Syubhat Keempat:
Apakah
Persenjataan (Syaukah) Dan Kemampuan Menjadi Syarat Dalam Jihad Difa‘î ?
Jawaban:
Bahwasanya harus dibedakan
antara jihad tholab dan jihad difa‘. Pensyaratan adanya syaukah dan kemampuan untuk
wajibnya jihad adalah dalam jihad tholab. Adapun jihad difa‘, seperti ketika
musuh memerangi negeri kaum muslimin, yang wajib adalah melawan semampunya:
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun jihad defensif,
merupakan perlawanan terbesar terhadap serangan terhadap kehormatan dan agama, hukumnya
wajib menurut ijmak. Ketika aggressor datang, yang merusak agama dan dunia,
maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak disyaratkan
satu syarat pun, tetapi melawan semampunya.
Para ulama dari madzhab kami
dan yang lain menetapkan hal itu. Maka harus dibedakan antara menolak serangan orang
dzalim dan kafir dan antara menyerang mereka di negeri-nya.” [Al-Ikhtiyarot
Al-Fiqhiyyah Ibnu Taimiyyah hal. 309-310]
Beliau
berkata lagi,
“Adapun jika musuh hendak
menyerang Kaum Muslimin, maka melawannya menjadi wajib atas seluruh orang yang diserang.
Orang yang tidak diserang juga wajib membantu orang yang diserang, dan ini
wajib hukumnya sesuai kemampuan masing-masing, baik dengan jiwa atau hartanya,
baik sedikit atau banyak, berjalan atau berkendaraan. Sebagaimana ketika Kaum
Muslimin diserang musuh pada perang Khondaq. Alloh tidak mengizinkan seorang
pun meninggalkannya seperti dalam Perang Ofensif (menyerang musuh terlebih
dahulu), di mana dalam hal itu Alloh membagi Kaum Muslimin ada yang duduk dan
ada yang berangkat.” [Majmu‘ Fatawa (28/
358-359)]
Beliau berkata lagi,
“Dan perang difa‘ seperti
ketika jumlah musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu menghadapinya, akan
tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan menyerang orang-orang yang
ada di belakang mereka, maka dalam kondisi seperti ini pengikut madzhab kami menegaskan
mereka wajib mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang yang dikhawatirkan tadi,
dalam rangka menolak musuh sehingga mereka semua selamat.
Yang semisal adalah ketika
musuh menyerang negeri Islam sementara jumlah yang berperang tidak sampai
setengah jumlah musuh; jika mereka mundur musuh akan menyerang kehormatan, maka
yang seperti ini dan semisalnya adalah perang difa‘, bukan perang tholab.
Tidak diperbolehkan mundur
dalam kondisi apapun. Perang Uhud termasuk katagori perang seperti ini.” [Al-Ikhtiyarot
Al-Fiqhiyyah (hal. 311)]
Bahkan, dalam jihad tholab
sekalipun, syaukah dan kemampuan adalah syarat wajib, bukan syarat sah jihad.
Dalil-dalil dari apa yang kami sebutkan adalah:
a. Kisah ‘Ashim bin Tsabit
ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya sebagai pemimpin beberapa
orang shahabatnya ke ‘Adhol dan Al-Qoroh. Ketika itu ada + 100 pemanah untuk
menyerang mereka. Para pemanah itu mengepung Ashim dan para shahabatnya seraya mengatakan,
“Kalian mendapatkan sumpah dan janji, jika kalian mau turun menyerah kepada kami,
kami tidak akan membunuh seorangpun dari kalian.”
Maka Ashim berkata, “Adapun
saya, aku tidak akan turun dalam tanggungan orang kafir…” Akhirnya mereka
memerangi Ashim dan kawan-kawannya sampai tujuh orang dari mereka berhasil
membunuh Ashim dengan menggunakan lembing.”
[Dikeluarkan
Bukhori (3045), Abu Dawud (2660) dan Ahmad (II/ 294) dari hadits Abu Huroiroh]
Di sini tidak diragukan lagi
bahwa kemampuan Ashim dan shahabatnya tidak cukup untuk melawan 100 pemanah, padahal
sebenarnya mereka memiliki alternatif untuk meninggalkan perang. Namun demikian
Ashim Radhiallahu ‘anhum tidak mau mengambil pilihan kecuali memerangi mereka,
ia pun memerangi mereka sampai terbunuh.
b. Dalil lain adalah kisah
‘Amru bin Jamuh Radhiallahu ‘anhu, seorang lelaki pincang dan ia memiliki empat
anak seperti singa yang ikut serta dalam beberapa perang Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam.
Tatkala perang Uhud, mereka
ingin menahan ayahnya dan mengatakan, “Sesungguhnya Alloh telah memberi udzur kepadamu.”
Maka ia datang kepada
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, “Anak-anakku ingin
menahan aku dari kesempatan ini dan melarangku berangkat bersamamu. Demi Alloh,
aku benar-benar berharap bisa menginjakkan kakiku yang pincang ini di Jannah.”
Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda,
“Adapun engkau, Alloh telah
memberi udzur kepadamu, engkau tidak wajib berjihad.” Kemudian beliau bersabda kepada
anak-anaknya, “Janganlah kalian halangi dia, barangkali
Alloh akan memberikan kesyahidan kepadanya.”
Akhirnya
ia turut keluar bersama beliau hingga akhirnya terbunuh dalam perang Uhud.” [Sîroh
Ibnu Hisyâm (III/ 96)]
Dari
Abu Qotadah ia berkata: “Amru bin Jamuh datang kepada Rasulullah Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, apa pendapat tuan jika
aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan bisa berjalan
di Jannah dengan kakiku dalam keadaan sehat (normal)?” –kakinya memang pincang—
maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya.”
Akhirnya
ia terbunuh bersama keponakan serta maulanya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam melewatinya kemudian bersabda, “Seolah aku melihat ia sedang berjalan di
jannah dengan kakinya dalam keadaan sehat.”
Kemudian
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka berdua
berikut maulanya dijadikan dalam satu kubur. Mereka pun dikubur menjadi satu.”
[Dikeluarkan Ahmad (V/ 229)]
Petunjuk
yang ada pada kisah Amru bin Jamuh adalah bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam mengizinkan ia berperang meski ia dalam keadaan pincang yang mendapatkan
udzur berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, jadi dia sebenarnya tidak wajib
berperang.
c. Dalil lain
adalah kisah Salamah bin Al-Akwa‘ ketika ia menyergap Abdurrohman Al-Fazari dan
pasukannya untuk mengambil kembali kambing milik Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam yang mereka rampas. Salamah bin Al-Akwa‘ mengejar mereka sendirian,
ia terus melempari mereka dengan lembing hingga berhasil membebaskan apa yang
mereka rampas. Ia terus mengejar mereka sementara mereka lari dan mereka buang
apa yang mereka simpan, ia mengambil salab179 dari mereka lebih dari 30 burdah
dan 30 tombak.
Salamah
menuturkan: “…aku terus berada pada posisiku sampai akhirnya aku melihat
pekuda-pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di
celah-celah pohon.” Ia melanjutkan: “Ternyata yang paling depan adalah
Al-Akhrom Al-Asadi, disusul di belakangnya Abu Qotadah Al-Anshori.”
Salamah
melanjutkan, “Kemudian kupegang tali kekang kuda Al-Akhrom. Merekapun lari
mundur, aku katakan, “Wahai Akhrom, waspadailah mereka, jangan sampai mereka
menghadangmu sebelum Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para
shahabatnya datang.”
Al-Akhrom
berkata, “Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari Akhir
serta tahu bahwa surga dan neraka itu benar, maka jangan halangi antara diriku
dan Kesyahidan.”
Salamah berkata, “Akhirnya
kulepaskan ia, kemudian ia bertemu berhadapan dengan Abdurrohman, Abdurrohman berhasil
menikam dan membunuhnya. Kemudian Abu Qotadah, pekuda Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam mengejar Abdurrohman dan berhasil menikam dan ganti membunuhnya.
Demi Dzat yang telah
memuliakan wajah Muhammad, aku benar-benar mengikuti mereka, aku kejar dengan
kakiku sampai aku tidak melihat di belakangku ada para shahabat Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak juga debunya sedikitpun. Hingga sebelum
matahari tenggelam, mereka belok ke sebuah lembah yang di sana ada mata air,
namanya Dzu Qorod, untuk minum darinya karena mereka kehausan.
Kemudian mereka melihat
diriku yang mengejar di belakang mereka, maka akupun mengusir mereka dari mata
air tersebut sehingga mereka tidak jadi minum satu tetespun darinya.”
Di antara komentar Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu: “Sebaik-baik penunggang kuda kita
hari ini adalah Abu Qotadah, dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah
Salamah.” [Dikeluarkan Muslim (1807) dan Ahmad
(IV/ 52-53)
Hadits ini juga disebutkan
Imam Ibnun Nuhas Ad-Dimyathi dalam kitabnya Masyari‘ul Asywaq ila Mashori‘il ‘Usysyaq
fi Fadho’ilil Jihad dalam bab yang ia beri judul: Keutamaan Satu Orang Yang
Pemberani Atau Kelompok Yang Sedikit Menceburkan Diri Ke Dalam Jumlah Yang Banyak
Karena Mengharapkan Kesyahidan Dan Ingin Merugikan Musuh. Kemudian ia berkata:
“Di dalam hadits shohih ini
terdapat dalil yang sangat tepat tentang kebolehan satu orang menyerang golongan
musuh yang banyak meskipun ia yakin dirinya bakal terbunuh, jika ia
melakukannya ikhlas demi mencari kesyahidan, seba-gaimana dilakukan Al-Akhrom
Al-Asadi RA; dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela perbuatannya
itu dan tidak melarang sahahabat melakukan hal yang sama.
Bahkan dalam hadits ini
terdapat dalil disunnahkannya dan keutamaan perbuatan ini, sebab Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah tindakan mereka
berdua sebagaimana disebutkan, padahal mereka berdua maju menghadapi musuh sendirian
dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang.” [Masyari‘ul
Asywaq (hal. 539)]
d. Ibnu Qudamah berkata, “Jika
jumlah musuh berlipat ganda dari jumlah Kaum Muslimin namun Kaum Muslimin
merasa akan menang, maka lebih baik mereka bertahan. Sebab ada mashlahat di
sana. Namun kalau mereka mundur, boleh-boleh saja, sebab tidak ada jaminan
mereka akan selamat. Tetapi jika mereka menduga kuat bahwa mereka akan binasa
jika tetap bertahan dan jalan selamat adalah dengan mundur, maka lebih baik mundur.
Kalaupun mereka tetap bertahan, juga boleh-boleh saja karena keiningan mati
syahid dan masih adanya kemungkinan bisa menang.” [Al-Mughni
(X/ 544)]
Seandainya syaukah dan
kemampuan menjadi syarat sah jihad, tentu Ibnu Qudamah tidak memperbolehkan tetap
bertahan, walaupun dalam dugaan kuat mereka pasti akan binasa dan akan selamat
jika mundur.
e. Al-Quthubi berkata di dalam
Tafsir-nya: “Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Seandainya ada satu orang yang
maju menghadapi 1000 orang musyrik sendirian, itu tidak menjadi mengapa jika ia
tetap memiliki keinginan kuat untuk selamat dan bisa merugikan musuh. Jika
tidak seperti itu, maka hal itu makruh, sebab ia menyodorkan dirinya kepada kehancuran
tanpa adanya manfaat bagi kaum muslimin.”
Jika maksud dia adalah
membangkitkan keberanian kaum muslimin melawan musuhnya sehingga ia melakukan tindakan
tersebut, maka tidak mengapa. Sebab di sana ada manfaat bagi kaum muslimin dari
beberapa sisi.
Jika tujuannya adalah irhab
(menggentarkan musuh) agar mereka tahu kuatnya kaum muslimin dalam urusan
agama, maka tidak mengapa. Jika di sana ada manfaat bagi kaum muslimin, lalu ia
membinasakan dirinya dalam rangka memuliakan agama Alloh dan menghinakan kaum
kafir, maka itu adalah kedudukan mulia yang Alloh puji Kaum Mukminin dengannya
dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman
jiwa mereka…” [At-Taubah: 111]
Dan ayat pujian lain di mana
Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya.
Dengan demikian, sebaiknya
hukum amar makruf nahi munkar pun dibangun di atas pertimbangan di atas.” [Al-Jami‘
Li Ahkamil Qur’an (II/ 364)]
f. As-Sarkhosi berkata: “Tidak
mengapa mundur jika kaum muslimin didatangi musuh yang tidak sanggup dilawan,
namun tidak mengapa juga jika terus bersabar. Tidak seperti dikatakan sebagian
orang bahwa itu adalah menceburkan diri dalam kebinasaan. Itu justeru merupakan
pengorbanan jiwa dalam rangka mencari keridhoan Alloh ta‘ala. Perbuatan ini
pernah juga dilakukan oleh lebih dari satu shahabat RA. Di antaranya adalah
‘Ashim bin Tsabit ketika ia menolak mundur, dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam memuji perbuatan mereka. Dari sini tahulah kita bahwa tindakan
seperti itu tidak mengapa. Wallohul Muwaffiq.” [Syarhus
Sairil Kabir: (I/ 125)]
Ini semua adalah dalam Jihad
Tholab,
yang keabsahan jihadnya jelas tidak disyaratkan satu kelompok mujahid harus memiliki
syaukah yang bisa mendatangkan kemenangan atas musuh. Kalau kelompok tersebut
bisa menimbulkan kerugian kepada musuh walaupun itu sekedar menggentarkan hati mereka,
itu sudah cukup. Atau bisa mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin walaupun
mashlahat ini hanya berupa memompa keberanian dalam hati orang-orang beriman.
Adapun dalam jihad difa‘,
maka tidak perlu ada syarat seperti ini, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.
Tidak diragukan, pendapat
yang muncul akan beragam dalam menentukan kerugian dan mashlahat yang bisa ditimbulkan
dari tindakan maju melaksanakan operasi tertentu dalam jihad. Maka dalam
kondisi seperti ini harus ada ijtihad dalam menentukannya. Yang wajib bagi
kelompok mujahid adalah bertakwa kepada Alloh sehingga ia tidak bersikap ngawur
dan tidak juga terlalu pengecut. Namun ia serahkan urusan tersebut kepada orang
berilmu yang memiliki kemampuan melakukan qiyas dengan baik.
Kelompok tersebut juga harus
selalu merujuk kepada ulama yang mengamalkan ilmunya (‘Amilin).
Oleh karena itu, kapan saja
sekelompok Ahlul Haq merasa yakin –setelah mengerahkan kesungguhannya dan
meminta pertimbangan kepada para ulama— bahwa mereka mampu menimbulkan kerugian
pada musuh, atau memberikan mashlahat bagi kaum muslimin, maka mereka bisa
langsung melaksanakan operasi itu saat itu juga. Untuk selain mereka yang
berudzur karena masih lemah, maka ia tidak berhak mengingkari apa yang mereka
lakukan dengan dalih bahwa mereka belum memiliki kemampuan, tapi mestinya ia
justeru bergembira dengan operasi tersebut mencita-citakan dirinya menjadi
pelakunya.
g. Ibnu Abdil ‘Izz berkata, “Jika
seorang hamba tidak mampu mengetahui sebagian hal itu atau tidak bisa
mengamalkannya, maka janganlah ia melarang dilaksanakannya ajaran Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak mampu ia laksanakan. Tidak mencela itu
sudah cukup baginya, justeru seharusnya ia merasa bangga dan senang karena ada
orang lain yang melaksanakannya, dan berandai andai menjadi pelakunya.” [Syarah
‘Aqidah Thohawiyah: hal. 16]
Ini dikarenakan Alloh ‘azza
wa jalla telah memberikan udzur orang yang tidak mampu berjihad, akan tetapi
dengan syarat ia berlaku baik kepada Alloh dan rosul-Nya, bukan menghambat dan
mencela. Alloh ta‘ala berfirman:
لَيْسَ
عَلَى الضُّعَفَآءِ وَ لَا عَلَى الْمَرْضَى وَ لَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا
يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا اللهِ وَرَسُولِهِ
“Tidak ada dosa bagi
orang-orang lemah, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mendapatkan
biaya untuk membawanya jika mereka berbuat baik kepada Alloh dan rosul-Nya.” [At-Taubah:
91]
Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata,
“Maka bagi orang-orang ini
tidak ada dosa jika tidak ikut perang dan berbuat baik ketika ketika itu, serta
tidak mempengaruhi manusia, tidak menghalangi mereka dan mereka baik-baik saja.
Oleh karena itu Alloh berfirman setelahnya:
مَا
عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ وَ اللهُ غَفُورٌ رَّحِيْمٌ
“Tidak ada jalan
sedikitpun untuk menyalahkan orang- orang yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh
Mahapengampun lagi Mahapengasih.” [At-Taubah: 91],
[Tafsirul
Qur’anil ‘Adzim, (II/ 382)]
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar