8/20/2019

SYUKUR Oleh : Ibnu Qayyim


SYUKUR
Oleh : Ibnu Qayyim

Syukur termasuk tempat persinggahan yang paling tinggi dan lebih tinggi daripada ridha. Ridha merupakan satu tahapan dalam syukur. Sebab mustahil ada syukur tanpa ada ridha. Seperti yang sudah disinggung di bagian terdahulu, syukur merupakan separoh iman, separoh lainnya adalah sabar. Allah memerintahkan syukur dan melarang kebalikannya, memuji pelakunya, mensifatinya sebagai makhluk-Nya yang khusus, menjanjikan kepadanya dengan pahala yang baik, menjadikan syukur sebagai sehab untuk mendapatkan tambahan karunia-Nya, memelihara dan menjaga nikmat-Nya. Allah juga mengabarkan bahwa orang-orang yang bersyukur adalah mereka yang dapat mengambil manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat-Nya, mengambil salah satu dari asma’-Nya, karena Allah adalah Asy-Syakur, yang berarti menghantarkan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukurinya, sementara orang-orang yang bersyukur di antara hamba-hamba-Nya amat sedikit. Allah befirman,

وَاشْكُرُوا اللهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan beryukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kalian menyembah”.
(Al-Baqarah: 172).

“Dan, Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan dan hati, agar kalian bersyukur.”
(An-Nahi: 78).

وَ إِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ

“Dan, (ingatlah) tatkala Rabb kalian memaklumkan, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih’.”
(Ibrahim: 7).

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur”.
(Luqman: 31).

Allah menamkan Diri-Nya Asy-Syakir dan Asy-Syakur, dan juga menamakan orang—orang yang bersyukur dengan dua nama ini. Dengan begitu Allah mensifati mereka dengan sifat-Nya dan memberikan nama kepada mereka dengan namaNya. Yang demikian ini sudah cukup untuk menggamharkan kecintaan dan karunia Allah yang diberikán kepada orang-orang yang bersyukur. Pengabaran tentang sedikitnya orang-orang yang bersyukur di dunia ini, berarti menunjukkan kekhususan mereka, seperti firman-Nya,

“Dan sedikit sekali di antara Hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
(Saba’: 13).

Di dalam Ash-Shahihain dìsebutkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahwa ketika kedua telapak kaki beliau bengkak karena terlalu lama berdiri mendirikan shalat malam, lalu ada orang yang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau melakukan yang demikian itu, padahal Allah telah mengampuni dosa engkau yang telah lampau dan yang akan datang?” Maka beliau menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?”.

Beliau juga pernah berkata kepada Mu’adz, “Demi Allah wahai Mu’adz, aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lupa mengucapkan setiap usai shalat,

أَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنَ عِبَادَتِكَ  (رواه أبو داود)

“Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu.”

Syukur dilandaskan kepada lima sendi: Orang yang bersyukur tunduk kepada yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, memuji-Nya karena nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuk sesuatu yang dibenci-Nya.

Inilah lima sendi dan dasar syukur. Jika ada salah satu di antaranya yang hilang, maka sendi syukur itu pun menjadi lowong, yang membuat syukur tidak sempurna. Siapa pun yang berbicara tentang syukur dan batasan-batasannya, tentu akan kembali ke lima sendi ini dan pembicaraannya berkisar padanya.

Banyak orang yang membicarakan perbedaan antara pujian dan syukur, mana yang lebih tinggi dan Iebih utama di antara keduanya? Di dalam hadits disebutkan, “Pujian adalah pangkal syukur. Siapa yang tidak memuji Allah, maka dia tidak bersyukur kepada Allah.”

Perbedaan di antara keduanya, bahwa syukur lebih umum jika ditilik dari jenis-jenis dan sebab-sebabnya, namun lebih khusus jika ditilik dari kaitan-kaitannya. Sedangkan pujian lebih umum jika ditilik dari kaitan-kaitannya, namun lebih khusus jika ditilik dari sebab-sebabnya.

Artinya, syukur itu bisa dengan hati yang menunjukkan ketundukan, dengan lisan yang menunjukkan pengakuan, dengan anggota tubuh yang menunjukkan ketaatan. Sedangkan kaitannya. adalah nikmat, tanpa sifat-sifat Dzat Allah. Maka tidak bisa dikatakan, “Kami bersyukur kepada Allah atas hidup, pendengaran, penglihatan dan ilmu-Nya.” Allah adalah yang dipuji dengan sifat-sifat ini, sebagaimana Dia dipuji karena kebaikan dari keadilan-Nya. Syukur dilakukan karena kebaikan dan nikmat.

Pengarang Manazilus-Sa’irin berkata, “Syukur merupakan istilah untuk mengetahui nikmat, karena mengetahui nikmat ini merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat. Karena itu Allah menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur’an dengan syukur.”

Mengetahui nikmat merupakan salah satu dari beberapa rukun syukur, bukan karena la bagian dari syukur seperti yang disebutkan di atas, bahwa syukur itu merupakan pengakuan terhadap nikmat, pujian kepada Allah karena nikmat itu dan mengamalkan nikmat sepérti yang diridhai-Nya, tapi karena mengetahui nikmat ini merupakan rukun syukur yang paling besar, sehingga syukur mustahil ada tanpa mengetahui nikmat.

Nikmat merupakan jalan untuk mengetahui Pemberi nikmat, artinya dengan mengetahui nikmat itu akan membuat seorang hamba bisa mengetahui Pemberi nikmat. Jika dia mengetahui Pemberi nikmat, tentu akan mencintainya dan bersungguh-sungguh dalam mengharapkan-Nya. Sebab siapa yang mengetahui Allah, tentu akan mencintai-Nya, dan siapa yang mengetahui dunia, maka Allah akan memhuatnya membenci dunia.

Menurut Syaikh, makna-makna syukur ada Tiga macam:
Mengetahui Nikmat,
Menerima Nikmat Dan
Memuji Karena Nikmat Itu.

Mengetahui Nikmat artinya menghadirkan nikmat itu di dalam pikiran, mempersaksikan dan membedakannya. Menerima Nikmat artinya menerimanya dari Pemberi nikmat, dengan memperlihatkan kebutuhan kepada nikmat, yang sebenarnya dia tidak berhak menerimanya, apalagi dia mengeluarkan harga untuk mendapatkannya. Dia melihat dirinya seperti anak kecil yang hanya bisa menerima pemberian. Memuji Karena Nikmat itu artinya memuji Pemberi nikmat. Ada dua macam tentang pujian ini, yaitu: Umum dan khusus. Umum artinya mensifati Allah dengan sifat murah hati dan mulia, bajik, baik, luas pemberian-Nya dan lain sehagainya. Sedangkan yang khusus ialah menyebut-nyebut nikmat-Nya dan mengabarkan bahwa nikmat itu telah sampai kepadanya, sebagaimana firman-Nya

وَ أَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

“Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya.”
(AdhDhuha: 11).

Ada dua pendapat tentang menyebut-nyebut nikmat Allah ini:
Pertama, menyebut nikmat itu dan mengabarkannya, seperti perkataan hamba, “Allah telah melimpahkan nikmat kepadaku berupa ini dan itu.” Menurut Muqatil, artinya bersyukurlah saat menyebut nikmat yang dilimpahkan kepadamu. Adapun nikmat seperti yang disebutkan dalam surat Adh-Dhuha ini ialah seperti anak yatim yang mendapat perlindungan setelah terlantar, mendapat petunjuk setelah tersesat, mendapat kecukupan setelah kekurangan. Menyebut-nyebut nikmat ini merupakan gambaran syukur. Disebutkan dalam atsar yang dimarfu’kan, “Siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, tidak mensyukuri yang banyak. Siapa yang tidak berterima kasìh kepada manusia, tidak bersyukur kepada Allah. Menyebut-nyebut nikmat Allah adalah syukur, dan tidak menyebut-nyebutnya adalah kufur. Bersatu itu rahmat dan perpecahan itu adzab.”

Kedua, Menyebut-nyebut nikmat yang diperintahkan dalam ayat ini ialah menyeru kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya serta mengajari umat. Menurut Mujahid, artinya nubuwah. Menurut Az-Zajjaj, artinya: Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dan beritahukanlah nubuwah yang diberikan Allah kepadamu. Menurut Al-Kalby, artinya Al-Qur’an dan perintah untuk membacanya.

Yang benar adalah mencakup kedua macam pengertian ini, sebab kedua-duanya merupakan bentuk nikmat yang diperintahkan untuk disyukuri dan disebut-sebut. Dengan menampakkan nikmat ini berarti mensyukurinya.

Perintah Allah untuk mensyukuri nikmat merupakan bentuk lain dari nikmat Allah dan kemurahan-Nya kepada hamba. Sebab manfaat syukur kembali kepada hamba, di dunia dan di akhirat, bukan kembali kepada Allah. Hambalah yang mengambil manfaat dan syukurnya, sebagaimana firman-Nya,

“Dan, barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya la bersyukur untuk dirinya sendiri” (Luqman: 12).

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, Syukur ada Tiga Derajat, yaitu:

1) Mensyukuri Hal-Hal Disukai.

Ini merupakan syukur yang bisa dilakukan orang-orang Muslim, Yahudi, Nasrani dan Majusi. Di antara keluasan rahmat Allah, bahwa yang demikian ini dianggap syukur, menjanjikan tambahan dan memberikan pahala.

Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan bagian hakikatnya adalah menggunakan nikmat Allah sebagai penolong untuk taat dan mendapatkan ridha-Nya, berarti engkau telah mengetahui kekhususan pemeluk Islam sesuai dengan derajat ini, dan bahwa hakikat mensyukuri apa-apa yang disukai ini sebenarnya bukan milik selain orang-orang Muslim.

Memang di antara rukun dan bagian-bagiannya ada yang menjadi bagian selain orang-orang Muslim, seperti pengakuan terhadap nikmat itu dan pujian terhadap Pemberi nikmat. Karena semua makhluk berada dalam nikmat Allah. Siapa pun yang menyatakan Allah sebagai Rabb, satu-satunya pencipta dan yang memberi karunia, maka dia akan mendapat tambahan nikmat-Nya. Tetapi permasalahannya terletak pada kesempurnaan hakikat syukur, yaitu meminta nikmat itu untuk mendapatkan ridha-Nya. Aisyah Radhiyallahu Anha pernah menulis surat kepada Mu’awiyah, yang di antara isinya, “Minimal kewajihan yang diberikan orang yang diberi nikmat terhadap yang memberi nikmat ialah janganlah menjadikan nikmat yang diberikan itu sebagai sarana untuk mendurhakai-Nya.”


2. Syukur Karena Mendapatkan Sesuatu Yang Dibenci.

Ini bisa dilakukan orang yang tidak terpengaruh oleh berbagai keadaan, dengan tetap memperlihatkan keridhaan, atau dilakukan orang yang bisa membedakan berbagai macam keadaan, dengan menahan amarah, tidak mengeluh, memperhatikan adab dan mengikuti jalan ilmu. Orang yang bersyukur macam inilah yang pertama kali dipanggil masuk šurga.

Syukur justru pada saat mendapatkan sesuatu yang dibenci lebih berat dan lebih sulit daripada syukur pada saat mendapat sesuatu yang disukai. Maka dan itu derajat ini lebih tinggi tingkatannya, yang tidak bisa dilakukan kecuali salah satu dan dua orang: Pertama, seseorang yang tidak membedakan berbagai macam keadaan. Dia tidak peduli apakah sesuatu yang dihadapinya itu disukai atau dibenci, dia tetap bersyukur atas keadaannya, dengan menampakkan keridhaan atas apa yang dihadapinya. Kedua, orang yang bisa membedakan berbagai macam keadaan. Pada dasarnya dia tidak menyukai sesuatu yang dibenci dan tidak ridha jika hal itu menimpanya. Tapi kalau pun benar-benar menimpanya, toh dia tetap bersyukur kepada Allah. Cara syukurnya ialah dengan menahan amarah, tidak berkeluh kesah, memperhatikan adab dan ilmu. Sebab ilmu dan adab menyuruh syukur kepada Allah, baik dalam keadaan sempit maupun lapang, dalam keadaan senang maupun susah.

Orang yang bersyukur dengan cara ini merupakan orang yang pertama kali dipanggil masuk surga, karena dia menghadapi sesuatu yang dibenci dengan syukur. Sementara kebanyakan orang menghadapinya dengan kegelisahan dan amarah, ada yang menghadapinya dengan sabar, dan ada yang menghadapinya dengan ridha. Sedangkan syukur merupakan tingkatan yang lebih tinggi dari ridha dalam menghadapi sesuatu yang dibenci.


3) Hamba tidak mempersaksikan kecuali Pemberi nikmat.

Jika dia mempersaksikan-Nya karena ubudiyah, maka dia menganggap nikmat dari-Nya itu amat agung. Jika dia mempersaksikan-Nya karena cinta, maka kesusahan terasa manis. Jika dia mempersaksikan-Nya karena pengesaan, maka dia tidak mempersaksikan apa yang datang dari-Nya sebagai nikmat atau kesusahan.

Orang-orang yang ada dalam derajat ini dibagi menjadi tiga macam:
Orang yang memiliki kesaksian ubudiyah, Orang yang memiliki kesaksìan cinta, dan Orang yang memiliki kesaksian pengesaan.

Kesaksian Ubudiyah artinya kesaksian hamba terhadap tuannya yang memiliki kekuasaan terhadap dirinya. Pada hamba atau budak jika berada di hadapan tuannya, maka mereka lupa kemuliaan diri sendiri, memperhatikan dengan seksama ke arah tuannya, lupa memperhatikan keadaan diri sendiri. Keadaan seperti ini banyak dilihat dalam pertemuan di hadapan raja umpamanya. Orang yang memiliki kesaksian semacam ini, apabila mendapat nikmat dari tuannya, maka dia menganggap dirinya terlalu kerdil untuk menerimanya, namun hatinya tetap dipenuhi dengan rasa cinta kepada tuannya.
Kesaksian Cinta juga tak berbeda jauh keadaannya dengan kesaksian ubudiyah. Hanya saja orang yang memiliki kesaksian ini merasakan yang berat menjadi ringan, yang pahit terasa manis.
Sedangkan Kesaksian Pengesaan tidak terpengaruh oleh rupa, tidak mempersaksikan nikmat dan tidak pula cobaan.


Source:
Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah)
Penulis : Ibnu Qayyim AI-Jauziyah;
Penerjemah : Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...