8/15/2019

FATWA UNTUK KHURASAN


Fatwa Untuk Khurasan
Sebuah pertanyaan telah sampai kepada kami dari wilayah Khurasan. Kami publikasikan agar dapat diambil manfaatnya bagi siapa saja yang menemui kasus serupa.

Pertanyaan: Bagaimana kabarmu saudaraku yang mulia? Bagaimana kesehatanmu? Semoga Allah meneguhkan Anda di jalan yang lurus. Dan semoga Dia memberkati Anda dengan petunjuk, kesehatan yang baik, dan keimanan yang mendalam.

Saudaraku, saya harap Anda bisa menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh seorang petinggi Taliban yang ingin mengetahui perihal Daulah Islam dan ingin membaiat khalifah Abu Bakr al-Baghdadi (hafidhahullah), tapi ia membutuhkan jawaban atas pertanyaan berikut, dan kami telah berusaha untuk menjawab yang terbaik sebatas kemampuan kami.

Pertanyaannya: "Jika Amir (maksudnya Mulla 'Umar) masih ada, maka bay'ah kepada amir kedua dan Khilafah kedua adalah tidak sah, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri (radhiallahu’anhu), "Jika bay'ah diberikan kepada dua Khalifah, maka bunuhlah yang kedua,". Dan Amīrul- Mukminin (maksudnya Mulla' Umar) jelas seorang pemimpin. Jika kita anggap bahwa sekarang dia telah terbunuh, bukankah ini harus dikonfirmasikan dengan pasti terlebih dahulu, sehingga manusia mahfum dengan pengangkatan imam yang baru (maksudnya Syekh Abu Bakr al-Baghdadi) dan dengan demikian mereka telah melaksanakan kewajiban. Namun jika Amir (maksudnya Mulla 'Umar) masih ada, maka menunjuk Imam kedua (maksudnya Syekh Abu Bakr al-Baghdadi) akan menjadi pertanyaan. Perlu bagi kita untuk menemukan solusi akan hal ini,".

Saudaraku yang mulia, saya minta Anda membalas sesegera mungkin.
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dalam Islam dan jihad.

Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan sangat teratur dan bijak sana. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah atas utusan yang mulia – pembimbing manusia menuju kebenaran yang sempurna-, Nabi yang Allah utus sebagai rahmat bagi seluruh alam, untuk mengangkat derajat mereka menuju kemuliaan (Surga) dan memperbaiki keadaan mereka di dunia dan di akhirat.

Harus diketahui -semoga Allah memandaikan kita dalam memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya -bahwa secara syar'i, Imamah (kepemimpinan) umum adalah bagi orang yang memenuhi kondisi dan syarat-syarat yang disebutkan dalam teks-teks syari'at dan Ijma’ ulama. Imam (pemimpin) dapat bersifat umum untuk seluruh umat Islam, dan dia disebut sebagai Khalifah. Khalifah, dengan status dan sifat Imamah-nya, memiliki pengaruh yang umum; maka ketaatan kepadanya adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Imamah atau kepemimpinan (Khilafah) ini merupakan kewajiban atas seluruh umat, yang dengan menunjuk seorang khalifah maka terpenuhilah kewajiban ini. Ini adalah maksud dari semua ayat dan hadits yang memerintahkan dan menekankan untuk menunjuk seorang imam dan khalifah; seperti hadits, “Kemudian akan ada Khilafah diatas manhaj kenabian," dan hadits yang diriwayatkan Hudzaifah "Tetaplah pada Jama 'ah Muslimin dan Imam mereka," dan hadits" Jika bay'ah diberikan kepada dua Khulafa', maka bunuhlah yang kedua," dan teks-teks lain tentang aturan mengenai Imam atau khalifah yang sesuai dengan deskripsi ini dan telah memenuhi persyaratan. Seperti dalam kekhalifahan Khulafa’ur Rasyidin yang empat, serta al-Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah Ibn Abi Sufyan,' Abdullah Ibn az–Zubayr, dan kekhalifahan 'Umar Ibn' Abdil Aziz, dan lain-lain [dari khilafah Umayyah dan 'Abbasiyah].

Dan mungkin juga terjadi kasus dimana Imam atau Amir khusus untuk beberapa wilayah atau negeri, maka dia akan menjadi pemimpin teritorial yang kewenangannya tidak melebihi wilayahnya. Sejarah telah mencatat bahwa ketika Khalifah saat itu Mu'awiyah Ibnu Yazid meninggal pada tahun 64 H, orang-orang Damaskus menunjuk ad-Dhahhak ibn Qays sebagai pemimpin untuk menjaga urusan mereka sampai Imam/Khalifah berikutnya dibay'ah. Kepemimpinan semacam ini tidak diperbolehkan kecuali dalam kasus yang sangat mendesak, seperti Imamah Umum (Khilafah) tidak ada. Hal ini dilakukan untuk mengisi kesenjangan politik dan syar'i, serta untuk menjaga pelaksanaan apa pun yang mungkin dari hukum-hukum syari'at. Banyak ulama syari’at telah menyepakati hal ini dalam situasi seperti itu, misalah al-Juwaini dalam bukunya "Giyāth al-Umam," ia mengatakan, "Tujuan dari imamah adalah perbaikan kondisi masyarakat umum , perencanaan urusan, dan melindungi perbatasan,".

"Oleh karena itu, menunjuk seorang imam tunggal sebagaimana yang diperintahkan jika hal itu memungkinkan, maka tidak ada keraguan bahwa ini adalah yang terbaik sesuai dengan syarat pemerintahan. Namun jika hal ini tidak memungkinkan, maka tidak dibenarkan meninggalkan dan mengabaikan orang-orang tanpa pengawasan seorang Imam, tanpa ada pemimpin yang mengumpulkan mereka, yang mencegah mereka dari kejahatan. Jadi mereka harus menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Jika mereka tetap tanpa pemimpin, mereka akan binasa, dan ini jelas dan tidak dapat ditolak,”.

Kalau bukan karena tidak adanya Khilafah sebelumnya, maka tidak ada justifikasi syar’i bagi mereka, kepemimpinan lokal atau kelompok-kelompok kecil dibentuk dan tetap bertahan. Oleh  karena itu, adalah wajib bagi umat ini menunjuk seorang imam dan Khalifah yang akan mengatur manusia sesuai dengan agama Allah dan membuat mereka tunduk pada hukum syariat. Khilafah  seumpama dengan kasus air untuk wudhu' dalam keadaan normal, dan kepemimpinan teritorial seperti tayammum yang merupakan alternatif yang diperbolehkan bila diperlukan (tidak ada air). Dan ketika kondisi normal tersedia, maka alternatifnya tidak dapat diterima. Karena itu, ketika Khalifah telah ditunjuk, maka semua janji kesetiaan (bai’at) dan kepemimpinan di luar itu menjadi batal. Itu sebabnya al-Juwaini mengatakan setelah pernyataannya di atas, "Jika hambatan telah hilang  dan Imam mampu mengayomi orang-orang, maka pemimpin (lokal) dan rakyatnya harus mematuhi imam dan menyerahkan kepemimpinan dengan damai. Imam harus menerima dan memaklumi alasan mereka dan mengatur urusan mereka. Ia dapat memutuskan untuk menyetujui pengangkatan pemimpin teritorial yang telah mereka tunjuk. Dan jika ia memiliki pertimbangan lain untuk menggantinya, maka pendapatnya yang harus diikuti dan mereka harus kembali pada keputusannya,".

Jika ini dapat dipahami dan perbedaan antara kedua realita ini menjadi jelas, maka jawaban atas pertanyaan yang diajukan akan menjadi jelas pula hanya dengan gambaran tentang Imamah Syaikh Abu Bakr al-Husayni al-Baghdadi dan kepemimpinan Mulla ‘Umar, seseorang tidak akan bisa memutuskan masalah ini sampai ia memahami gambaran ini. Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa deklarasi, pernyataan, dan maklumat kepemimpinan Mulla 'Umar bersifat nasionalis, kepemimpinan teritorial yang tidak memenuhi makna Imamah umum dalam kaitannya dengan aturan, tanggung jawab, dan kewajiban. Mulla Umar mengatakan dalam salah satu pernyataannya, "Emirat Afghanistan percaya dalam membangun hubungan bilateral dan positif dengan negara-negara tetangga dalam kerangka saling menghormati.... Kami meyakinkan semua negara-negara tetangga bahwa Emirat (Afghanistan) tidak akan membiarkan siapa pun mencampuri urusannya, dan tidak akan mencampuri urusan negara lain,” [Ucapan Selamat Idul Adha 1430 H]. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa dia tidak berusaha untuk membangun Khilafah syar’i yang akan mengayomi seluruh dunia dan menyelamatkan dunia Islam dari pemerintahan (thaghut) kafir dan murtad. Sebaliknya, melalui gerakan kelompoknya dia berniat mendirikan sebuah negara nasionalis dengan batas-batasnya. Hal ini bertambah jelas dalam pernyataan lain di mana ia berbicara tentang masa depan negerinya dengan mengatakan "Afghan yang Islami (murni)” dan mengatakan akan menikmati "sistem syar'i nasionalis... dan melestarikan persatuan tanah air dan bangsa" [Ucapan Selamat Idul Adha 1433 H]. Ini semua menegaskan bahwa negara (Emirat) ini diciptakan untuk mengatur Afghanistan saja, dan itupun dengan mempertimbangkan standar internasional yang tidak memperkenankan keterlibatan urusan dan sengketa dengan negara tetangga. Dan ini bertentangan dengan tujuan Khilafah, yang akan menyatukan barisan kaum muslimin di seluruh dunia dan memiliki kepedulian atas semua urusan mereka, dan akan melibatkan diri secara langsung dalam upaya perbaikan dan pembelaan mereka sesuai dengan manhaj kenabian.

Anggap saja bahwa kita memaklumi fakta dalam semua pernyataan dan deklarasi tersebut yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip syar'i, yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir di manapun mereka berada, untuk menunjukkan kebencian terhadap mereka semua, dan tidak condong kepada mereka dengan mengeluarkan pernyataan yang sulit dipahami atau dengan pernyataan palsu berdasarkan konsep politik modern. Namun, jika secara individu agama seorang Muslim tidak dapat tegak –bahkan sekedar ia hanya menyembah Allah dan meninggalkan syirik-, sehingga ia harus menunjukkan permusuhan terhadap mushrikīn dan menyatakan permusuhan dan kebencian terhadap mereka, bagaimana bisa sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, tiba-tiba  menjadi lemah dalam menjalankan prinsip ini walau hanya dalam pesan politiknya?!

Di sisi lain, Daulah Islam (semoga Allah memuliakannya) dalam deklarasinya mendirikan Khilafah dan menunjuk Khalifah bagi umat Islam, perluasan pengaruhnya ke wilayah-wilayah di negeri yang diberkahi sebagai pusat gravitasi dunia Islam (Syam), pengutusan para pemimpin dan wali ke negeri-negeri lain, penerimaan bai’at dari banyak kelompok kepadanya, pernyataan permusuhan dan seruan jihad (dimanapun yang memungkinkan) yang tegas terhadap tatanan (penjajahan) dunia, dan memegang kontrol penuh atas banyak wilayah, semua hal ini dengan segala permasalahannya adalah suatu kejelasan yang menunjukkan realitas Khilafah yang diberkahi ini, dan bahwa itu semua sesuai dengan tujuan dan pendekatan syari'at mengenai Imamah.

Lebih penting lagi, bahwa pernyataan bay'at kepada Imam Ibrahim al-Badri as-Samarra'i (Syaikh Abu Bakr al-Baghdadi – hafidhahullah) adalah untuk Khilafah dan menyebutnya sebagai Khalifah kaum muslimin, dan Daulah menyeru semua orang  untuk memberikan bay'at nya dengan nama dan deskripsi ini (Khilafah dan Khalifah). Kejelasan masalah ini harus menjadi pertimbangan ketika menilai ke-absahannya, karena bay’at Imamah adalah sebuah kontrak perjanjian yang besar, yang menuntut pengetahuan dan kejelasan mengenai realitas dari kata-kata tersebut. Jika kontrak jual beli saja dianggap tidak sah menurut banyak ulama, kecuali dengan tawaran, penerimaan, dan pengetahuan tentang apa yang sedang disepakati; lalu bagaimana kita harus lebih besar menaruh perhatian dalam hal Khilafah, mengingat bay'ah adalah sebuah putusan sebagaimana perjanjian dalam perdagangan. Al-Qalqashandi mengatakan, "Makna bay'ah adalah kontrak dan janji yang serupa dengan perdagangan pada implementasinya" [Subh al-A'sha].

Ibn al-Atsir menjelaskan alasan mengapa disebut bay'ah, "Seolah-olah mereka semua diperdagangkan, ketaatan dan segala urusannya untuk apa yang ditawarkan" [An-Nihayah]. Dan kita tahu bahwa Mulla Umar tidak di bay'at atas sebuah Khilafah, ia juga tidak memenuhi syarat atasnya. Terlebih lagi, ia menjelaskan melalui sebuah pernyataannya bahwa kepemimpinannya bukan Khilafah maupun Imamah global, tetapi hanya dalam batasan sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Lalu bagaimana kita bisa mengatakan Mulla 'Umar adalah khalifah, sementara ia sendiri tidak mengakuinya?

Aneh! Bagaimana atribut Khilafah akan diambil dari seseorang yang dihadapkan dengan tanggung jawab, lalu memenuhinya dan menanggung bebannya, kemudian diberikan kepada orang yang menahan diri dari tanggung jawab itu, menjauhinya, dan menolak segala kewajiban dan tuntutannya?

Demikian juga, kita tidak akan lupa, bahwa jikapun Mulla 'Umar menyerukan bay'ah untuk dirinya atas nama Khilafah, itu akan menjadi batal berdasarkan kesepakatan para ulama dan teks syar'i yang jelas yang menyatakan bahwa Quraisy adalah syarat untuk Khilafah yang sah. Hal ini karena hadis otentik dan kesepakatan dari para sahabat tentang masalah tersebut. Dan keanehan dari mereka yang menyimpang dari kesepakatan ini, seperti Khawarij, Mu'tazilah, orang-orang bid'ah, dan beberapa ulama mutakhirin, tidak harus dianggap. Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam) mengatakan, "Masalah (kepemimpinan) ini akan tetap di antara Quraisy, bahkan jika hanya tersisa dua dari mereka" [Al-Bukhari dan Muslim]. Dan Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam) mengatakan, "Masalah (kepemimpinan) ini akan tetap berada di Quraisy. Tidak ada yang akan menentang mereka dalam hal ini, kecuali Allah akan menyeretnya pada wajah mereka ke neraka, selama mereka menegakkan agama" [HR Al-Bukhari]. Nabi juga mengatakan, "A'immah (jamak dari Imam) adalah dari Quraisy" [HR an-Nasa'i].

Nabi mempergilirkan imamah kepada Qurashi adalah bukti bahwa itu tidak berlaku untuk non-Qurashi. Jika tidak, tidak ada manfaat dalam menyebutkan itu. Sejumlah ulama telah menyepakati syarat Qurashi untuk Imamah. Al-Mawardi mengatakan, "Kondisi ketujuh adalah garis keturunan, yang menjadi Imam adalah dari Quraisy. Hal ini atas dasar teks syar’i dan kesepakatan yang jelas. Pendapat Dirar menyimpang yang membolehkan (kepemimpinan) untuk semua orang tidak dapat dipertimbangkan, karena pada hari as-Saqifah ketika Ansar telah memberikan bay'ah kepada Sa'ad Ibn 'Ubadah, Abu Bakar (radhiallahu’anhu) menanggapi mereka dengan pernyataan Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam) “a'immah berasal dari Quraisy,". Sehingga mereka melepaskan klaim yang berawal dari ide membuat kepemimpinan bersama, seperti yang mereka katakan sebelumnya, “Amir dari kami dan Amir dari Anda,". Mereka serahkan pada narasi perkataan Rasul, menerima kebenarannya, dan senang dengan pernyataannya, "Kami adalah pemimpin dan Anda adalah penolong,". Nabi berkata, “Berikan dahulu (kepemimpinan) untuk Quraisy dan tidak mendahulukan orang lain atas mereka”. Dari teks ini, tidak ada tempat untuk keraguan dan perselisihan dalam berbagai kondisi. Juga tidak ada tempat untuk menentangnya" [Al-Ahkam as-Sultaniyyah].

Ibnu Hazm Adz-Dhāhirī menekankan hal ini dengan mengatakan bahwa siapa pun yang membolehkan Imamah untuk non-Quraisyi, berarti telah membantah hadits Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak beriman kepada Allah. Dia mengatakan, "Kami diriwayatkan melalui Muslim dari 'Abdullah Ibnu' Umar bahwa Rasulullah mengatakan 'Hal ini akan tetap di antara Quraisy, bahkan jika hanya tersisa dua dari mereka,' dan melalui al-Bukhari dari Mu'awiyah yang mengatakan, 'Aku mendengar Rasulullah mengatakan, 'Hal ini akan tetap berada pada Quraisy. Tidak ada yang akan menentang mereka atas hal itu kecuali Allah akan menyeretnya pada wajahnya ke neraka, selama mereka menegakkan agama’, Saya katakan: Narasi dari Ibn 'Umar lebih umum daripada narasi Mu'awiyah. Kedua riwayat ini –meskipun dalam bentuk informasi adalah otentik dan shahih. Jika seseorang membolehkan kepemimpinan berada pada selain Quraisy, itu akan menyangkal hadits Nabi. Dan penyangkalan ini adalah kekufuran. Jadi, siapa pun yang mengklaim kepemimpinan dan khilafah dari selain Quraisy, ia bukanlah khalifah atau imam atau orang yang berhak. Sebaliknya, ia tidak memiliki hak atas hal itu. Dia, siapa pun yang mendukungnya, dan siapa pun yang menyetujui kekuasaannya, menjadi orang-orang berdosa dan tidak taat kepada Allah dengan melanggar batas-Nya sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam)" [Al-Muhalla].

Secara umum, masalah ini –syarat imam adalah dari Quraisy- meskipun beberapa ulama kontemporer meremehkan itu, para ulama salaf menyebutnya sebagai permasalahan keyakinan yang memisahkan Ahlus- Sunnah dengan sekte-sekte bid'ah. As-Saffārīnī (rahimahullah) menyebutkan dalam risalahnya “Ad-Durratul Madiyyah fi ‘Iqdil Firqatil Mardiyyah" dalam bab tentang Imamah dan hal-hal yang berkaitan dengan itu:

"Syaratnya adalah Islam, merdeka, memiliki pendengaran yang sehat, adil dan berilmu. Selain berilmu, ia harus dari Quraisy, dewasa dan waras, dan memiliki kemampuan,". Berdasarkan semua ini, kita katakan: Mulla 'Umar bukan dari Quraisy. Ini disebutkan dalam biografinya yang diterbitkan oleh Emirat Taliban di website resmi mereka. Dan ini memiliki efek yang membatalkan Khilafahnya jika ia mengklaim posisi ini.

Di sisi lain, garis keturunan Syekh Abu Bakr al-Badri sebagai –Samarra’i al-Baghdadi tidak hanya kembali ke Quraisy, tapi juga bahkan sampai ke rumah tangga Nabi Muhammad (shalallahu ‘alaihi wasallam). Ini diketahui dengan sangat baik dan dikonfirmasi oleh spesialis keturunan di Irak dan di tempat lain. Misalnya, spesialis keturunan dan penulis buku "'Ashā'ir al-'Irāq" (Klan Irak) mengatakan, "Klan Albu Badri: Pemimpin mereka [selama era penulis] adalah Ustādh Sa'id al -Badrī. [Dia kemudian menyebutkan silsilah Sa'id untuk kakeknya Badri dan kemudian berkata] keturunan mereka sampai kepada Imam Muhammad al-Jawad. Mereka hidup di dalam Samarra" ['Ashā'ir al-'Irāq: Halaman 385]. Muhammad al-Jawad adalah dari anggota Husayni yang sangat terkenal dari Ahlulbait. Dia adalah Muhammad al-Jawad Ibn 'Alī ar-Ridha Ibnu Musa al-Kadhim Ibnu Ja'far as-Sadiq Ibn Muhammad al-Baqir Ibn' Alī Zayn al-'Abidin Ibn al-Husayn ash Shahid Ibn 'Ali bin Abi Thalib, meninggal pada 220 H.

Kesimpulannya, diskusi ini akan membantu Anda memahami hadits Nabi, "Jika bay'ah diberikan kepada dua Khulafa', maka bunuhlah yang kedua," dan hadits, "Penuhilah bai’at yang awal" [Sahih Muslim]. Dan ketika kita benturkan kondisi kenyataan yang ada sekarang, tidak ada keraguan bahwa hanya ada satu Khalifah saat ini dan itu adalah Syaikh Abu Bakr Ibrahim Ibn 'Awwad al-Badri sebagai-Sāmarrā'ī al-Husayni al-Qurashi (hafidhahullāh). Dia adalah imam saat ini yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh syari'at, sedangkan Mulla 'Umar adalah seorang (atau mungkin mantan) pemimpin salah satu wilayah Islam. Dan jika kita menganggap Mulla 'Umar masih hidup dan bahwa pernyataan terakhirnya yang menyimpang itu bukan darinya, maka wajib baginya dan orang-orang yang bersama dengannya untuk mematuhi khalifah dan menerima Imamah serta tunduk padanya. Sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk bersatu dan berkumpul sebagaimana manhaj Nabi, sahabat, dan salaf dalam hal Iman dan Sunnah dari imamah dan khilafah.

Setiap orang yang memberi bay’ah untuk Mulla 'Umar dan Emirat harus tahu, bahwa bai’at ini telah diambil alih oleh bai’at yang lebih kuat dalam hal kewajiban, yaitu bay'at kepada Khalifah. Mereka harus tahu bahwa mereka tidak akan benar-benar bebas dari atribut tercela sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi, “Barangsiapa mati tanpa ikatan bai’at, maka ia mati sebagaimana kematian jahiliyyah" kecuali dengan memenuhi tanggung jawab ini, dengan berbai’at kepada Khalifah. Semua janji (bai’at) lain adalah lemah dibandingkan dengan kewajiban itu, dalam hal kekuatan dalil dan tujuannya. Dan hanya kepada Allah kembali segala urusan.

Perlu juga kami jelaskan di sini, menanggapi orang-orang yang mengatakan bahwa ini tidaklah wajib bagi para mujahidin di Khurasan dan tempat-tempat jauh lainnya untuk membaiat Syaikh Abu Bakr al-Qurashi al-Baghdadi (hafidhahullāh). Mereka menyampaikan alasan bahwa pemerintahan (kekuasaan) dan pengaruhnya belum mencapai mereka.

Klaim ini juga tidak benar. Ini adalah sebuah keraguan yang diulang-ulang oleh mereka yang tidak memahami sirah Nabi (shallallahu ‘alaihi wasallam) yang telah mengirimkan delegasi keluar (wilayah kekuasaannya). Mereka tidak membaca tentang para Khalifah dimasa awal-awal dan bagaimana mereka berurusan dengan hal ini. Jelas bahwa dengan menyatakan berita tentang bay'at utama, cukuplah kewajiban itu untuk mencapai daerah dan kelompok-kelompok lain. Dan itu menjadi sangat wajib atas setiap kelompok yang memiliki kekuasaan dan pengaruh, sebagaimana kaidah Fiqih, "Sesuatu yang dibutuhkan untuk memenuhi kewajiban, maka sesuatu itu menjadi wajib,". Jika bersatu di bawah satu imam tidak dapat terpenuhi kecuali dengan bergabungnya faksi lain yang berbeda, maka bergabung dengan yang lebih besar menjadi kewajiban bagi semua faksi. Itulah sebabnya ketika Abu Bakar as-Shiddiq (radhiallahu’anhu) diberikan bay'at di Saqifah Bani Sa'idah dari dalam kota Madinah, cukup untuk membuat bay'at menjadi wajib atas sisa Semenanjung Arab meskipun kekuasaannya mungkin belum mencapai mereka.

Oleh karena itulah, ketika orang-orang Arab murtad dari Islam, sebagian mereka berada jauh dari Semenanjung Arab di luar jangkauan Abu Bakar as-Siddiq, ini bukan alasan bagi mereka untuk meninggalkan ketaatan kepadanya atau membatalkan bai’at mereka kepadanya. Kisah tentang kota Juwāthā dapat kita jadikan contoh. "Tidak ada kota yang berada dalam al-haq [setelah al-Madinah] selain kota ini, Makkah, dan Thaif. Ini adalah kota pertama yang menahan shalat Jumat setelah terjadi kemurtadan, seperti dilansir al Bukhari dari Ibnu 'Abbas. Orang-orang murtad mengepung dan membatasi gerak mereka, bahkan mencegah makanan menjangkau mereka. Sehingga mereka menderita kelaparan sampai Allah memberikan mereka keselamatan. Seorang pria di antara mereka yang bernama 'Abdullah Ibn Hadhaf milik suku Banu Bakr Ibn Kilab mengungkapkan beberapa puisi setelah menderita kelaparan yang parah;

'Tidakkah ada utusan yang akan menyampaikan pesan kepada Abu Bakar dan penduduk Madinah? Bisakah kau datangkan bantuan untuk orang-orang mulia yang terkepung di Juwāthā? Darah mereka mengalir di setiap gunung seperti cahaya matahari yang menyilaukan mata. Kami hanya mengandalkan ar Rahman dan menemukan bahwa kesabaran datang kepada mereka yang mengandalkan-Nya” [Al-Bidayah wan Nihayah].

Dan sudah dipahami secara umum oleh orang-orang yang mempelajari buku-buku sirah, sejarah, dan hukum-hukum Imamah, bahwa jika seseorang dibai’at sebagai Khalifah di suatu negeri dan kemudian mengirimkan delegasi ke daerah dan negeri lain, maka itu cukup untuk membuatnya wajib atas orang-orang di negeri tersebut untuk mentaati perintahnya atas kedatangan delegasi kepada mereka. Bahkan jika ia tidak mengirimkan tentara dan pasukan bersama delegasi itu untuk membuat orang-orang mematuhi perintah dan memaksa mereka untuk melakukannya. Inilah kasus yang terjadi di wilayah Khurasan, dengan kehadiran Wali yang diangkat oleh Amirul Mukminin dan ditempatkan bertugas di sana.

Dasar untuk ini bahwa ketika Amirul-Mukminin 'Ali bin Abi Thalib (radhiallahu’anhu) mengambil alih Khilafah, ia mengirim delegasi ke daerah lain, diantaranya ia mengirim delegasi untuk Sham, sementara ia tidak memiliki kontrol atau kekuasaan atas mereka pada waktu itu. Dan tidak diragukan lagi, mereka jatuh ke dalam dosa perpecahan dan perselisihan dengan tidak membiarkan Amir  mereka (yang telah ditunjuk ‘Ali) untuk mengambil kendali dari mereka dan melaksanakan kekuasaannya atas mereka. Allah (subhanahu wata’ala) mengatakan, “Dan berpegang teguh kamu semua pada tali Allah bersama-sama dan tidak terpecah” (Ali Imran: 103).

Dan ketika Yazid bin Mu’awiyah meninggal, Amirul-Mukminin Ibn Zubair (radhiallahu’anhuma) mengambil alih kepemimpinan dan diberi bay'ah di Makkah. Dia kemudian mengirim delegasi ke daerah lain. Semua daerah lain menyerah kepadanya kecuali Damaskus. Jadi siapapun yang tidak mentaati dia dan menentangnya, maka dengan demikian ia telah keluar dari jama'ah dan menjadi pemberontak, sebagaimana kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah berkata, "'Abdul-Malik bin Marwan memberontak terhadap Ibn Zubair dan membunuhnya serta mengambil alih tanah dan rakyatnya" [Al-Mughni].

Akhirnya, kami mengundang orang-orang dari Khurasan untuk bersegera mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, menyatukan kalimat, bergabung dengan barisan, dan berjanji setia kepada Khalifah kaum muslimin. Dan menjauhkan diri dari hawa nafsu yang akan membalikan mereka dari kebaikan dan menimbulkan keraguan dalam hati dan jiwa. Jangan menjadi pendukung musuh kita dari tentara salib dan murtad dengan memerangi kami, dengan meninggalkan dukungan terhadap Khilafah yang mana Rasulullah (shalallahu ‘alaihi wasallam) telah memberi kabar gembira. Hari ini kita sedang menghadapi salibis dunia, pasukan murtad dan sekutu mereka. Dan kami peringatkan mereka yang mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka:

{Ketika mereka berkata kepada Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja, dan kami akan berperang (dibawah pimpinannya) di jalan Allah" Nabi mereka berkata, "Sangat mungkin kamu akan menahan diri dari peperangan jika itu diwajibkan atas kamu?" Mereka berkata, “Mengapa kami tidak berperang di jalan Allah sementara kami telah diusir dari rumah dan anak-anak kami?”. Maka ketika perang diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali beberapa dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim. Dan nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Talut sebagai raja kalian" Mereka berkata, "Bagaimana dia bisa memerintah kami sementara kami lebih layak memerintah daripada dia, dan diapun tidak diberi cukup kekayaan?" Nabi mereka berkata," Sesungguhnya Allah telah memilih dia atas kamu dan telah menganugrahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Dan Allah memberikan kekuasaan (pemerintahan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui} [Al-Baqarah: 246-247].

Dan Allah membimbing ke jalan yang lurus.


Source: DABIQ 10

Hafiz Saeed Khan, leader of so-called Islamic State in Afghanistan and Pakistan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...