Syubhat Ketiga :
Apakah
Sifat Adil Syarat Syubhat Termasuk Di Dalam Jihad?
Jawaban:
Kepada orang yang mengatakan
bahwa kita tidak akan berjihad sampai kita penuhi tarbiyah iman dengan
sempurna, kami ingin menanyakan dua pertanyaan:
Pertanyaan pertama: Apakah tujuan dari tarbiyah
ini adalah sampai seorang muslim mencapai “keadilan syar‘i” ataukah martabat
yang lebih tinggi lagi?
Pertanyaan kedua: Apakah keadilan termasuk
syarat wajibnya jihad? Maknanya, seorang muslim tidak boleh berjihad sampai ia
menyandang sifat adil? Dan apakah berarti kewajiban jihad gugur dari orang
fasik?
Pertama kali, kami akan
sebutkan definisi adil, kami katakan: Adil adalah lurusnya agama seorang
Muslim. Ada juga yang berpendapat, orang adil adalah orang yang tidak
meragukan. Tidak meragukan di sini terdiri dari dua perkara: Kesalehannya
agama, yaitu menunaikan yang fardhu dan yang sunnah serta
menghindari yang haram, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus
melakukan dosa kecil. Kedua, memenuhi muru’ah dengan melakukan perbuatan yang
menjadikan dirinya baik dan memperbagus diri serta meninggalkan perkara yang
membuat dirinya kotor dan jelek.” [Manârus
Sabîl Syarhud Dalil cetakan Al-Maktab Al-Islâmî 1404 H juz II hal487, 488]
Kemudian kita sebutkan syarat
wajib jihad –dan sudah saya sebutkan pada bagian yang lalu—yaitu: Islam,
baligh, berakal, laki-laki, selamat dari marabahaya, merdeka, adanya biaya,
izin kedua orang tua serta orang yang berhutang. [Al-Mughnî
was Syarhul Kabîr juz X hal. 366, 381, 384]
Ini dalam jihad fardhu
kifayah. Adapun dalam jihad fardhu ain, maka syaratnya hanya lima syarat
pertama saja. Sebagaimana Anda lihat sendiri, di sini sifat adil bukan termasuk
syarat.
Kalau sudah jelas bahwa adil
bukanlah syarat wajib jihad, secara otomatis gugur sudah perkataan orang yang mengatakan
harus ada tarbiyah terlebih dahulu sampai seorang muslim mencapai derajat
keadilan sebelum ia berjihad, selanjutnya gugur pulalah perkataan orang yang mensyaratkan
adanya derajat keadilan yang lebih tinggi lagi.
Bahkan, para fuqoha
menerangkan kebalikan dari itu, yaitu boleh minta bantuan orang fasik dan
munafik dalam perang.
Asy-Syaukani berkata: “Dikatakan
dalam Al-Bahr: ‘Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafik berdasarkan
ijma‘, sebagaimana ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta bantuan
kepada Abdulloh bin Ubay dan para pengikutnya. Diperbolehkan juga meminta
bantuan orang-orang fasik dalam menghadapi orang-orang kafir berdasarkan ijma‘.
Boleh juga meminta tolong kepada para pemberontak (bughot) menurut kami, sebab
‘Ali Alaihis Salam melakukannya terhadap pasukan Al-Asy‘ats.” [Nailul
Author juz 8 hal 44]
Dikatakan di dalam Al-Majmu‘:
“Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam Ahkamul Qur’an: Jihad wajib tetap dijalankan
bersama orang-orang fasik sebagaimana wajibnya bersama orang adil. Dan semua
ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan apakah jihad itu dilakukan bersama
orang fasik atau orang adil yang sholeh. Dan sesungguhnya ketika orang-orang
fasik berjihad, status mereka adalah orang yang taat dengan jihad yang ia
lakukan.” [Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab juz
19 hal. 279]
Ibnu Hazm berkata –setelah
menyebutkan hadits: “Sesungguhnya Alloh menolong agama ini dengan kaum yang
tidak memiliki nilai.” Dan hadits: “Sesungguhnya
Alloh benar-benar menguatkan agama ini dengan orang yang fajir.”—
Ia berkata: “Ini menunjukkan
bolehnya meminta bantuan kepada kaum yang disebutkan sifatnya dalam hadits ini,
untuk melawan orang-orang yang memerangi dan dalam melawan para pemberontak,
mereka adalah orang-orang fajir dari kaum muslimin yang mereka itu tidak
memiliki kedudukan.
Demikian juga, orang-orang
fasik terkena kewajiban jihad dan terkena kewajiban untuk melawan para pemberontak
sebagaimana orang mukmin yang baik. Tidak boleh melarang orang-orang fasik
untuk berjihad, tetapi justeru bagaimana mengajak mereka kepadanya.” [Al-Muhalla
juz 11 hal. 113, 114. S]
Ahlus Sunnah wal Jama‘ah
memperbolehkan perang bersama Amir yang jahat dengan keterangan rincinya. Jika keluar
berperang dengan orang jahat yang diikuti saja boleh (yaitu bersama Amir), maka
keluar berperang bersama orang yang menjadi pengikut tentu lebih boleh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh panjang lebar menerangkan
masalah ini. Di antara yang saya nukil di bab ketiga adalah kata-kata beliau:
“Jika kebetulan ada orang
yang memerangi mereka dengan kriteria sempurna, maka itulah tujuan utama dalam mencapai
keridhoan Alloh, memuliakan kalimat-Nya, menegakkan agama-Nya dan mentaati
rosul-Nya. Namun jika ada yang terdapat dalam dirinya kejahatan dan niat yang
rusak, yaitu ia berperang demi mendapatkan kepemimpinan atau berkelakuan
melampaui batas dalam beberapa perkara kepada mereka, sementara kerusakan dari
tidak diperanginya musuh lebih besar terhadap din daripada kerusakan memerangi
mereka dengan kondisi seperti ini, maka yang wajib adalah tetap memerangi musuh
demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih
kecil. Karena ini termasuk prinsip Islam yang harus diperhatikan.
Oleh sebab itu, di antara
prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah berperang bersama orang baik maupun jahat.
Sebab Alloh bakal menguatkan agama ini dengan orang jahat dan dengan kaum yang
tidak memiliki nilai, sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan juga, jika perang tidak
berjalan kecuali dengan para pemimpin yang jahat, atau bersama pasukan yang
banyak terdapat kejahatannya, maka pasti akan terjadi dua kemungkinan: Perang
tidak dijalankan bersama mereka sehingga pasti akan mengakibatkan fihak lain
berkuasa, dan ini lebih besar bahayanya terhadap agama dan dunia; atau tetap
berperang bersama pemimpin yang jahat sehingga tetap ada perlawanan terhadap
kejahatan yang lebih besar dan kebanyakan syari‘at Islam tetap bisa ditegakkan
meski tidak semuanya. Pilihan kedua inilah yang wajib dalam kondisi seperti ini
atau kondisi apa saja yang semisal, bahkan kebanyakan perang pasca kekuasaan
Khulafa’ur Rosyidin tidak terjadi kecuali seperti ini kondisinya...
hingga beliau Rahimahulloh
berkata:
“Jika seseorang mengetahui
jihad yang diperintahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam akan dilaksanakan
para pemimpin hingga hari kiamat dan mengetahui larangan beliau untuk membantu
kezaliman orang yang dzalim, ia akan tahu bahwa jalan tengah yang merupakan
ajaran Islam murni adalah berjihad bersama orang yang berhak diajak berjihad
seperti kaum diperintahkan tadi, baik bersama pemimpin atau kelompok, mereka
itu lebih layak terhadap Islam daripada mereka. Jika jihad tidak bisa dilakukan
kecuali dengan cara itu, selama ia tidak membantu kelompok tempat ia bergabung
dalam hal maksiat kepada Alloh, maka hendaknya ia mentaati mereka dalam
ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka dalam maksiat kepada-Nya, sebab
tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq.
Inilah jalan yang ditempuh
orang-orang terbaik umat ini, baik yang dulu atau sekarang. Itu juga kewajiban
bagi setiap mukallaf. Inilah jalan pertengahan antara jalan kelompok Haruriyyah
dan semisalnya yang menempuh jalan kehati-hatian rusak karena minimnya ilmu,
dan jalan kelompok Murji’ah dan semisalnya yang mentaati pemimpin secara mutlak
meskipun mereka bukan orang baik.” [Majmu‘ Fatawa juz
28 hal. 506-508]
Perkara ini adalah baku yang
kemudian menjadi prinsip tertulis dalam masalah-masalah keyakinan Ahlus Sunnah
wal Jamâ‘ah, sebagaimana dinukil dari Syarah ‘Aqidah Thohawiyah dalam bab
ketiga. Di antara yang disebutkan di sana adalah:
“Haji dan jihad tetap berjalan
bersama pemimpin Kaum Muslimin yang baik maupun yang jahat, hingga hari kiamat,
tidak dibatalkan dan dihilangkan oleh apapun.” [Syarah Aqidah
Thohawiyyah terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H,
hal. 437]
Dari keterangan di atas, Anda
bisa melihat bahwa jihad bersama orang fasik yang memimpin maupun yang menjadi pasukan
adalah boleh berdasarkan ijma‘, bahkan wajib jika menolak orang-orang kafir
tidak bisa dilakukan selain berjihad bersama orang-orang fasik, sebagaimana
dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahulloh tadi.
Prinsip pokok dalam
permasalahan ini adalah: jihad diperintahkan kepada orang-orang beriman,
sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُكْ
مِّنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ (10) تُؤْمِنُونَ بَاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ تُجَاهِدُونَ
فِي سَبِيْلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَ أَنْفُسِكُمْ ذَلَكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (11) يَغْفِر لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ يُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ
“Hai orang-orang
beriman, maukah Ku tunjukkan kepada
kalian perdagangan yang menyelamatkan
kalian dari adzab yang
pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan
Alloh dengan harta dan jiwa kalian.
Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika
kalian mengetahui. Dia akan mengampuni
dosa kalian dan memasukkan
kalian ke dalam surga-surga…” [Ash-Shoff:
10, 11, 12]
Dan
ayat-ayat lainnya.
Ayat ini adalah perintah berjihad kepada
kaum mukminin serta orang yang
memiliki dosa-dosa: “Dia akan mengampuni
dosa kalian…”
Ayat ini menunjukkan bahwa sudah
terbiasanya seorang mukmin berbuat
dosa tidak berarti menggugurkan perintah
jihad darinya. Sedangkan orang fasik sebesar apapun dosanya, keimanan tetap tidak tercabut
dari dalam dirinya secara total,
sebab ia masih memiliki muthlaqul iman yang
menjadikan ia harus menanggung beban syariat, meskipun ia tidak memiliki iman muthlaq (iman yang
sempurna).
Berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan
dalam diri seorang hamba
adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal
Jama‘ah. Ini diambil dari kaidah umum bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan
berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.
Seperti dalam riwayat Bukhori dari Umar radhiallahu
‘anhu bahwasanya ada
seorang lelaki di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bernama ‘Abdulloh,
ia biasa dipanggil Himar, dia selalunya membuat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam tertawa. Pernah beliau mencambuknya lantaran minum khomer. Suatu hari ia
datang kepada beliau kemudian diperintahkan agar dicambuk, maka ada seseorang
yang mengatakan: “Ya Alloh, laknatlah dia. Betapa seringnya ia melakukan
dosa.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan
kau laknat dia, demi Alloh engkau tidak tahu bahwa dia mencintai Alloh dan
rosul-Nya.”
Inilah seorang shahabat, meskipun
kemaksiatan yang ia lakukan yaitu minum khomer, namun ia masih memiliki nilai ketaatan
berupa cinta kepada Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan
kecintaan ini termasuk cabang iman terbesar, coba renungkan derajat kecintaan
kepada Alloh dan rosul-Nya dalam ayat yang membatalkan delapan uzur jihad dalam
surat At-Taubah: “Katakanlah jika bapak-bapak kalian …dst.” [At-Taubah:
24]
Selain itu, pelaku maksiat mendapatkan
manfaat khusus dari jihad, yaitu bisa menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana kata
Ibnu Taimiyah Rahimahullah setelah mengkomentari ayat dalam surat Ash-Shoff
tadi:
“Dan siapa yang banyak dosa, maka obat
termanjurnya adalah jihad. Sesungguhnya Alloh ta‘ala mengampuni dosa-dosanya
sebagaimana Alloh khabarkan dalam kitab-Nya: “Dia akan mengampuni dosa kalian…”
Dan barangsiapa ingin membebaskan diri
dari barang haram dan ingin bertaubat sementara ia tidak bisa mengembalikan
barang tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan di jalan Alloh dengan mengatasnamakan
pemiliknya, sebab itulah cara yang baik untuk bisa terbebas darinya, ditambah
lagi ia mendapat pahala jihad.” [Majmu‘ Fatawa juz
28 hal. 421, 422]
Dari penjelasan di atas, Anda tahu bahwa
kefasikan tidak menggugurkan beban kewajiban jihad; orang fasik pun mendapatkan perintah berjihad
secara syar‘i seperti orang adil yang sholeh.
Sudah
disebutkan sebelumnya apa yang dinukil Asy-Syaukani mengenai kebolehan –bukan
kewajiban—minta bantuan kepada orang fasik dan munafik berdasarkan ijma‘.
Jika
itu jelas diperbolehkan, maka perkaranya dikembalikan kepada manfaat dan
mafsadah yang ditimbulkan jika orang tersebut turut serta dalam berjihad; mana
di antaranya keduanya yang lebih dominan maka itulah yang dijadikan patokan
hukum. Artinya, jika turut sertanya orang fasik dalam berjihad itu lebih besar
manfaatnya daripada mafsadatnya, ia dipersilahkan ikut. Namun jika sebaliknya, hukum
pun sebaliknya (yaitu tidak boleh ikut serta).
Hal senada dikatakan oleh
Ibnu Qudamah:
“Jangan sampai seorang komandan
memilih shahabat seorang mukhodzil, yaitu orang yang menghambat manusia dari
berperang. Jangan juga seorang murjif, yaitu orang yang mengatakan: ‘Pasukan
kaum muslimin telah hancur, mereka tidak punya bala bantuan dan kekuatan melawan
orang-orang kafir.’ Jangan juga memilih shahabat orang yang bersekongkol
mencelakakan kaum muslimin dengan menjadi mata-mata untuk kepentingan orang-orang
kafir, atau orang yang menimbulkan permusuhan antar kaum muslimin, dan jangan
pula mengambil sahabat orang yang gemar berbuat kerusakan.” [Al-Mughni
was Syarhul Kabir juz X hal 372]
Semua
ini berpulang kepada firman Alloh ta‘ala:
“Kalaulah
mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan
mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk
menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang
yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” [At-Taubah:
47]
Juga
firman Alloh ta‘ala:
“Maka jika Alloh mengembalikanmu kepada
satu golongan dari mereka, kemudian minta izin kepadamu untuk keluar berperang
maka katakan: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh
memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang
kali yang pertama, karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut
perang.” [At-Taubah: 83]
Ringkasnya,
orang yang memiliki karakter suka melemahkan dan merusak barisan atau
berkhianat, tidak boleh diikutkan dalam jihad. Orang seperti ini kerusakan yang
ditimbulkannya sangat besar meski di sana ada manfaat-manfaat.
Diperbolehkannya
berjihad bersama pemimpin fasik dan pelaku maksiat –di mana manfaatnya lebih
besar daripada kefasikan dirinya—, bukan berarti merupakan pembenaran dari
kefasikan dan kemaksiatannya. Namun ia tetap harus diperintah kepada yang
makruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, serta dilarang dari yang
mungkar dengan cara memberi peringatan dan hukuman. Ini maknanya adalah melatih
tarbiyah iman di tengah berlangsungnya jihad.
Kita
tidak katakan jihad ditunda sampai tarbiyah iman sempurna, sebab ini tidak akan
selesai kecuali dengan datangnya kematian, sesuai firman Alloh ta‘ala:
وَاعْبُدْ
رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنَ
“Dan beribadahlah kepada
Robbmu sampai datang kepadamu keyakinan.”
[Al-Hijr:
99]
Keyakinan
dalam ayat ini maksudnya adalah kematian sebagaimana dalam tafsirnya. Bisa saja
ajal tiba sementara seorang hamba belum memperoleh nilai tarbiyah ini kecuali
sedikit. Alloh ta‘ala berfirman:
ثُمَّ
أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ
ظَالْمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ
بِإِذْنِ اللهِ
“Kemudian Kami wariskan
Al-Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara
mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada pula yang terlebih dahulu
berbuat baik dengan izin Alloh.”
[Fathir:
32]
Inilah tingkatan-tingkatan
iman pada diri pengikut Rosul dan para pewaris Al-Kitab.
Dari
pemaparan di muka, mungkin bisa kita ringkas sebagai berikut:
1) I‘dad Imani (baca: tarbiyah) adalah wajib
dan merupakan pilar utama kemenangan. Perincian hal ini sudah kita sampaikan di
muka, khususnya mengenai pengaruh kemaksiatan-kemaksiatan terhadap muncul-nya
kelemahan, dan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang akan membahayakan
semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Inilah kondisi terbaik yang jika ada
akan terasa benar-benar indah.
2) Di saat yang sama, kami
katakan bahwa jihad tidak ditunda dengan alasan melaksanakan I‘dad Imani
–meskipun jihad bisa ditunda karena pertimbangan I‘dad materiil ketika dalam
kondisi lemah—khususnya apabila jihad menjadi fardhu ‘ain.
Yang paling spesifik dari
kondisi-kondisi jihad fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki negeri kaum
muslimin, dan inilah kondisi kebanyakan negeri Islam hari ini. Maka jihad
seperti ini fardhu ‘ain dan mendesak sekali untuk segera dilaksanakan. Menunda
jihad seperti ini berdampak kepada bahaya dan kerusakan. Fitnah apakah yang
lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menganeksasi tanah air Kaum
Muslimin, mereka paksakan hukum kafir dan berusaha merusak Kaum Muslimin dan menggoyahkan
agama mereka dengan berbagai tipudaya.
Maka siapa yang mengatakan
jihad melawan mereka ini harus ditunda sampai tarbiyah orang yang ingin
berjihad itu siap, maka ia tidak mengerti bahwa sarana penghancur itu lebih banyak
daripada sarana membangun,
وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حِتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا
“Dan mereka tidak
henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari
agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka mampu.” [Al-Baqoroh:
217]
وَلَنْ
تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Dan kaum yahudi dan nashrani
tidak akan pernah rela kepada kalian sampai kalian ikuti agama mereka.” [Al-Baqoroh:
120]
Ia juga tidak mengerti bahwa
orang-orang kafir tidak akan membiarkan sarana apapun yang merealisasikan
tarbiyah dengan baik. Alloh ta‘ala berfirman:
وَلَوْ
لَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَ بِيَعٌ
وَصَلَوَاتٌ وَ مَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللهِ كَثِيْرًا وَ لَيَنْصُرَنَّ
اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَرِيٌّ عَزِيْزٌ
“Dan sekiranya Alloh tidak
menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi
dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Asma Alloh. Sesungguhnya
Alloh pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh
benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” [Al-Hajj: 40]
Kalau Alloh ta‘ala tidak
menolak orang-orang kafir melalui orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, tidak
akan tersisa lagi tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh Swt.
Oleh
karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah mensifati para mujahid dengan
kata-katanya:
“Mereka mengorbankan nyawa
demi kecintaan kepada Alloh dan menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan
melawan musuh-musuh-Nya. Mereka adalah teman bagi siapa saja yang menjaganya,
mendapat pahala amalan-amalan yang mereka kerjakan dengan pedang-pedangnya
meskipun mereka bermalam di rumah masing-masing. Mereka mendapatkan pahala orang
yang beribadah kepada Alloh dengan jihad dan penaklukan-penaklukan yang mereka
lakukan, karena merekalah yang menjadi sebab dari semua itu. Sang Pembuat
Syari‘at telah menjadikan adanya sebab itu sama dengan pelakunya dalam hal
pahala dan dosa.
Oleh karena itu, penyeru
kepada petunjuk dan penyeru kepada kesesatan masing-masing mendapatkan balasan
seperti yang mengikutinya, sebab dia menjadi penyebab.” [Thoriqul
Hijrotain terbitan Al-Maktab Al-‘Ilmiyyah 1403 H
hal. 355]
3) Jika kaum muslimin telah
menyelesaikan I‘dad materi sesuai kemampuan, “Dan siapkanlah kekuatan yang
engkau mampu…” [Al-Anfal: 60] diiringi perkiraan bisa
menang, maka wajib melaksanakan jihad dan tidak boleh menundanya dengan alasan
menyempurnakan I‘dad Imani. Artinya, jika dalam kondisi lemah, harus melakukan
dua I‘dad sekaligus, i‘dad iman dan
materi. Maka siapa yang berusaha melakukan I‘dad
imani dengan meninggalkan I‘dad materi, ia telah
berbuat dosa karena meninggalkan hal yang diperintahkan “Dan
siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…” [Al-Anfal:
60]
4( I‘dad Imani wajib dilatih
dalam setiap tahapan sebelum memasuki tahapan jihad dan ketika tengah
melaksanakannya. Sebab amar makruf nahi munkar adalah sifat yang harus ada
dalam diri kaum muslimin sebelum dan setelah memperoleh kekuasaan (tamkin) di
muka bumi. Sementara tarbiyah terbaik adalah yang dilakukan ketika jihad
berlangsung, sebab biasanya dalam kondisi tersebut manusia dekat dengan Alloh
ta‘ala.
Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam sendiri selalu memberikan pengarahan di saat beliau melakukan
jihad dan tidak ada seorangpun mengatakan jihad ditunda sampai tarbiyah
sempurna.
Di antara bentuk tarbiyah itu
adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Alloh, sesungguhnya aku
berlepas diri dari apa yang dilakukan Kholid bin Walid.” [HR.
Bukhori]
Juga sabda beliau kepada
sariyah Abdulloh bin Hudzafah:
“Kalau mereka memasukinya
(masuk ke dalam api, lantaran dikomando pemimpinnya seperti itu, penerj.),
mereka tidak akan pernah keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam
perkara yang makruf.”
[HR. Bukhori]
Juga sabda Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid, “Apakah engkau
membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaaha illallooh?” [Muttafaq
‘Alaih]
Demikian juga dengan sabda
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar: “Sesungguhnya engkau
adalah orang yang di dalam dirimu ada perkara jahiliyyah.” [HR.
Bukhori]
Juga sabda beliau dalam salah
satu peperangan:
“Sesungguhnya Alloh
benar-benar menguatkan din ini dengan orang yang jahat.” [HR.
Bukhori]
Demikian juga, dulu terjadi
peristiwa menyebarnya berita bohong (haditsul Ifki) setelah selesai dari suatu peperangan.
Beliau kemudian melaksanakan hukuman had qodzaf (cambukan
sebanyak 80 kali)
terhadap beberapa tentara dalam perang tersebut. Bahkan di antara mereka
merupakan veteran perang Badar, yaitu Misthoh bin Utsatsah. Di antara mereka
juga ada penyair Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Hassan bin Tsabit. [Lihat
Fathul Bari juz VIII hal. 478-479]
Oleh karena itu, bisa saja
ada orang yang sempurna dan baik serta mendapat jaminan masuk jannah namun terjerumus
ke dalam dosa besar, seperti Mishthoh bin Utsatsah dan Hathib bin Abi Balta‘ah
Radhiallahu ‘anhu.
Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Hatib:
“Bukankah dia adalah pengikut
Badar? Engkau tidak tahu, barangkali Alloh melihat hati mereka kemudian berfirman:
‘Kerjakanlah sesuka kalian, Aku telah wajibkan surga bagi kalian.” [HR.
Bukhori hadits 6936]
Ibnu Hajar berkata, “Meski seseorang
mencapai derajat kesholehan seperti apapun dan mendapat jaminan masuk surga, ia
tetaplah tidak ma‘shum) dari terjerumus ke dalam dosa. Sebab Hathib termasuk
orang yang Alloh wajibkan surga baginya, namun ia melakukan perbuatan sampai
sejauh itu.” [Fathul Bari juz.
XII hal. 310]
Yang semisal dengan ini
sangatlah banyak. Jadi, tarbiyah iman dilatih di tengah-tengah jihad, namun
jihad tidak ditunda karena alasan itu. Sebab tarbiyah –sebagaimana sudah
dikemukakan—tidak akan berakhir kecuali dengan matinya seorang hamba, Alloh Swt
membolak-balikkan hati serta mengarahkannya sesuai kehendak-Nya.
5) Sifat adil bukanlah syarat
wajib jihad, dan orang fasik boleh berangkat berjihad jika ia seorang prajurti,
asalkan manfaatnya untuk jihad lebih besar daripada mafsadahnya, sebagaimana
diterangkan rinciannya di muka. Tidak diizinkan ikut bagi orang yang dalam
dirinya ada sifat gemar berbuat kerusakan atau berkhianat.
6) Sesungguhnya tidak buruk
jika dalam barisan kaum muslimin ada beberapa orang pelaku maksiat. Yang buruk adalah
membiarkan mereka dalam maksiatnya dan tidak memerintahkan mereka mentaati
Alloh ta‘ala, baik dengan cara menyuruh atau melarang, hal ini mengingat kesalahan
dan maksiat tidak akan pernah bisa lepas dari manusia.
Semasa hidupnya, Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melaksanakan hukuman zina dan qodzaf,
minum khomer, mencuri dan perampokan. Kaum munafikin juga ikut berperang
bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan tadi, tidak ada seorang pun yang
mengatakan:
‘Kita tidak akan berjihad
selama dalam barisan kita masih ada orang-orang bermaksiat dan munafik.’
Padahal, Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak datang satu hari kepada manusia kecuali hari setelahnya
lebih buruk daripada hari itu.” [HR. Bukhori]
Intinya, jika dalam satu
kelompok yang berjihad terdapat orang-orang yang bermaksiat, itu bukanlah alat pembenaran
untuk meninggalkan jihad bersama kelompok tersebut karena masih adanya para
pelaku maksiat dalam kelompok itu.
7) Jika tidak ada kelompok yang
diisyaratkan di atas (yaitu kelompok yang sholeh namun beranggotakan para
pelaku maksiat) dan tidak mungkin jihad dilakukan kecuali bersama orang ummiy
yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak kejahatannya, maka jihad bersama
mereka tetap wajib dilakukan –sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah—demi menolak
salah satu dari dua mafsadat yang lebih besar, yaitu mafsadat orang-orang
kafir. Dan inilah bentuk ketakwaan kepada Alloh sesuai kemampuan:
“Maka bertakwalah kalian
kepada Alloh semampu kalian.” [At-Taghobun: 16]
Sesungguhnya tidak ada
kerusakan yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menguasai negeri
kaum muslimin serta dampak yang ditimbulkan, seperti pemurtadan Kaum Muslimin
secara paksa yang mengenai hampir seluruh umat Islam –selain yang dirahmati
Alloh, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang.
Alloh ta‘ala berfirman:
وَلَا
يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ
اسْتَطَاعُوا وَ مَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-henti-nya
memerangi kalian sampai mereka dapat mengemba-likan kalian dari agama kalian
(kepada kekufuran) jika mereka sanggup. Dan barangsiapa murtad di antara kalian
kemudian mati dalam keadaan kafir, maka sia-sialah amal perbuatannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka serta mereka kekal di
dalamnya.” [Al-Baqoroh:
217]
Jika seorang muslim berperang
bersama Amir yang jahat atau pasukan yang banyak kejahatannya, maka hendaknya
ia bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja
sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan; mentaati mereka dalam ketaatan dan
tidak mentaati mereka dalam kemaksiatan, serta terus memberikan nasehat kepada,
semoga dengan itu Alloh ta‘ala memperbaikinya dengan itu.
Ibnu Taimiyah Rahimahulloh
berkata:
“Jika tidak memungkinkan
melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu dan jihad dan lain-lain kecuali dengan
orang yang dalam dirinya terdapat kebid‘ahan, yang bahayanya lebih rendah
daripada bahaya jika kewajiban itu ditinggalkan, maka meraih mashlahat dari
kewajiban yang diiringi kerusakan sedikit itu lebih baik daripada sebaliknya.
Oleh karena itu, perbincangan tentang hal ini terdapat perincian.” [Majmu‘
Fatawa (28/ 212)]
Asy-Syathibi berkata,
“Demikian juga jihad bersama
pemimpin yang jahat, para ulama menyatakan hal itu diperbolehkan. Malik berkata:
Jika itu ditinggalkan tentu berbahaya bagi kaum muslimin. Jadi jihad adalah
sangat penting, keberadaan pemimpin di dalamnya juga sangat urgen, sifat adil adalah
pelengkap dari yang urgen ini, sedangkan jika pelengkap dikembalikan kepada
yang pokok justeru bisa membatalkannya, maka pelengkap itu tidak dianggap.” [Al-Muwafaqot
(II/ 15)]
Abu Muhammad bin Hazm bahkan
memiliki perkataan sangat keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang
kafir bersama pemimpin jahat.
Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada dosa yang lebih
besar setelah kekufuran selain orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir
dan membiarkan kehormatan Kaum Muslimin diserahkan kepada mereka, hanya
lantaran kefasikan seorang Muslim yang mana orang lain belum tentu menganggap
kefasikannya itu.” [Al-Muhalla (VII/
300)]
Hanya perlu diketahui,
Pemimpin jahat yang diikuti dalam perang –jika memang tidak ada yang
lain—adalah Pemimpin yang kejahatannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan
tidak sampai kepada tingkat kekufuran.
Dari penjabaran tadi, Anda
tahu wahai saudaraku muslim, bahwa perkataan yang menyatakan kita tidak
berjihad sampai kita menuntut ilmu syar‘i atau sampai kita sempurnakan tarbiyah
keimanan dan mewajibkan hal itu kepada setiap muslim merupakan perkataan yang
berujung kepada pencabutan Islam hingga ke akarnya.
Sesungguhnya ilmu dan
tarbiyah adalah benar dan kami menyeru manusia kepada keduanya, tetapi dengan
catatan sebagai berikut:
a. Bahwa
keduanya –ilmu dan tarbiyah—bukan syarat wajibnya jihad. Maknanya, kita tidak
boleh melarang seseorang berjihad karena alasan ia belum mempelajari ilmu
tentang agamanya atau mensucikan jiwanya.
Allohumma, kecuali ilmu yang
bersifat fardhu ain khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari‘atkannya
jihad dan mengetahui bendera yang ia berperang di bawahnya.
b.
Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang sekarang dialami kaum muslimin
adalah jihad sebagaimana dalam hadits Tsauban secara marfu‘:
“Hampir-hampir umat-umat
mengeroyok kalian…dst”
Dan hadits Ibnu Umar secara
marfu‘:
“Jika kalian berjual beli
dengan ‘inah…dst” keduanya sudah kami jelaskan. Dan jihad ini menurut kami
adalah wajib atas sebagian besar kaum muslimin, khususnya jihad melawan
penguasa murtad. Dari sini, kami menganggap ilmu dan tarbiyah merupakan bagian
dari I‘dad (persiapan) menuju jihad, dalam rangka membentuk satu kelompok yang
berjihad di atas ilmu dan agama. Kami tidak menganggap ilmu dan tarbiyah tanpa
jihad sebagai jalan keluar.
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar