8/28/2019

Aqidah Muslim Berikut Penjelasannya ( 29 – 37 )


Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 29 – 37 )
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

(29) Bahaya Syirik Akbar

Syirik akbar itu menyebabkan semua amalan hapus dan pelakunya kekal di dalam neraka, sebagaimana firman Allah:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَىهُ النَّارُ

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka”
(Al Maidah: 72)

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ مَاتَ يُشْرَكُ بِا اللهِ شَيْئًا دَخَلَ النَّارُ

“Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka”
(HR. Muslim)

(30) Syirik Akbar Menghapus Amalan

Amal shaleh tidak bermanfaat jika disertai dengan syirik, bahkan hapus sia-sia. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَلَوْ أَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

 “seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. (Al An’am: 88)

Ayat ini menegaskan bahwa orang yang melakukan syirik, maka seluruh amalan baiknya hapus dan tidak berarti, umpamanya orang selalu melakukan shalat yang lima waktu, berinfaq, shaum, haji, dan ibadah lainnya, namun disamping itu dia melakukan juga perbuatan syirik seperti menyembelih untuk sesajen/tumbal, atau memohon kepada orang yang sudah meninggal dunia, atau membuat undang-undang yang bertentangan dengan hukum Islam dan yang lainnya, maka amalannya itu hapus tidak berbekas, sehingga bila dia mati sebelum bertaubat dari hal itu semua, maka dia bakal kekal di neraka. sungguh banyak sekali yang terjerumus ke dalamnya saat ini.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ مَعِيَ فِيْهِ غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَ شِرْكُهُ

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang dimana dia itu menyertakan yang lain bersamaku dalam beramal itu, maka aku tinggalkan dia bersama pensekutuannya itu”.
(HR. Muslim).

(31) Sumpah Hanya Dengan Allah
Kita tidak boleh bersumpah dengan selain Allah. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

قَلْ بَلَى وَ رَبِّي لَتُبْعَثُنَّ

“Katakanlah: "tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan” (At Taghabun: 7)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla memerintahkan Rasul-Nya agar bersumpah dengan-Nya, tidak dengan yang lain.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka dia telah berbuat kesyirikan”
(HR. Ahmad)

Syirik di sini adalah syirik asghar, kecuali bila orang yang sumpah itu meyakini bahwa makhluk yang dengannya dia bersumpah itu lebih agung dari Allah ‘azza wa jalla atau sejajar dengan-Nya. [Al Qaul Mufid]

(32) Mengenakan Azimat Adalah Syirik

Kita tidak boleh memakai azimat (dan semisalnya) untuk menyembuhkan dan yang lainnya, karena itu termasuk perbuatan syirik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَ إِنْ يَمْسَسْكَ اللهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri”.
(Al An’am: 17)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat atau menolak bahaya kecuali Dia, bukan azimat dan yang lainnya, oleh sebab itu mintalah kepadanya.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةٌ فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang memakai azimat, maka dia telah berbuat syirik”
(HR. Ahmad)

Bila dia meyakini bahwa azimat itu memiliki khasiat dan pengaruh dengan sendirinya, maka itu adalah syirik akbar, namun bila dia meyakininya bahwa azimat itu sebagai sebab saja tetapi tidak berkhasiat dengan sendirinya, maka dia telah melakukan syirik asghar, karena dia tatkala meyakini sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab, maka berati dia telah mensyirikan Allah ‘azza wa jalla dalam menghukumi atas hal ini sebagai sebab, padahal Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikannya sebagai sebab. [Al Qaul Mufid: 1/165]

(33) Tawasul Yang Di Syari’atkan

Kita bertawasul kepada Allah dengan nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan amal shaleh yang kita lakukan. Sebagai firman Allah ‘azza wa jalla:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَآءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu”
(Al A’raf: 180)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla menganjurkan agar ketika kita berdoa, kita bertawasul degan nama-nama-Nya, dan ini tentunya dengan menyebutkan nama-Nya yang sesuai dengan permintaan kita, contohnya: “Wahai Dzat Yang Maha Pengampun, ampunilah daku, Wahai Dzat Yag Maha Pengasih, rahmatilah daku...” dan seterusnya. Dan tentunya tidak sesuai ketika kita meminta ampunan kita mengatakan: “Wahai Dzat Yang Maha Perkasa Yang Maha Pedih siksa-Nya, ampunilah daku...”

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ

“Aku memohon kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau jadikan nama bagi-Mu”
(HR. Ahmad)

Hadits ini salah satu contoh bentuk tawasul dengan semua nama-nama Allah ‘azza wa jalla. Ada juga macam tawasul lainnya, yaitu tawasul dengan ketauhidan kita, keimanan kita, dan doa orang yang shaleh yang masih hidup.

(34) Tidak Butuh Perantara Saat Berdoa

Ketika kita hendak berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla kita harus meminta langsung kepada-Nya dan tidak boleh memakai perantaraan makhluk. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَ إَذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيْبٌ أَجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إَذَا دَعَانِ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”
(Al Baqarah: 186)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan bahwa Dia itu dekat dengan hamba-Nya, sehingga tidak butuh perantara ketika hamba-Nya berdoa, sebab perantara itu hanya berlaku pada permintaan kepada makhluk, di mana makhluk itu adalah lemah tidak mengetahui permohonan orang yang mengadu dari jarak yang jauh, sehingga butuh kepada yang menyampaikan kebutuhannya. Adapun Allah adalah mengetahui segalanya, baik yang jauh ataupun yang dekat sama saja, sehigga orang yang membuat perantara antara dia dengan Allah ‘azza wa jalla, berarti telah menyamakan dia dengan makhluk-Nya.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَ هُوَ مَعَكُمْ

“Sesungguhnya kalian berdoa memohon kepada Tuhan Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia menyertai kalian” (dengan Ilmu-Nya Mendengar dan Melihat kalian).
(HR. Muslim)

Bila orang meminta ke pengisi kubur agar menyampaikan permohonannya kepada Allah, maka dia sudah berbuat sama dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy.

(35) Para Rasul Adalah Perantara Dalam Menyampaikan Risalah

Perantaraan yang dilakukan oleh Rasul shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para rasul lainnya adalah tabligh (menyampaikan weahyu kepada manusia) sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

يَأًيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ

“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.
(Al  Maidah: 67)

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

اَللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اَللَّهُمَّ اشْهَدْ (جَوَابًا لِقَوْلِ الصَّحَابَة "نَشهد أنك قد بلغت")

“Ya Allah bukankah saya telah menyapaikan...? Ya Allah saksikanlah (ini merupakan jawaban dari pertanyaan shahabat radliyallahu ‘anhum: “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan)”
(HR. Muslim)

(36) Mintalah Syafaat Rasulullah Dari Allah

Kita hanya dibolehkan meminta syafaat Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dari Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيْعًا

 “Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya”
(Az Zumar: 44)

Ayat ini menegaskan bahwa yang memiliki syafa’at adalah Allah ‘azza wa jalla saja sehingga ketika ia menginginkan diberi syafa’at maka harus meminta kepada Allah shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang memilikinya, sedangkan meminta syafa’at kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam adalah perbuatan syirik, dan barangsiapa meminta syafa’at kepada Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallamımaka dia tidak akan mendapatkannya di hari akhirat karena dia telah berbuat syirik, sedangkan orang-orang musyrik itu tidak mungkin mendapatkan syafa’at kecuali dia taubat semasa hidupnya.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

اَللَّهُمَّ شَفَّعَهُ فِيَّ ( أي شفِّع الرسول صلى الله عليه وسلم )

“Ya Allah, izinkanlah Rasulullah memberi syafa’at kepadaku”
(HR. Tirmidzi)

Hadits ini salah satu contoh cara meminta syafa’at Rasulullah kepada Allah shalallaahu ‘alaihi wa sallam.

(37) Bukti Kecintaan Kepada Rasulullah

Kita mencintai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan mentaati Allah dan Rasul-Nya dan melaksanakan perintah keduanya dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyari’atkannya, sebagaiman firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ

“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi”
(Ali Imran: 31)

Ayat ini merupakan ayat ujian, siapa yang mengklaim bahwa dirinya mencintai Allah dan Rasul-Nya, namun dia tidak melaksanakan tuntunan Rasulullah, maka klaimnya itu adalah dusta. Orang yang mengklaim cinta kepada Rasulullah dengan merayakan Maulid, Irsa’ Mi’raj, dan yang lainnya, maka klaim itu dusta, karena hal itu adalah perbuatan bid’ah sedangkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dari hal-hal bid’ah.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدَكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلِدِهِ وَ النَّاسِ أَجْمَعِيْنَ

“Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu sehingga saya lebih mereka cintai dari orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya”
(HR. Bukhari)

Bahkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam harus lebih kita cintai daripada diri kita sendiri sebagaimana dalam kisah Umar Ibnu Al Khaththab.

(38) Tidak Boleh Berlebih-Lebihan Dalam Memuji Rasulullah

Kita tidak diperbolehkan berlebih-lebihan dalam menyanjung Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَحِدٌ

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa” (Al Kahfi: 110)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla tegaskan bahwa Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa yang tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan, sehingga tidak layak bila dipertuhankan atau disembah, di sanjung melebihi batas, dan lain sebagainya, namun beliau berbeda dari manusia yang lainnya dari sisi bahwa beliau menerima wahyu, dan beliau tidak mengetahui hal yang ghaib kecuali dalam batas apa yang diwahyukan kepadanya.

Dan sabda Rasulullah:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرَ مِثْلُكُمْ ( خصني الله بِا لَوحي )

“Sesungguhnya aku hanya manusia seperti kalian (hanya saja Allah menurunkan wahyu kepadaku)”
(HR. Ahmad dishahihkan Al Albani)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...