8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (4) - Ibnu Qudamah An Najdi


Syubhat Keempat:
Apakah Persenjataan (Syaukah) Dan Kemampuan Menjadi Syarat Dalam Jihad Difa‘î ?

Jawaban:
Bahwasanya harus dibedakan antara jihad tholab dan jihad difa‘. Pensyaratan adanya syaukah dan kemampuan untuk wajibnya jihad adalah dalam jihad tholab. Adapun jihad difa‘, seperti ketika musuh memerangi negeri kaum muslimin, yang wajib adalah melawan semampunya:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun jihad defensif, merupakan perlawanan terbesar terhadap serangan terhadap kehormatan dan agama, hukumnya wajib menurut ijmak. Ketika aggressor datang, yang merusak agama dan dunia, maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak disyaratkan satu syarat pun, tetapi melawan semampunya.

Para ulama dari madzhab kami dan yang lain menetapkan hal itu. Maka harus dibedakan antara menolak serangan orang dzalim dan kafir dan antara menyerang mereka di negeri-nya.” [Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah Ibnu Taimiyyah hal. 309-310]

Beliau berkata lagi,
“Adapun jika musuh hendak menyerang Kaum Muslimin, maka melawannya menjadi wajib atas seluruh orang yang diserang. Orang yang tidak diserang juga wajib membantu orang yang diserang, dan ini wajib hukumnya sesuai kemampuan masing-masing, baik dengan jiwa atau hartanya, baik sedikit atau banyak, berjalan atau berkendaraan. Sebagaimana ketika Kaum Muslimin diserang musuh pada perang Khondaq. Alloh tidak mengizinkan seorang pun meninggalkannya seperti dalam Perang Ofensif (menyerang musuh terlebih dahulu), di mana dalam hal itu Alloh membagi Kaum Muslimin ada yang duduk dan ada yang berangkat.” [Majmu‘ Fatawa (28/ 358-359)]

Beliau berkata lagi,
“Dan perang difa‘ seperti ketika jumlah musuh banyak dan kaum muslimin tidak mampu menghadapinya, akan tetapi jika mereka mundur dikhawatirkan musuh akan menyerang orang-orang yang ada di belakang mereka, maka dalam kondisi seperti ini pengikut madzhab kami menegaskan mereka wajib mengorbankan nyawa mereka dan nyawa orang yang dikhawatirkan tadi, dalam rangka menolak musuh sehingga mereka semua selamat.

Yang semisal adalah ketika musuh menyerang negeri Islam sementara jumlah yang berperang tidak sampai setengah jumlah musuh; jika mereka mundur musuh akan menyerang kehormatan, maka yang seperti ini dan semisalnya adalah perang difa‘, bukan perang tholab.

Tidak diperbolehkan mundur dalam kondisi apapun. Perang Uhud termasuk katagori perang seperti ini.” [Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah (hal. 311)]

Bahkan, dalam jihad tholab sekalipun, syaukah dan kemampuan adalah syarat wajib, bukan syarat sah jihad. Dalil-dalil dari apa yang kami sebutkan adalah:

a. Kisah ‘Ashim bin Tsabit ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutusnya sebagai pemimpin beberapa orang shahabatnya ke ‘Adhol dan Al-Qoroh. Ketika itu ada + 100 pemanah untuk menyerang mereka. Para pemanah itu mengepung Ashim dan para shahabatnya seraya mengatakan, “Kalian mendapatkan sumpah dan janji, jika kalian mau turun menyerah kepada kami, kami tidak akan membunuh seorangpun dari kalian.”

Maka Ashim berkata, “Adapun saya, aku tidak akan turun dalam tanggungan orang kafir…” Akhirnya mereka memerangi Ashim dan kawan-kawannya sampai tujuh orang dari mereka berhasil membunuh Ashim dengan menggunakan lembing.”

[Dikeluarkan Bukhori (3045), Abu Dawud (2660) dan Ahmad (II/ 294) dari hadits Abu Huroiroh]

Di sini tidak diragukan lagi bahwa kemampuan Ashim dan shahabatnya tidak cukup untuk melawan 100 pemanah, padahal sebenarnya mereka memiliki alternatif untuk meninggalkan perang. Namun demikian Ashim Radhiallahu ‘anhum tidak mau mengambil pilihan kecuali memerangi mereka, ia pun memerangi mereka sampai terbunuh.

b. Dalil lain adalah kisah ‘Amru bin Jamuh Radhiallahu ‘anhu, seorang lelaki pincang dan ia memiliki empat anak seperti singa yang ikut serta dalam beberapa perang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Tatkala perang Uhud, mereka ingin menahan ayahnya dan mengatakan, “Sesungguhnya Alloh telah memberi udzur kepadamu.”

Maka ia datang kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan, “Anak-anakku ingin menahan aku dari kesempatan ini dan melarangku berangkat bersamamu. Demi Alloh, aku benar-benar berharap bisa menginjakkan kakiku yang pincang ini di Jannah.”

Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Adapun engkau, Alloh telah memberi udzur kepadamu, engkau tidak wajib berjihad.” Kemudian beliau bersabda kepada anak-anaknya, “Janganlah kalian halangi dia, barangkali Alloh akan memberikan kesyahidan kepadanya.”

Akhirnya ia turut keluar bersama beliau hingga akhirnya terbunuh dalam perang Uhud.” [Sîroh Ibnu Hisyâm (III/ 96)]

Dari Abu Qotadah ia berkata: “Amru bin Jamuh datang kepada Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, apa pendapat tuan jika aku berperang di jalan Alloh sampai aku terbunuh, apakah aku akan bisa berjalan di Jannah dengan kakiku dalam keadaan sehat (normal)?” –kakinya memang pincang— maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ya.”

Akhirnya ia terbunuh bersama keponakan serta maulanya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam melewatinya kemudian bersabda, “Seolah aku melihat ia sedang berjalan di jannah dengan kakinya dalam keadaan sehat.”

Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan agar mereka berdua berikut maulanya dijadikan dalam satu kubur. Mereka pun dikubur menjadi satu.” [Dikeluarkan Ahmad (V/ 229)]

Petunjuk yang ada pada kisah Amru bin Jamuh adalah bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan ia berperang meski ia dalam keadaan pincang yang mendapatkan udzur berdasarkan nash Al-Qur’anul Karim, jadi dia sebenarnya tidak wajib berperang.

c. Dalil lain adalah kisah Salamah bin Al-Akwa‘ ketika ia menyergap Abdurrohman Al-Fazari dan pasukannya untuk mengambil kembali kambing milik Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang mereka rampas. Salamah bin Al-Akwa‘ mengejar mereka sendirian, ia terus melempari mereka dengan lembing hingga berhasil membebaskan apa yang mereka rampas. Ia terus mengejar mereka sementara mereka lari dan mereka buang apa yang mereka simpan, ia mengambil salab179 dari mereka lebih dari 30 burdah dan 30 tombak.

Salamah menuturkan: “…aku terus berada pada posisiku sampai akhirnya aku melihat pekuda-pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang berada di celah-celah pohon.” Ia melanjutkan: “Ternyata yang paling depan adalah Al-Akhrom Al-Asadi, disusul di belakangnya Abu Qotadah Al-Anshori.”

Salamah melanjutkan, “Kemudian kupegang tali kekang kuda Al-Akhrom. Merekapun lari mundur, aku katakan, “Wahai Akhrom, waspadailah mereka, jangan sampai mereka menghadangmu sebelum Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya datang.”

Al-Akhrom berkata, “Wahai Salamah, jika engkau beriman kepada Alloh dan hari Akhir serta tahu bahwa surga dan neraka itu benar, maka jangan halangi antara diriku dan Kesyahidan.”

Salamah berkata, “Akhirnya kulepaskan ia, kemudian ia bertemu berhadapan dengan Abdurrohman, Abdurrohman berhasil menikam dan membunuhnya. Kemudian Abu Qotadah, pekuda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengejar Abdurrohman dan berhasil menikam dan ganti membunuhnya.

Demi Dzat yang telah memuliakan wajah Muhammad, aku benar-benar mengikuti mereka, aku kejar dengan kakiku sampai aku tidak melihat di belakangku ada para shahabat Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tidak juga debunya sedikitpun. Hingga sebelum matahari tenggelam, mereka belok ke sebuah lembah yang di sana ada mata air, namanya Dzu Qorod, untuk minum darinya karena mereka kehausan.

Kemudian mereka melihat diriku yang mengejar di belakang mereka, maka akupun mengusir mereka dari mata air tersebut sehingga mereka tidak jadi minum satu tetespun darinya.”

Di antara komentar Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu: “Sebaik-baik penunggang kuda kita hari ini adalah Abu Qotadah, dan sebaik-baik pasukan pejalan kaki kita adalah Salamah.” [Dikeluarkan Muslim (1807) dan Ahmad (IV/ 52-53)

Hadits ini juga disebutkan Imam Ibnun Nuhas Ad-Dimyathi dalam kitabnya Masyari‘ul Asywaq ila Mashori‘il ‘Usysyaq fi Fadho’ilil Jihad dalam bab yang ia beri judul: Keutamaan Satu Orang Yang Pemberani Atau Kelompok Yang Sedikit Menceburkan Diri Ke Dalam Jumlah Yang Banyak Karena Mengharapkan Kesyahidan Dan Ingin Merugikan Musuh. Kemudian ia berkata:

“Di dalam hadits shohih ini terdapat dalil yang sangat tepat tentang kebolehan satu orang menyerang golongan musuh yang banyak meskipun ia yakin dirinya bakal terbunuh, jika ia melakukannya ikhlas demi mencari kesyahidan, seba-gaimana dilakukan Al-Akhrom Al-Asadi RA; dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mencela perbuatannya itu dan tidak melarang sahahabat melakukan hal yang sama.

Bahkan dalam hadits ini terdapat dalil disunnahkannya dan keutamaan perbuatan ini, sebab Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji Abu Qotadah dan Salamah tindakan mereka berdua sebagaimana disebutkan, padahal mereka berdua maju menghadapi musuh sendirian dan tidak menunggu sampai kaum muslimin datang.” [Masyari‘ul Asywaq (hal. 539)]

d. Ibnu Qudamah berkata, “Jika jumlah musuh berlipat ganda dari jumlah Kaum Muslimin namun Kaum Muslimin merasa akan menang, maka lebih baik mereka bertahan. Sebab ada mashlahat di sana. Namun kalau mereka mundur, boleh-boleh saja, sebab tidak ada jaminan mereka akan selamat. Tetapi jika mereka menduga kuat bahwa mereka akan binasa jika tetap bertahan dan jalan selamat adalah dengan mundur, maka lebih baik mundur. Kalaupun mereka tetap bertahan, juga boleh-boleh saja karena keiningan mati syahid dan masih adanya kemungkinan bisa menang.” [Al-Mughni (X/ 544)]

Seandainya syaukah dan kemampuan menjadi syarat sah jihad, tentu Ibnu Qudamah tidak memperbolehkan tetap bertahan, walaupun dalam dugaan kuat mereka pasti akan binasa dan akan selamat jika mundur.

e. Al-Quthubi berkata di dalam Tafsir-nya: “Muhammad bin Al-Hasan berkata: ‘Seandainya ada satu orang yang maju menghadapi 1000 orang musyrik sendirian, itu tidak menjadi mengapa jika ia tetap memiliki keinginan kuat untuk selamat dan bisa merugikan musuh. Jika tidak seperti itu, maka hal itu makruh, sebab ia menyodorkan dirinya kepada kehancuran tanpa adanya manfaat bagi kaum muslimin.”

Jika maksud dia adalah membangkitkan keberanian kaum muslimin melawan musuhnya sehingga ia melakukan tindakan tersebut, maka tidak mengapa. Sebab di sana ada manfaat bagi kaum muslimin dari beberapa sisi.

Jika tujuannya adalah irhab (menggentarkan musuh) agar mereka tahu kuatnya kaum muslimin dalam urusan agama, maka tidak mengapa. Jika di sana ada manfaat bagi kaum muslimin, lalu ia membinasakan dirinya dalam rangka memuliakan agama Alloh dan menghinakan kaum kafir, maka itu adalah kedudukan mulia yang Alloh puji Kaum Mukminin dengannya dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa mereka…” [At-Taubah: 111]

Dan ayat pujian lain di mana Alloh memuji orang yang mengorbankan nyawanya.

Dengan demikian, sebaiknya hukum amar makruf nahi munkar pun dibangun di atas pertimbangan di atas.” [Al-Jami‘ Li Ahkamil Qur’an (II/ 364)]

f. As-Sarkhosi berkata: “Tidak mengapa mundur jika kaum muslimin didatangi musuh yang tidak sanggup dilawan, namun tidak mengapa juga jika terus bersabar. Tidak seperti dikatakan sebagian orang bahwa itu adalah menceburkan diri dalam kebinasaan. Itu justeru merupakan pengorbanan jiwa dalam rangka mencari keridhoan Alloh ta‘ala. Perbuatan ini pernah juga dilakukan oleh lebih dari satu shahabat RA. Di antaranya adalah ‘Ashim bin Tsabit ketika ia menolak mundur, dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memuji perbuatan mereka. Dari sini tahulah kita bahwa tindakan seperti itu tidak mengapa. Wallohul Muwaffiq.” [Syarhus Sairil Kabir: (I/ 125)]

Ini semua adalah dalam Jihad Tholab, yang keabsahan jihadnya jelas tidak disyaratkan satu kelompok mujahid harus memiliki syaukah yang bisa mendatangkan kemenangan atas musuh. Kalau kelompok tersebut bisa menimbulkan kerugian kepada musuh walaupun itu sekedar menggentarkan hati mereka, itu sudah cukup. Atau bisa mendatangkan mashlahat bagi kaum muslimin walaupun mashlahat ini hanya berupa memompa keberanian dalam hati orang-orang beriman.

Adapun dalam jihad difa‘, maka tidak perlu ada syarat seperti ini, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya.

Tidak diragukan, pendapat yang muncul akan beragam dalam menentukan kerugian dan mashlahat yang bisa ditimbulkan dari tindakan maju melaksanakan operasi tertentu dalam jihad. Maka dalam kondisi seperti ini harus ada ijtihad dalam menentukannya. Yang wajib bagi kelompok mujahid adalah bertakwa kepada Alloh sehingga ia tidak bersikap ngawur dan tidak juga terlalu pengecut. Namun ia serahkan urusan tersebut kepada orang berilmu yang memiliki kemampuan melakukan qiyas dengan baik.

Kelompok tersebut juga harus selalu merujuk kepada ulama yang mengamalkan ilmunya (‘Amilin).

Oleh karena itu, kapan saja sekelompok Ahlul Haq merasa yakin –setelah mengerahkan kesungguhannya dan meminta pertimbangan kepada para ulama— bahwa mereka mampu menimbulkan kerugian pada musuh, atau memberikan mashlahat bagi kaum muslimin, maka mereka bisa langsung melaksanakan operasi itu saat itu juga. Untuk selain mereka yang berudzur karena masih lemah, maka ia tidak berhak mengingkari apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka belum memiliki kemampuan, tapi mestinya ia justeru bergembira dengan operasi tersebut mencita-citakan dirinya menjadi pelakunya.

g. Ibnu Abdil ‘Izz berkata, “Jika seorang hamba tidak mampu mengetahui sebagian hal itu atau tidak bisa mengamalkannya, maka janganlah ia melarang dilaksanakannya ajaran Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang tidak mampu ia laksanakan. Tidak mencela itu sudah cukup baginya, justeru seharusnya ia merasa bangga dan senang karena ada orang lain yang melaksanakannya, dan berandai andai menjadi pelakunya.” [Syarah ‘Aqidah Thohawiyah: hal. 16]

Ini dikarenakan Alloh ‘azza wa jalla telah memberikan udzur orang yang tidak mampu berjihad, akan tetapi dengan syarat ia berlaku baik kepada Alloh dan rosul-Nya, bukan menghambat dan mencela. Alloh ta‘ala berfirman:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَآءِ وَ لَا عَلَى الْمَرْضَى وَ لَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا اللهِ وَرَسُولِهِ

“Tidak ada dosa bagi orang-orang lemah, orang-orang sakit dan orang-orang yang tidak mendapatkan biaya untuk membawanya jika mereka berbuat baik kepada Alloh dan rosul-Nya.” [At-Taubah: 91]

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata,
“Maka bagi orang-orang ini tidak ada dosa jika tidak ikut perang dan berbuat baik ketika ketika itu, serta tidak mempengaruhi manusia, tidak menghalangi mereka dan mereka baik-baik saja. Oleh karena itu Alloh berfirman setelahnya:

مَا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ مِنْ سَبِيْلٍ وَ اللهُ غَفُورٌ رَّحِيْمٌ

Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang- orang yang berbuat baik, sesungguhnya Alloh Mahapengampun lagi Mahapengasih.” [At-Taubah: 91],

[Tafsirul Qur’anil ‘Adzim, (II/ 382)]


Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...