8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (3) - Ibnu Qudamah An Najdi


Syubhat Ketiga :
Apakah Sifat Adil Syarat Syubhat Termasuk Di Dalam Jihad?

Jawaban:

Kepada orang yang mengatakan bahwa kita tidak akan berjihad sampai kita penuhi tarbiyah iman dengan sempurna, kami ingin menanyakan dua pertanyaan:

Pertanyaan pertama: Apakah tujuan dari tarbiyah ini adalah sampai seorang muslim mencapai “keadilan syar‘i” ataukah martabat yang lebih tinggi lagi?

Pertanyaan kedua: Apakah keadilan termasuk syarat wajibnya jihad? Maknanya, seorang muslim tidak boleh berjihad sampai ia menyandang sifat adil? Dan apakah berarti kewajiban jihad gugur dari orang fasik?

Pertama kali, kami akan sebutkan definisi adil, kami katakan: Adil adalah lurusnya agama seorang Muslim. Ada juga yang berpendapat, orang adil adalah orang yang tidak meragukan. Tidak meragukan di sini terdiri dari dua perkara: Kesalehannya agama, yaitu menunaikan yang fardhu dan yang sunnah serta menghindari yang haram, tidak melakukan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil. Kedua, memenuhi muru’ah dengan melakukan perbuatan yang menjadikan dirinya baik dan memperbagus diri serta meninggalkan perkara yang membuat dirinya kotor dan jelek.” [Manârus Sabîl Syarhud Dalil cetakan Al-Maktab Al-Islâmî 1404 H juz II hal487, 488]

Kemudian kita sebutkan syarat wajib jihad –dan sudah saya sebutkan pada bagian yang lalu—yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki, selamat dari marabahaya, merdeka, adanya biaya, izin kedua orang tua serta orang yang berhutang. [Al-Mughnî was Syarhul Kabîr juz X hal. 366, 381, 384]

Ini dalam jihad fardhu kifayah. Adapun dalam jihad fardhu ain, maka syaratnya hanya lima syarat pertama saja. Sebagaimana Anda lihat sendiri, di sini sifat adil bukan termasuk syarat.

Kalau sudah jelas bahwa adil bukanlah syarat wajib jihad, secara otomatis gugur sudah perkataan orang yang mengatakan harus ada tarbiyah terlebih dahulu sampai seorang muslim mencapai derajat keadilan sebelum ia berjihad, selanjutnya gugur pulalah perkataan orang yang mensyaratkan adanya derajat keadilan yang lebih tinggi lagi.

Bahkan, para fuqoha menerangkan kebalikan dari itu, yaitu boleh minta bantuan orang fasik dan munafik dalam perang.

Asy-Syaukani berkata: “Dikatakan dalam Al-Bahr: ‘Dan diperbolehkan meminta bantuan kepada orang munafik berdasarkan ijma‘, sebagaimana ketika Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam meminta bantuan kepada Abdulloh bin Ubay dan para pengikutnya. Diperbolehkan juga meminta bantuan orang-orang fasik dalam menghadapi orang-orang kafir berdasarkan ijma‘. Boleh juga meminta tolong kepada para pemberontak (bughot) menurut kami, sebab ‘Ali Alaihis Salam melakukannya terhadap pasukan Al-Asy‘ats.” [Nailul Author juz 8 hal 44]

Dikatakan di dalam Al-Majmu‘: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam Ahkamul Qur’an: Jihad wajib tetap dijalankan bersama orang-orang fasik sebagaimana wajibnya bersama orang adil. Dan semua ayat yang mewajibkan jihad tidak membedakan apakah jihad itu dilakukan bersama orang fasik atau orang adil yang sholeh. Dan sesungguhnya ketika orang-orang fasik berjihad, status mereka adalah orang yang taat dengan jihad yang ia lakukan.” [Al-Majmu‘ Syarhul Muhadzdzab juz 19 hal. 279]

Ibnu Hazm berkata –setelah menyebutkan hadits: “Sesungguhnya Alloh menolong agama ini dengan kaum yang tidak memiliki nilai.” Dan hadits:  Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan agama ini dengan orang yang fajir.”—
Ia berkata: “Ini menunjukkan bolehnya meminta bantuan kepada kaum yang disebutkan sifatnya dalam hadits ini, untuk melawan orang-orang yang memerangi dan dalam melawan para pemberontak, mereka adalah orang-orang fajir dari kaum muslimin yang mereka itu tidak memiliki kedudukan.
Demikian juga, orang-orang fasik terkena kewajiban jihad dan terkena kewajiban untuk melawan para pemberontak sebagaimana orang mukmin yang baik. Tidak boleh melarang orang-orang fasik untuk berjihad, tetapi justeru bagaimana mengajak mereka kepadanya.” [Al-Muhalla juz 11 hal. 113, 114. S]

Ahlus Sunnah wal Jama‘ah memperbolehkan perang bersama Amir yang jahat dengan keterangan rincinya. Jika keluar berperang dengan orang jahat yang diikuti saja boleh (yaitu bersama Amir), maka keluar berperang bersama orang yang menjadi pengikut tentu lebih boleh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh panjang lebar menerangkan masalah ini. Di antara yang saya nukil di bab ketiga adalah kata-kata beliau:

“Jika kebetulan ada orang yang memerangi mereka dengan kriteria sempurna, maka itulah tujuan utama dalam mencapai keridhoan Alloh, memuliakan kalimat-Nya, menegakkan agama-Nya dan mentaati rosul-Nya. Namun jika ada yang terdapat dalam dirinya kejahatan dan niat yang rusak, yaitu ia berperang demi mendapatkan kepemimpinan atau berkelakuan melampaui batas dalam beberapa perkara kepada mereka, sementara kerusakan dari tidak diperanginya musuh lebih besar terhadap din daripada kerusakan memerangi mereka dengan kondisi seperti ini, maka yang wajib adalah tetap memerangi musuh demi menolak kerusakan yang lebih besar dengan melakukan kerusakan yang lebih kecil. Karena ini termasuk prinsip Islam yang harus diperhatikan.

Oleh sebab itu, di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama‘ah adalah berperang bersama orang baik maupun jahat. Sebab Alloh bakal menguatkan agama ini dengan orang jahat dan dengan kaum yang tidak memiliki nilai, sebagaimana dikhabarkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan juga, jika perang tidak berjalan kecuali dengan para pemimpin yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak terdapat kejahatannya, maka pasti akan terjadi dua kemungkinan: Perang tidak dijalankan bersama mereka sehingga pasti akan mengakibatkan fihak lain berkuasa, dan ini lebih besar bahayanya terhadap agama dan dunia; atau tetap berperang bersama pemimpin yang jahat sehingga tetap ada perlawanan terhadap kejahatan yang lebih besar dan kebanyakan syari‘at Islam tetap bisa ditegakkan meski tidak semuanya. Pilihan kedua inilah yang wajib dalam kondisi seperti ini atau kondisi apa saja yang semisal, bahkan kebanyakan perang pasca kekuasaan Khulafa’ur Rosyidin tidak terjadi kecuali seperti ini kondisinya...

hingga beliau Rahimahulloh berkata:

“Jika seseorang mengetahui jihad yang diperintahkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam akan dilaksanakan para pemimpin hingga hari kiamat dan mengetahui larangan beliau untuk membantu kezaliman orang yang dzalim, ia akan tahu bahwa jalan tengah yang merupakan ajaran Islam murni adalah berjihad bersama orang yang berhak diajak berjihad seperti kaum diperintahkan tadi, baik bersama pemimpin atau kelompok, mereka itu lebih layak terhadap Islam daripada mereka. Jika jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan cara itu, selama ia tidak membantu kelompok tempat ia bergabung dalam hal maksiat kepada Alloh, maka hendaknya ia mentaati mereka dalam ketaatan kepada Alloh dan tidak mentaati mereka dalam maksiat kepada-Nya, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam bermaksiat kepada sang Kholiq.

Inilah jalan yang ditempuh orang-orang terbaik umat ini, baik yang dulu atau sekarang. Itu juga kewajiban bagi setiap mukallaf. Inilah jalan pertengahan antara jalan kelompok Haruriyyah dan semisalnya yang menempuh jalan kehati-hatian rusak karena minimnya ilmu, dan jalan kelompok Murji’ah dan semisalnya yang mentaati pemimpin secara mutlak meskipun mereka bukan orang baik.” [Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 506-508]

Perkara ini adalah baku yang kemudian menjadi prinsip tertulis dalam masalah-masalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamâ‘ah, sebagaimana dinukil dari Syarah ‘Aqidah Thohawiyah dalam bab ketiga. Di antara yang disebutkan di sana adalah:

Haji dan jihad tetap berjalan bersama pemimpin Kaum Muslimin yang baik maupun yang jahat, hingga hari kiamat, tidak dibatalkan dan dihilangkan oleh apapun.” [Syarah Aqidah Thohawiyyah terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H, hal. 437]

Dari keterangan di atas, Anda bisa melihat bahwa jihad bersama orang fasik yang memimpin maupun yang menjadi pasukan adalah boleh berdasarkan ijma‘, bahkan wajib jika menolak orang-orang kafir tidak bisa dilakukan selain berjihad bersama orang-orang fasik, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah Rahimahulloh tadi.

Prinsip pokok dalam permasalahan ini adalah: jihad diperintahkan kepada orang-orang beriman, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيْكُكْ مِّنْ عَذَابٍ أَلِيْمٍ (10) تُؤْمِنُونَ بَاللهِ وَ رَسُولِهِ وَ تُجَاهِدُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَ أَنْفُسِكُمْ ذَلَكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (11) يَغْفِر لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَ يُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ

Hai orang-orang beriman, maukah Ku tunjukkan kepada kalian perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? Kalian beriman kepada Alloh dan rosul-Nya dan kalian berjihad di jalan Alloh dengan harta dan jiwa kalian. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui. Dia akan mengampuni dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga…” [Ash-Shoff: 10, 11, 12]

Dan ayat-ayat lainnya.

Ayat ini adalah perintah berjihad kepada kaum mukminin serta orang yang memiliki dosa-dosa: “Dia akan mengampuni dosa kalian…”

Ayat ini menunjukkan bahwa sudah terbiasanya seorang mukmin berbuat dosa tidak berarti menggugurkan perintah jihad darinya. Sedangkan orang fasik sebesar apapun dosanya, keimanan tetap tidak tercabut dari dalam dirinya secara total, sebab ia masih memiliki muthlaqul iman yang menjadikan ia harus menanggung beban syariat, meskipun ia tidak memiliki iman muthlaq (iman yang sempurna).

Berkumpulnya ketaatan dan kemaksiatan dalam diri seorang hamba adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jama‘ah. Ini diambil dari kaidah umum bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Seperti dalam riwayat Bukhori dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwasanya ada seorang lelaki di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bernama ‘Abdulloh, ia biasa dipanggil Himar, dia selalunya membuat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa. Pernah beliau mencambuknya lantaran minum khomer. Suatu hari ia datang kepada beliau kemudian diperintahkan agar dicambuk, maka ada seseorang yang mengatakan: “Ya Alloh, laknatlah dia. Betapa seringnya ia melakukan dosa.” Mendengar itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jangan kau laknat dia, demi Alloh engkau tidak tahu bahwa dia mencintai Alloh dan rosul-Nya.”

Inilah seorang shahabat, meskipun kemaksiatan yang ia lakukan yaitu minum khomer, namun ia masih memiliki nilai ketaatan berupa cinta kepada Alloh dan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dan kecintaan ini termasuk cabang iman terbesar, coba renungkan derajat kecintaan kepada Alloh dan rosul-Nya dalam ayat yang membatalkan delapan uzur jihad dalam surat At-Taubah: “Katakanlah jika bapak-bapak kalian …dst.” [At-Taubah: 24]

Selain itu, pelaku maksiat mendapatkan manfaat khusus dari jihad, yaitu bisa menghapus dosa-dosanya. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah Rahimahullah setelah mengkomentari ayat dalam surat Ash-Shoff tadi:

“Dan siapa yang banyak dosa, maka obat termanjurnya adalah jihad. Sesungguhnya Alloh ta‘ala mengampuni dosa-dosanya sebagaimana Alloh khabarkan dalam kitab-Nya: “Dia akan mengampuni dosa kalian…”

Dan barangsiapa ingin membebaskan diri dari barang haram dan ingin bertaubat sementara ia tidak bisa mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya, hendaknya ia infakkan di jalan Alloh dengan mengatasnamakan pemiliknya, sebab itulah cara yang baik untuk bisa terbebas darinya, ditambah lagi ia mendapat pahala jihad.” [Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 421, 422]

Dari penjelasan di atas, Anda tahu bahwa kefasikan tidak menggugurkan beban kewajiban jihad; orang fasik pun mendapatkan perintah berjihad secara syar‘i seperti orang adil yang sholeh.

Sudah disebutkan sebelumnya apa yang dinukil Asy-Syaukani mengenai kebolehan –bukan kewajiban—minta bantuan kepada orang fasik dan munafik berdasarkan ijma‘.

Jika itu jelas diperbolehkan, maka perkaranya dikembalikan kepada manfaat dan mafsadah yang ditimbulkan jika orang tersebut turut serta dalam berjihad; mana di antaranya keduanya yang lebih dominan maka itulah yang dijadikan patokan hukum. Artinya, jika turut sertanya orang fasik dalam berjihad itu lebih besar manfaatnya daripada mafsadatnya, ia dipersilahkan ikut. Namun jika sebaliknya, hukum pun sebaliknya (yaitu tidak boleh ikut serta).

Hal senada dikatakan oleh Ibnu Qudamah:
“Jangan sampai seorang komandan memilih shahabat seorang mukhodzil, yaitu orang yang menghambat manusia dari berperang. Jangan juga seorang murjif, yaitu orang yang mengatakan: ‘Pasukan kaum muslimin telah hancur, mereka tidak punya bala bantuan dan kekuatan melawan orang-orang kafir.’ Jangan juga memilih shahabat orang yang bersekongkol mencelakakan kaum muslimin dengan menjadi mata-mata untuk kepentingan orang-orang kafir, atau orang yang menimbulkan permusuhan antar kaum muslimin, dan jangan pula mengambil sahabat orang yang gemar berbuat kerusakan.” [Al-Mughni was Syarhul Kabir juz X hal 372]

Semua ini berpulang kepada firman Alloh ta‘ala:
Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.” [At-Taubah: 47]

Juga firman Alloh ta‘ala:

 Maka jika Alloh mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian minta izin kepadamu untuk keluar berperang maka katakan: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama, karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut perang.” [At-Taubah: 83]

Ringkasnya, orang yang memiliki karakter suka melemahkan dan merusak barisan atau berkhianat, tidak boleh diikutkan dalam jihad. Orang seperti ini kerusakan yang ditimbulkannya sangat besar meski di sana ada manfaat-manfaat.

Diperbolehkannya berjihad bersama pemimpin fasik dan pelaku maksiat –di mana manfaatnya lebih besar daripada kefasikan dirinya—, bukan berarti merupakan pembenaran dari kefasikan dan kemaksiatannya. Namun ia tetap harus diperintah kepada yang makruf dengan cara memberi pengajaran dan nasehat, serta dilarang dari yang mungkar dengan cara memberi peringatan dan hukuman. Ini maknanya adalah melatih tarbiyah iman di tengah berlangsungnya jihad.

Kita tidak katakan jihad ditunda sampai tarbiyah iman sempurna, sebab ini tidak akan selesai kecuali dengan datangnya kematian, sesuai firman Alloh ta‘ala:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنَ

“Dan beribadahlah kepada Robbmu sampai datang kepadamu keyakinan.”
[Al-Hijr: 99]

Keyakinan dalam ayat ini maksudnya adalah kematian sebagaimana dalam tafsirnya. Bisa saja ajal tiba sementara seorang hamba belum memperoleh nilai tarbiyah ini kecuali sedikit. Alloh ta‘ala berfirman:

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالْمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ

“Kemudian Kami wariskan Al-Kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada pula yang terlebih dahulu berbuat baik dengan izin Alloh.”
[Fathir: 32]

Inilah tingkatan-tingkatan iman pada diri pengikut Rosul dan para pewaris Al-Kitab.

Dari pemaparan di muka, mungkin bisa kita ringkas sebagai berikut:

1) I‘dad Imani (baca: tarbiyah) adalah wajib dan merupakan pilar utama kemenangan. Perincian hal ini sudah kita sampaikan di muka, khususnya mengenai pengaruh kemaksiatan-kemaksiatan terhadap muncul-nya kelemahan, dan maksiat yang dilakukan oleh sebagian orang akan membahayakan semuanya jika mereka tidak mengingkarinya. Inilah kondisi terbaik yang jika ada akan terasa benar-benar indah.

2) Di saat yang sama, kami katakan bahwa jihad tidak ditunda dengan alasan melaksanakan I‘dad Imani –meskipun jihad bisa ditunda karena pertimbangan I‘dad materiil ketika dalam kondisi lemah—khususnya apabila jihad menjadi fardhu ‘ain.

Yang paling spesifik dari kondisi-kondisi jihad fardhu ‘ain adalah ketika musuh menduduki negeri kaum muslimin, dan inilah kondisi kebanyakan negeri Islam hari ini. Maka jihad seperti ini fardhu ‘ain dan mendesak sekali untuk segera dilaksanakan. Menunda jihad seperti ini berdampak kepada bahaya dan kerusakan. Fitnah apakah yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menganeksasi tanah air Kaum Muslimin, mereka paksakan hukum kafir dan berusaha merusak Kaum Muslimin dan menggoyahkan agama mereka dengan berbagai tipudaya.

Maka siapa yang mengatakan jihad melawan mereka ini harus ditunda sampai tarbiyah orang yang ingin berjihad itu siap, maka ia tidak mengerti bahwa sarana penghancur itu lebih banyak daripada sarana membangun,

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حِتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

“Dan mereka tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka mampu.” [Al-Baqoroh: 217]


وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

“Dan kaum yahudi dan nashrani tidak akan pernah rela kepada kalian sampai kalian ikuti agama mereka.” [Al-Baqoroh: 120]

Ia juga tidak mengerti bahwa orang-orang kafir tidak akan membiarkan sarana apapun yang merealisasikan tarbiyah dengan baik. Alloh ta‘ala berfirman:

وَلَوْ لَا دَفْعُ اللهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَ بِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَ مَسَاجِدَ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللهِ كَثِيْرًا وَ لَيَنْصُرَنَّ اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَرِيٌّ عَزِيْزٌ

“Dan sekiranya Alloh tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nashrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut Asma Alloh. Sesungguhnya Alloh pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Alloh benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” [Al-Hajj: 40]

Kalau Alloh ta‘ala tidak menolak orang-orang kafir melalui orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, tidak akan tersisa lagi tempat yang layak untuk beribadah kepada Alloh Swt.

Oleh karena itu, Ibnul Qoyyim Rahimahullah mensifati para mujahid dengan kata-katanya:

“Mereka mengorbankan nyawa demi kecintaan kepada Alloh dan menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya dan melawan musuh-musuh-Nya. Mereka adalah teman bagi siapa saja yang menjaganya, mendapat pahala amalan-amalan yang mereka kerjakan dengan pedang-pedangnya meskipun mereka bermalam di rumah masing-masing. Mereka mendapatkan pahala orang yang beribadah kepada Alloh dengan jihad dan penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan, karena merekalah yang menjadi sebab dari semua itu. Sang Pembuat Syari‘at telah menjadikan adanya sebab itu sama dengan pelakunya dalam hal pahala dan dosa.

Oleh karena itu, penyeru kepada petunjuk dan penyeru kepada kesesatan masing-masing mendapatkan balasan seperti yang mengikutinya, sebab dia menjadi penyebab.” [Thoriqul Hijrotain terbitan Al-Maktab Al-‘Ilmiyyah 1403 H hal. 355]

3) Jika kaum muslimin telah menyelesaikan I‘dad materi sesuai kemampuan, “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…” [Al-Anfal: 60] diiringi perkiraan bisa menang, maka wajib melaksanakan jihad dan tidak boleh menundanya dengan alasan menyempurnakan I‘dad Imani. Artinya, jika dalam kondisi lemah, harus melakukan dua I‘dad sekaligus, i‘dad iman dan materi. Maka siapa yang berusaha melakukan I‘dad imani dengan meninggalkan I‘dad materi, ia telah berbuat dosa karena meninggalkan hal yang diperintahkan “Dan siapkanlah kekuatan yang engkau mampu…” [Al-Anfal: 60]

4( I‘dad Imani wajib dilatih dalam setiap tahapan sebelum memasuki tahapan jihad dan ketika tengah melaksanakannya. Sebab amar makruf nahi munkar adalah sifat yang harus ada dalam diri kaum muslimin sebelum dan setelah memperoleh kekuasaan (tamkin) di muka bumi. Sementara tarbiyah terbaik adalah yang dilakukan ketika jihad berlangsung, sebab biasanya dalam kondisi tersebut manusia dekat dengan Alloh ta‘ala.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri selalu memberikan pengarahan di saat beliau melakukan jihad dan tidak ada seorangpun mengatakan jihad ditunda sampai tarbiyah sempurna.

Di antara bentuk tarbiyah itu adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Ya Alloh, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Kholid bin Walid.” [HR. Bukhori]

Juga sabda beliau kepada sariyah Abdulloh bin Hudzafah:
“Kalau mereka memasukinya (masuk ke dalam api, lantaran dikomando pemimpinnya seperti itu, penerj.), mereka tidak akan pernah keluar selamanya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang makruf.” [HR. Bukhori]

Juga sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Usamah bin Zaid, “Apakah engkau membunuhnya setelah ia mengucapkan Laa ilaaha illallooh?” [Muttafaq ‘Alaih]

Demikian juga dengan sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Abu Dzar: “Sesungguhnya engkau adalah orang yang di dalam dirimu ada perkara jahiliyyah.” [HR. Bukhori]

Juga sabda beliau dalam salah satu peperangan:
“Sesungguhnya Alloh benar-benar menguatkan din ini dengan orang yang jahat.” [HR. Bukhori]

Demikian juga, dulu terjadi peristiwa menyebarnya berita bohong (haditsul Ifki) setelah selesai dari suatu peperangan. Beliau kemudian melaksanakan hukuman had qodzaf (cambukan sebanyak 80 kali) terhadap beberapa tentara dalam perang tersebut. Bahkan di antara mereka merupakan veteran perang Badar, yaitu Misthoh bin Utsatsah. Di antara mereka juga ada penyair Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Hassan bin Tsabit. [Lihat Fathul Bari juz VIII hal. 478-479]

Oleh karena itu, bisa saja ada orang yang sempurna dan baik serta mendapat jaminan masuk jannah namun terjerumus ke dalam dosa besar, seperti Mishthoh bin Utsatsah dan Hathib bin Abi Balta‘ah Radhiallahu ‘anhu.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang Hatib:
“Bukankah dia adalah pengikut Badar? Engkau tidak tahu, barangkali Alloh melihat hati mereka kemudian berfirman: ‘Kerjakanlah sesuka kalian, Aku telah wajibkan surga bagi kalian.” [HR. Bukhori hadits 6936]

Ibnu Hajar berkata, “Meski seseorang mencapai derajat kesholehan seperti apapun dan mendapat jaminan masuk surga, ia tetaplah tidak ma‘shum) dari terjerumus ke dalam dosa. Sebab Hathib termasuk orang yang Alloh wajibkan surga baginya, namun ia melakukan perbuatan sampai sejauh itu.” [Fathul Bari juz. XII hal. 310]

Yang semisal dengan ini sangatlah banyak. Jadi, tarbiyah iman dilatih di tengah-tengah jihad, namun jihad tidak ditunda karena alasan itu. Sebab tarbiyah –sebagaimana sudah dikemukakan—tidak akan berakhir kecuali dengan matinya seorang hamba, Alloh Swt membolak-balikkan hati serta mengarahkannya sesuai kehendak-Nya.

5) Sifat adil bukanlah syarat wajib jihad, dan orang fasik boleh berangkat berjihad jika ia seorang prajurti, asalkan manfaatnya untuk jihad lebih besar daripada mafsadahnya, sebagaimana diterangkan rinciannya di muka. Tidak diizinkan ikut bagi orang yang dalam dirinya ada sifat gemar berbuat kerusakan atau berkhianat.

6) Sesungguhnya tidak buruk jika dalam barisan kaum muslimin ada beberapa orang pelaku maksiat. Yang buruk adalah membiarkan mereka dalam maksiatnya dan tidak memerintahkan mereka mentaati Alloh ta‘ala, baik dengan cara menyuruh atau melarang, hal ini mengingat kesalahan dan maksiat tidak akan pernah bisa lepas dari manusia.

Semasa hidupnya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri melaksanakan hukuman zina dan qodzaf, minum khomer, mencuri dan perampokan. Kaum munafikin juga ikut berperang bersama beliau sebagaimana sudah dijelaskan tadi, tidak ada seorang pun yang mengatakan:

‘Kita tidak akan berjihad selama dalam barisan kita masih ada orang-orang bermaksiat dan munafik.’

Padahal, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tidak datang satu hari kepada manusia kecuali hari setelahnya lebih buruk daripada hari itu.” [HR. Bukhori]

Intinya, jika dalam satu kelompok yang berjihad terdapat orang-orang yang bermaksiat, itu bukanlah alat pembenaran untuk meninggalkan jihad bersama kelompok tersebut karena masih adanya para pelaku maksiat dalam kelompok itu.

7) Jika tidak ada kelompok yang diisyaratkan di atas (yaitu kelompok yang sholeh namun beranggotakan para pelaku maksiat) dan tidak mungkin jihad dilakukan kecuali bersama orang ummiy yang jahat, atau bersama pasukan yang banyak kejahatannya, maka jihad bersama mereka tetap wajib dilakukan –sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah—demi menolak salah satu dari dua mafsadat yang lebih besar, yaitu mafsadat orang-orang kafir. Dan inilah bentuk ketakwaan kepada Alloh sesuai kemampuan:

“Maka bertakwalah kalian kepada Alloh semampu kalian.” [At-Taghobun: 16]

Sesungguhnya tidak ada kerusakan yang lebih besar daripada ketika orang-orang kafir menguasai negeri kaum muslimin serta dampak yang ditimbulkan, seperti pemurtadan Kaum Muslimin secara paksa yang mengenai hampir seluruh umat Islam –selain yang dirahmati Alloh, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapenyayang.

Alloh ta‘ala berfirman:

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَ مَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خَالِدُونَ

“Mereka tidak henti-henti-nya memerangi kalian sampai mereka dapat mengemba-likan kalian dari agama kalian (kepada kekufuran) jika mereka sanggup. Dan barangsiapa murtad di antara kalian kemudian mati dalam keadaan kafir, maka sia-sialah amal perbuatannya di dunia dan akhirat. Dan mereka itu adalah penghuni neraka serta mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqoroh: 217]

Jika seorang muslim berperang bersama Amir yang jahat atau pasukan yang banyak kejahatannya, maka hendaknya ia bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak bekerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan; mentaati mereka dalam ketaatan dan tidak mentaati mereka dalam kemaksiatan, serta terus memberikan nasehat kepada, semoga dengan itu Alloh ta‘ala memperbaikinya dengan itu.

Ibnu Taimiyah Rahimahulloh berkata:
“Jika tidak memungkinkan melaksanakan kewajiban-kewajiban berupa ilmu dan jihad dan lain-lain kecuali dengan orang yang dalam dirinya terdapat kebid‘ahan, yang bahayanya lebih rendah daripada bahaya jika kewajiban itu ditinggalkan, maka meraih mashlahat dari kewajiban yang diiringi kerusakan sedikit itu lebih baik daripada sebaliknya. Oleh karena itu, perbincangan tentang hal ini terdapat perincian.” [Majmu‘ Fatawa (28/ 212)]

Asy-Syathibi berkata,
“Demikian juga jihad bersama pemimpin yang jahat, para ulama menyatakan hal itu diperbolehkan. Malik berkata: Jika itu ditinggalkan tentu berbahaya bagi kaum muslimin. Jadi jihad adalah sangat penting, keberadaan pemimpin di dalamnya juga sangat urgen, sifat adil adalah pelengkap dari yang urgen ini, sedangkan jika pelengkap dikembalikan kepada yang pokok justeru bisa membatalkannya, maka pelengkap itu tidak dianggap.” [Al-Muwafaqot (II/ 15)]

Abu Muhammad bin Hazm bahkan memiliki perkataan sangat keras terhadap orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin jahat.

Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada dosa yang lebih besar setelah kekufuran selain orang yang melarang jihad melawan orang-orang kafir dan membiarkan kehormatan Kaum Muslimin diserahkan kepada mereka, hanya lantaran kefasikan seorang Muslim yang mana orang lain belum tentu menganggap kefasikannya itu.” [Al-Muhalla (VII/ 300)]

Hanya perlu diketahui, Pemimpin jahat yang diikuti dalam perang –jika memang tidak ada yang lain—adalah Pemimpin yang kejahatannya itu hanya untuk dirinya sendiri dan tidak sampai kepada tingkat kekufuran.

Dari penjabaran tadi, Anda tahu wahai saudaraku muslim, bahwa perkataan yang menyatakan kita tidak berjihad sampai kita menuntut ilmu syar‘i atau sampai kita sempurnakan tarbiyah keimanan dan mewajibkan hal itu kepada setiap muslim merupakan perkataan yang berujung kepada pencabutan Islam hingga ke akarnya.

Sesungguhnya ilmu dan tarbiyah adalah benar dan kami menyeru manusia kepada keduanya, tetapi dengan catatan sebagai berikut:

a. Bahwa keduanya –ilmu dan tarbiyah—bukan syarat wajibnya jihad. Maknanya, kita tidak boleh melarang seseorang berjihad karena alasan ia belum mempelajari ilmu tentang agamanya atau mensucikan jiwanya.

Allohumma, kecuali ilmu yang bersifat fardhu ain khusus masalah jihad, seperti ilmu tentang disyari‘atkannya jihad dan mengetahui bendera yang ia berperang di bawahnya.

b. Sesungguhnya jalan keluar dari kehinaan yang sekarang dialami kaum muslimin adalah jihad sebagaimana dalam hadits Tsauban secara marfu‘:
Hampir-hampir umat-umat mengeroyok kalian…dst”

Dan hadits Ibnu Umar secara marfu‘:

Jika kalian berjual beli dengan ‘inah…dst” keduanya sudah kami jelaskan. Dan jihad ini menurut kami adalah wajib atas sebagian besar kaum muslimin, khususnya jihad melawan penguasa murtad. Dari sini, kami menganggap ilmu dan tarbiyah merupakan bagian dari I‘dad (persiapan) menuju jihad, dalam rangka membentuk satu kelompok yang berjihad di atas ilmu dan agama. Kami tidak menganggap ilmu dan tarbiyah tanpa jihad sebagai jalan keluar.

Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...