Fatwa Untuk
Khurasan
Sebuah pertanyaan
telah sampai kepada kami dari wilayah Khurasan. Kami publikasikan agar dapat
diambil manfaatnya bagi siapa saja yang menemui kasus serupa.
Pertanyaan: Bagaimana kabarmu saudaraku yang
mulia? Bagaimana kesehatanmu? Semoga Allah meneguhkan Anda di jalan yang lurus.
Dan semoga Dia memberkati Anda dengan petunjuk, kesehatan yang baik, dan
keimanan yang mendalam.
Saudaraku, saya harap Anda bisa
menjawab pertanyaan yang diajukan kepada saya oleh seorang petinggi Taliban
yang ingin mengetahui perihal Daulah Islam dan ingin membaiat khalifah Abu Bakr
al-Baghdadi (hafidhahullah), tapi ia membutuhkan jawaban atas pertanyaan
berikut, dan kami telah berusaha untuk menjawab yang terbaik sebatas kemampuan kami.
Pertanyaannya: "Jika Amir (maksudnya Mulla
'Umar) masih ada, maka bay'ah kepada amir kedua dan Khilafah kedua adalah tidak
sah, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa'id al-Khudri
(radhiallahu’anhu), "Jika bay'ah diberikan kepada dua Khalifah, maka bunuhlah
yang kedua,". Dan Amīrul- Mukminin (maksudnya Mulla' Umar) jelas seorang
pemimpin. Jika kita anggap bahwa sekarang dia telah terbunuh, bukankah ini
harus dikonfirmasikan dengan pasti terlebih dahulu, sehingga manusia mahfum
dengan pengangkatan imam yang baru (maksudnya Syekh Abu Bakr al-Baghdadi) dan
dengan demikian mereka telah melaksanakan kewajiban. Namun jika Amir (maksudnya
Mulla 'Umar) masih ada, maka menunjuk Imam kedua (maksudnya Syekh Abu Bakr
al-Baghdadi) akan menjadi pertanyaan. Perlu bagi kita untuk menemukan solusi
akan hal ini,".
Saudaraku yang mulia, saya minta Anda membalas sesegera
mungkin.
Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan dalam Islam
dan jihad.
Jawaban: Segala puji bagi Allah yang telah
menciptakan alam semesta dengan sangat teratur dan bijak sana. Semoga shalawat
dan salam senantiasa tercurah atas utusan yang mulia – pembimbing manusia menuju
kebenaran yang sempurna-, Nabi yang Allah utus sebagai rahmat bagi seluruh
alam, untuk mengangkat derajat mereka menuju kemuliaan (Surga) dan memperbaiki
keadaan mereka di dunia dan di akhirat.
Harus diketahui -semoga Allah
memandaikan kita dalam memahami firman Allah dan sabda Rasul-Nya -bahwa secara
syar'i, Imamah (kepemimpinan) umum adalah bagi orang yang memenuhi kondisi dan syarat-syarat
yang disebutkan dalam teks-teks syari'at dan Ijma’ ulama. Imam (pemimpin) dapat
bersifat umum untuk seluruh umat Islam, dan dia disebut sebagai Khalifah.
Khalifah, dengan status dan sifat Imamah-nya, memiliki pengaruh yang umum; maka
ketaatan kepadanya adalah wajib atas seluruh kaum muslimin. Imamah atau
kepemimpinan (Khilafah) ini merupakan kewajiban atas seluruh umat, yang dengan
menunjuk seorang khalifah maka terpenuhilah kewajiban ini. Ini adalah maksud
dari semua ayat dan hadits yang memerintahkan dan menekankan untuk menunjuk
seorang imam dan khalifah; seperti hadits, “Kemudian akan ada Khilafah diatas
manhaj kenabian," dan hadits yang diriwayatkan Hudzaifah "Tetaplah
pada Jama 'ah Muslimin dan Imam mereka," dan hadits" Jika bay'ah
diberikan kepada dua Khulafa', maka bunuhlah yang kedua," dan teks-teks
lain tentang aturan mengenai Imam atau khalifah yang sesuai dengan deskripsi
ini dan telah memenuhi persyaratan. Seperti dalam kekhalifahan Khulafa’ur
Rasyidin yang empat, serta al-Hasan Ibnu Ali bin Abi Thalib, Muawiyah Ibn Abi
Sufyan,' Abdullah Ibn az–Zubayr, dan kekhalifahan 'Umar Ibn' Abdil Aziz, dan
lain-lain [dari khilafah Umayyah dan 'Abbasiyah].
Dan mungkin juga terjadi kasus
dimana Imam atau Amir khusus untuk beberapa wilayah atau negeri, maka dia akan
menjadi pemimpin teritorial yang kewenangannya tidak melebihi wilayahnya.
Sejarah telah mencatat bahwa ketika Khalifah saat itu Mu'awiyah Ibnu Yazid
meninggal pada tahun 64 H, orang-orang Damaskus menunjuk ad-Dhahhak ibn Qays
sebagai pemimpin untuk menjaga urusan mereka sampai Imam/Khalifah berikutnya
dibay'ah. Kepemimpinan semacam ini tidak diperbolehkan kecuali dalam kasus yang
sangat mendesak, seperti Imamah Umum (Khilafah) tidak ada. Hal ini dilakukan
untuk mengisi kesenjangan politik dan syar'i, serta untuk menjaga pelaksanaan
apa pun yang mungkin dari hukum-hukum syari'at. Banyak ulama syari’at telah
menyepakati hal ini dalam situasi seperti itu, misalah al-Juwaini dalam bukunya
"Giyāth al-Umam," ia mengatakan, "Tujuan dari imamah adalah
perbaikan kondisi masyarakat umum , perencanaan urusan, dan melindungi
perbatasan,".
"Oleh karena itu, menunjuk
seorang imam tunggal sebagaimana yang diperintahkan jika hal itu memungkinkan,
maka tidak ada keraguan bahwa ini adalah yang terbaik sesuai dengan syarat
pemerintahan. Namun jika hal ini tidak memungkinkan, maka tidak dibenarkan
meninggalkan dan mengabaikan orang-orang tanpa pengawasan seorang Imam, tanpa
ada pemimpin yang mengumpulkan mereka, yang mencegah mereka dari kejahatan. Jadi
mereka harus menunjuk salah satu dari mereka sebagai pemimpin. Jika mereka
tetap tanpa pemimpin, mereka akan binasa, dan ini jelas dan tidak dapat
ditolak,”.
Kalau bukan karena tidak adanya
Khilafah sebelumnya, maka tidak ada justifikasi syar’i bagi mereka,
kepemimpinan lokal atau kelompok-kelompok kecil dibentuk dan tetap bertahan. Oleh
karena itu, adalah wajib bagi umat ini
menunjuk seorang imam dan Khalifah yang akan mengatur manusia sesuai dengan
agama Allah dan membuat mereka tunduk pada hukum syariat. Khilafah seumpama dengan kasus air untuk wudhu' dalam keadaan
normal, dan kepemimpinan teritorial seperti tayammum yang merupakan alternatif
yang diperbolehkan bila diperlukan (tidak ada air). Dan ketika kondisi normal
tersedia, maka alternatifnya tidak dapat diterima. Karena itu, ketika Khalifah
telah ditunjuk, maka semua janji kesetiaan (bai’at) dan kepemimpinan di luar
itu menjadi batal. Itu sebabnya al-Juwaini mengatakan setelah pernyataannya di
atas, "Jika hambatan telah hilang dan
Imam mampu mengayomi orang-orang, maka pemimpin (lokal) dan rakyatnya harus
mematuhi imam dan menyerahkan kepemimpinan dengan damai. Imam harus menerima
dan memaklumi alasan mereka dan mengatur urusan mereka. Ia dapat memutuskan
untuk menyetujui pengangkatan pemimpin teritorial yang telah mereka tunjuk. Dan
jika ia memiliki pertimbangan lain untuk menggantinya, maka pendapatnya yang
harus diikuti dan mereka harus kembali pada keputusannya,".
Jika ini dapat dipahami dan
perbedaan antara kedua realita ini menjadi jelas, maka jawaban atas pertanyaan
yang diajukan akan menjadi jelas pula hanya dengan gambaran tentang Imamah
Syaikh Abu Bakr al-Husayni al-Baghdadi dan kepemimpinan Mulla ‘Umar, seseorang
tidak akan bisa memutuskan masalah ini sampai ia memahami gambaran ini.
Sementara itu, tidak diragukan lagi bahwa deklarasi, pernyataan, dan maklumat
kepemimpinan Mulla 'Umar bersifat nasionalis, kepemimpinan teritorial yang tidak
memenuhi makna Imamah umum dalam kaitannya dengan aturan, tanggung jawab, dan
kewajiban. Mulla Umar mengatakan dalam salah satu pernyataannya, "Emirat
Afghanistan percaya dalam membangun hubungan bilateral dan positif dengan
negara-negara tetangga dalam kerangka saling menghormati.... Kami meyakinkan
semua negara-negara tetangga bahwa Emirat (Afghanistan) tidak akan membiarkan
siapa pun mencampuri urusannya, dan tidak akan mencampuri urusan negara lain,”
[Ucapan Selamat Idul Adha 1430 H]. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa dia
tidak berusaha untuk membangun Khilafah syar’i yang akan mengayomi seluruh
dunia dan menyelamatkan dunia Islam dari pemerintahan (thaghut) kafir dan
murtad. Sebaliknya, melalui gerakan kelompoknya dia berniat mendirikan sebuah
negara nasionalis dengan batas-batasnya. Hal ini bertambah jelas dalam pernyataan
lain di mana ia berbicara tentang masa depan negerinya dengan mengatakan
"Afghan yang Islami (murni)” dan mengatakan akan menikmati "sistem
syar'i nasionalis... dan melestarikan persatuan tanah air dan bangsa"
[Ucapan Selamat Idul Adha 1433 H]. Ini semua menegaskan bahwa negara (Emirat)
ini diciptakan untuk mengatur Afghanistan saja, dan itupun dengan
mempertimbangkan standar internasional yang tidak memperkenankan keterlibatan
urusan dan sengketa dengan negara tetangga. Dan ini bertentangan dengan tujuan
Khilafah, yang akan menyatukan barisan kaum muslimin di seluruh dunia dan
memiliki kepedulian atas semua urusan mereka, dan akan melibatkan diri secara
langsung dalam upaya perbaikan dan pembelaan mereka sesuai dengan manhaj
kenabian.
Anggap saja bahwa kita memaklumi
fakta dalam semua pernyataan dan deklarasi tersebut yang sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip syar'i, yang memerintahkan untuk memerangi orang-orang kafir
di manapun mereka berada, untuk menunjukkan kebencian terhadap mereka semua,
dan tidak condong kepada mereka dengan mengeluarkan pernyataan yang sulit
dipahami atau dengan pernyataan palsu berdasarkan konsep politik modern. Namun,
jika secara individu agama seorang Muslim tidak dapat tegak –bahkan sekedar ia
hanya menyembah Allah dan meninggalkan syirik-, sehingga ia harus menunjukkan
permusuhan terhadap mushrikīn dan menyatakan permusuhan dan kebencian terhadap
mereka, bagaimana bisa sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan dan pengaruh,
tiba-tiba menjadi lemah dalam
menjalankan prinsip ini walau hanya dalam pesan politiknya?!
Di sisi lain, Daulah Islam (semoga Allah
memuliakannya) dalam deklarasinya mendirikan Khilafah dan menunjuk Khalifah
bagi umat Islam, perluasan pengaruhnya
ke wilayah-wilayah di negeri yang diberkahi sebagai pusat gravitasi dunia Islam
(Syam), pengutusan para pemimpin dan wali ke negeri-negeri lain, penerimaan
bai’at dari banyak kelompok kepadanya, pernyataan permusuhan dan seruan jihad
(dimanapun yang memungkinkan) yang tegas terhadap tatanan (penjajahan) dunia,
dan memegang kontrol penuh atas banyak wilayah, semua hal ini dengan segala
permasalahannya adalah suatu kejelasan yang menunjukkan realitas Khilafah yang
diberkahi ini, dan bahwa itu semua sesuai dengan tujuan dan pendekatan syari'at
mengenai Imamah.
Lebih penting lagi, bahwa
pernyataan bay'at kepada Imam Ibrahim al-Badri as-Samarra'i (Syaikh Abu Bakr
al-Baghdadi – hafidhahullah) adalah untuk Khilafah dan menyebutnya sebagai
Khalifah kaum muslimin, dan Daulah menyeru semua orang untuk memberikan bay'at nya dengan nama dan deskripsi
ini (Khilafah dan Khalifah). Kejelasan masalah ini harus menjadi pertimbangan
ketika menilai ke-absahannya, karena bay’at Imamah adalah sebuah kontrak
perjanjian yang besar, yang menuntut pengetahuan dan kejelasan mengenai realitas
dari kata-kata tersebut. Jika kontrak jual beli saja dianggap tidak sah menurut
banyak ulama, kecuali dengan tawaran, penerimaan, dan pengetahuan tentang apa
yang sedang disepakati; lalu bagaimana kita harus lebih besar menaruh perhatian
dalam hal Khilafah, mengingat bay'ah adalah sebuah putusan sebagaimana
perjanjian dalam perdagangan. Al-Qalqashandi mengatakan, "Makna bay'ah
adalah kontrak dan janji yang serupa dengan perdagangan pada
implementasinya" [Subh al-A'sha].
Ibn al-Atsir menjelaskan
alasan mengapa disebut bay'ah, "Seolah-olah mereka semua diperdagangkan, ketaatan
dan segala urusannya untuk apa yang ditawarkan" [An-Nihayah]. Dan kita
tahu bahwa Mulla Umar tidak di bay'at atas sebuah Khilafah, ia juga tidak
memenuhi syarat atasnya. Terlebih lagi, ia menjelaskan melalui sebuah pernyataannya
bahwa kepemimpinannya bukan Khilafah maupun Imamah global, tetapi hanya dalam
batasan sebagaimana yang kita jelaskan di atas. Lalu bagaimana kita bisa
mengatakan Mulla 'Umar adalah khalifah, sementara ia sendiri tidak mengakuinya?
Aneh! Bagaimana atribut
Khilafah akan diambil dari seseorang yang dihadapkan dengan tanggung jawab,
lalu memenuhinya dan menanggung bebannya, kemudian diberikan kepada orang yang menahan
diri dari tanggung jawab itu, menjauhinya, dan menolak segala kewajiban dan
tuntutannya?
Demikian juga, kita tidak
akan lupa, bahwa jikapun Mulla 'Umar menyerukan bay'ah untuk dirinya atas nama
Khilafah, itu akan menjadi batal berdasarkan kesepakatan para ulama dan teks
syar'i yang jelas yang menyatakan bahwa Quraisy adalah syarat untuk Khilafah
yang sah. Hal ini karena hadis otentik dan kesepakatan dari para sahabat
tentang masalah tersebut. Dan keanehan dari mereka yang menyimpang dari
kesepakatan ini, seperti Khawarij, Mu'tazilah, orang-orang bid'ah, dan beberapa
ulama mutakhirin, tidak harus dianggap. Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam)
mengatakan, "Masalah (kepemimpinan) ini akan tetap di antara Quraisy, bahkan
jika hanya tersisa dua dari mereka" [Al-Bukhari dan Muslim]. Dan Nabi
(shalallahu ‘alaihi wasallam) mengatakan, "Masalah (kepemimpinan) ini akan
tetap berada di Quraisy. Tidak ada yang akan menentang mereka dalam hal ini,
kecuali Allah akan menyeretnya pada wajah mereka ke neraka, selama mereka
menegakkan agama" [HR Al-Bukhari]. Nabi juga mengatakan, "A'immah (jamak
dari Imam) adalah dari Quraisy" [HR an-Nasa'i].
Nabi mempergilirkan
imamah kepada Qurashi adalah bukti bahwa itu tidak berlaku untuk non-Qurashi.
Jika tidak, tidak ada manfaat dalam menyebutkan itu. Sejumlah ulama telah
menyepakati syarat Qurashi untuk Imamah. Al-Mawardi mengatakan, "Kondisi
ketujuh adalah garis keturunan, yang menjadi Imam adalah dari Quraisy. Hal ini
atas dasar teks syar’i dan kesepakatan yang jelas. Pendapat Dirar menyimpang
yang membolehkan (kepemimpinan) untuk semua orang tidak dapat dipertimbangkan,
karena pada hari as-Saqifah ketika Ansar telah memberikan bay'ah kepada Sa'ad
Ibn 'Ubadah, Abu Bakar (radhiallahu’anhu) menanggapi mereka dengan pernyataan
Nabi (shalallahu ‘alaihi wasallam) “a'immah berasal dari Quraisy,".
Sehingga mereka melepaskan klaim yang berawal dari ide membuat kepemimpinan
bersama, seperti yang mereka katakan sebelumnya, “Amir dari kami dan Amir dari
Anda,". Mereka serahkan pada narasi perkataan Rasul, menerima
kebenarannya, dan senang dengan pernyataannya, "Kami adalah pemimpin dan
Anda adalah penolong,". Nabi berkata, “Berikan dahulu (kepemimpinan) untuk
Quraisy dan tidak mendahulukan orang lain atas mereka”. Dari teks ini, tidak
ada tempat untuk keraguan dan perselisihan dalam berbagai
kondisi. Juga tidak ada tempat untuk menentangnya" [Al-Ahkam
as-Sultaniyyah].
Ibnu Hazm Adz-Dhāhirī menekankan
hal ini dengan mengatakan bahwa siapa pun yang membolehkan Imamah untuk
non-Quraisyi, berarti telah membantah hadits Nabi (shallallahu ‘alaihi
wasallam) tidak beriman kepada Allah. Dia mengatakan, "Kami diriwayatkan
melalui Muslim dari 'Abdullah Ibnu' Umar bahwa Rasulullah mengatakan 'Hal ini akan
tetap di antara Quraisy, bahkan jika hanya tersisa dua dari mereka,' dan
melalui al-Bukhari dari Mu'awiyah yang mengatakan, 'Aku mendengar Rasulullah
mengatakan, 'Hal ini akan tetap berada pada Quraisy. Tidak ada yang akan
menentang mereka atas hal itu kecuali Allah akan menyeretnya pada wajahnya ke
neraka, selama mereka menegakkan agama’, Saya katakan: Narasi dari Ibn 'Umar lebih
umum daripada narasi Mu'awiyah. Kedua riwayat ini –meskipun dalam bentuk
informasi adalah otentik dan shahih. Jika seseorang membolehkan kepemimpinan
berada pada selain Quraisy, itu akan menyangkal hadits Nabi. Dan penyangkalan ini
adalah kekufuran. Jadi, siapa pun yang mengklaim kepemimpinan dan khilafah dari
selain Quraisy, ia bukanlah khalifah atau imam atau orang yang berhak. Sebaliknya,
ia tidak memiliki hak atas hal itu. Dia, siapa pun yang mendukungnya, dan siapa
pun yang menyetujui kekuasaannya, menjadi orang-orang berdosa dan tidak taat
kepada Allah dengan melanggar batas-Nya sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi
(shalallahu ‘alaihi wasallam)" [Al-Muhalla].
Secara umum, masalah ini –syarat
imam adalah dari Quraisy- meskipun beberapa ulama kontemporer meremehkan itu,
para ulama salaf menyebutnya sebagai permasalahan keyakinan yang memisahkan Ahlus-
Sunnah dengan sekte-sekte bid'ah. As-Saffārīnī (rahimahullah) menyebutkan dalam
risalahnya “Ad-Durratul Madiyyah fi ‘Iqdil Firqatil Mardiyyah" dalam bab
tentang Imamah dan hal-hal yang berkaitan dengan itu:
"Syaratnya adalah Islam,
merdeka, memiliki pendengaran yang sehat, adil dan berilmu. Selain berilmu, ia
harus dari Quraisy, dewasa dan waras, dan memiliki kemampuan,". Berdasarkan
semua ini, kita katakan: Mulla 'Umar bukan dari Quraisy. Ini disebutkan dalam
biografinya yang diterbitkan oleh Emirat Taliban di website resmi mereka. Dan
ini memiliki efek yang membatalkan Khilafahnya jika ia mengklaim posisi ini.
Di sisi lain, garis keturunan Syekh
Abu Bakr al-Badri sebagai –Samarra’i al-Baghdadi tidak hanya kembali ke
Quraisy, tapi juga bahkan sampai ke rumah tangga Nabi Muhammad (shalallahu
‘alaihi wasallam). Ini diketahui dengan sangat baik dan dikonfirmasi oleh
spesialis keturunan di Irak dan di tempat lain. Misalnya, spesialis keturunan
dan penulis buku "'Ashā'ir al-'Irāq" (Klan Irak) mengatakan, "Klan
Albu Badri: Pemimpin mereka [selama era penulis] adalah Ustādh Sa'id al -Badrī.
[Dia kemudian menyebutkan silsilah Sa'id untuk kakeknya Badri dan kemudian
berkata] keturunan mereka sampai kepada Imam Muhammad al-Jawad. Mereka hidup di
dalam Samarra" ['Ashā'ir al-'Irāq: Halaman 385]. Muhammad al-Jawad adalah
dari anggota Husayni yang sangat terkenal dari Ahlulbait. Dia adalah Muhammad al-Jawad
Ibn 'Alī ar-Ridha Ibnu Musa al-Kadhim Ibnu Ja'far as-Sadiq Ibn Muhammad
al-Baqir Ibn' Alī Zayn al-'Abidin Ibn al-Husayn ash Shahid Ibn 'Ali bin Abi
Thalib, meninggal pada 220 H.
Kesimpulannya, diskusi ini akan
membantu Anda memahami hadits Nabi, "Jika bay'ah diberikan kepada dua
Khulafa', maka bunuhlah yang kedua," dan hadits, "Penuhilah bai’at
yang awal" [Sahih Muslim]. Dan ketika kita benturkan kondisi kenyataan
yang ada sekarang, tidak ada keraguan bahwa hanya ada satu Khalifah saat ini
dan itu adalah Syaikh Abu Bakr Ibrahim Ibn 'Awwad al-Badri sebagai-Sāmarrā'ī
al-Husayni al-Qurashi (hafidhahullāh). Dia adalah imam saat ini yang memenuhi
syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh syari'at, sedangkan Mulla 'Umar
adalah seorang (atau mungkin mantan) pemimpin salah satu wilayah Islam. Dan
jika kita menganggap Mulla 'Umar masih hidup dan bahwa pernyataan terakhirnya
yang menyimpang itu bukan darinya, maka wajib baginya dan orang-orang yang
bersama dengannya untuk mematuhi khalifah dan menerima Imamah serta tunduk
padanya. Sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk bersatu dan berkumpul
sebagaimana manhaj Nabi, sahabat, dan salaf dalam hal Iman dan Sunnah dari
imamah dan khilafah.
Setiap orang yang memberi bay’ah
untuk Mulla 'Umar dan Emirat harus tahu, bahwa bai’at ini telah diambil alih
oleh bai’at yang lebih kuat dalam hal kewajiban, yaitu bay'at kepada Khalifah.
Mereka harus tahu bahwa mereka tidak akan benar-benar bebas dari atribut tercela
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi, “Barangsiapa mati tanpa ikatan
bai’at, maka ia mati sebagaimana kematian jahiliyyah" kecuali dengan
memenuhi tanggung jawab ini, dengan berbai’at kepada Khalifah. Semua janji
(bai’at) lain adalah lemah dibandingkan dengan kewajiban itu, dalam hal
kekuatan dalil dan tujuannya. Dan hanya kepada Allah kembali segala urusan.
Perlu juga kami jelaskan di sini,
menanggapi orang-orang yang mengatakan bahwa ini tidaklah wajib bagi para
mujahidin di Khurasan dan tempat-tempat jauh lainnya untuk membaiat Syaikh Abu
Bakr al-Qurashi al-Baghdadi (hafidhahullāh). Mereka menyampaikan alasan bahwa pemerintahan
(kekuasaan) dan pengaruhnya belum mencapai mereka.
Klaim ini juga tidak benar. Ini adalah
sebuah keraguan yang diulang-ulang oleh mereka yang tidak memahami sirah Nabi
(shallallahu ‘alaihi wasallam) yang telah mengirimkan delegasi keluar (wilayah
kekuasaannya). Mereka tidak membaca tentang para Khalifah dimasa awal-awal dan bagaimana
mereka berurusan dengan hal ini. Jelas bahwa dengan menyatakan berita tentang
bay'at utama, cukuplah kewajiban itu untuk mencapai daerah dan kelompok-kelompok
lain. Dan itu menjadi sangat wajib atas setiap kelompok yang memiliki kekuasaan
dan pengaruh, sebagaimana kaidah Fiqih, "Sesuatu yang dibutuhkan untuk
memenuhi kewajiban, maka sesuatu itu menjadi wajib,". Jika bersatu di
bawah satu imam tidak dapat terpenuhi kecuali dengan bergabungnya faksi lain
yang berbeda, maka bergabung dengan yang lebih besar menjadi kewajiban bagi
semua faksi. Itulah sebabnya ketika Abu Bakar as-Shiddiq (radhiallahu’anhu) diberikan
bay'at di Saqifah Bani Sa'idah dari dalam kota Madinah, cukup untuk membuat
bay'at menjadi wajib atas sisa Semenanjung Arab meskipun kekuasaannya mungkin
belum mencapai mereka.
Oleh karena itulah, ketika
orang-orang Arab murtad dari Islam, sebagian mereka berada jauh dari
Semenanjung Arab di luar jangkauan Abu Bakar as-Siddiq, ini bukan alasan bagi
mereka untuk meninggalkan ketaatan kepadanya atau membatalkan bai’at mereka
kepadanya. Kisah tentang kota Juwāthā dapat kita jadikan contoh. "Tidak
ada kota yang berada dalam al-haq [setelah al-Madinah] selain kota ini, Makkah,
dan Thaif. Ini adalah kota pertama yang menahan shalat Jumat setelah terjadi
kemurtadan, seperti dilansir al Bukhari dari Ibnu 'Abbas. Orang-orang murtad
mengepung dan membatasi gerak mereka, bahkan mencegah makanan menjangkau
mereka. Sehingga mereka menderita kelaparan sampai Allah memberikan mereka
keselamatan. Seorang pria di antara mereka yang bernama 'Abdullah Ibn Hadhaf
milik suku Banu Bakr Ibn Kilab mengungkapkan beberapa puisi setelah menderita kelaparan
yang parah;
'Tidakkah ada utusan yang akan
menyampaikan pesan kepada Abu Bakar dan penduduk Madinah? Bisakah kau datangkan
bantuan untuk orang-orang mulia yang terkepung di Juwāthā? Darah mereka
mengalir di setiap gunung seperti cahaya matahari yang menyilaukan mata. Kami
hanya mengandalkan ar Rahman dan menemukan bahwa kesabaran datang kepada mereka
yang mengandalkan-Nya” [Al-Bidayah wan Nihayah].
Dan sudah dipahami secara umum oleh
orang-orang yang mempelajari buku-buku sirah, sejarah, dan hukum-hukum Imamah,
bahwa jika seseorang dibai’at sebagai Khalifah di suatu negeri dan kemudian
mengirimkan delegasi ke daerah dan negeri lain, maka itu cukup untuk membuatnya
wajib atas orang-orang di negeri tersebut untuk mentaati perintahnya atas
kedatangan delegasi kepada mereka. Bahkan jika ia tidak mengirimkan tentara dan
pasukan bersama delegasi itu untuk membuat orang-orang mematuhi perintah dan memaksa
mereka untuk melakukannya. Inilah kasus yang terjadi di wilayah Khurasan,
dengan kehadiran Wali yang diangkat oleh Amirul Mukminin dan ditempatkan
bertugas di sana.
Dasar untuk ini bahwa ketika
Amirul-Mukminin 'Ali bin Abi Thalib (radhiallahu’anhu) mengambil alih Khilafah,
ia mengirim delegasi ke daerah lain, diantaranya ia mengirim delegasi untuk
Sham, sementara ia tidak memiliki kontrol atau kekuasaan atas mereka pada waktu
itu. Dan tidak diragukan lagi, mereka jatuh ke dalam dosa perpecahan dan
perselisihan dengan tidak membiarkan Amir mereka (yang telah ditunjuk ‘Ali) untuk
mengambil kendali dari mereka dan melaksanakan kekuasaannya atas mereka. Allah
(subhanahu wata’ala) mengatakan, “Dan berpegang teguh kamu semua pada tali Allah bersama-sama dan
tidak terpecah” (Ali Imran: 103).
Dan ketika Yazid bin Mu’awiyah
meninggal, Amirul-Mukminin Ibn Zubair (radhiallahu’anhuma) mengambil alih
kepemimpinan dan diberi bay'ah di Makkah. Dia kemudian mengirim delegasi ke
daerah lain. Semua daerah lain menyerah kepadanya kecuali Damaskus. Jadi siapapun
yang tidak mentaati dia dan menentangnya, maka dengan demikian ia telah keluar dari
jama'ah dan menjadi pemberontak, sebagaimana kesepakatan ulama. Ibnu Qudamah
berkata, "'Abdul-Malik bin Marwan memberontak terhadap Ibn Zubair dan
membunuhnya serta mengambil alih tanah dan rakyatnya" [Al-Mughni].
Akhirnya, kami mengundang
orang-orang dari Khurasan untuk bersegera mentaati perintah Allah dan
Rasul-Nya, menyatukan kalimat, bergabung dengan barisan, dan berjanji setia
kepada Khalifah kaum muslimin. Dan menjauhkan diri dari hawa nafsu yang akan
membalikan mereka dari kebaikan dan menimbulkan keraguan dalam hati dan jiwa. Jangan
menjadi pendukung musuh kita dari tentara salib dan murtad dengan memerangi
kami, dengan meninggalkan dukungan terhadap Khilafah yang mana Rasulullah (shalallahu
‘alaihi wasallam) telah memberi kabar gembira. Hari ini kita sedang menghadapi
salibis dunia, pasukan murtad dan sekutu mereka. Dan kami peringatkan mereka
yang mengikuti jalan orang-orang sebelum mereka:
{Ketika mereka berkata kepada Nabi mereka, “Angkatlah untuk kami
seorang raja, dan kami akan berperang (dibawah pimpinannya) di jalan
Allah" Nabi mereka berkata, "Sangat mungkin kamu akan menahan diri dari
peperangan jika itu diwajibkan atas kamu?" Mereka berkata, “Mengapa kami
tidak berperang di jalan Allah sementara kami telah diusir dari rumah dan
anak-anak kami?”. Maka ketika perang diwajibkan atas mereka, mereka berpaling,
kecuali beberapa dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
Dan nabi mereka berkata kepada mereka, "Sesungguhnya Allah telah
mengangkat Talut sebagai raja kalian" Mereka berkata, "Bagaimana dia
bisa memerintah kami sementara kami lebih layak memerintah daripada dia, dan
diapun tidak diberi cukup kekayaan?" Nabi mereka berkata,"
Sesungguhnya Allah telah memilih dia atas kamu dan telah menganugrahinya ilmu
yang luas dan tubuh yang perkasa”. Dan Allah memberikan kekuasaan
(pemerintahan) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas
pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui} [Al-Baqarah: 246-247].
Dan Allah membimbing ke jalan yang
lurus.
Hafiz Saeed Khan, leader of so-called Islamic State in Afghanistan and Pakistan |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar