Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 29 – 37 )
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman
Aman Abdurrahman
(29) Bahaya Syirik Akbar
Syirik akbar itu
menyebabkan semua amalan hapus dan pelakunya kekal di dalam neraka, sebagaimana
firman Allah:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَىهُ النَّارُ
“Sesungguhnya
orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka”
(Al
Maidah: 72)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ مَاتَ يُشْرَكُ بِا اللهِ شَيْئًا دَخَلَ
النَّارُ
“Barangsiapa
yang meninggal sedangkan dia menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk
neraka”
(HR.
Muslim)
(30) Syirik Akbar Menghapus Amalan
Amal shaleh
tidak bermanfaat jika disertai dengan syirik, bahkan hapus sia-sia. Sebagaimana
firman Allah ‘azza wa jalla:
وَلَوْ أَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ
مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ
“seandainya mereka mempersekutukan Allah,
niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al
An’am: 88)
Ayat ini
menegaskan bahwa orang yang melakukan syirik, maka seluruh amalan baiknya hapus
dan tidak berarti, umpamanya orang selalu melakukan shalat yang lima waktu,
berinfaq, shaum, haji, dan ibadah lainnya, namun disamping itu dia melakukan juga
perbuatan syirik seperti menyembelih untuk sesajen/tumbal, atau memohon kepada
orang yang sudah meninggal dunia, atau membuat undang-undang yang bertentangan
dengan hukum Islam dan yang lainnya, maka amalannya itu hapus tidak berbekas,
sehingga bila dia mati sebelum bertaubat dari hal itu semua, maka dia bakal kekal
di neraka. sungguh banyak sekali yang terjerumus ke dalamnya saat ini.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِيَ فِيْهِ
غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَ شِرْكُهُ
“Barangsiapa
yang melakukan amalan yang dimana dia itu menyertakan yang lain bersamaku dalam
beramal itu, maka aku tinggalkan dia bersama pensekutuannya itu”.
(HR.
Muslim).
(31) Sumpah Hanya Dengan Allah
Kita tidak boleh
bersumpah dengan selain Allah. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
قَلْ بَلَى وَ رَبِّي لَتُبْعَثُنَّ
“Katakanlah:
"tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan” (At
Taghabun: 7)
Di dalam ayat ini Allah ‘azza
wa jalla memerintahkan Rasul-Nya agar bersumpah dengan-Nya, tidak dengan yang
lain.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa
bersumpah dengan selain Allah maka dia telah berbuat kesyirikan”
(HR. Ahmad)
Syirik di sini
adalah syirik asghar, kecuali bila orang yang sumpah itu meyakini bahwa makhluk
yang dengannya dia bersumpah itu lebih agung dari Allah ‘azza wa jalla atau
sejajar dengan-Nya. [Al Qaul Mufid]
(32) Mengenakan Azimat Adalah Syirik
Kita tidak boleh memakai
azimat (dan semisalnya) untuk menyembuhkan dan yang lainnya, karena itu
termasuk perbuatan syirik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
وَ إِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلَا
كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ
“Dan
jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya
melainkan Dia sendiri”.
(Al
An’am: 17)
Di dalam ayat ini Allah ‘azza
wa jalla tegaskan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak
bahaya kecuali Dia, bukan azimat dan yang lainnya, oleh sebab itu mintalah
kepadanya.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةٌ فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa
yang memakai azimat, maka dia telah berbuat syirik”
(HR.
Ahmad)
Bila dia
meyakini bahwa azimat itu memiliki khasiat dan pengaruh dengan sendirinya, maka
itu adalah syirik akbar, namun bila dia meyakininya bahwa azimat itu sebagai
sebab saja tetapi tidak berkhasiat dengan sendirinya, maka dia telah melakukan syirik
asghar, karena dia tatkala meyakini sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, maka
berati dia telah mensyirikan Allah ‘azza wa jalla dalam menghukumi atas hal ini
sebagai sebab, padahal Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikannya sebagai
sebab. [Al Qaul Mufid: 1/165]
(33) Tawasul Yang Di Syari’atkan
Kita bertawasul
kepada Allah dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan amal shaleh yang kita
lakukan. Sebagai firman Allah ‘azza wa jalla:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ
بِهَا
“Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu”
(Al
A’raf: 180)
Di dalam ayat
ini Allah ‘azza wa jalla menganjurkan agar ketika kita berdoa, kita bertawasul
degan nama-nama-Nya, dan ini tentunya dengan menyebutkan nama-Nya yang sesuai
dengan permintaan kita, contohnya: “Wahai Dzat Yang
Maha Pengampun, ampunilah daku, Wahai Dzat Yag Maha Pengasih, rahmatilah
daku...” dan
seterusnya. Dan tentunya tidak sesuai ketika kita meminta ampunan kita
mengatakan: “Wahai Dzat Yang Maha Perkasa Yang Maha
Pedih siksa-Nya, ampunilah daku...”
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ
بِهِ نَفْسَكَ
“Aku
memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau jadikan nama bagi-Mu”
(HR.
Ahmad)
Hadits ini salah satu contoh
bentuk tawasul dengan semua nama-nama Allah ‘azza wa jalla. Ada juga macam
tawasul lainnya, yaitu tawasul dengan ketauhidan kita, keimanan kita, dan doa
orang yang shaleh yang masih hidup.
(34) Tidak Butuh Perantara Saat Berdoa
Ketika kita hendak berdoa
kepada Allah ‘azza wa jalla kita harus meminta langsung kepada-Nya dan tidak
boleh memakai perantaraan makhluk. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
وَ إَذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي
قَرِيْبٌ أَجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إَذَا دَعَانِ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku”
(Al
Baqarah: 186)
Di dalam ayat
ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan bahwa Dia itu dekat dengan hamba-Nya,
sehingga tidak butuh perantara ketika hamba-Nya berdoa, sebab perantara itu
hanya berlaku pada permintaan kepada makhluk, di mana makhluk itu adalah lemah tidak
mengetahui permohonan orang yang mengadu dari jarak yang jauh, sehingga butuh
kepada yang menyampaikan kebutuhannya. Adapun Allah adalah mengetahui segalanya,
baik yang jauh ataupun yang dekat sama saja, sehigga orang yang membuat perantara
antara dia dengan Allah ‘azza wa jalla, berarti telah menyamakan dia dengan makhluk-Nya.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَ
هُوَ مَعَكُمْ
“Sesungguhnya
kalian berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia
menyertai kalian” (dengan Ilmu-Nya Mendengar dan Melihat kalian).
(HR.
Muslim)
Bila orang
meminta ke pengisi kubur agar menyampaikan permohonannya kepada Allah, maka dia
sudah berbuat sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy.
(35) Para Rasul Adalah Perantara Dalam Menyampaikan Risalah
Perantaraan yang
dilakukan oleh Rasul shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para rasul lainnya adalah
tabligh (menyampaikan weahyu kepada manusia) sebagaimana firman Allah ‘azza wa
jalla:
يَأًيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ
إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ
“Hai
rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
(Al
Maidah: 67)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
اَللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اَللَّهُمَّ
اشْهَدْ (جَوَابًا لِقَوْلِ الصَّحَابَة "نَشهد أنك قد بلغت")
“Ya
Allah bukankah saya telah menyapaikan...? Ya Allah saksikanlah (ini merupakan
jawaban dari
pertanyaan shahabat radliyallahu ‘anhum: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan)”
(HR.
Muslim)
(36) Mintalah Syafaat Rasulullah Dari Allah
Kita hanya dibolehkan meminta
syafaat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ‘azza wa jalla,
sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيْعًا
“Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat
itu semuanya”
(Az
Zumar: 44)
Ayat ini
menegaskan bahwa yang memiliki syafa’at adalah Allah ‘azza wa jalla saja
sehingga ketika ia menginginkan diberi syafa’at maka harus meminta kepada Allah
shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang memilikinya, sedangkan
meminta syafa’at kepada Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam adalah
perbuatan syirik, dan barangsiapa meminta syafa’at kepada Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallamımaka dia tidak akan mendapatkannya di hari akhirat
karena dia telah berbuat syirik, sedangkan orang-orang musyrik itu tidak
mungkin mendapatkan syafa’at kecuali dia taubat semasa hidupnya.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
اَللَّهُمَّ شَفَّعَهُ فِيَّ ( أي شفِّع الرسول
صلى الله عليه وسلم )
“Ya
Allah, izinkanlah Rasulullah memberi syafa’at kepadaku”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini salah satu contoh cara meminta syafa’at
Rasulullah kepada Allah shalallaahu ‘alaihi wa
sallam.
(37) Bukti Kecintaan Kepada Rasulullah
Kita mencintai
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya
dan melaksanakan perintah keduanya dan tidak beribadah kepada Allah kecuali
dengan apa yang disyari’atkannya, sebagaiman firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah
mengasihi”
(Ali
Imran: 31)
Ayat ini
merupakan ayat ujian, siapa yang mengklaim bahwa dirinya mencintai Allah dan
Rasul-Nya, namun dia tidak melaksanakan tuntunan Rasulullah, maka klaimnya itu
adalah dusta. Orang yang mengklaim cinta kepada Rasulullah dengan merayakan
Maulid, Irsa’ Mi’raj, dan yang lainnya, maka klaim itu dusta, karena hal itu adalah
perbuatan bid’ah sedangkan Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam melarangnya
dari hal-hal bid’ah.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُونَ
أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
“Tidaklah
beriman salah seorang di antara kamu sehingga saya lebih mereka cintai dari
orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya”
(HR.
Bukhari)
Bahkan Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam harus
lebih kita cintai daripada diri kita sendiri sebagaimana dalam kisah Umar Ibnu
Al Khaththab.
(38) Tidak Boleh Berlebih-Lebihan Dalam
Memuji Rasulullah
Kita tidak
diperbolehkan berlebih-lebihan dalam menyanjung Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى
إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَحِدٌ
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa
Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa” (Al
Kahfi: 110)
Di dalam ayat
ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan bahwa Muhammad shalallaahu
‘alaihi wa sallam adalah
manusia biasa yang tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan, sehingga tidak layak
bila dipertuhankan atau disembah, di sanjung melebihi batas, dan lain
sebagainya, namun beliau berbeda dari manusia yang lainnya dari sisi bahwa
beliau menerima wahyu, dan beliau tidak mengetahui hal yang ghaib kecuali dalam
batas apa yang diwahyukan kepadanya.
Dan sabda Rasulullah:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرَ مِثْلُكُمْ ( خصني الله
بِا لَوحي )
“Sesungguhnya
aku hanya manusia seperti kalian (hanya saja Allah menurunkan wahyu kepadaku)”
(HR.
Ahmad dishahihkan Al Albani)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar