8/10/2019

Ikhwanul Murtaddin [Bag. 3]


Ikhwan dan Pluralisme

Inti dari pluralisme adalah legalisasi partai politik oposisi dalam kerangka demokrasi yang memungkinkan semua partai untuk secara terang-terangan mengekspresikan diri mereka tidak peduli apa keyakinan mereka. Sehingga semua partai memiliki kesempatan untuk mengambil bagian dalam mengatur negeri. Jika mayoritas pemilih mendukung suatu partai – apakah ia mengusung sekularisme liberal atau ateisme Marxis – maka ia menjadi penguasa "sah" dari negeri tersebut. 

Umat telah ijmā' bahwa para pemimpin mereka haruslah seorang Muslim, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, {Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kalian} [An-Nisā': 59]. Meskipun demikian, bukan masalah bagi Ikhwān ketika murtadīn atau kāfir lainnya mendapatkan kekuasaan atas umat Islam.

"Mursyid 'ām" keempat Muhammad Hāmid Abun-Nasr berkata, "Kami percaya bahwa pemerintahan Islam harus mengizinkan plurarisme partai politik karena dengan bertambahnya opini maka keuntungan meningkat. Kami juga percaya bahwa pemerintahan Islam harus memberikan kebebasan untuk membentuk partai-partai bahkan bagi paham-paham yang kalian katakan bertentangan dengan Islam seperti komunisme dan sekularisme. Ini membuka peluang untuk menghadapi mereka dengan dalil dan penjelasan. Ini lebih baik daripada transformasi dari gerakan politik itu ke dalam perhimpunan-perhimpunan rahasia. Karena inilah, tidak masalah bagi kami dengan pembentukan partai komunis di dalam sebuah negara Islam" [Majalah Al-'Ālam].

"Mursyid 'ām" kedua Hasan al-Hudaybī berkata, "Komunisme tidak seharusnya ditentang dengan kekerasan atau hukum. Aku tidak punya masalah dengan mereka memiliki sebuah partai publik. Islam akan menjamin keselamatan pada jalan yang diambil oleh negara" [Koran An-Nūr].

"Mursyid 'ām" ketiga 'Umar at-Tilimsānī berkata, "Aku ditanya apakah aku akan mengizinkan pembentukan partai Nasserite di Mesir dan aku menjawb, 'Aku mengizinkan hal seperti itu, karena kebebasan pribadi tidak memiliki batas sama sekali'" [Majalah Ad-Dakwah]. At-Tilimsānī juga mengatakan, "Sikap kami terhadap semua partai adalah kebebasan dan menghormati pandangan lain. Jadi mengapa aku melarang manusia apa yang aku perbolehkan untuk diriku sendiri? Apakah mencegah orang dari memegang pandangan mereka sendiri adalah kebebasan?" [Majalah Al-Mujtama'].

Parlemen Ikhwānī Muhammad Jamāl Hishmat berkata, "Kami percaya pada transisi kekuasaan... bahkan jika itu untuk (partai) non-Islamis, selama itu adalah keputusan rakyat. Kami percaya bahwa kekuasaan tertinggi berasal dari rakyat. Mereka memiliki hak untuk memilih, meminta pertanggungjawaban, dan mencopot para pemimpin mereka" [Wawancara Al-Jazīrah].

Ikhwān mengatakan dalam sebuah pernyataan resmi, "Para pemimpin dunia dan orang-orang berakal di dalamnya zaman ini telah mengangkat slogan pluralisme dan perlunya mengakui perbedaan pendapat dan perbedaan cara berpikir dan berbuat. Islam… menganggap keragaman adalah universal dan sifat alami manusia. Islam mendasarkan sistem politik, sosial, dan budaya di atas keanekaragaman ini… Ikhwānul Muslimīn menekankan sekali lagi ketaatannya kepada pandangan Islam yang benar dan tegak ini. Mereka mengingatkan pengikut mereka bahwa setiap dari mereka… harus membuka hati dan pikirannya kepada semua orang... Tangannya harus diulurkan kepada semua orang dengan kebaikan, cinta, dan kejujuran, dan ia harus memprakarsai perdamaian dengan seluruh dunia baik dalam ucapan maupun perbuatannya" [Bayān lin-Nās].

Pluralisme juga merupakan seruan yang mengharuskan ditinggalkannya sebuah hukum syar'ī yang jelas, kewajiban untuk berjihād melawan kelompok-kelompok murtad. Setelah mengingkari sejumlah kewajiban yang jelas, kelompok ini masih berani menyebut dirinya Ikhwānul "Muslimīn"!


Ikhwan dan “Hak Asasi Manusia”

Bagian dari agama musyrik demokrasi adalah apa yang pada masa kini disebut sebagai "hak asasi manusia," termasuk hak untuk melakukan kemurtadan, penyembahan kepada setan, sodomi, dan zina. Meskipun pertentangan yang jelas antara "hak-hak" tersebut dan Islam, Ikhwan tidak berhenti dari membelanya. Ikhwān mengatakan dalam sebuah pernyataan resmi, "Isu Hak Asasi Manusia:… Kami katakan kepada diri kami sendiri, para pengikut kami, dan dunia di sekitar kami bahwa kami berada di garis depan dari para penyeru untuk menghormati hak asasi manusia, menjamin hak-hak itu untuk semua orang, dan memfasilitasi jalan untuk menerapkan kebebasan dalam kerangka moral dan kode hukum.

Kami melakukannya sembari percaya bahwa kebebasan manusia adalah jalan untuk setiap kebaikan, kebangkitan, dan inovasi. Serangan terhadap hak dan kebebasan di bawah slogan apapun – bahkan jika atas nama Islam itu sendiri – akan merendahkan martabat umat manusia dan menyeret manusia ke status yang tidak Allah tetapkan baginya dan menghalanginya dari menggunakan kekuatan dan bakatnya… Wajib atas setiap pemilik akal sehat dan orang-orang yang beriman untuk mengangkat suara mereka menyeru kepada kesetaraan agar semua orang menikmati kebebasan dan hak asasi manusia.

Kesetaraan ini adalah jalan yang benar untuk perdamaian internasional dan sosial dan untuk tatanan dunia baru yang menentang penindasan, kerusakan, dan agresi" [Bayān lin-Nās].

'Abdul-Mun'im 'Abdul-Futūh – anggota Kantor Eksekutif Ikhwān – juga mengatakan, "Ini adalah permasalahan besar dan ini bagi semua rakyat Mesir, bukan hanya Ikhwān. Ini adalah masalah kebebasan, hak asasi manusia, dan keadilan. Ini adalah masalah kita. Masalah kami dengan pemerintah bukanlah Islam. Pemerintah [Hosni Mubarak] adalah Muslim. Negaranya adalah Muslim…

Dengan demikian, masalah antara kami dan pemerintah adalah tentang kebebasan, hak asasi manusia, dan penegakkan konstitusi" [Wawancara Al-Jazīrah].


Ikhwan dan Pasifisme

Jihād di era ini adalah wajib atas setiap Muslim karena banyaknya negeri kaum muslimīn telah dirampas oleh kuffār dan banyaknya kelompok-kelompok murtad telah muncul di dalamnya. Sebelum semua negeri itu direbut kembali, dibersihkan dari kemurtadan, dan dihukumi dengan Syarī'at, kewajiban tersebut tidak gugur. Namun, bukannya menyeru umat Muslim untuk berjihād, Ikhwān sepanjang sejarah mereka malah menyeru kepada pasifisme dan bahkan mengecam "terorisme," padahal meneror kuffār adalah bagian dari Islam, dan barangsiapa menyangkalnya, maka telah kafir.

Allah Ta’ala berfirman, {Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang sehingga kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya} [Al-Anfāl: 60].

Namun Ikhwān berkata, "Permasalahan Ketiga: Aktivisme Politik, Penolakan terhadap Kekerasan, dan Kecaman kepada Terorisme: Ikhwānul Muslimīn telah puluhan kali menyatakan sepanjang beberapa tahun terakhir bahwa mereka terlibat di bidang politik sembari berpegang kepada sarana yang sah dan metode damai saja. Mereka dipersenjatai dengan kebenaran, pernyataan bebas dan pengorbanan murah hati dalam semua lini pekerjaan sosial... Mereka percaya bahwa hati nurani bangsa dan kesadaran dari anak-anaknya adalah hakim pokok yang adil antar gerakan-gerakan ideologi dan politik yang saling berlomba-lomba dengan mulia di bawah naungan konstitusi dan hukum.

Oleh karena itu, mereka mengulangi deklarasi mereka untuk menolak segala cara kekerasan dan paksaan dan segala bentuk kudeta, semua yang memecah belah persatuan bangsa dan mungkin memberikan para penghasutnya kesempatan untuk melompati realita politik dan sosial, bagaimanapun, itu tidak akan pernah memberi mereka kesempatan untuk menetap dengan kehendak dari masyarakat bebas bangsa ini. Sarana-sarana semacam itu juga menunjukkan celah menakutkan di dinding stabilitas politik dan sebuah pemberontakan yang tidak dapat diterima melawan kekuasaan sah dari masyarakat. Jika atmosfer penindasan dan kelabilan yang mengontrol bangsa telah menyebabkan sekelompok putra-putranya melakukan terorisme, menakut-nakuti yang tidak bersalah, dan mengganggu negara serta kemajuan ekonomi dan politiknya, maka Ikhwānul Muslimīn mengumumkan tanpa ragu-ragu dan dengan tenang bahwa ia b erlepas diri dari segala bentuk dan akar kekerasan. Ia mencela semua bentuk dan akar terorisme. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang menumpahkan darah yang dilindungi atau berpartisipasi di dalamnya adalah sekutu di dalam dosa dan pelakunya.

Mereka diminta dengan tegas dan segera untuk kembali kepada kebenaran... Sedangkan mereka yang sengaja mencampuradukkan fakta dan menuduh dengan dusta bahwa Ikhwānul ikut dalam kekerasan dan terlibat dalam terorisme - di bawah klaim bahwa Ikhwān bersikeras meminta pemerintah untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan lagi dan sebaliknya agar mematuhi sistem hukum dan peradilan dan memahami semua penyebab dan keadaan di balik kekerasan dalam pembahasan oleh pemerintah dan merespon fenomena ini tanpa hanya mengandalkan respon keamanan – maka klaim seperti itu terbantah dengan sejarah Ikhwān yang sangat cemerlang selama bertahun- tahun yang panjang di mana Ikhwān ikut serta di dalam dewan perwakilan dan pemilu legislatif. Selama beberapa kesempatan di mana ia tidak berpartisipasi, ia tetap mematuhi hukum-hukum konstitusi dan pemerintah, berusaha untuk menjadikan perkataan yang bebas dan benar sebagai satu-satunya senjata" [Bayān lin-Nās].

"Mursyid 'ām" ketiga ‘Umar at-Tilimsānī ditanya, "Apakah mungkin permasalahan antara Anda dan pemerintah mencapai titik berperang?" Dia menjawab, "Kami tidak akan menyakiti siapa pun dan kami juga tidak berusaha untuk menyakiti siapa pun. Bahkan jika masalahnya mencapai titik kami ditempatkan dalam penjara, kami tidak akan melawan mereka" [Majalah Al-Majallah].

'Umar at-Tilimsānī berkata, "Ketika Perang Dunia II dimulai pada 1939, Ikhwān dengan kekuatan mereka mampu menyebabkan banyak kesulitan untuk Sekutu. Tapi asy-syahid imām Hasan al-Bannā memberikan perintah kepada masyarakat dan daerah di mana terdapat Ikhwān dengan mengatakan pada mereka untuk tetap tenang, mendedikasikan waktu mereka untuk dakwah, dan memfokuskan semua usaha mereka jauh dari hasutan, sampai Sekutu mendapat kemenangan. Sikap dari wilayah ini - yang penuh dengan Ikhwān di mana-mana - adalah salah satu penyebab kemenangan Sekutu, namun mereka mengabaikan asy-syahid imām dan Ikhwān dan membalas imām dengan pengkhianatan" [Dhikrāyāt lā Mudhakkirāt].

"Mursyid 'ām" kedua Hasan al-Hudaybī berkata, "Apakah kalian berpikir bahwa tindak kekerasan akan mengusir Inggris dari tanah kita? Kewajiban pemerintah saat ini adalah melakukan apa yang Ikhwānul Muslimīn lakukan, untuk mendidik bangsa dan menyiapkannya. Ini adalah jalan untuk mengusir Inggris" [Al Harakah as-Siyāsiyyah fī Misr - Thāriq al-Bishrī].

Al-Hudaybī juga berkata, "Saudara, kalian mendengarku berbicara lebih dari satu kali. Aku tidak berbicara apa pun kecuali perdamaian, keamanan, dan stabilitas. Aku berbicara menentang protes, kehancuran, dan konflik" [Majalah Al-Atibbā'].

Dan setelah beberapa Ikhwān memutuskan untuk menyerang beberapa orang Mesir agen Inggris tanpa persetujuan dari kepemimpinan atas, al-Bannā menulis deklarasi resmi di mana ia berkata, "Tujuan dari dakwah kami sejak ia dimulai adalah untuk bekerja demi kebaikan tanah air, menolong agama, dan menentang semua seruan ateisme, amoralitas, dan ditinggalkannya hukum-hukum dan keutamaan Islam...

Jika begitu, maka pembunuhan, terorisme, dan kekerasan tidak termasuk sarananya, karena ia mengambil Islam sebagai manhajnya, mematuhi batas-batasnya... Islam yang murni adalah agama perdamaian menyeluruh, keamanan sempurna, spiritualitas murni, dan teladan luhur bagi umat manusia...." "Sejumlah peristiwa terjadi yang dikaitkan kepada beberapa orang yang telah memasuki jamā'ah namun belum menyerap semangatnya. Setelah peristiwa menakutkan ini, peristiwa lain terjadi, yaitu pembunuhan Perdana Menteri Mahmūd Fahmī an-Naqrāshī Pasha. Negara terpukul dengan kesedihan karena kematiannya. Dengan kematiannya, negara kehilangan seorang bintang kebangkitannya, pemimpin kemajuannya, panutan yang baik akan kejujuran, patriotisme, dan kesucian. Dia adalah salah satu putra terbaik bangsa. Kami tidak kurang sedih daripada yang lain atas kematiannya tidak pula kami mengagumi jihād dan karakternya kurang dari orang lain. Karena sifat dari dakwah Islam adalah menentang kekerasan bahkan mencelanya, membenci pembunuhan apa pun jenisnya, dan membenci para pelakunya. Karena itu, kami menyatakan berlepas diri di hadapan Allah dari pembunuhan tersebut dan para pelakunya." "Karena negara kita sedang melewati salah satu tahap paling penting dalam hidupnya sehingga memerlukan pemeliharaan sikap tenang, keamanan, dan stabilitas, raja agung yang mulia - semoga Allah melindunginya - bermurah hati dan mengarahkan pemerintah yang ada, yang terdiri atas orang terbaik Mesir, kepada fokus yang benar. Yaitu bekerja untuk menyatukan kalimat bangsa dan mendekatkan barisannya dan mengarahkan usaha dan kapasitasnya bersama-sama, tidak terbagi, untuk melayani kebaikan bangsa serta reformasi internal dan eksternal.

Pemerintah segera mulai mengerjakan arahan yang mulia dengan tulus, berkarakter, dan jujur. Semua ini menjadikan wajib atas kita untuk mengerahkan semua kekuatan kita dan menghabiskan waktu kita dalam membantu pemerintah dalam melaksanakan dan memenuhi tanggung jawab besarnya. Ia tidak akan mampu melakukannya dengan benar sampai yakin bahwa keamanan dan stabilitas telah tercapai untuk rezim. Ini adalah kewajiban atas setiap warga negara di saat-saat normal. Betapa lebih wajib hal itu dalam keadaan yang rumit dan penting ini dimana tidak ada yang diuntungkan dari kekacauan emosi, perselisihan pendapat, dan terpecahnya usaha kecuali musuh-musuh bangsa dan kebangkitannya."

"Oleh sebab itu, saya menyeru saudara-saudaraku demi Allah dan kebaikan masyarakat agar setiap dari mereka membantu untuk mencapai hal ini, mengarahkan diri untuk pekerjaan mereka, dan menjauhkan diri dari setiap perbuatan yang menentang stabilisasi keamanan dan keselamatan menyeluruh, sehingga mereka dengannya memenuhi hak Allah dan hak tanah air. Kami meminta Allah untuk melindungi raja agung yang mulia dan untuk membimbing langkah negara ini baik pemerintah dan rakyatnya kepada kebaikan dan keberhasilan" [Al-Ikhwān al-Muslimūn Ahdāts Sana'at at-Tārīkh].

Ketika operasi rahasia lain coba dilakukan oleh beberapa Ikhwān lagi tanpa persetujuan kepemimpinan atas, al-Bannā menulis pernyataan kedua berjudul "Mereka Bukanlah Saudara, Mereka Bukan Pula Muslim." Dia berkata di dalamnya, "Orang-orang yang melakukan perbuatan ini bukanlah saudara bukan pula Muslim. Mereka tidak layak menjadi warga negara Mesir." Inilah agama Ikhwān terhadap jihād, menjadikan pedang di dalam logo mereka dan slogan mereka "Bersiap" - mengacu pada ayat ke-60 dari Sūrat al-Anfāl – sama sekali tidak bermakna.


source: DABIQ 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...