8/10/2019

PARA IMAM KEKUFURAN DI BARAT


PARA IMAM KEKUFURAN DI BARAT
B ertentangan dengan kesalahpahaman yang dikenal luas, riddah (murtad) tidak khusus berarti beralih dari menyebut dirinya Muslim kepada menyebut dirinya Yahudi, Kristen, Hindu, Budha atau lainnya. Realitanya, hanya ada dua agama. Ada agama Allah, yaitu Islam, dan agama selainnya, yaitu kufur. Allah Ta’ala berfirman, {SESUNGGUHNYA AGAMA DI SISI ALLAH HANYALAH ISLAM} [Āli 'Imrān: 19], dan ia berfirman, {Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi} [Āli 'Imrān: 85]. 

Jadi apa pun yang bukan Islam bukanlah agama yang dikehendaki Allah dan tidak akan pernah diterima. Sebaliknya, itu adalah agama orang-orang yang merugi di akhirat, yaitu kufur, sebagaimana Allah katakan tentang orang kāfir, {Pastilah mereka di akhirat nanti adalah orang-orang yang merugi} [An-Nahl: 109].

Jadi, siapa pun yang jatuh ke dalam kekufuran maka telah meninggalkan Islam, meskipun ia mengaku seorang Muslim. Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada agama kecuali Islam atau kufur; barangsiapa keluar dari salah satu dari keduanya pasti memasuki yang lain, karena tidak ada di antara keduanya" [Al-Fisal]. 

Orang yang menyebut dirinya "Muslim" namun tanpa udzur melakukan kekufuran yang terang-terangan bukanlah seorang munāfiq, seperti klaim sebagian orang. Bahkan, ia adalah orang murtad. Perbedaan antara nifāq (kemunafikan) dan riddah adalah orang munāfiq menyembunyikan kekufurannya dan secara terang-terangan menampakkan Islam, segera meminta maaf jika kedoknya tersingkap. Orang murtad, di sisi lain, secara terang-terangan melakukan kekufuran setelah memeluk Islam.

Hukum atas Riddah
Hukum seseorang yang melakukan Riddah adalah Dibunuh, kecuali ia bertaubat sebelum tertangkap. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim Mu'ādz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ke Yaman untuk membantu Abū Mūsā al-Asy'arī radhiallahu ‘anhu dalam mengatur manusia sesuai dengan Syarī'at. Ketika ia tiba di majelis pengadilan, ia mendapati seorang pria diikat dengan rantai. Dia bertanya kepada Abū Mūsā, "Siapa ini?" Dia menjawab, "Dia seorang Yahudi yang masuk Islam kemudian menjadi Yahudi lagi. Duduklah." Mu'ādz berkata, "Aku tidak akan duduk hingga ia dieksekusi. Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya! Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya! Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya!" Maka Abū Mūsā memberikan perintah dan dia dieksekusi [HR. al-Bukhārī dan Muslim].

Pernyataannya yang diulang-ulang, bahwa "Itulah hukum Allah dan Rasul-Nya," adalah bukti yang jelas bahwa hukuman bagi orang yang meninggalkan Islam setelah ia tertangkap adalah dibunuh. Adapun untuk taubat sebelum tertangkap, maka Allah berfirman, {Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong"} [Az- Zumar: 53-54]. Begitu pula, dan khususnya tentang orang murtad, Allah berfirman, {Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu benar-benar rasul, dan keterangan-keterangan pun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim. Mereka itu, balasannya ialah: bahwasanya laknat Allah ditimpakan kepada mereka, dan laknat para malaikat dan manusia seluruhnya, mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidaklah mereka diberi tangguh, kecuali orang-orang yang bertaubat setelahnya dan mengadakan perbaikan.

Karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [Āl'Imrān: 87-89]. Maka tidaklah mengherankan bila Amīrul-Mu'minīn Abu Bakr al-Baghdādī (hafidzahullāh) menyatakan bahwa setiap murtaddin dari shahawāt atau lainnya yang bertaubat kepada Allah dan menyerahkan diri kepada Daulah Islam akan dijamin pengampunan, bahkan jika mereka telah membunuh satu juta mujāhidīn. Tapi mereka yang tertangkap sebelum bertaubat, maka tidak ada pengampunan bagi mereka dan mereka akan mendapat hukuman yang menyakitkan dan fatal.

Contoh Sejarah
Selama kehidupan dan misi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kasus riddah muncul beberapa kali. Kasus yang paling terkenal adalah orang-orang murtad dari 'Uklī-'Uranī. Beberapa orang dari suku 'Ukl dan 'Uraynah datang ke al-Madīnah, mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyatakan keislaman mereka. Mereka kemudian berkata kepada beliau, "Wahai Nabi Allah! Kami adalah orang perternakan, bukan orang pertanian," mengeluhkan penyakit yang mereka dapat di al-Madīnah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memesan untuk mereka unta-unta dan penggembala dan ia memerintahkan mereka untuk keluar dari batas kota untuk meminum susu dan urin unta (karena khasiat obatnya). Mereka berangkat, namun sesampainya mereka di tepian area  berbatu vulkanik, mereka murtad setelah menyatakan keislaman mereka, membunuh penggembala milik Nabi, dan membawa kabur unta-untanya. Kabar itu sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia mengirim pelacak untuk menemukan mereka. Setelah mereka ditemukan, ia memerintahkan agar mata mereka dicukil dengan paku besi, tangan dan kaki mereka dipotong, dan mereka dibiarkan di atas batuan vulkanik mengemis meminta air, namun mereka tidak akan diberi air, sampai mereka mati dalam kondisi itu [HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Anas Ibnu Mālik].

Kasus lain di zaman yang diberkahi itu adalah Ibnu Khatal. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah selama penaklukannya, seorang pria datang kepadanya dan mengabarkan bahwa Ibnu Khatal bergelantungan di tirai yang menutupi Ka'bah (isyarat yang melambangkan ia mencari ampunan dari Muslim dengan memanfaatkan rasa hormat mereka pada al-Haram), maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Bunuhlah dia" [HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Anas Ibnu Mālik]. Mengenai penaklukan Makkah, Ibnu Hazm menulis, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keamanan kepada orang-orang (Makkah) kecuali 'Abdul-'Uzzā Ibnu Khatal, 'Abdullāh Ibnu Sa'ad bin Abī Sarh, [dan sebagin lainnya]. 

Adapun Ibnu Khatal - dan ia berasal dari kabilah Taym al-Adram Ibnu Ghālib (dari Quraisy); ia masuk Islam dan dikirim oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama seorang lelaki lain untuk mengumpulkan zakāt; ia membunuh lelaki itu dan melakukan riddah, bergabung kembali kepada musyrikīn - kemudian ia ditemukan pada hari al-Fath bergelantungan pada tirai yang menutupi Ka'bah, sehingga Sa'īd Ibnu Hurayts al-Makhzūmī dan AbūBarzah al-Aslamī membunuhnya [atas perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam]. Adapun 'Abdullāh Ibnu Sa'ad bin Abī Sarh [al-Qurasyī], maka ia sebelumnya adalah juru tulis untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam [setelah masuk Islam], tapi kemudian melarikan diri kembali ke Makkah dan bersembunyi [murtad]. 'Utsmān bin 'Affān, saudara susunya, membawanya ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta perlindungan untuknya. Beliau tetap diam untuk beberapa saat, kemudian memberinya perlindungan dan menerima bai'atnya. Ketika ia pergi, Rasulullah berkata kepada para sahabatnya, 'Mengapa salah satu dari kalian tidak berdiri dan menebas lehernya [yaitu ketika beliau diam]? Maka salah satu Anshār berkata, 'Mengapa engkau tidak memberi isyarat (dengan mata) kepada salah seorang dari kami untuk melakukannya?' Dia menjawab, 'Tidak layak bagi seorang nabi untuk menipu dengan matanya'" [Jawāmi' as-Sīrah]. 

Jadi kita mendapati Ibnu Khatal yang, walaupun dia mencari perlindungan di tempat paling suci di muka bumi, adalah tidak diberi udzur atas kemurtadannya. Demikian juga, kasus Ibnu Abī Sarh menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin dia dieksekusi, karena ia tetap diam mengharapkan salah satu dari sahabatnya akan menebas lehernya; dan ia hanya memberinya udzur ketika tidak satupun dari mereka melakukannya. Ada contoh lain dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh murtaddin, seperti Miqyas bin Subābah, jadi hukuman ini jelas ditetapkan di dalam Sunnah.

Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bangsa Arab dari berbagai  kabilah jatuh ke dalam kemurtadan. Masalah utamanya bukanlah mereka kembali menyembah berhala, bukan pula mereka berhenti shalat. Bahkan, kebanyakan dari mereka tetap menyebut diri mereka "Muslim" dan menegakkan mayoritas aspek dari Syarī'at. 

Namun, mereka menolak disertai dengan kekuatan salah satu bagian dari Islam, yaitu rukun membayar zakāt. Jadi, mereka beriman pada sebagian dari Kitab dan kafir pada sebagian lain. Allah berfirman, {Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat} [Al-Baqarah: 85]. Ketika bangsa Arab bersumpah untuk tidak membayar zakāt, khalīfah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shiddīq radhiallahu ‘anhu bersumpah untuk memerangi mereka. 

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, "Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar menjadi khalīfah beliau dan sebagian bangsa Arab jatuh kepada kekufuran. 'Umar berkata kepada Abu Bakar, 'Bagaimana mungkin kau akan memerangi manusia padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengatakan, 'Lā ilāha illallāh;' dan barangsiapa mengatakan, 'Lā ilāha illallāh,' maka terjaga harta dan jiwanya dariku, kecuali karena haknya, dan perhitungannya terserah kepada Allah.' Abu Bakar menjawab, 'Demi Allah, aku akan memerangi siapa pun yang memisahkan antara shalat dan zakāt, karena zakāt adalah hak harta. Demi Allah, jika mereka menahan 'anāq [seekor kambing betina belum genap satu tahun] dariku yang biasa mereka bayarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku akan memerangi mereka karenanya.'

Umar mengatakan, 'Demi Allah, aku melihat bahwa Allah telah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang, maka aku menyadari itulah kebenaran'" [HR. al-Bukhārī dan Muslim]. Kelompok murtad lain dari bangsa Arab, di saat masih mengakui kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengklaim adanya nabi lain setelah beliau, seperti Musailamah, Sajāh, dan Tulaihah, maka meskipun menyebut diri mereka "Muslim" dan menerima sebagian besar wahyu dari Allah kepada Rasul-Nya, darah mereka menjadi halāl dan membunuh mereka menjadi wājib. Jadi, Hurūb ar-Riddah (Perang Kemurtadan) dilaksanakan dan bahkan lebih diutamakan daripada memerangi musyrikīn Romawi dan Persia. Juga diketahui bahwa kufur karena kemurtadan itu lebih buruk, berdasarkan ijma', daripada kufur asli. Dengan demikian, memerangi orang-orang murtad diutamakan dari memerangi kāfir asli.

Khulafā' ar-Rāsyidah yang lain tidak kalah keras kepada murtaddīn. 'Ikrimah meriwayatkan bahwa 'Alī bin Abī Thālib radhiallahu ‘anhu membakar (sampai mati) beberapa pria yang murtad dari Islam, lalu terdengar oleh Ibnu 'Abbās radhiallahu ‘anhu, yang berkata, "Kalau aku, maka aku akan membunuh mereka karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Barangsispa merubah agamanya, maka bunuhlah,' tapi aku tidak akan membakar mereka, karena sabda Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam, 'Jangan menghukum dengan hukuman Allah.’ [1][HR. al-Bukhārī].

[1] Yaitu, untuk menghukum seseorang dengan membakar secara umum tidak diperbolehkan. Namun, menghukum seorang penjahat yang telah membakar orang lain adalah perkara qishās [pembalasan setimpal], yang diperbolehkan oleh Syarī’at. Para salaf juga membakar murtaddin yang kemurtadannya parah agar mencegah yang lainnya. Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat Dābiq, edisi 7, “Pembakaran Pilot Murtad.”

Diriwayatkan pula bahwa al-Mustawrid bin Qabīsah keluar dari Islam, menjadi Nashrani, dan dibawa kepada 'Alī bin Abī Thālib, yang berkata kepadanya: "Apa ini yang telah aku dengar tentangmu?" Dia berkata, "Apa yang telah kau dengar tentangku?" 'Alī menjawab, "Aku telah mendengar bahwa kamu menjadi Nashrani." Al-Mustawrid berkata, "Aku berada di atas agama al-Masīh," Lalu 'Alī menanggapi, "Dan aku juga di atas agama al-Masīh. Apa yang kamu katakan tentang dia?" Al-Mustawrid berkata, "Al-Masīh adalah Tuhanku." 'Alī lantas memerintahkan mereka yang hadir untuk menginjaknya, yang mereka lakukan sampai ia mati [Diriwayatkan oleh ad-Dāraqutnī]. Pria lain, seorang Nashrani yang masuk Islam dan kemudian murtad, dibawa kepada 'Alī Ibnu Abī Thālib, yang kemudian memerintahkan agar leher si murtad itu ditebas [Diriwayatkan oleh 'Abdur-Razzāq ash-Shan'ānī].

Hukuman mati bagi murtaddin tidak berakhir pada khulafā’ dari para Sahābat. Contohnya al-Husain bin Mansūr, yang dikenal sebagai al-Hallāj, yang mengadopsi penyimpangan ekstrim yang menyebabkan dirinya mengaku ketuhanannya sendiri. Pada tahun 309H, Khalīfah ‘Abbāsīyah al-Muqtadir memerintahkan agar dia ditangkap, dipenjara, dipukul, disiksa, dipotong-potong, dan dipenggal. Tubuhnya dibakar menjadi abu, yang mereka buang ke sungai Dijlah, dan kepalanya dipasang di jembatan Baghdad agar dilihat oleh semua orang.

Pada tahun 406H, Ibnu Fūrak - seorang pengajar Asy’arī – menemui ajalnya karena menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sebagai rasul ketika wafatnya, dan bahwa ruhnya menjadi hampa dan musnah; sehingga menafikan setengah dari syahadat. Tampaknya untuk menghindari protes keras dari masyarakat yang semakin bodoh yang tidak memahami kesesatan Ibnu Fūrak, amir Mahmūd Ibn Subuktikīn meracuni dia sampai mati ketika ia pergi dari Ghaznah untuk pulang ke rumahnya di Naysābūr.

Ketika menyebutkan mereka yang menafikan keabadian risalah Nabi, Ibnu Hazm berkata, “Dalam kasus ini, amir Mahmūd bin Subuktikīn, maulā dari Amīrul-Mu’minīn dan pemimpin Khurāsān radhiallahu ‘anhum, membunuh Ibnu Fūrak, syaikh dari Asy’ariyah. Semoga Allah bermurah hati untuk memberi ganjaran kepada Mahmūd karenanya, dan semoga Allah melaknat Ibnu Fūrak serta pendukung dan pengikutnya” [Al-Fisal].
Setelah jatuhnya Khilāfah ratusan tahun yang lalu, Syarī’at tidak lagi diterapkan dengan sepenuhnya. Aspek-aspek kekufuran merayap ke negeri-negeri Muslim melalui masuknya Sūfī dan Rāfidī. Penyembahan kuburan menjadi tersebar luas dan kekuasaan Allah telah ditandingi oleh raja-raja Turki, Persia, dan bahkan Arab. Orang-orang semacam si Sūfī Ibnu ‘Arabī, yang mengklaim bahwa Allah adalah segala sesuatu dan segala sesuatu adalah Allah, dan Ibn Sab’īn, yang mengkritik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena telah bersabda, “Tidak ada nabi setelahku” [HR. al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah], dibiarkan tak tersentuh oleh para penguasa negeri Muslim, sementara ulama-ulama Islam yang murni – seperti Ibnu Taimiyyah and Ibnu al-Burhān[2]– malah dipenjara karena membela agama. Bahkan kemudian, mereka yang menyeru kepada kembalinya pemerintahan Islam secara penuh dan kepada akidah yang benar malah digelari “Khawārij” dan diperangi oleh mereka yang disebut penguasa “Muslim”. Sehingga hukuman bagi kemurtadan dibiarkan tidak terlaksana di banyak kasus, sampai bangkitnya Khilāfah berkat rahmat dari Allah, kemudian berkat usaha dari Daulah Islam.

[2] Ibnu al-Burhān adalah seorang 'ulama yang lahir pada tahun 754H dan wafat tahun 808H, yang terkenal karena perlawanannya kepada penguasa Mamlūk, bersikeras untuk menunjuk imām dari Qurasyī.

Murtaddīn di Barat
Ketika didukung oleh 'aqidah yang benar, dan Allah sebagai satu-satunya wali dan pelindung, umat Muslim mencapai prestasi yang tidak mungkin diimpikan oleh umat lainnya. Saat wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kabilah-kabilah Arab hampir seluruhnya bersatu sedangkan semua jejak-jejak penyembahan berhala di wilayah itu hampir terhapus, sebuah fenomena yang tidak dikenal oleh para sejarawan sebelum waktu itu.

Dalam beberapa dekade, ribuan penggembala, petani kurma, dan pedagang antar negeri – generasi terhebat, paling berilmu, dan paling saleh dari umat ini – mengarungi Romawi dan Persia untuk menjadi pemimpin atas negeri dan manusia dari Semenanjung Iberia hingga pegunungan Himalaya. Kekuatan pendorongnya bukankah kekayaan; bukan pula penegakan kekuasaan pribadi atau suku; itu tidak ada hubungannya dengan dunia yang ditaklukkan.

Sebaliknya, ialah Ākhirah - kehidupan yang akan datang - yang mendorong umat Muslim mengerahkan semua kemampuan untuk membuat ridha Rabb mereka, Sang Pencipta, Penguasa alam semesta,karena kehidupan dunia ini, bahkan puncak kemegahan dan senda guraunya, akan selalu menjadi penjara bagi orang mu`min.
Meskipun tentara salibis telah menjadi musuh paling jelas bagi kaum muslimin selama seribu tahun terakhir, kita tidak boleh lupa musuh asli dari Islam dan para pemeluknya. Syaitān, melalui kelicikan dan pengalamannya dengan kekufuran, selalu mencoba untuk menyusupi umat. Dengan bisikan dan sindirannya, ia membela Murji'ah, Qadariyyah, Rāfidah, dan Sūfiyyah. Ingat bahwa ini adalah Iblis yang, bahkan setelah ia diturunkan, mengakui bahwa Allah adalah Penciptanya, Rabbnya, Dzat yang memanjangkan hidup dan menunda kematian, bahkan percaya akan Hari Kebangkitan, dan percaya pada kekuasaan Allah dan kewajiban untuk menyembahnya dengan ikhlas semata, dan ia tidak pernah menyebut dirinya seorang Yahudi atau Kristen. Allah menjelaskan Iblīs yang berkata, {"Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah"} [Al-A'rāf: 12], dan, {Dia berkata: "Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku hingga hari mereka dibangkitkan"} [Sād: 79], dan, {Dia berkata: "Demi kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka} [Sād: 82-83].

Meskipun semua penerimaan ini, ia kafir saat ia menolak satu perintah Rabbnya. Dia mengetahui dengan sangat baik bahwa untuk menyesatkan umat Islam, ia tidak perlu membuat mereka mengubah nama mereka atau menolak agama secara keseluruhan – satu hukum saja sudah cukup – dan para hamba yang ikhlas (mukhlis) di antara mereka, yaitu yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, yang akan selamat.

Setelah bersekutu dengan Syaitān, negara salibis juga belajar trik ini. Dan mereka tidak menemukan cara yang lebih baik untuk mencapai tujuan ini daripada menyusupi umat ini dengan menggunakan orang-orang munafiq dan murtad untuk kepentingan mereka, untuk memanfaatkan mereka melawan umat Muslim yang sebenarnya, untuk mengubah keyakinan mereka dan cita-cita mereka pada Ākhirah.

Dengan membuat mereka jatuh ke dalam kekufuran, bahkan dengan menolak satu perintah Allah, mereka telah memastikan bahwa mantan Muslim itu telah meninggalkan aliansi dengan Rabb mereka dan bergabung ke dalam barisan Syaitān dan pasukannya. Dengannya, umat ini melemah dan musuhnya semakin kuat.

Abad terakhir ini telah terlihat lonjakan migrasi dari negeri yang dulunya mayoritas Muslim menuju negeri dengan mayoritas musyrik, terutama di Barat. Bukannya mencari ridha Allah dengan melancarkan jihād defensif di negeri mereka sendiri melawan musuh murtad terdekat, para imigran malah mencari kenyamanan kehidupan dunia dengan hidup damai di negeri yang menjadi musuh tertua dari Islam.

Sebagai akibat dari kelalaian mereka terhadap kewajiban mereka dan paparan dengan kekufuran di Barat, identitas mereka telah berubah. Anak-anak mereka mempelajari nilai-nilai dan keyakinan dari tanah air baru mereka. Kekufuran liberalisme dan demokrasi telah tertanam dan generasi baru dari "ulama" terlahir, yang menjadi bagian utama dari para imām kekufuran di Barat.

Setelah menelan berabad-abad perpecahan umat, para imām berbisa ini telah mempertahankan perpecahan mereka di atas Islam sementara mereka bersatu di atas kepentingan Barat. Mereka didapati menyemburkan slogan-slogan Sūfī dan "Salafī", menyeru kepada madzhab-madzhab dan "'ulamā'" mereka, bahkan menafsirkan perkataan para 'ulama` yang mereka ketahui tentang konsep tauhīd, jihād, walā', dan barā' agar sesuai dengan ideologi Barat. Meskipun kekufuran mereka nampak jelas bagi orang yang mengenalnya bertahun-tahun lalu, mereka menjadi lebih bersemangat dan terang-terangan dalam membela salibis setelah Khilāfah telah ditegakkan kembali, bersatu dengan sekutu pengusung salib mereka dalam peperangan global melawan Daulah Islam, satu-satunya benteng hukum Syarī'at di muka bumi.

Dari kalangan Sūfī “mainstream,” dan mungkin puncak dari kemurtadan di "Islam" ala Amerika, ialah Hamza Yusuf. Menggunakan gelarnya sebagai "pencari ilmu" senior yang berkeliling Afrika Barat dan Timur Tengah, belajar dari berbagai pengajar Sūfī-taqlīdi, ia telah memperoleh pengikut untuk dirinya, memenuhi kepala dengan pendapat-pendapat yang berdasarkan pada setengah kebenaran dan penafsiran keliru dan menggunakan pidato semantik yang lebih mirip dengan sihir melalui "kefasihan" yang bertele-tele daripada menggunakan pendidikan tradisional yang sebenarnya (padahal ia mengklaim mendukungnya). Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya sebagian dari kefasihan adalah sihir" [HR. al-Bukhārī dari Ibnu 'Umar dan Muslim dari 'Ammār bin Yāsir], yaitu seorang penceramah mungkin terdengar berilmu di saat sebenarnya ia sedang menyesatkan manusia dengan penggunaan ucapan-ucapan yang indah.

Ketika memuji konstitusi Amerika Serikat serta perlindungannya terhadap "kebebasan," Hamza Yusuf baru-baru ini berkata, "Saya percaya pada keistimewaan Amerika," yang pada dasarnya adalah konsep bahwa Amerika adalah negara yang unggul dan harus membimbing dunia dengan teladannya. Jadi tidak mengherankan bahwa ia diundang ke Gedung Putih setelah serangan 11 September, menjadi penasehat Bush pada perang melawan Muslim, sehingga menjadi penasehat Bush pada perang melawan Muslim, sehingga menjadi tentara salib itu sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, {Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nashrani menjadi auliyā', sebagian mereka adalah auliyā' bagi sebagian yang lain. Dan barangsiapa dari kamu mengambil mereka sebagai auliyā', maka ia termasuk golongan mereka} [Al-Mā'idah: 51]. Ath-Thabarī berkata tentang āyat ini, "Maknanya bahwa barangsiapa bersekutu dengan orang Yahudi dan Nashrani dengan meninggalkan orang-orang beriman, maka ia termasuk dari mereka. Jadi barangsiapa bersekutu dengan mereka dan menolong mereka memerangi orang-orang beriman, maka ia sebenarnya berasal dari agama mereka dan golongan mereka" [at-Tafsīr].

Pada ujung lain dari spektrum "Sūfī mainstream", ada lelucon al-Azhar, Suhaib Webb - disebut juga "Imām Will" - yang telah menghabiskan karirnya untuk membuat nama untuk dirinya dan mempermalukan dirinya sendiri sebagai imām seluruh Amerika. Mengadopsi aksen kota dari bagian Selatan yang ditaburi kosakata dari kehidupan preman dan rujukan budaya pop terbaru ketika menangani kalangan muda, ia dengan cepat beralih ke suara yang biasa saat berbicara ke CNN dan media lainnya. Ia adalah seorang "badut" dalam kebanyakan arti kata tersebut, namun secara mengejutkan ia telah berhasil mengumpulkan sekelompok pengikut dan dipandang oleh banyak pendukung salibis sebagai sebagai alat penting untuk menjinakkan pemuda Muslim di Barat.

Menanggapi tāghūt Barack Obama yang mendoakan umat Muslim untuk Ramadhān yang diberkahi, Suhaib Webb men-tweet, "Obama membuatku bangga. Terima kasih, Pak. Presiden." Apakah "imām" ini benar-benar merasa terhormat dengan pemimpin kāfirnya? Apakah dia tidak tahu bahwa Allah berfirman, {Kabarkanlah kepada orang-orang munafiq bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) mereka yang mengambil orang-orang kafir sebagai auliya' dengan meninggalkan orang-orang mu`min. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir? Maka sesungguhnya semua kemuliaan milik Allah} [An-Nisā': 138-139]? Dengan mengetahui hal ini dan bahwa ia mengagumi Konstitusi sekuler Amerika dan tidak menentang pernikahan sodomi, mudah untuk dipahami bahwa ia tidak lain hanyalah seorang murtad imām dari kekufuran.

Sūfi dari Suriah dan sekutu Inggris, Muhammad al-Yaqoubi, mengatakan dalam sebuah wawancara, "Tidak ada pemerintahan Islam yang sedang berperang dengan Inggris, mereka semua memiliki hubungan diplomatik," ia merujuk kepada negara-negara anggota PBB yang rezim murtadnya mengaku sebagai "Islami," meskipun mereka ditempa dengan hukum-hukum yang berdasarkan kekafiran dan menolong salibis melawan Muslim. Dia melanjutkan, "Jadi, serangan apapun terhadap warga negara atau kepentingan Inggris dianggap sebagai tidak Islami dan terlarang dalam Syari'at," sehingga serangan apapun terhadap kepentingan pemerintah tāghūt - dan apa kepentingan mereka yang lebih besar daripada menyebarkan kekufuran mereka - adalah tidak Islami dan dilarang menurut al-Yaqoubi. Dia mengawali pernyataan ini dengan mengatakan, "Permusuhan terhadap negara tidak bisa dinyatakan oleh individu atau kelompok."

Permusuhan, yang pada dasarnya berarti permusuhan ('adāwah) dan kebencian (baghdā'), adalah pondasi dari hubungan seorang Muslim dengan semua orang kafir. Allah berfirman, {Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah. Kami ingkari kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja"} [Al-Mumtahanah: 4]. Ibrāhīm dan mereka yang bersamanya, yaitu seorang individu dan kelompoknya, menyatakan kebencian dan permusuhan mereka, yaitu permusuhan, kepada kaum mereka, yang mencakup pemerintahan para tetua dari komunitas mereka, yaitu sebuah negara. Itulah teladan yang baik bagi umat Muslim, bukannya penipuan al-Yaqoubi.

Para pemimpin Sūfī lainnya di Barat tidaklah berbeda, jika tidak malah lebih buruk dalam beberapa hal; seperti Hisham Kabbani, pendiri tareqat Sufi Naqsybandi-Haqqani Amerika, yang membawa ajaran tuannya yang telah mati Nazim al-Haqqani, seorang Jahmī Murji'ī ekstrim, yang berarti ia tidak memiliki pengakuan atas kekufuran yang sebenarnya atau berbarā' dari kuffār. Sebaliknya, ia dan para pelayannya sangat cepat bersekutu dengan tāghūt yang akan mengizinkan mereka menyebarkan ajaran mereka dan mengambil harta orang-orang bodoh untuk membiayai kemewahan mereka. Dia menulis "fatwa" setebal 20 halaman tentang makna jihād, yang diterjemahkan ke bahasa Arab dan didistribusikan oleh pasukan Amerika kepada warga sipil Irak untuk mencegah mereka dari berjihad di jalan Allah. Orang seperti Kabbani secara jelas digambarkan oleh Allah dalam firmannya, {Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak dari orang alim Yahudi dan rahib Nashrani benar-benar memakan harta manusia dengan bathil dan menghalang-halangi dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahulah mereka akan siksa yang yang pedih} [at-Di Taubah: 34].

Di sisi "Salafī", dan tidak kurang berbahaya, terdapat sejumlah penyeru ke pintu Jahannam. Tidak terlalu berbeda dari rekan Sūfī mereka, ulama jahat ini mengambil dan memelintir riwayat 'ulamā terdahulu - apalagi āyāt dan hādīts - agar sesuai dengan versi agama murtad mereka. Seringkali mengutip Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dan bahkan - meskipun belakangan ini lebih jarang, Muhammad bin 'Abdil Wahhāb, mereka secara dusta menisbatkan diri merekasebagai pengikut setia di atas manhaj Salaf.

Mengenai orang-orang murtad yang menolong orang-orang kafir melawan umat Muslim, Ibnu Taimiyah berkata, "Muslim yang melakukan kemurtadan hanya dalam sedikit hukum agama lebih buruk daripada seorang kāfir yang bahkan belum menganut hukum-hukum itu. Seperti orang-orang yang menolak untuk membayar zakāt dan lainnya yang diperangi oleh ash-Shiddīq. Tidak ada bedanya apakah orang tersebut seorang ahli fiqh, penganut Sufi, seorang pengusaha, seorang juru tulis, atau yang lainnya.

Semuanya masih lebih buruk daripada suku-suku Turk [3] yang belum masuk agama dan terus memerangi Islam. Sebenarnya, umat Muslim merasakan lebih banyak bahaya dari orang-orang [murtad] daripada dari orang-orang yang, ketika mereka masuk Islam, berserah diri kepada Islam dan hukumhukumnya, menjadi lebih taat kepada Allah dan Rasul-Nya daripada mereka yang berpaling dari sebagian agama, namun tetap menjadi orang munafik di sebagian lain, bahkan meski mereka mengklaim berilmu dan beragama" [Majmū' al-Fatāwā].

[3] Di masa dan di negeri Ibnu Taimiyyah, musuh utama bagi umat Muslim adalah suku-suku yang berasal dari Turk.

Ibnu Qayyim berkata, "Allah telah menghukumi - dan tidak ada yang lebih baik dari hukum-Nya - bahwa siapapun yang mengambil orang Yahudi dan Nashrani sebagai auliyā', maka ia termasuk dari golongan mereka. {Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi auliyā', maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka} [Al-Mā'idah: 51].Jadi jika mereka adalah auliyā' mereka berdasarkan teks al-Qur'an, maka mereka memiliki hukum umum yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah barangsiapa mengambil mereka sebagai auliyā' dan masuk ke agama mereka setelah memeluk Islam, maka ia tidak dibiarkan begitu saja dan jizyah tidak diterima darinya. Sebaliknya, ia harus memilih antara Islam atau pedang, karena ia adalah orang murtad berdasarkan dalil dan ijma'" [Ahkām Ahlidz-Dzimmah].

Muhammad bin 'Abdil-Wahhāb berkata, "Ketahuilah bahwa dalil-dalil untuk menyatakan takfīr kepada orang yang nampak sebagai Muslim namun melakukan syirik atau berbaris dengan musy-rikīn untuk melawan muwahhidīn, meskipun dia tidak melakukan syirik, terlalu banyak untuk disebutkan, sebagaimana didapati dalam firman Allah, sabda Rasul-Nya, dan perkataan-perkataan semua ahli ilmu" [Ad-Durar As-Saniyyah].

Taufique Chowdhury dari Australia adalah contoh utama dari tren baru "Salafī"-salibis. Di akhir tahun 1429H, ia menyampaikan pidato berjudul, "Ulama Muslim: Sekutu Alami Barat Dalam Memerangi Momok Terorisme." Selain menyatakan secara terang-terangan untuk mengambil Barat (salibis) sebagai sekutu melawan teroris (Muslim), Tawfique dengan bangga mengakui bahwa pidato tersebut disampaikan tidak lain kepada pertemuan "pemimpin tinggi anti-terorisme dan ahli pencegahan ekstremisme."

Allah berfirman, {Janganlah orang-orang mu`min mengambil orang-orang kafir menjadi wali (sekutu) dengan meninggalkan orang-orang mu'min, dan siapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah dia dari (pertolongan) Allah} [Āli 'Imrān: 28]. Ath-Thabarī menjelaskan bahwa maknanya, "Dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri darinya, karena kemurtadannya dan masuknya ia ke dalam kekufuran."

Yasir Qadhi, juru bicara "Salafī"-beralih-"Pembaharu" untuk masyarakat Barat yang telah menyeru pengikutnya untuk bekerja sama dengan aparat penegak hukum kāfir, menerbitkan sebuah artikel yang ia beri judul, "Seorang Kebanggaan, Patriotik, Pelaksana Syariah Amerika." Sebagaimana tulisan dan ceramahnya yang lain, Yasir menekankan cintanya kepada Amerika Serikat dan pengingkarannya terhadap apa pun dan siapa pun yang melawan cita-cita Amerika. Dia mengatakan, "Konstitusi tanah airku - Amerika Serikat - mengamanatkan pemisahan gereja dan negara. Umat Muslim Amerika dan aku mengerti, menghargai dan mendukung sepenuhnya amanat itu." Dia menutup, memohon pada parlemen Amerika, meminta, "agar kami diizinkan untuk hidup di bawah hukum negeri ini." Allah Ta’ala berfirman, {Apakah hukum jāhiliyyah mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik daripada Allah dalam hukum bagi orang-orang yang yakin?} [Al-Mā'idah: 50].

Teman dan rekan sekutu Saudi-nya, Waleed Basyouni, telah menyatakan bahwa pergi ke Suriah untuk berjihad di jalan Allah adalah haram, sehingga mengharāmkan apa yang Allah wājibkan. Orang Jamaika sekutu Kanada, Bilal Philips, telah - seperti orang murtad lain yang telah disebutkan - memelintir dan mengubah makna āyāt dan hādīts untuk menjauhkan umat Islam dari jihād, menuduh setiap kelompok yang berjihad melawan tawāghīt dan salibis sebagai "Khawārij."

Dia malah bersikeras agar umat Muslim menggunakan institusi yang dibangun oleh pemerintahan tāghūt untuk memperjuangkan perubahan "Islami". Orang Kanada lainnya, Abdullah Hakim Quick membela negaranya dan menyatakan bela sungkawanya kepada tentara Kanada yang dibunuh oleh Muslim.

Semua orang di atas telah memfokuskan aliansi mereka pada tawāghīt dalam memerangi Daulah Islam. Dengan mengetahui bahwa setiap keberhasilan dalam menjatuhkan Daulah Islam tidak diragukan lagi berakibat Syarī'at akan ditukar dan digantikan dengan hukum kufur, maka memerangi Daulah Islam sama saja dengan kekufuran itu sendiri - karena bahkan bughāt[4] tidak ditemukan di mana pun. Jadi bagaimana dengan seseorang yang bersekutu dengan kuffār untuk menyerang satu-satunya Pemerintahan Muslim sejati di bumi? Telah ditetapkan bahwa orang yang menolong pembunuh untuk membunuh korbannya adalah sama-sama bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Hal ini seperti perkataan Ibnu Taimiyah, "Jika Salaf menyebut mereka yang menolak untuk membayar zakāt sebagai murtad, sementara mereka berpuasa dan shalat dan tidak melawan umat Muslim, maka bagaimana dengan orang yang bergabung dengan musuh Allah dan Rasul-Nya dalam membunuh umat Muslim?!" [Majmū' al-Fatāwā].

[4] Bughat adalah Muslim yang memerangi penguasa Muslim yang sah. Namun jika mereka membantu kuffār asli atau murtaddin melawan umat Muslim atau menentang penerapan hukum-hukum Syarī’at, mereka bukanlah bughāt namun murtaddin, sebagaimana faksi-faksi "Islami" di Syām.

Lalu ada sejumlah pengklaim manhaj "Salafī-Jihādī", di antaranya adalah yang berbasis di London Abū Bashīr at-Tartūsī. Ketika pengumuman ekspansi Daulah Islam ke Syām, dan selanjutnya pengkhianatan Jaulānī, gambaran mengenai manhaj Abū Bashīr yang sebenarnya menjadi jelas. Menanggapi pengumuman tersebut, salah satu keluhan utama dari konsekuensinya adalah setelah semua pengorbanan yang dilakukan rakyat Suriah dalam "revolusi" mereka sendiri, seorang Iraqi akan memimpin rakyat Suriah.

Selain nasionalismenya dan kebodohannya terhadap kekuasaan orang-orang Iraqi dari Khilāfah 'Abbāsīyah selama berabad-abad di Syām, ia juga menyerukan untuk berhenti memerangi murtaddīn di Yaman untuk menjaga revolusi nasionalis, dan menyeru mujāhidīn Libya untuk menyerahan senjata mereka kepada pemerintah tāghūt baru yang ia anggap sah. Dia bahkan mendukung pemungutan suara dalam pemilihan presiden syirkī di Mesir! Terakhir, seseorang tidak seharusnya mengabaikan salibis yang terang-terangan, mereka yang bahkan tidak mengenakan jubah dakwah, bahkan langsung terjun ke dalam politik dan menegakkan hukum kufur, seperti (di Amerika) Mohamed Elibiary, Arif alikhan, Rashad Hussain, Keith Ellison, Huma Abedin, dll. dan (di Inggris) Muhammad Abdul Bari, Sayeeda Warsi, Waqar Azmi, Sajid Javid, Ajmal Masroor, dan politisi aktif murtad lainnya.

Kesimpulan
Bagaimana mungkin Muslim yang tinggal di Barat yang mengaku berserah diri kepada Allah, hanya menerima hukum-Nya semata, berdiri diam ketika para imām kekufuran ini terus menyebarkan racun mereka dari atas mimbar? Bagaimana mungkin para imām kekufuran tetap di bawah perlindungan musuh-musuh Allah, sementara tentara-tentara-Nya mampu berjalan dengan mudah di antara mereka? Bagaimana, padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman {Jika mereka merusak sumpahnya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin kekufuran itu, karena sesungguhnya mereka itu tidak memiliki janji (keamanan), supaya mereka berhenti} [at-Taubah: 12].

Bagaimana, saat mengetahui bahwa orang-orang murtad telah bergabung kepada golongan Syaithān, berperang - bahkan jika dengan ucapan mereka – di jalan tāghūt? Ini tidak merugikan golongan Allah sedikitpun, bahkan, sunnah Allah adalah melalui kemurtadan ini, ia akan mendatangkan lelaki yang Dia cintai dan ia mencintai-Nya untuk berperang di jalan-Nya. Dia berfirman, {Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, bersikap lemah lembut kepada orang mukmin dan keras terhadap orang kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela} [Al-Mā'idah: 54]. Dan seperti yang Allah firmankan, {Ketahuilah, sesungguhnya golongan Syaithān itulah yang merugi} [Al-Mujādilah: 19], Dia juga berfirman, {Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung} [Al-Mujādilah: 22].

Kedua kubu semakin terlihat berbeda. Orang-orang yang membela kalimat kekufuran di satu sisi dan pembela kalimat Allah di sisi lain. Dalam zaman yang gelap seperti ini, setiap Muslim harus berhati-hati dan memastikan ia berada di kubu yang benar. Ini adalah benar-benar rahmat dari Allah atas umat ini bahwa Dia telah memberi kita petunjuk yang jelas di mana kita bisa menemukan kubu kebenaran. Dia berfirman, {Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar} [Al-Hujurāt: 15].Dan Dia memerintahkan, {Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar} [at-Taubah: 119].

Jadi kita harus memalingkan mata kita dari mereka yang duduk-duduk dari jihād di jalan Allah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi, dan melihat kepada mereka yang sesuai dengan firman Allah, {Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan} [Al-Hajj: 41]. Kita harus melakukan salah satu dari pergi ke dār al-Islām, bergabung dengan barisan mujāhidīn di sana, atau berjihād sendiri dengan sarana yang ada (pisau, pistol, bahan peledak, dll.) untuk membunuh tentara salibis dan orang-orang kafir dan murtad, termasuk para imām kekufuran, untuk membuat contoh dari mereka, karena semua dari mereka adalah boleh - lebih tepatnya, wajib - dibunuh berdasarkan Syarī'at, kecuali mereka yang secara terbuka bertaubat dari kekufuran sebelum mereka ditangkap.


Source: DABIQ 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...