggalkannya.
Keempat: Sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
من حافظ عليها كانت له نورا وبرهانا ونجاة يوم
القيامة ومن لم يحافظ عليها لم تكن له نورا ولا برهانا ولا نجاة وكان يوم القيامة
مغ قارون و فرعون وهامان وأبيِّ بن خلف
“Barangsiapa
menjaganya (shalat), maka dia itu baginya menjadi cahaya, bukti, dan
keselamatan di hari kiamat, dan barangsiapa tidak menjaganya, maka dia itu
tidak menjadi cahaya bagianya, tidak menjadi bukti, dan tidak menjadi eselamatan. Dan di hari kiamat dia itu
(digiring) bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubaiy Ibnu Khalaf”.
[Ahmad
2/169, Ibnu Hibban 254]
Rahasia hanya empat orang saja yang disebutkan adalah karena
mereka itu adalah pentolan orang-orang kafir, dan di sini ada hal yang sangat
unik, yaitu bahwa yang meninggalkan shalat itu ada yang dilalaikan oleh
hartanya, atau kerajaannya, atau jabatannya, atau perniagaannya, barangsiapa
yang hartanya menyibukan dia dari shalat maka dia bersama Qarun, dan
barangsiapa yang disibukan oleh kerajaannya darinya maka dia bersama Firaun,
dan barangsiapa disibukan oleh jabatannya darinya, maka dia bersama Haman, dan
barangsiapa disibukan oleh perniagaannya/usahanya darinya, maka dia bersama
Ubaiy Ibnu Khalaf. [Kitabush Shalah: 46-47]
Kelima: Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئًأ وَلَا
تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ عمدًا فَمَنْ تَرْكَهَا عَمَدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ
مِنَ الْمِلَّةِ
“Janganlah
kalian menyekutukan sesuatu dengan Allah, dan janganlah kalian meninggalkan shalat
dengan sengaja, karena barangsiapa meninggalkannya dengan sengaja, maka dia
telah keluar dari agama Islam.
[At
Targhib Wat Tarhib 1/379]
Keenam: Pernyataan
para sahabat, bahkan Imam
Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah
telah menghikayatkan ijma para
sahabat radliyallahu ‘anhum atas
kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Telah ada penegasan dari enam belas
sahabat atas hal itu, di antaranya perkataan Umar Ibnu Al Khaththab radliyallahu
‘anhu:
لَا حَقَّ فِي الْأِسْلَامِ لِمَنْ تَرْكُ
الصَّلَاةِ
“Tidak
ada hak di dalam Islam ini bagi orang yang meninggalkan shalat”.
[Al
Majma’ 1/95]
Perkataannya, “Tidak ada hak (لَا حَقَّ ),” adalah lafadh
nakirah setelah nafyi,
dan di dalam ushul fiqh bahwa
bila ada isim nakirah setelah
nafyi maka berfaidah umum, yang
artinya tidak ada hak baik sedikit maupun banyak,63 berarti di sini orang yang
meninggalkan shalat tidak mendapatkan hak sedikitpun di dalam Islam, dan orang
yang tidak memiliki hak sedikitpun di dalam Islam adalah bukan orang Islam,
karena orang Islam meskipun melakukan maksiat tetap memiliki hak di dalam Islam
meskipun sedikit, nah berarti orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Abdullah Ibnu Syaqiq rahimahullah
berkata:
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرَوْنَ مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ
الصَّلَاةِ
“Adalah
para sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak memandang sedikitpun dari
amalan-amalan yang di mana meninggalkannya adalah kekufuran selain shalat”.
[At
Tirmidzi dalam Kitabul Iman 2622]
Di dalam atsar ini
dijelaskan bahwa para sahabat semuanya radliyallahu
‘anhum menilai orang yang meninggalkan shalat
sebagai orang kafir.
Al Hafidh Al Mubarakfuriy rahimahullah
berkata: Dzahir perkataan
Abdullah Ibnu Syaqiq ini menunjukan bahwa para sahabat Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam meyakini bahwa meninggalkan shalat adalah
kekufuran, dan dzahirnya ungkapan itu adalah bahwa pendapat ini adalah yang
telah disepakati oleh para sahabat, karena perkataannya, ”Adalah
para sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam” adalah
bentuk jamak yang di-idlafat-kan
(yang berfaidah umum). [Tuhfatul Ahwadzi 7/309-310]
Dan masih banyak perkataan para sahabat yang berkenaan dengan
hal ini, silahkan lihat Majmauz Zawaid karya
Al Haitsamiy Asy
Syafi’iy 1/292, 295.
Adapun menurut
akal: Sesungguhnya tidak mungkin orang yang memiliki keimanan
meskipun sebesar biji sawi terus dia selalu meninggalkan shalat67, maka ketika
dia tidak shalat berarti dia tidak memiliki iman sedikitpun.
(2) Konsekuensi Bagi Orang
Yang Meninggalkan Shalat.
Setelah
kita mengetahui bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
maka kita harus mengetahui konsekuensi bagi orang yang meninggalkan shalat itu supaya
kita tidak terjerumus dalam hal-hal itu:
Pertama: Dia
tidak halal menikah dengan wanita muslimah, berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَا
جَآءَكُمُ الْمُؤْمِنَتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَتِ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَ لَا يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
[Al
Mumtahanah: 10]
Dan firman-Nya
ta’ala:
وَ لَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ
“Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum
mereka beriman.”
[Al
Baqarah: 221]
Dan barangsiapa memaksakan kehendak kemudian menikahkan
puterinya yang muslimah kepada laki-laki yang tidak shalat, maka pernikahannya
batal/tidak sah dan wanita ini tidak halal bagi laki-laki itu, dan pernikahan
itu harus dibatalkan. Dan bila Allah ta’ala memberinya hidayah sehingga dia mau
shalat maka harus melakukan akad baru nikah lagi. [Fiqhul
Ibadat: 138-139]
Source:
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun
: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar