PARA IMAM
KEKUFURAN DI BARAT
B ertentangan dengan
kesalahpahaman yang dikenal luas, riddah (murtad) tidak khusus berarti beralih
dari menyebut dirinya Muslim kepada menyebut dirinya Yahudi, Kristen, Hindu,
Budha atau lainnya. Realitanya, hanya ada dua agama. Ada agama Allah, yaitu
Islam, dan agama selainnya, yaitu kufur. Allah Ta’ala berfirman, {SESUNGGUHNYA AGAMA DI SISI ALLAH HANYALAH ISLAM} [Āli 'Imrān: 19], dan ia berfirman, {Dan
barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi}
[Āli 'Imrān: 85].
Jadi apa pun yang bukan Islam bukanlah agama yang
dikehendaki Allah dan tidak akan pernah diterima. Sebaliknya, itu adalah agama
orang-orang yang merugi di akhirat, yaitu kufur, sebagaimana Allah katakan
tentang orang kāfir, {Pastilah mereka di akhirat nanti adalah orang-orang
yang merugi} [An-Nahl: 109].
Jadi, siapa pun yang jatuh ke dalam kekufuran maka telah
meninggalkan Islam, meskipun ia mengaku seorang Muslim. Ibnu Hazm berkata,
"Tidak ada agama kecuali Islam atau kufur; barangsiapa keluar dari salah
satu dari keduanya pasti memasuki yang lain, karena tidak ada di antara
keduanya" [Al-Fisal].
Orang yang menyebut dirinya "Muslim" namun
tanpa udzur melakukan kekufuran yang terang-terangan bukanlah seorang munāfiq,
seperti klaim sebagian orang. Bahkan, ia adalah orang murtad. Perbedaan antara nifāq
(kemunafikan) dan riddah adalah orang munāfiq menyembunyikan
kekufurannya dan secara terang-terangan menampakkan Islam, segera meminta maaf
jika kedoknya tersingkap. Orang murtad, di sisi lain, secara terang-terangan melakukan
kekufuran setelah memeluk Islam.
Hukum atas Riddah
Hukum seseorang yang melakukan Riddah adalah Dibunuh, kecuali ia
bertaubat sebelum tertangkap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengirim Mu'ādz bin
Jabal radhiallahu ‘anhu ke Yaman untuk membantu Abū Mūsā al-Asy'arī radhiallahu ‘anhu dalam mengatur manusia sesuai dengan Syarī'at. Ketika ia tiba di
majelis pengadilan, ia mendapati seorang pria diikat dengan rantai. Dia
bertanya kepada Abū Mūsā, "Siapa ini?" Dia menjawab, "Dia
seorang Yahudi yang masuk Islam kemudian menjadi Yahudi lagi. Duduklah." Mu'ādz
berkata, "Aku tidak akan duduk hingga ia dieksekusi. Itulah hukum Allah
dan Rasul-Nya! Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya! Itulah hukum Allah dan
Rasul-Nya!" Maka Abū Mūsā memberikan perintah dan dia dieksekusi [HR.
al-Bukhārī dan Muslim].
Pernyataannya yang diulang-ulang, bahwa
"Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya," adalah bukti yang jelas bahwa
hukuman bagi orang yang meninggalkan Islam setelah ia tertangkap adalah
dibunuh. Adapun untuk taubat sebelum tertangkap, maka Allah berfirman,
{Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka
sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah
mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah
kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat
ditolong"} [Az- Zumar: 53-54]. Begitu pula, dan khususnya tentang orang
murtad, Allah berfirman, {Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir
sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu benar-benar
rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak
menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat
Allah ditimpakan kepada mereka, dan laknat para malaikat dan manusia
seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan
tidaklah mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang bertaubat setelahnya
dan mengadakan perbaikan.
Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang} [Āl'Imrān: 87-89]. Maka tidaklah mengherankan bila Amīrul-Mu'minīn
Abu Bakr al-Baghdādī (hafidzahullāh) menyatakan bahwa setiap murtaddin dari
shahawāt atau lainnya yang bertaubat kepada Allah dan menyerahkan diri kepada
Daulah Islam akan dijamin pengampunan, bahkan jika mereka telah membunuh satu
juta mujāhidīn. Tapi mereka yang tertangkap sebelum bertaubat, maka tidak ada pengampunan
bagi mereka dan mereka akan mendapat hukuman yang menyakitkan dan fatal.
Contoh Sejarah
Selama kehidupan dan misi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kasus riddah muncul beberapa kali. Kasus yang paling terkenal adalah
orang-orang murtad dari 'Uklī-'Uranī. Beberapa orang dari suku 'Ukl dan
'Uraynah datang ke al-Madīnah, mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, dan
menyatakan keislaman mereka. Mereka kemudian berkata kepada beliau, "Wahai
Nabi Allah! Kami adalah orang perternakan, bukan orang pertanian,"
mengeluhkan penyakit yang mereka dapat di al-Madīnah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memesan untuk mereka unta-unta dan penggembala dan ia
memerintahkan mereka untuk keluar dari batas kota untuk meminum susu dan urin
unta (karena khasiat obatnya). Mereka berangkat, namun sesampainya mereka di
tepian area berbatu vulkanik, mereka
murtad setelah menyatakan keislaman mereka, membunuh penggembala milik Nabi,
dan membawa kabur unta-untanya. Kabar itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia mengirim pelacak untuk menemukan mereka. Setelah
mereka ditemukan, ia memerintahkan agar mata mereka dicukil dengan paku besi,
tangan dan kaki mereka dipotong, dan mereka dibiarkan di atas batuan vulkanik
mengemis meminta air, namun mereka tidak akan diberi air, sampai mereka mati
dalam kondisi itu [HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Anas Ibnu Mālik].
Kasus lain di zaman yang diberkahi itu
adalah Ibnu Khatal. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memasuki Makkah selama
penaklukannya, seorang pria datang kepadanya dan mengabarkan bahwa Ibnu Khatal
bergelantungan di tirai yang menutupi Ka'bah (isyarat yang melambangkan ia
mencari ampunan dari Muslim dengan memanfaatkan rasa hormat mereka pada
al-Haram), maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Bunuhlah dia" [HR. al-Bukhārī
dan Muslim dari Anas Ibnu Mālik]. Mengenai penaklukan Makkah, Ibnu Hazm
menulis, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keamanan kepada orang-orang (Makkah)
kecuali 'Abdul-'Uzzā Ibnu Khatal, 'Abdullāh Ibnu Sa'ad bin Abī Sarh, [dan
sebagin lainnya].
Adapun Ibnu Khatal - dan ia berasal dari
kabilah Taym al-Adram Ibnu Ghālib (dari Quraisy); ia masuk Islam dan dikirim
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang lelaki lain untuk
mengumpulkan zakāt; ia membunuh lelaki itu dan melakukan riddah, bergabung
kembali kepada musyrikīn - kemudian ia ditemukan pada hari al-Fath bergelantungan
pada tirai yang menutupi Ka'bah, sehingga Sa'īd Ibnu Hurayts al-Makhzūmī dan
AbūBarzah al-Aslamī membunuhnya [atas perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam]. Adapun 'Abdullāh Ibnu Sa'ad bin Abī Sarh [al-Qurasyī], maka
ia sebelumnya adalah juru tulis untuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam [setelah
masuk Islam], tapi kemudian melarikan diri kembali ke Makkah dan bersembunyi [murtad].
'Utsmān bin 'Affān, saudara susunya, membawanya ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta perlindungan untuknya. Beliau tetap diam untuk beberapa
saat, kemudian memberinya perlindungan dan menerima bai'atnya. Ketika ia pergi,
Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, 'Mengapa salah satu dari kalian tidak
berdiri dan menebas lehernya [yaitu ketika beliau diam]? Maka salah satu Anshār
berkata, 'Mengapa engkau tidak memberi isyarat (dengan mata) kepada salah
seorang dari kami untuk melakukannya?' Dia menjawab, 'Tidak layak bagi seorang
nabi untuk menipu dengan matanya'" [Jawāmi' as-Sīrah].
Jadi kita mendapati Ibnu Khatal yang,
walaupun dia mencari perlindungan di tempat paling suci di muka bumi, adalah
tidak diberi udzur atas kemurtadannya. Demikian juga, kasus Ibnu Abī Sarh menunjukkan
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin dia dieksekusi, karena ia tetap diam
mengharapkan salah satu dari sahabatnya akan menebas lehernya; dan ia hanya memberinya
udzur ketika tidak satupun dari mereka melakukannya. Ada contoh lain dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh murtaddin, seperti Miqyas bin
Subābah, jadi hukuman ini jelas ditetapkan di dalam Sunnah.
Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bangsa Arab dari berbagai
kabilah jatuh ke dalam kemurtadan. Masalah utamanya bukanlah mereka
kembali menyembah berhala, bukan pula mereka berhenti shalat. Bahkan, kebanyakan
dari mereka tetap menyebut diri mereka "Muslim" dan menegakkan
mayoritas aspek dari Syarī'at.
Namun, mereka menolak disertai dengan kekuatan
salah satu bagian dari Islam, yaitu rukun membayar zakāt. Jadi, mereka beriman
pada sebagian dari Kitab dan kafir pada sebagian lain. Allah berfirman, {Apakah
kamu beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidak
ada balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat}
[Al-Baqarah: 85]. Ketika bangsa Arab bersumpah untuk tidak membayar zakāt, khalīfah
Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddīq radhiallahu ‘anhu bersumpah untuk memerangi mereka.
Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu meriwayatkan, "Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar menjadi khalīfah beliau dan sebagian bangsa
Arab jatuh kepada kekufuran. 'Umar berkata kepada Abu Bakar, 'Bagaimana mungkin
kau akan memerangi manusia padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
'Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan, 'Lā
ilāha illallāh;' dan barangsiapa mengatakan, 'Lā ilāha illallāh,' maka terjaga
harta dan jiwanya dariku, kecuali karena haknya, dan perhitungannya terserah
kepada Allah.' Abu Bakar menjawab, 'Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara
shalat dan zakāt, karena zakāt adalah hak harta. Demi Allah, jika mereka menahan
'anāq [seekor kambing betina belum genap satu tahun] dariku yang biasa mereka
bayarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, aku akan
memerangi mereka karenanya.'
Umar mengatakan, 'Demi Allah, aku melihat bahwa
Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang, maka aku menyadari
itulah kebenaran'" [HR. al-Bukhārī dan Muslim]. Kelompok murtad lain dari
bangsa Arab, di saat masih mengakui kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengklaim adanya nabi lain setelah beliau, seperti Musailamah,
Sajāh, dan Tulaihah, maka meskipun menyebut diri mereka "Muslim" dan menerima
sebagian besar wahyu dari Allah kepada Rasul-Nya, darah mereka menjadi halāl
dan membunuh mereka menjadi wājib. Jadi, Hurūb ar-Riddah (Perang Kemurtadan)
dilaksanakan dan bahkan lebih diutamakan daripada memerangi musyrikīn Romawi dan
Persia. Juga diketahui bahwa kufur karena kemurtadan itu lebih buruk,
berdasarkan ijma', daripada kufur asli. Dengan demikian, memerangi orang-orang murtad
diutamakan dari memerangi kāfir asli.
Khulafā' ar-Rāsyidah yang lain tidak kalah
keras kepada murtaddīn. 'Ikrimah meriwayatkan bahwa 'Alī bin Abī Thālib radhiallahu ‘anhu membakar (sampai mati) beberapa pria yang murtad dari Islam,
lalu terdengar oleh Ibnu 'Abbās radhiallahu ‘anhu, yang berkata, "Kalau aku, maka aku
akan membunuh mereka karena sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
'Barangsispa merubah agamanya, maka bunuhlah,' tapi aku tidak akan membakar
mereka, karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Jangan menghukum dengan hukuman Allah.’ [1][HR.
al-Bukhārī].
[1] Yaitu, untuk menghukum seseorang dengan
membakar secara umum tidak diperbolehkan. Namun, menghukum seorang penjahat
yang telah membakar orang lain adalah perkara qishās [pembalasan setimpal],
yang diperbolehkan oleh Syarī’at. Para salaf juga membakar murtaddin yang
kemurtadannya parah agar mencegah yang lainnya. Untuk penjelasan lebih lanjut,
lihat Dābiq, edisi 7, “Pembakaran Pilot Murtad.”
Diriwayatkan pula bahwa al-Mustawrid bin
Qabīsah keluar dari Islam, menjadi Nashrani, dan dibawa kepada 'Alī bin Abī
Thālib, yang berkata kepadanya: "Apa ini yang telah aku dengar
tentangmu?" Dia berkata, "Apa yang telah kau dengar tentangku?" 'Alī
menjawab, "Aku telah mendengar bahwa kamu menjadi Nashrani."
Al-Mustawrid berkata, "Aku berada di atas agama al-Masīh," Lalu 'Alī
menanggapi, "Dan aku juga di atas agama al-Masīh. Apa yang kamu katakan
tentang dia?" Al-Mustawrid berkata, "Al-Masīh adalah Tuhanku."
'Alī lantas memerintahkan mereka yang hadir untuk menginjaknya, yang mereka
lakukan sampai ia mati [Diriwayatkan oleh ad-Dāraqutnī]. Pria lain, seorang
Nashrani yang masuk Islam dan kemudian murtad, dibawa kepada 'Alī Ibnu Abī
Thālib, yang kemudian memerintahkan agar leher si murtad itu ditebas [Diriwayatkan
oleh 'Abdur-Razzāq ash-Shan'ānī].
Hukuman mati bagi murtaddin tidak berakhir pada
khulafā’ dari para Sahābat. Contohnya al-Husain bin Mansūr, yang dikenal
sebagai al-Hallāj, yang mengadopsi penyimpangan ekstrim yang menyebabkan dirinya
mengaku ketuhanannya sendiri. Pada tahun 309H, Khalīfah ‘Abbāsīyah al-Muqtadir
memerintahkan agar dia ditangkap, dipenjara, dipukul, disiksa, dipotong-potong,
dan dipenggal. Tubuhnya dibakar menjadi abu, yang mereka buang ke sungai
Dijlah, dan kepalanya dipasang di jembatan Baghdad agar dilihat oleh semua
orang.
Pada tahun 406H, Ibnu Fūrak - seorang
pengajar Asy’arī – menemui ajalnya karena menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sebagai rasul ketika wafatnya, dan bahwa ruhnya menjadi
hampa dan musnah; sehingga menafikan setengah dari syahadat. Tampaknya untuk
menghindari protes keras dari masyarakat yang semakin bodoh yang tidak memahami
kesesatan Ibnu Fūrak, amir Mahmūd Ibn Subuktikīn meracuni dia sampai mati
ketika ia pergi dari Ghaznah untuk pulang ke rumahnya di Naysābūr.
Ketika menyebutkan mereka yang menafikan
keabadian risalah Nabi, Ibnu Hazm berkata, “Dalam kasus ini, amir Mahmūd bin
Subuktikīn, maulā dari Amīrul-Mu’minīn dan pemimpin Khurāsān radhiallahu ‘anhum, membunuh Ibnu Fūrak, syaikh dari Asy’ariyah. Semoga Allah bermurah
hati untuk memberi ganjaran kepada Mahmūd karenanya, dan semoga Allah melaknat
Ibnu Fūrak serta pendukung dan pengikutnya” [Al-Fisal].
Setelah jatuhnya Khilāfah ratusan tahun
yang lalu, Syarī’at tidak lagi diterapkan dengan sepenuhnya. Aspek-aspek
kekufuran merayap ke negeri-negeri Muslim melalui masuknya Sūfī dan Rāfidī.
Penyembahan kuburan menjadi tersebar luas dan kekuasaan Allah telah ditandingi
oleh raja-raja Turki, Persia, dan bahkan Arab. Orang-orang semacam si Sūfī Ibnu
‘Arabī, yang mengklaim bahwa Allah adalah segala sesuatu dan segala sesuatu
adalah Allah, dan Ibn Sab’īn, yang mengkritik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena telah bersabda, “Tidak ada nabi setelahku” [HR.
al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah], dibiarkan tak tersentuh oleh para
penguasa negeri Muslim, sementara ulama-ulama Islam yang murni – seperti Ibnu Taimiyyah
and Ibnu al-Burhān[2]– malah dipenjara karena membela agama. Bahkan
kemudian, mereka yang menyeru kepada kembalinya pemerintahan Islam secara penuh
dan kepada akidah yang benar malah digelari “Khawārij” dan diperangi oleh
mereka yang disebut penguasa “Muslim”. Sehingga hukuman bagi kemurtadan
dibiarkan tidak terlaksana di banyak kasus, sampai bangkitnya Khilāfah berkat rahmat
dari Allah, kemudian berkat usaha dari Daulah Islam.
[2] Ibnu al-Burhān adalah seorang 'ulama yang lahir pada tahun
754H dan wafat tahun 808H, yang terkenal karena perlawanannya kepada penguasa
Mamlūk, bersikeras untuk menunjuk imām dari Qurasyī.
Murtaddīn di Barat
Ketika didukung oleh 'aqidah yang benar,
dan Allah sebagai satu-satunya wali dan pelindung, umat Muslim mencapai
prestasi yang tidak mungkin diimpikan oleh umat lainnya. Saat wafatnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kabilah-kabilah Arab hampir seluruhnya
bersatu sedangkan semua jejak-jejak penyembahan berhala di wilayah itu hampir
terhapus, sebuah fenomena yang tidak dikenal oleh para sejarawan sebelum waktu
itu.
Dalam beberapa dekade, ribuan penggembala,
petani kurma, dan pedagang antar negeri – generasi terhebat, paling berilmu,
dan paling saleh dari umat ini – mengarungi Romawi dan Persia untuk menjadi pemimpin
atas negeri dan manusia dari Semenanjung Iberia hingga pegunungan Himalaya.
Kekuatan pendorongnya bukankah kekayaan; bukan pula penegakan kekuasaan pribadi
atau suku; itu tidak ada hubungannya dengan dunia yang ditaklukkan.
Sebaliknya, ialah Ākhirah - kehidupan yang
akan datang - yang mendorong umat Muslim mengerahkan semua kemampuan untuk
membuat ridha Rabb mereka, Sang Pencipta, Penguasa alam semesta,karena
kehidupan dunia ini, bahkan puncak kemegahan dan senda guraunya, akan selalu
menjadi penjara bagi orang mu`min.
Meskipun tentara salibis telah menjadi
musuh paling jelas bagi kaum muslimin selama seribu tahun terakhir, kita tidak
boleh lupa musuh asli dari Islam dan para pemeluknya. Syaitān, melalui
kelicikan dan pengalamannya dengan kekufuran, selalu mencoba untuk menyusupi
umat. Dengan bisikan dan sindirannya, ia membela Murji'ah, Qadariyyah, Rāfidah,
dan Sūfiyyah. Ingat bahwa ini adalah Iblis yang, bahkan setelah ia diturunkan,
mengakui bahwa Allah adalah Penciptanya, Rabbnya, Dzat yang memanjangkan hidup
dan menunda kematian, bahkan percaya akan Hari Kebangkitan, dan percaya pada
kekuasaan Allah dan kewajiban untuk menyembahnya dengan ikhlas semata, dan ia
tidak pernah menyebut dirinya seorang Yahudi atau Kristen. Allah menjelaskan
Iblīs yang berkata, {"Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau
ciptakan dari tanah"} [Al-A'rāf: 12], dan, {Dia berkata: "Ya Tuhanku,
beri tangguhlah aku hingga hari mereka dibangkitkan"} [Sād: 79], dan, {Dia
berkata: "Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka} [Sād: 82-83].
Meskipun semua penerimaan ini, ia kafir
saat ia menolak satu perintah Rabbnya. Dia mengetahui dengan sangat baik bahwa
untuk menyesatkan umat Islam, ia tidak perlu membuat mereka mengubah nama
mereka atau menolak agama secara keseluruhan – satu hukum saja sudah cukup –
dan para hamba yang ikhlas (mukhlis) di antara mereka, yaitu yang berserah diri
sepenuhnya kepada Allah, yang akan selamat.
Setelah bersekutu dengan Syaitān, negara
salibis juga belajar trik ini. Dan mereka tidak menemukan cara yang lebih baik
untuk mencapai tujuan ini daripada menyusupi umat ini dengan menggunakan orang-orang
munafiq dan murtad untuk kepentingan mereka, untuk memanfaatkan mereka melawan
umat Muslim yang sebenarnya, untuk mengubah keyakinan mereka dan cita-cita
mereka pada Ākhirah.
Dengan membuat mereka jatuh ke dalam
kekufuran, bahkan dengan menolak satu perintah Allah, mereka telah memastikan
bahwa mantan Muslim itu telah meninggalkan aliansi dengan Rabb mereka dan
bergabung ke dalam barisan Syaitān dan pasukannya. Dengannya, umat ini melemah
dan musuhnya semakin kuat.
Abad terakhir ini telah terlihat lonjakan
migrasi dari negeri yang dulunya mayoritas Muslim menuju negeri dengan
mayoritas musyrik, terutama di Barat. Bukannya mencari ridha Allah dengan
melancarkan jihād defensif di negeri mereka sendiri melawan musuh murtad
terdekat, para imigran malah mencari kenyamanan kehidupan dunia dengan hidup damai
di negeri yang menjadi musuh tertua dari Islam.
Sebagai akibat dari kelalaian mereka terhadap
kewajiban mereka dan paparan dengan kekufuran di Barat, identitas mereka telah
berubah. Anak-anak mereka mempelajari nilai-nilai dan keyakinan dari tanah air
baru mereka. Kekufuran liberalisme dan demokrasi telah tertanam dan generasi
baru dari "ulama" terlahir, yang menjadi bagian utama dari para imām
kekufuran di Barat.
Setelah menelan berabad-abad perpecahan umat,
para imām berbisa ini telah mempertahankan perpecahan mereka di atas Islam
sementara mereka bersatu di atas kepentingan Barat. Mereka didapati menyemburkan
slogan-slogan Sūfī dan "Salafī", menyeru kepada madzhab-madzhab dan "'ulamā'"
mereka, bahkan menafsirkan perkataan para 'ulama` yang mereka ketahui tentang
konsep tauhīd, jihād, walā', dan barā' agar sesuai dengan ideologi Barat.
Meskipun kekufuran mereka nampak jelas bagi orang yang mengenalnya bertahun-tahun
lalu, mereka menjadi lebih bersemangat dan terang-terangan dalam membela
salibis setelah Khilāfah telah ditegakkan kembali, bersatu dengan sekutu
pengusung salib mereka dalam peperangan global melawan Daulah Islam, satu-satunya
benteng hukum Syarī'at di muka bumi.
Dari kalangan Sūfī “mainstream,” dan
mungkin puncak dari kemurtadan di "Islam" ala Amerika, ialah Hamza
Yusuf. Menggunakan gelarnya sebagai "pencari ilmu" senior yang
berkeliling Afrika Barat dan Timur Tengah, belajar dari berbagai pengajar Sūfī-taqlīdi,
ia telah memperoleh pengikut untuk dirinya, memenuhi kepala dengan
pendapat-pendapat yang berdasarkan pada setengah kebenaran dan penafsiran
keliru dan menggunakan pidato semantik yang lebih mirip dengan sihir melalui
"kefasihan" yang bertele-tele daripada menggunakan pendidikan tradisional
yang sebenarnya (padahal ia mengklaim mendukungnya). Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya sebagian dari kefasihan adalah
sihir" [HR. al-Bukhārī dari Ibnu 'Umar dan Muslim dari 'Ammār bin Yāsir],
yaitu seorang penceramah mungkin terdengar berilmu di saat sebenarnya ia sedang
menyesatkan manusia dengan penggunaan ucapan-ucapan yang indah.
Ketika memuji konstitusi Amerika Serikat
serta perlindungannya terhadap "kebebasan," Hamza Yusuf baru-baru ini
berkata, "Saya percaya pada keistimewaan Amerika," yang pada dasarnya
adalah konsep bahwa Amerika adalah negara yang unggul dan harus membimbing
dunia dengan teladannya. Jadi tidak mengherankan bahwa ia diundang ke Gedung
Putih setelah serangan 11 September, menjadi penasehat Bush pada perang melawan
Muslim, sehingga menjadi penasehat Bush pada perang melawan Muslim, sehingga
menjadi tentara salib itu sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, {Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nashrani menjadi auliyā', sebagian
mereka adalah auliyā' bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa dari kamu mengambil
mereka sebagai auliyā', maka ia termasuk golongan mereka} [Al-Mā'idah: 51].
Ath-Thabarī berkata tentang āyat ini, "Maknanya bahwa barangsiapa bersekutu
dengan orang Yahudi dan Nashrani dengan meninggalkan orang-orang beriman, maka
ia termasuk dari mereka. Jadi barangsiapa bersekutu dengan mereka dan menolong
mereka memerangi orang-orang beriman, maka ia sebenarnya berasal dari agama
mereka dan golongan mereka" [at-Tafsīr].
Pada ujung lain dari spektrum "Sūfī
mainstream", ada lelucon al-Azhar, Suhaib Webb - disebut juga "Imām
Will" - yang telah menghabiskan karirnya untuk membuat nama untuk dirinya dan
mempermalukan dirinya sendiri sebagai imām seluruh Amerika. Mengadopsi aksen
kota dari bagian Selatan yang ditaburi kosakata dari kehidupan preman dan
rujukan budaya pop terbaru ketika menangani kalangan muda, ia dengan cepat
beralih ke suara yang biasa saat berbicara ke CNN dan media lainnya. Ia adalah seorang
"badut" dalam kebanyakan arti kata tersebut, namun secara mengejutkan
ia telah berhasil mengumpulkan sekelompok pengikut dan dipandang oleh banyak
pendukung salibis sebagai sebagai alat penting untuk menjinakkan pemuda Muslim
di Barat.
Menanggapi tāghūt Barack Obama yang
mendoakan umat Muslim untuk Ramadhān yang diberkahi, Suhaib Webb men-tweet,
"Obama membuatku bangga. Terima kasih, Pak. Presiden." Apakah
"imām" ini benar-benar merasa terhormat dengan pemimpin kāfirnya?
Apakah dia tidak tahu bahwa Allah berfirman, {Kabarkanlah kepada orang-orang munafiq
bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) mereka yang mengambil orang-orang
kafir sebagai auliya' dengan meninggalkan orang-orang mu`min. Apakah mereka
mencari kemuliaan di sisi orang kafir? Maka sesungguhnya semua kemuliaan milik
Allah} [An-Nisā': 138-139]? Dengan mengetahui hal ini dan bahwa ia mengagumi
Konstitusi sekuler Amerika dan tidak menentang pernikahan sodomi, mudah untuk dipahami
bahwa ia tidak lain hanyalah seorang murtad imām dari kekufuran.
Sūfi dari Suriah dan sekutu Inggris,
Muhammad al-Yaqoubi, mengatakan dalam sebuah wawancara, "Tidak ada pemerintahan
Islam yang sedang berperang dengan Inggris, mereka semua memiliki hubungan
diplomatik," ia merujuk kepada negara-negara anggota PBB yang rezim
murtadnya mengaku sebagai "Islami," meskipun mereka ditempa dengan
hukum-hukum yang berdasarkan kekafiran dan menolong salibis melawan Muslim. Dia
melanjutkan, "Jadi, serangan apapun terhadap warga negara atau kepentingan
Inggris dianggap sebagai tidak Islami dan terlarang dalam Syari'at,"
sehingga serangan apapun terhadap kepentingan pemerintah tāghūt - dan apa
kepentingan mereka yang lebih besar daripada menyebarkan kekufuran mereka -
adalah tidak Islami dan dilarang menurut al-Yaqoubi. Dia mengawali pernyataan ini
dengan mengatakan, "Permusuhan terhadap negara tidak bisa dinyatakan oleh
individu atau kelompok."
Permusuhan, yang pada dasarnya berarti permusuhan
('adāwah) dan kebencian (baghdā'), adalah pondasi dari hubungan seorang Muslim
dengan semua orang kafir. Allah berfirman, {Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika
mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah
nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya
sampai kalian beriman kepada Allah saja"} [Al-Mumtahanah: 4]. Ibrāhīm dan mereka
yang bersamanya, yaitu seorang individu dan kelompoknya, menyatakan kebencian
dan permusuhan mereka, yaitu permusuhan, kepada kaum mereka, yang mencakup
pemerintahan para tetua dari komunitas mereka, yaitu sebuah negara. Itulah teladan
yang baik bagi umat Muslim, bukannya penipuan al-Yaqoubi.
Para pemimpin Sūfī lainnya di Barat
tidaklah berbeda, jika tidak malah lebih buruk dalam beberapa hal; seperti
Hisham Kabbani, pendiri tareqat Sufi Naqsybandi-Haqqani Amerika, yang membawa
ajaran tuannya yang telah mati Nazim al-Haqqani, seorang Jahmī Murji'ī ekstrim,
yang berarti ia tidak memiliki pengakuan atas kekufuran yang sebenarnya atau berbarā'
dari kuffār. Sebaliknya, ia dan para pelayannya sangat cepat bersekutu dengan
tāghūt yang akan mengizinkan mereka menyebarkan ajaran mereka dan mengambil
harta orang-orang bodoh untuk membiayai kemewahan mereka. Dia menulis
"fatwa" setebal 20 halaman tentang makna jihād, yang diterjemahkan ke
bahasa Arab dan didistribusikan oleh pasukan Amerika kepada warga sipil Irak
untuk mencegah mereka dari berjihad di jalan Allah. Orang seperti Kabbani
secara jelas digambarkan oleh Allah dalam firmannya, {Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya banyak dari orang alim Yahudi dan rahib Nashrani
benar-benar memakan harta manusia dengan bathil dan menghalang-halangi dari
jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahulah mereka akan siksa yang yang
pedih} [at-Di Taubah: 34].
Di sisi "Salafī", dan tidak
kurang berbahaya, terdapat sejumlah penyeru ke pintu Jahannam. Tidak terlalu
berbeda dari rekan Sūfī mereka, ulama jahat ini mengambil dan memelintir
riwayat 'ulamā terdahulu - apalagi āyāt dan hādīts - agar sesuai dengan versi agama
murtad mereka. Seringkali mengutip Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan
bahkan - meskipun belakangan ini lebih jarang, Muhammad bin 'Abdil Wahhāb,
mereka secara dusta menisbatkan diri merekasebagai pengikut setia di atas
manhaj Salaf.
Mengenai orang-orang murtad yang menolong orang-orang
kafir melawan umat Muslim, Ibnu Taimiyah berkata, "Muslim yang melakukan
kemurtadan hanya dalam sedikit hukum agama lebih buruk daripada seorang kāfir
yang bahkan belum menganut hukum-hukum itu. Seperti orang-orang yang menolak untuk
membayar zakāt dan lainnya yang diperangi oleh ash-Shiddīq. Tidak ada bedanya
apakah orang tersebut seorang ahli fiqh, penganut Sufi, seorang pengusaha,
seorang juru tulis, atau yang lainnya.
Semuanya masih lebih buruk daripada
suku-suku Turk [3] yang belum masuk agama dan terus memerangi Islam.
Sebenarnya, umat Muslim merasakan lebih banyak bahaya dari orang-orang [murtad]
daripada dari orang-orang yang, ketika mereka masuk Islam, berserah diri kepada
Islam dan hukumhukumnya, menjadi lebih taat kepada Allah dan Rasul-Nya daripada
mereka yang berpaling dari sebagian agama, namun tetap menjadi orang munafik di
sebagian lain, bahkan meski mereka mengklaim berilmu dan beragama" [Majmū'
al-Fatāwā].
[3] Di masa dan di negeri Ibnu Taimiyyah,
musuh utama bagi umat Muslim adalah suku-suku yang berasal dari Turk.
Ibnu Qayyim berkata, "Allah telah
menghukumi - dan tidak ada yang lebih baik dari hukum-Nya - bahwa siapapun yang
mengambil orang Yahudi dan Nashrani sebagai auliyā', maka ia termasuk dari golongan
mereka. {Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi auliyā', maka
sesungguhnya ia termasuk golongan mereka} [Al-Mā'idah: 51].Jadi jika mereka
adalah auliyā' mereka berdasarkan teks al-Qur'an, maka mereka memiliki hukum
umum yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah barangsiapa mengambil mereka
sebagai auliyā' dan masuk ke agama mereka setelah memeluk Islam, maka ia tidak
dibiarkan begitu saja dan jizyah tidak diterima darinya. Sebaliknya, ia harus
memilih antara Islam atau pedang, karena ia adalah orang murtad berdasarkan
dalil dan ijma'" [Ahkām Ahlidz-Dzimmah].
Muhammad bin 'Abdil-Wahhāb berkata, "Ketahuilah
bahwa dalil-dalil untuk menyatakan takfīr kepada orang yang nampak sebagai
Muslim namun melakukan syirik atau berbaris dengan musy-rikīn untuk melawan
muwahhidīn, meskipun dia tidak melakukan syirik, terlalu banyak untuk disebutkan,
sebagaimana didapati dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya, dan
perkataan-perkataan semua ahli ilmu" [Ad-Durar As-Saniyyah].
Taufique Chowdhury dari Australia adalah
contoh utama dari tren baru "Salafī"-salibis. Di akhir tahun 1429H,
ia menyampaikan pidato berjudul, "Ulama Muslim: Sekutu Alami Barat Dalam
Memerangi Momok Terorisme." Selain menyatakan secara terang-terangan untuk
mengambil Barat (salibis) sebagai sekutu melawan teroris (Muslim), Tawfique
dengan bangga mengakui bahwa pidato tersebut disampaikan tidak lain kepada
pertemuan "pemimpin tinggi anti-terorisme dan ahli pencegahan
ekstremisme."
Allah berfirman, {Janganlah orang-orang
mu`min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (sekutu) dengan meninggalkan
orang-orang mu'min, dan siapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari (pertolongan)
Allah} [Āli 'Imrān: 28]. Ath-Thabarī menjelaskan bahwa maknanya, "Dia
berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya, karena kemurtadannya dan
masuknya ia ke dalam kekufuran."
Yasir Qadhi, juru bicara
"Salafī"-beralih-"Pembaharu" untuk masyarakat Barat yang
telah menyeru pengikutnya untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum kāfir,
menerbitkan sebuah artikel yang ia beri judul, "Seorang Kebanggaan,
Patriotik, Pelaksana Syariah Amerika." Sebagaimana tulisan dan ceramahnya
yang lain, Yasir menekankan cintanya kepada Amerika Serikat dan pengingkarannya
terhadap apa pun dan siapa pun yang melawan cita-cita Amerika. Dia mengatakan,
"Konstitusi tanah airku - Amerika Serikat - mengamanatkan pemisahan gereja
dan negara. Umat Muslim Amerika dan aku mengerti, menghargai dan mendukung
sepenuhnya amanat itu." Dia menutup, memohon pada parlemen Amerika, meminta,
"agar kami diizinkan untuk hidup di bawah hukum negeri ini." Allah Ta’ala berfirman,
{Apakah hukum jāhiliyyah mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik
daripada Allah dalam hukum bagi orang-orang yang yakin?} [Al-Mā'idah:
50].
Teman dan rekan sekutu Saudi-nya, Waleed Basyouni,
telah menyatakan bahwa pergi ke Suriah untuk berjihad di jalan Allah adalah
haram, sehingga mengharāmkan apa yang Allah wājibkan. Orang Jamaika sekutu
Kanada, Bilal Philips, telah - seperti orang murtad lain yang telah disebutkan
- memelintir dan mengubah makna āyāt dan hādīts untuk menjauhkan umat Islam
dari jihād, menuduh setiap kelompok yang berjihad melawan tawāghīt dan salibis
sebagai "Khawārij."
Dia malah bersikeras agar umat Muslim
menggunakan institusi yang dibangun oleh pemerintahan tāghūt untuk
memperjuangkan perubahan "Islami". Orang Kanada lainnya, Abdullah
Hakim Quick membela negaranya dan menyatakan bela sungkawanya kepada tentara
Kanada yang dibunuh oleh Muslim.
Semua orang di atas telah memfokuskan
aliansi mereka pada tawāghīt dalam memerangi Daulah Islam. Dengan mengetahui
bahwa setiap keberhasilan dalam menjatuhkan Daulah Islam tidak diragukan lagi
berakibat Syarī'at akan ditukar dan digantikan dengan hukum kufur, maka
memerangi Daulah Islam sama saja dengan kekufuran itu sendiri - karena bahkan bughāt[4]
tidak ditemukan di mana pun. Jadi bagaimana dengan seseorang yang bersekutu
dengan kuffār untuk menyerang satu-satunya Pemerintahan Muslim sejati di bumi?
Telah ditetapkan bahwa orang yang menolong pembunuh untuk membunuh korbannya adalah
sama-sama bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Hal ini seperti perkataan
Ibnu Taimiyah, "Jika Salaf menyebut mereka yang menolak untuk membayar
zakāt sebagai murtad, sementara mereka berpuasa dan shalat dan tidak melawan
umat Muslim, maka bagaimana dengan orang yang bergabung dengan musuh Allah dan
Rasul-Nya dalam membunuh umat Muslim?!" [Majmū' al-Fatāwā].
[4] Bughat
adalah Muslim yang memerangi penguasa Muslim yang sah. Namun jika mereka
membantu kuffār asli atau murtaddin melawan umat Muslim atau menentang
penerapan hukum-hukum Syarī’at, mereka bukanlah bughāt namun murtaddin,
sebagaimana faksi-faksi "Islami" di Syām.
Lalu ada sejumlah pengklaim manhaj
"Salafī-Jihādī", di antaranya adalah yang berbasis di London Abū
Bashīr at-Tartūsī. Ketika pengumuman ekspansi Daulah Islam ke Syām, dan
selanjutnya pengkhianatan Jaulānī, gambaran mengenai manhaj Abū Bashīr yang
sebenarnya menjadi jelas. Menanggapi pengumuman tersebut, salah satu keluhan
utama dari konsekuensinya adalah setelah semua pengorbanan yang dilakukan
rakyat Suriah dalam "revolusi" mereka sendiri, seorang Iraqi akan
memimpin rakyat Suriah.
Selain nasionalismenya dan kebodohannya
terhadap kekuasaan orang-orang Iraqi dari Khilāfah 'Abbāsīyah selama
berabad-abad di Syām, ia juga menyerukan untuk berhenti memerangi murtaddīn di
Yaman untuk menjaga revolusi nasionalis, dan menyeru mujāhidīn Libya untuk
menyerahan senjata mereka kepada pemerintah tāghūt baru yang ia anggap sah. Dia
bahkan mendukung pemungutan suara dalam pemilihan presiden syirkī di Mesir! Terakhir,
seseorang tidak seharusnya mengabaikan salibis yang terang-terangan, mereka
yang bahkan tidak mengenakan jubah dakwah, bahkan langsung terjun ke dalam
politik dan menegakkan hukum kufur, seperti (di Amerika) Mohamed Elibiary, Arif
alikhan, Rashad Hussain, Keith Ellison, Huma Abedin, dll. dan (di Inggris)
Muhammad Abdul Bari, Sayeeda Warsi, Waqar Azmi, Sajid Javid, Ajmal Masroor, dan
politisi aktif murtad lainnya.
Kesimpulan
Bagaimana mungkin Muslim yang tinggal di
Barat yang mengaku berserah diri kepada Allah, hanya menerima hukum-Nya semata,
berdiri diam ketika para imām kekufuran ini terus menyebarkan racun mereka dari
atas mimbar? Bagaimana mungkin para imām kekufuran tetap di bawah perlindungan
musuh-musuh Allah, sementara tentara-tentara-Nya mampu berjalan dengan mudah di
antara mereka? Bagaimana, padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman {Jika mereka merusak sumpahnya
sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para
pemimpin kekufuran itu, karena sesungguhnya mereka itu tidak memiliki janji
(keamanan), supaya mereka berhenti} [at-Taubah: 12].
Bagaimana, saat mengetahui bahwa
orang-orang murtad telah bergabung kepada golongan Syaithān, berperang - bahkan
jika dengan ucapan mereka – di jalan tāghūt? Ini tidak merugikan golongan Allah
sedikitpun, bahkan, sunnah Allah adalah melalui kemurtadan ini, ia akan mendatangkan
lelaki yang Dia cintai dan ia mencintai-Nya untuk berperang di jalan-Nya. Dia
berfirman, {Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu
murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, bersikap lemah lembut kepada
orang mukmin dan keras terhadap orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak
takut kepada celaan orang yang suka mencela} [Al-Mā'idah: 54]. Dan
seperti yang Allah firmankan, {Ketahuilah, sesungguhnya golongan Syaithān
itulah yang merugi} [Al-Mujādilah: 19], Dia juga berfirman, {Ketahuilah,
sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung} [Al-Mujādilah: 22].
Kedua kubu semakin terlihat berbeda.
Orang-orang yang membela kalimat kekufuran di satu sisi dan pembela kalimat
Allah di sisi lain. Dalam zaman yang gelap seperti ini, setiap Muslim harus
berhati-hati dan memastikan ia berada di kubu yang benar. Ini adalah
benar-benar rahmat dari Allah atas umat ini bahwa Dia telah memberi kita
petunjuk yang jelas di mana kita bisa menemukan kubu kebenaran. Dia berfirman,
{Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta
dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar}
[Al-Hujurāt: 15].Dan Dia memerintahkan, {Hai orang-orang yang beriman bertakwalah
kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar} [at-Taubah:
119].
Jadi kita harus memalingkan mata kita dari mereka
yang duduk-duduk dari jihād di jalan Allah untuk menegakkan hukum Allah di muka
bumi, dan melihat kepada mereka yang sesuai dengan firman Allah, {Orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan} [Al-Hajj: 41].
Kita harus melakukan salah satu dari pergi ke dār al-Islām, bergabung dengan
barisan mujāhidīn di sana, atau berjihād sendiri dengan sarana yang ada (pisau,
pistol, bahan peledak, dll.) untuk membunuh tentara salibis dan orang-orang
kafir dan murtad, termasuk para imām kekufuran, untuk membuat contoh dari
mereka, karena semua dari mereka adalah boleh - lebih tepatnya, wajib - dibunuh
berdasarkan Syarī'at, kecuali mereka yang secara terbuka bertaubat dari
kekufuran sebelum mereka ditangkap.
Source: DABIQ 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar