Berbagai
Alasan Terlarangnya Asuransi
Berbagai
jenis asuransi asalnya haram baik asuransi jiwa, asuransi barang, asuransi
dagang, asuransi mobil, dan asuransi kecelakaan. Secara ringkas, asuransi
menjadi bermasalah karena di dalamnya terdapat riba, qimar (unsur
judi), dan ghoror (ketidak jelasan atau spekulasi tinggi).
Berikut
adalah rincian mengapa asuransi menjadi TERLARANG:
1. Akad yang terjadi dalam asuransi adalah akad untuk mencari keuntungan (mu’awadhot). Jika kita tinjau lebih mendalam, akad asuransi sendiri mengandung ghoror (unsur ketidak jelasan). Ketidak jelasan pertama dari kapan waktu nasahab akan menerima timbal balik berupa klaim. Tidak setiap orang yang menjadi nasabah bisa mendapatkan klaim. Ketika ia mendapatkan accident atau resiko, baru ia bisa meminta klaim. Padahal accident di sini bersifat tak tentu, tidak ada yang bisa mengetahuinya. Boleh jadi seseorang mendapatkan accident setiap tahunnya, boleh jadi selama bertahun-tahun ia tidak mendapatkan accident. Ini sisi ghoror pada waktu.
Sisi ghoror lainnya adalah dari sisi besaran klaim sebagai timbal balik yang akan diperoleh. Tidak diketahui pula besaran klaim tersebut. Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang
dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)”
(HR. Muslim no. 1513).
2. Dari sisi lain, asuransi mengandung qimar atau unsur judi. Bisa saja nasabah tidak mendapatkan accident atau bisa pula terjadi sekali, dan seterusnya. Di sini berarti ada spekulasi yang besar. Pihak pemberi asuransi bisa jadi untung karena tidak mengeluarkan ganti rugi apa-apa. Suatu waktu pihak asuransi bisa rugi besar karena banyak yang mendapatkan musibah atau accident. Dari sisi nasabah sendiri, ia bisa jadi tidak mendapatkan klaim apa-apa karena tidak pernah sekali pun mengalami accident atau mendapatkan resiko. Bahkan ada nasabah yang baru membayar premi beberapa kali, namun ia berhak mendapatkan klaimnya secara utuh, atau sebaliknya. Inilah judi yang mengandung spekulasi tinggi. Padahal Allah jelas-jelas telah melarang judi berdasarkan keumuman ayat,
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, maysir (berjudi), (berkorban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka
jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al
Maidah: 90). Di antara bentuk maysir adalah judi.
3. Asuransi mengandung unsur riba fadhel (riba perniagaan karena adanya sesuatu yang berlebih) dan riba nasi’ah (riba karena penundaan) secara bersamaan. Bila perusahaan asuransi membayar ke nasabahnya atau ke ahli warisnya uang klaim yang disepakati, dalam jumlah lebih besar dari nominal premi yang ia terima, maka itu adalah riba fadhel. Adapun bila perusahaan membayar klaim sebesar premi yang ia terima namun ada penundaan, maka itu adalah riba nasi’ah (penundaan). Dalam hal ini nasabah seolah-olah memberi pinjaman pada pihak asuransi. Tidak diragukan kedua riba tersebut haram menurut dalil dan ijma’ (kesepakatan ulama).
4. Asuransi termasuk bentuk judi dengan taruhan yang terlarang. Judi kita ketahui terdapat taruhan, maka ini sama halnya dengan premi yang ditanam. Premi di sini sama dengan taruhan dalam judi. Namun yang mendapatkan klaim atau timbal balik tidak setiap orang, ada yang mendapatkan, ada yang tidak sama sekali. Bentuk seperti ini diharamkan karena bentuk judi yang terdapat taruhan hanya dibolehkan pada tiga permainan sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada taruhan dalam lomba kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda” (HR. Tirmidzi no. 1700, An Nasai no. 3585, Abu Daud no. 2574, Ibnu Majah no. 2878. Dinilai shahih oleh Syaikh Al Albani). Para ulama memisalkan tiga permainan di atas dengan segala hal yang menolong dalam perjuangan Islam, seperti lomba untuk menghafal Al Qur’an dan lomba menghafal hadits. Sedangkan asuransi tidak termasuk dalam hal ini.
5. Di dalam asuransi terdapat bentuk memakan harta orang lain dengan jalan yang batil. Pihak asuransi mengambil harta namun tidak selalu memberikan timbal balik. Padahal dalam akad mu’awadhot (yang ada syarat mendapatkan keuntungan) harus ada timbal balik. Jika tidak, maka termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku saling ridho di antara kamu” (QS. An
Nisa’: 29). Tentu setiap orang tidak ridho jika telah memberikan uang, namun
tidak mendapatkan timbal balik atau keuntungan.
6. Di dalam asuransi ada bentuk pemaksaan tanpa ada sebab yang syar’i. Seakan-akan nasabah itu memaksa accident itu terjadi. Lalu nasabah mengklaim pada pihak asuransi untuk memberikan ganti rugi padahal penyebab accident bukan dari mereka. Pemaksaan seperti ini jelas haramnya.
[Dikembangkan dari penjelasan Majlis Majma Fikhi di Makkah Al Mukarromah, KSA]
“Masa
Depan Selalu Suram” Ganti dengan “Tawakkal”
Dalam
rangka promosi, yang ditanam di benak kita oleh pihak asuransi adalah masa
depan yang selalu suram. “Engkau bisa saja mendapatkan kecelakaan”, “Pendidikan
anak bisa saja membengkak dan kita tidak ada persiapan”, “Kita bisa saja butuh
pengobatan yang tiba-tiba dengan biaya yang besar”. Itu slogan-slogan demi
menarik kita untuk menjadi nasabah di perusahaan asuransi. Tidak ada ajaran
bertawakkal dengan benar. Padahal tawakkal adalah jalan keluar sebenarnya dari
segala kesulitan dan kekhawatiran masa depan yang suram. Karena
Allah Ta’ala sendiri yang menjanjikan,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan
baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya”
(QS. Ath
Tholaq: 2-3).
Tawakkal
adalah dengan menyandarkan
hati kepada Allah Ta’ala.
Namun bukan cukup itu saja, dalam tawakkal juga seseorang mengambil sebab atau
melakukan usaha. Tentu saja, sebab yang diambil adalah usaha yang disetujui
oleh syari’at. Dan asuransi sudah diterangkan adalah sebab yang haram, tidak
boleh seorang muslim menempuh jalan tersebut. Untuk membiayai anak sekolah,
bisa dengan menabung. Untuk pengobatan yang mendadak tidak selamanya dengan
solusi asuransi kesehatan. Dengan menjaga diri agar selalu fit, juga persiapan
keuangan untuk menjaga kondisi kecelakaan tak tentu, itu bisa sebagai solusi
dan preventif yang halal. Begitu pula dalam hal kecelakaan pada kendaraan, kita
mesti berhati-hati dalam mengemudi dan hindari kebut-kebutan, itu kuncinya.
Yang
kami saksikan sendiri betapa banyak kecelakaan terjadi di Saudi Arabia
dikarenakan banyak yang sudah mengansuransikan kendaraannya. Jadi, dengan
alasan “kan, ada asuransi”, itu jadi di antara sebab di mana mereka asal-asalan
dalam berkendaraan. Jika mobil rusak, sudah ada ganti ruginya. Oleh karenanya,
sebab kecelakaan meningkat bisa jadi pula karena janji manis dari asuransi.
Ingatlah
setiap rizki tidak mungkin akan luput dari kita jika memang itu sudah Allah
takdirkan. Kenapa selalu terbenak dalam pikiran dengan masa depan yang suram?
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan
tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya
tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh
rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah,
dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan
mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram”
(HR. Ibnu
Majah no. 2144, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani).
Penutup
Dari
penjelasan di atas tentu saja kita dapat menyimpulkan haramnya asuransi, apa
pun jenisnya jika terdapat penyimpangan-penyimpangan di atas meskipun
mengatasnamakan “asuransi syari’ah” sekali pun. Yang kita lihat adalah
hakekatnya dan bukan sekedar nama dan slogan. Seorang muslim jangan tertipu
dengan embel syar’i belaka. Betapa banyak orang memakai slogan “syar’i”, namun
nyatanya hanya sekedar bualan.
Nasehat
kami, seorang muslim tidak perlu mengajukan premi untuk tujuan asuransi
tersebut. Klaim yang diperoleh pun jelas tidak halal dan tidak boleh
dimanfaatkan. Kecuali jika dalam keadaan terpaksa mendapatkannya dan sudah
terikat dalam kontrak kerja, maka hanya boleh memanfaatkan sebesar premi yang
disetorkan semacam dalam asuransi kesehatan dan tidak boleh lebih dari itu.
Jika seorang muslim sudah terlanjur terjerumus, berusahalah meninggalkannya,
perbanyaklah istighfar dan taubat serta perbanyak amalan kebaikan. Jika uang
yang ditanam bisa ditarik, itu pun lebih ahsan (baik).
Catatan:
Asuransi yang kami bahas di atas adalah asuransi yang bermasalah karena
terdapat pelanggaran-pelanggaran sebagaimana yang telah disebutkan. Ada
asuransi yang disebut dengan asuransi ta’awuni yang di dalamnya
hanyalah tabarru’at (akad tolong menolong) dan asuransi seperti ini
tidaklah bermasalah. Barangkali perlu ada bahasan khusus untuk mengulas lebih
jauh mengenai asuransi tersebut. Semoga Allah mudahkan dan memberikan
kelonggaran waktu untuk membahasnya.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
:books: Referensi: Akhthou Sya-i’ah fil Buyu’, Sa’id ‘Abdul ‘Azhim, terbitan Darul Iman
Channel ISLAMIC INSTITUTE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar