Ikhwan dan Pluralisme
Inti dari pluralisme adalah legalisasi
partai politik oposisi dalam kerangka demokrasi yang memungkinkan semua partai
untuk secara terang-terangan mengekspresikan diri mereka tidak peduli apa
keyakinan mereka. Sehingga semua partai memiliki kesempatan untuk mengambil
bagian dalam mengatur negeri. Jika mayoritas pemilih mendukung suatu partai –
apakah ia mengusung sekularisme liberal atau ateisme Marxis – maka ia menjadi
penguasa "sah" dari negeri tersebut.
Umat telah ijmā' bahwa para pemimpin mereka
haruslah seorang Muslim, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, {Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kalian} [An-Nisā': 59].
Meskipun demikian, bukan masalah bagi Ikhwān ketika murtadīn atau kāfir lainnya
mendapatkan kekuasaan atas umat Islam.
"Mursyid 'ām" keempat Muhammad
Hāmid Abun-Nasr berkata, "Kami percaya bahwa pemerintahan Islam harus
mengizinkan plurarisme partai politik karena dengan bertambahnya opini maka
keuntungan meningkat. Kami juga percaya bahwa pemerintahan Islam harus
memberikan kebebasan untuk membentuk partai-partai bahkan bagi paham-paham yang
kalian katakan bertentangan dengan Islam seperti komunisme dan sekularisme. Ini
membuka peluang untuk menghadapi mereka dengan dalil dan penjelasan. Ini lebih
baik daripada transformasi dari gerakan politik itu ke dalam perhimpunan-perhimpunan
rahasia. Karena inilah, tidak masalah bagi kami dengan pembentukan partai
komunis di dalam sebuah negara Islam" [Majalah Al-'Ālam].
"Mursyid 'ām" kedua Hasan
al-Hudaybī berkata, "Komunisme tidak seharusnya ditentang dengan kekerasan
atau hukum. Aku tidak punya masalah dengan mereka memiliki sebuah partai
publik. Islam akan menjamin keselamatan pada jalan yang diambil oleh
negara" [Koran An-Nūr].
"Mursyid 'ām" ketiga 'Umar
at-Tilimsānī berkata, "Aku ditanya apakah aku akan mengizinkan pembentukan
partai Nasserite di Mesir dan aku menjawb, 'Aku mengizinkan hal seperti itu,
karena kebebasan pribadi tidak memiliki batas sama sekali'" [Majalah
Ad-Dakwah]. At-Tilimsānī juga mengatakan, "Sikap kami terhadap semua
partai adalah kebebasan dan menghormati pandangan lain. Jadi mengapa aku
melarang manusia apa yang aku perbolehkan untuk diriku sendiri? Apakah mencegah
orang dari memegang pandangan mereka sendiri adalah kebebasan?" [Majalah
Al-Mujtama'].
Parlemen Ikhwānī Muhammad Jamāl Hishmat
berkata, "Kami percaya pada transisi kekuasaan... bahkan jika itu untuk
(partai) non-Islamis, selama itu adalah keputusan rakyat. Kami percaya bahwa
kekuasaan tertinggi berasal dari rakyat. Mereka memiliki hak untuk memilih,
meminta pertanggungjawaban, dan mencopot para pemimpin mereka" [Wawancara Al-Jazīrah].
Ikhwān mengatakan dalam sebuah pernyataan
resmi, "Para pemimpin dunia dan orang-orang berakal di dalamnya zaman ini
telah mengangkat slogan pluralisme dan perlunya mengakui perbedaan pendapat dan
perbedaan cara berpikir dan berbuat. Islam… menganggap keragaman adalah
universal dan sifat alami manusia. Islam mendasarkan sistem politik, sosial,
dan budaya di atas keanekaragaman ini… Ikhwānul Muslimīn menekankan sekali lagi
ketaatannya kepada pandangan Islam yang benar dan tegak ini. Mereka
mengingatkan pengikut mereka bahwa setiap dari mereka… harus membuka hati dan pikirannya
kepada semua orang... Tangannya harus diulurkan kepada semua orang dengan
kebaikan, cinta, dan kejujuran, dan ia harus memprakarsai perdamaian dengan
seluruh dunia baik dalam ucapan maupun perbuatannya" [Bayān lin-Nās].
Pluralisme juga merupakan seruan yang
mengharuskan ditinggalkannya sebuah hukum syar'ī yang jelas, kewajiban untuk
berjihād melawan kelompok-kelompok murtad. Setelah mengingkari sejumlah
kewajiban yang jelas, kelompok ini masih berani menyebut dirinya Ikhwānul
"Muslimīn"!
Ikhwan dan “Hak Asasi Manusia”
Bagian dari agama musyrik demokrasi adalah
apa yang pada masa kini disebut sebagai "hak asasi manusia," termasuk
hak untuk melakukan kemurtadan, penyembahan kepada setan, sodomi, dan zina.
Meskipun pertentangan yang jelas antara "hak-hak" tersebut dan Islam,
Ikhwan tidak berhenti dari membelanya. Ikhwān mengatakan dalam sebuah pernyataan
resmi, "Isu Hak Asasi Manusia:… Kami katakan kepada diri kami sendiri,
para pengikut kami, dan dunia di sekitar kami bahwa kami berada di garis depan
dari para penyeru untuk menghormati hak asasi manusia, menjamin hak-hak itu
untuk semua orang, dan memfasilitasi jalan untuk menerapkan kebebasan dalam
kerangka moral dan kode hukum.
Kami melakukannya sembari percaya bahwa
kebebasan manusia adalah jalan untuk setiap kebaikan, kebangkitan, dan inovasi.
Serangan terhadap hak dan kebebasan di bawah slogan apapun – bahkan jika atas
nama Islam itu sendiri – akan merendahkan martabat umat manusia dan menyeret
manusia ke status yang tidak Allah tetapkan baginya dan menghalanginya dari
menggunakan kekuatan dan bakatnya… Wajib atas setiap pemilik akal sehat dan
orang-orang yang beriman untuk mengangkat suara mereka menyeru kepada
kesetaraan agar semua orang menikmati kebebasan dan hak asasi manusia.
Kesetaraan ini adalah jalan yang benar
untuk perdamaian internasional dan sosial dan untuk tatanan dunia baru yang menentang
penindasan, kerusakan, dan agresi" [Bayān lin-Nās].
'Abdul-Mun'im 'Abdul-Futūh – anggota Kantor
Eksekutif Ikhwān – juga mengatakan, "Ini adalah permasalahan besar dan ini
bagi semua rakyat Mesir, bukan hanya Ikhwān. Ini adalah masalah kebebasan, hak asasi
manusia, dan keadilan. Ini adalah masalah kita. Masalah kami dengan pemerintah bukanlah
Islam. Pemerintah [Hosni Mubarak] adalah Muslim. Negaranya adalah Muslim…
Dengan demikian, masalah antara kami dan
pemerintah adalah tentang kebebasan, hak asasi manusia, dan penegakkan konstitusi"
[Wawancara Al-Jazīrah].
Ikhwan dan Pasifisme
Jihād di era ini adalah wajib atas setiap Muslim karena banyaknya
negeri kaum muslimīn telah dirampas oleh kuffār dan banyaknya kelompok-kelompok
murtad telah muncul di dalamnya. Sebelum semua negeri itu direbut kembali,
dibersihkan dari kemurtadan, dan dihukumi dengan Syarī'at, kewajiban tersebut
tidak gugur. Namun, bukannya menyeru umat Muslim untuk berjihād, Ikhwān
sepanjang sejarah mereka malah menyeru kepada pasifisme dan bahkan mengecam
"terorisme," padahal meneror kuffār adalah bagian dari Islam, dan
barangsiapa menyangkalnya, maka telah kafir.
Allah Ta’ala berfirman, {Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang sehingga kamu menggentarkan musuh Allah dan
musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang
Allah mengetahuinya} [Al-Anfāl: 60].
Namun Ikhwān berkata, "Permasalahan Ketiga:
Aktivisme Politik, Penolakan terhadap Kekerasan, dan Kecaman kepada Terorisme: Ikhwānul
Muslimīn telah puluhan kali menyatakan sepanjang beberapa tahun terakhir bahwa
mereka terlibat di bidang politik sembari berpegang kepada sarana yang sah dan
metode damai saja. Mereka dipersenjatai dengan kebenaran, pernyataan bebas dan
pengorbanan murah hati dalam semua lini pekerjaan sosial... Mereka percaya
bahwa hati nurani bangsa dan kesadaran dari anak-anaknya adalah hakim pokok
yang adil antar gerakan-gerakan ideologi dan politik yang saling berlomba-lomba
dengan mulia di bawah naungan konstitusi dan hukum.
Oleh karena itu, mereka mengulangi
deklarasi mereka untuk menolak segala cara kekerasan dan paksaan dan segala
bentuk kudeta, semua yang memecah belah persatuan bangsa dan mungkin memberikan
para penghasutnya kesempatan untuk melompati realita politik dan sosial,
bagaimanapun, itu tidak akan pernah memberi mereka kesempatan untuk menetap
dengan kehendak dari masyarakat bebas bangsa ini. Sarana-sarana semacam itu juga
menunjukkan celah menakutkan di dinding stabilitas politik dan sebuah
pemberontakan yang tidak dapat diterima melawan kekuasaan sah dari masyarakat.
Jika atmosfer penindasan dan kelabilan yang mengontrol bangsa telah menyebabkan
sekelompok putra-putranya melakukan terorisme, menakut-nakuti yang tidak
bersalah, dan mengganggu negara serta kemajuan ekonomi dan politiknya, maka
Ikhwānul Muslimīn mengumumkan tanpa ragu-ragu dan dengan tenang bahwa ia b
erlepas diri dari segala bentuk dan akar kekerasan. Ia mencela semua bentuk dan
akar terorisme. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang menumpahkan darah yang dilindungi
atau berpartisipasi di dalamnya adalah sekutu di dalam dosa dan pelakunya.
Mereka diminta dengan tegas dan segera untuk
kembali kepada kebenaran... Sedangkan mereka yang sengaja mencampuradukkan fakta
dan menuduh dengan dusta bahwa Ikhwānul ikut dalam kekerasan dan terlibat dalam
terorisme - di bawah klaim bahwa Ikhwān bersikeras meminta pemerintah untuk
tidak membalas kekerasan dengan kekerasan lagi dan sebaliknya agar mematuhi sistem
hukum dan peradilan dan memahami semua penyebab dan keadaan di balik kekerasan dalam
pembahasan oleh pemerintah dan merespon fenomena ini tanpa hanya mengandalkan
respon keamanan – maka klaim seperti itu terbantah dengan sejarah Ikhwān yang
sangat cemerlang selama bertahun- tahun yang panjang di mana Ikhwān ikut serta
di dalam dewan perwakilan dan pemilu legislatif. Selama beberapa kesempatan di
mana ia tidak berpartisipasi, ia tetap mematuhi hukum-hukum konstitusi dan
pemerintah, berusaha untuk menjadikan perkataan yang bebas dan benar sebagai satu-satunya
senjata" [Bayān lin-Nās].
"Mursyid 'ām" ketiga ‘Umar
at-Tilimsānī ditanya, "Apakah mungkin permasalahan antara Anda dan
pemerintah mencapai titik berperang?" Dia menjawab, "Kami tidak akan
menyakiti siapa pun dan kami juga tidak berusaha untuk menyakiti siapa pun.
Bahkan jika masalahnya mencapai titik kami ditempatkan dalam penjara, kami
tidak akan melawan mereka" [Majalah Al-Majallah].
'Umar at-Tilimsānī berkata, "Ketika
Perang Dunia II dimulai pada 1939, Ikhwān dengan kekuatan mereka mampu menyebabkan
banyak kesulitan untuk Sekutu. Tapi asy-syahid imām Hasan al-Bannā memberikan
perintah kepada masyarakat dan daerah di mana terdapat Ikhwān dengan mengatakan
pada mereka untuk tetap tenang, mendedikasikan waktu mereka untuk dakwah, dan
memfokuskan semua usaha mereka jauh dari hasutan, sampai Sekutu mendapat
kemenangan. Sikap dari wilayah ini - yang penuh dengan Ikhwān di mana-mana - adalah
salah satu penyebab kemenangan Sekutu, namun mereka mengabaikan asy-syahid imām
dan Ikhwān dan membalas imām dengan pengkhianatan" [Dhikrāyāt lā
Mudhakkirāt].
"Mursyid 'ām" kedua Hasan
al-Hudaybī berkata, "Apakah kalian berpikir bahwa tindak kekerasan akan
mengusir Inggris dari tanah kita? Kewajiban pemerintah saat ini adalah
melakukan apa yang Ikhwānul Muslimīn lakukan, untuk mendidik bangsa dan
menyiapkannya. Ini adalah jalan untuk mengusir Inggris" [Al Harakah
as-Siyāsiyyah fī Misr - Thāriq al-Bishrī].
Al-Hudaybī juga berkata, "Saudara,
kalian mendengarku berbicara lebih dari satu kali. Aku tidak berbicara apa pun
kecuali perdamaian, keamanan, dan stabilitas. Aku berbicara menentang protes,
kehancuran, dan konflik" [Majalah Al-Atibbā'].
Dan setelah beberapa Ikhwān memutuskan
untuk menyerang beberapa orang Mesir agen Inggris tanpa persetujuan dari
kepemimpinan atas, al-Bannā menulis deklarasi resmi di mana ia berkata,
"Tujuan dari dakwah kami sejak ia dimulai adalah untuk bekerja demi
kebaikan tanah air, menolong agama, dan menentang semua seruan ateisme, amoralitas,
dan ditinggalkannya hukum-hukum dan keutamaan Islam...
Jika begitu, maka pembunuhan, terorisme,
dan kekerasan tidak termasuk sarananya, karena ia mengambil Islam sebagai
manhajnya, mematuhi batas-batasnya... Islam yang murni adalah agama perdamaian
menyeluruh, keamanan sempurna, spiritualitas murni, dan teladan luhur bagi umat
manusia...." "Sejumlah peristiwa terjadi yang dikaitkan kepada
beberapa orang yang telah memasuki jamā'ah namun belum menyerap semangatnya.
Setelah peristiwa menakutkan ini, peristiwa lain terjadi, yaitu pembunuhan
Perdana Menteri Mahmūd Fahmī an-Naqrāshī Pasha. Negara terpukul dengan
kesedihan karena kematiannya. Dengan kematiannya, negara kehilangan seorang bintang
kebangkitannya, pemimpin kemajuannya, panutan yang baik akan kejujuran,
patriotisme, dan kesucian. Dia adalah salah satu putra terbaik bangsa. Kami
tidak kurang sedih daripada yang lain atas kematiannya tidak pula kami
mengagumi jihād dan karakternya kurang dari orang lain. Karena sifat dari dakwah
Islam adalah menentang kekerasan bahkan mencelanya, membenci pembunuhan apa pun
jenisnya, dan membenci para pelakunya. Karena itu, kami menyatakan berlepas
diri di hadapan Allah dari pembunuhan tersebut dan para pelakunya." "Karena
negara kita sedang melewati salah satu tahap paling penting dalam hidupnya
sehingga memerlukan pemeliharaan sikap tenang, keamanan, dan stabilitas, raja
agung yang mulia - semoga Allah melindunginya - bermurah hati dan mengarahkan pemerintah
yang ada, yang terdiri atas orang terbaik Mesir, kepada fokus yang benar. Yaitu
bekerja untuk menyatukan kalimat bangsa dan mendekatkan barisannya dan
mengarahkan usaha dan kapasitasnya bersama-sama, tidak terbagi, untuk melayani
kebaikan bangsa serta reformasi internal dan eksternal.
Pemerintah segera mulai mengerjakan arahan
yang mulia dengan tulus, berkarakter, dan jujur. Semua ini menjadikan wajib atas
kita untuk mengerahkan semua kekuatan kita dan menghabiskan waktu kita dalam
membantu pemerintah dalam melaksanakan dan memenuhi tanggung jawab besarnya. Ia
tidak akan mampu melakukannya dengan benar sampai yakin bahwa keamanan dan
stabilitas telah tercapai untuk rezim. Ini adalah kewajiban atas setiap warga
negara di saat-saat normal. Betapa lebih wajib hal itu dalam keadaan yang rumit
dan penting ini dimana tidak ada yang diuntungkan dari kekacauan emosi, perselisihan
pendapat, dan terpecahnya usaha kecuali musuh-musuh bangsa dan
kebangkitannya."
"Oleh sebab itu, saya menyeru
saudara-saudaraku demi Allah dan kebaikan masyarakat agar setiap dari mereka
membantu untuk mencapai hal ini, mengarahkan diri untuk pekerjaan mereka, dan
menjauhkan diri dari setiap perbuatan yang menentang stabilisasi keamanan dan
keselamatan menyeluruh, sehingga mereka dengannya memenuhi hak Allah dan hak tanah
air. Kami meminta Allah untuk melindungi raja agung yang mulia dan untuk
membimbing langkah negara ini baik pemerintah dan rakyatnya kepada kebaikan dan
keberhasilan" [Al-Ikhwān al-Muslimūn Ahdāts Sana'at at-Tārīkh].
Ketika operasi rahasia lain coba dilakukan oleh
beberapa Ikhwān lagi tanpa persetujuan kepemimpinan atas, al-Bannā menulis
pernyataan kedua berjudul "Mereka Bukanlah Saudara, Mereka Bukan Pula
Muslim." Dia berkata di dalamnya, "Orang-orang yang melakukan
perbuatan ini bukanlah saudara bukan pula Muslim. Mereka tidak layak menjadi
warga negara Mesir." Inilah agama Ikhwān terhadap jihād, menjadikan pedang
di dalam logo mereka dan slogan mereka "Bersiap" - mengacu pada ayat
ke-60 dari Sūrat al-Anfāl – sama sekali tidak bermakna.
source: DABIQ 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar