8/17/2019

Wawancara ABU SAMIR AL URDUNI


Wawancara
ABU SAMIR AL URDUNI
Mantan Anggota Majelis Syuro Jawlani
 


Allah memberikan kesempatan pada Dabiq untuk mewawancarai al Akh Abu Samir al Urduni (dari Yordania), mantan anggota Majelis Syuro Jawlani. Dia tinggalkan Jabhah Jawlani setelah Allah memberkahinya petunjuk dengan memperlihatkan padanya kontradiksi manhaj dan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Jabhah Jawlani. Dan Allah berkahi dia kesempatan guna menyaksikan realisasi tauhid Hakimiyyah (penegakan hukum Allah) di bumi Khilafah. Pada akhirnya, dia kembali bergabung dalam barisan Khilafah, dan berikut ini bincang-bincang kita bersamanya:

Wawancara Bersama Abu Samir al Urduni
Dabiq: Informasi apa saja yang kamu miliki terkait makar shahawat dan peran Jabhah Jawlani di dalamnya?

Abu Samir: Jawlani mengunjungiku di akhir bulan Desember 2013 dan menginformasikan padaku bahwa dia berada dalam sebuah pertemuan bersama Jabhah Islamiyyah dan faksi-faksi anggotanya, termasuk diantaranya Liwa Tauhid dan sejumlah batalyon lain dari elemen Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Dia menuturkan padaku bahwa mereka bermufakat untuk memerangi Daulah Islamiyyah. Aku bertanya padanya, "Kenapa kau diundang dalam pertemuan itu?" Dia menjawab, “Guna mengusulkan dan mendiskusikan suatu perkara denganku, karena aku adalah salah satu pihak yang berada di lapangan dan paling dekat dengan Daulah Islamiyyah”. Aku berkata kepadanya, “Lantas, apa tanggapanmu?” Dia menjawab, “Aku katakan pada mereka bahwa aku akan berada di front-front yang menghalangi rezim”. Aku menimpali, “Itulah peranmu dalam peperangan melawan Daulah Islamiyyah!” Dia berkata kepadaku, “Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa aku mempunyai peran dalam rencana itu?” Maka aku katakan kepadanya, “Engkau akan menggantikan beberapa front pertempuran yang sekarang mereka hadapi agar bisa mundur lalu berkumpul dalam jumlah besar untuk memerangi Daulah Islamiyyah”. Inilah yang terjadi kurang lebih 10 hari setelah pertemuan dengan Jawlani pada tanggal 3 Januari 2014.[1]

Aku bahkan mendengar Ahmad Zakkur, salah seorang pemimpin “Jabhah an Nusrah,” tengah berbicara dengan Jawlani menggunakan walkie-talkie ketika dia menghilang pasca dimulainya perang antara Daulah Islamiyyah dan faksi-faksi tersebut, termasuk diantaranya FSA. Zakkur berkata kepadanya, “Kita harus menolong saudara kita dari serangan faksi-faksi yang ada di medan perang dan menghentikan kedzoliman Daulah Islam dan memeranginya”.

Aku juga menyaksikan peristiwa-peristiwa lainnya. Misalnya, ketika beberapa pemimpin “Jabhah an Nushrah” mendukung FSA dengan bantuan persenjataan dan menolong mereka untuk memerangi Daulah Islamiyyah di beberapa kawasan, seperti halnya kasus yang terjadi pada Hammaudah dan Abu Dzar at Tunisi di bagian barat Halab. [Hammaudah ialah pemimpin tertinggi Jabhah Jawlani di kawasan tersebut].

Hal yang sama terjadi di Idlib, ketika Abu Sulaiman al Australi mencegah para tentara “Jabhah an Nushrah” membantu Daulah Islamiyyah saat FSA berencana menyerang kamp pelatihan militer Daulah di sana padahal mereka mampu memberikan pertolongan. Maka aku dikirim menghadap Abu Sulaiman al Australi lalu berkata kepadanya, “Sebenarnya engkau sanggup menempatkan pasukan untuk mencegah FSA bergerak menyerbu kamp pelatihan”. Aku terkejut ketika keesokan harinya FSA telah memasuki kamp pelatihan Daulah Islamiyyah setelah mengepungnya, memotong jalur bantuan, dan memerangi Daulah Islamiyyah di dalamnya. Inilah awal kecurigaanku bahwa di sana terdapat makar rahasia antara FSA dan “Jabhah an Nushrah”.

Dabiq: Kapan anda memutuskan untuk menjaga jarak dari peristiwa yang tengah terjadi ini ?

Abu Samir: Setelah mengamati dan mengikuti kejadian-kejadian yang ada, aku merasa di sana terdapat sebuah makar yang sedang berlangsung melawan Daulah Islamiyyah yang melibatkan “Jabhah an Nushrah”. Maka aku memutuskan untuk menjaga jarak dan bergerak ke selatan. Dalam perjalanan, aku mengumpulkan banyak bukti atas kesimpulan ini. Dimulai dari pertemuanku dengan Abu ‘Abbas ad Darir, amir “Jabhah an Nushrah” untuk wilayah Raqqah. Aku berjumpa dengannya di daerah Albu Kamal dan menanyakan alasannya memerangi Daulah Islamiyyah di Raqqah. Dia menceritakan seluruhnya, bagaimana dia dan Ahrar Asy Syam bersepakat dengan banyak batalyon, termasuk batalyonnya Abu ‘Isa ar Raqqawi (Katiban Liwa’ Tsuwwar Raqqah) yang telah berbai’at kepada “Jabhah an Nushrah”. Abu ‘Isa dan pasukannya sekarang bersama dengan PKK di ‘Aynul Islam untuk memerangi Daulah Islamiyyah. Abu ‘Abbas ad Darir berkata kepadaku, “Kami berencana untuk memerangi Daulah Islamiyyah”. Ketika aku menanyakan alasannya, dia menjawab, “Karena mereka membunuh Abu Sa’ad al Hadhrami”. Dia mencoba mengesankan padaku bahwa permasalahan itu seolah-olah adalah respon dirinya atas pembunuhan Al Hadhrami.[2]

Aku berkata padanya, “Mengapa engkau mengambil kesempatan waktu dalam memerangi Daulah Islamiyyah bertepatan dengan dimulainya peperangan antara Daulah Islamiyyah dan FSA di semua batalyon lain di medan tempur, baik itu di Idlib, Lattakia, dan Hamah?” Dia menjawab, “Kami memang telah mengadakan rencana bersama mereka dan mengambil keuntungan dari kebijakan Daulah Islamiyyah untuk memerangi kelompok-kelompok tersebut”.

Dabiq: Apa sikap para anggota Jabhah al Jawlani di awal peperangan dengan Daulah Islamiyyah? Apakah berbeda dengan sikap Jawlani dan orang-orang terdekatnya?

Abu Samir: Abu ‘Abbas ad Darir menyebutkan sebuah insiden yang membuat perkara ini nampak lebih jelas. Dia pergi menuju wilayah al Khayr untuk mencari tahu sebab alasan mengapa Abu Mariyah menunda pengiriman bantuan untuk memerangi Daulah Islamiyyah, oleh karena Abu Mariyah menjanjikan kepadanya ratusan orang dan konvoi demi konvoi pasukan – sebagaimana yang diklaim olehnya – untuk memerangi Daulah Islamiyyah di Raqqah. Ketika menghitung jumlah pemuda yang telah dikumpulkan al Harari, terkuaklah bahwa personel pasukan bantuan itu hanya berjumlah 60 orang saja. Abu ‘Abbas mengerahkan mereka semua untuk melawan Daulah Islamiyyah, namun dalam perjalanan ada sesuatu yang merusak rencana tersebut. Salah seorang personel Jabhah an Nushrah melihat papan tanda yang bergambar bendera Daulah Islamiyyah. Maka dia berteriak, “Daulah Islam, baqiyyah!” Lalu Abu ‘Abbas menghentikan konvoi dan bertanya kepada mujahid tersebut, “Apa yang kamu katakan?” Dia menjawab, “Daulah Islam, baqiyyah. Mereka adalah saudara-saudara kita”. Abu ‘Abbas kembali bertanya, “Apakah kami tidak tahu ke mana kamu hendak berangkat?” Dia mejawab, “Aku tidak tahu”. Abu ‘Abbas berkata, “Bagaimana bisa kamu tidak mengetahuinya? Kamu akan pergi memerangi Daulah Islamiyyah. Apakah Abu Mariyah tidak memberitahumu tentang hal ini?” Sang pejuang tadi berkata, “Kami tidak ingin memerangi Daulah Islamiyyah dan kami tidak setuju untuk memeranginya. Abu Mariyah berkata bahwa kami diberangkatkan untuk melakukan ribath di Divisi 17”. Adanya insiden ini menjelaskan padaku adanya unsur penipuan yang dilakukan Jabhah an Nushrah di kawasan timur yang berada di bawah komando Abu Mariyah, bahkan terhadap para tentaranya untuk memudahkan makar dan perang terhadap Daulah Islamiyyah.[3]

Dabiq: Pada waktu itu apa sikap anggota faksi-faksi yang memerangi Daulah Islamiyyah? Apakah mereka harus diyakinkan dulu untuk memerangi Daulah Islamiyyah seperti halnya para pemimpinnya?

Abu Samir: Sebagian besar prajurit faksi-faksi “Islam” yang berperang melawan Daulah Islamiyyah pada saat itu tidak setuju untuk memeranginya. Aku teringat terhadap sebuah peristiwa yang mampu menjelaskan hal ini. Jawlani mengatakan kepadaku bahwa Ahrar Asy Syam telah membentuk sebuah kelompok yang disebut dengan nama “Sel Krisis”, terdiri dari Abu ‘Ali Taibah, Abu Zaid Asy Syar’i, Abu Jamil Quthb, Abu Anas Saraqib, dan Abu al Khayr. Barangkali aku keliru menyebutkan salah satu nama tersebut, tetapi empat diantaranya aku meyakini kebenarannya. “Sel Krisis” ini datang menemui Jawlani. Aku bertanya kepadanya, “Apa keperluan mereka untuk menemuimu?” Dia menjawab, “Mereka mendatangiku untuk meyakinkan padaku kekufuran Daulah Islamiyyah, dimana Daulah adalah sebuah organisasi yang bekerja untuk kepentingan Iran yang mengimplementasikan politik Rofidhoh di Syam. Dan mereka merupakan bagian dari makar Iran”. Jawlani mengaku bahwa dia membahas hal itu bersama mereka, lalu berkata, “Tuduhan itu tidaklah logis”. Akan tetapi mereka tetap bersikeras menginginkan tuduhan itu, dan menginginkan fatwa atasnya, guna meyakinkan pasukan mereka untuk memerangi Daulah Islamiyyah karena sebagian besar darinya tidak yakin, tidak menyetujui, dan menolak peperangan terhadap Daulah Islamiyyah. Sementara itu para pimpinan mereka tengah berusaha keras mencari dalih untuk meyakinkan pasukannya agar memerangi Daulah Islamiyyah, maka mereka berjuang untuk menawarkan vonis kufur terhadap Daulah Islamiyyah yang diberi nama “politik takfir”. [4]

Dabiq: Beberapa orang masih berpikir bahwa kesepakatan faksi-faksi kelompok tersebut untuk memerangi Daulah Islamiyyah merupakan sebuah  “kebetulan”. Apakah hal itu benar?

Abu Samīr: Itu tidak benar. Mobilisasi peperangan yang gila ini tidaklah timbul secara kebetulan. Aku mengetahuinya melalui pengalamanku di lapangan bahwa FSA, batalyon-batalyon lain, dan bahkan “Jabhah an Nushrah,” saat hendak melakukan aksi militer, jika pun terbatas, mereka butuh waktu berhari-hari dan banyak menggelar pertemuan untuk merencanakannya, merumuskannya, dan mengadakan kesepakatan terkait peran masing-masing kelompok anggota di dalam aksi militer tersebut. Adapun jika hal itu terjadi secara kebetulan dalam sehari semalam seperti yang mereka klaim dan katakan, termasuk yang diklaim oleh al Muhaisini, maka hal itu tidaklah benar. Justru realitanya menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi lewat kerjasama langsung dan tidak langsung antara Barat, FSA, dan berbagai faksi lainnya. Tidak mungkin bagi semua kelompok untuk ikut andil bersama-sama di saat yang sama dan tanggal yang sama melawan Daulah Islamiyyah dengan jalan seperti ini.

Dabiq: Apakah Anda melihat target khusus yang ingin dicapai oleh Jabhah al Jawlani?

Abu Samir: Faksi-faksi kelompok di Syam itu tidaklah memiliki target apapun melainkan pendistorsian atas makna hakimiyyah dan ini merupakan fitnah pada masa ini. Hukum Allah tidak hanya berupa bangunan yang disebut “mahkamah”! Hukum-hukum Allah dan syari’atNya lebih luas dan lebih komprehensif daripada hal tersebut. Makna syari’at Allah sekarang telah mengalami distorsi dan dibatasi hanya pada wilayah mahkamah dan komite arbitrase. Melalui ini, manusia disesatkan agar percaya bahwa hukum Allah ada di dalamnya. Padahal sesungguhnya, hukum Allah tidak akan terwujud kecuali dengan pendirian sebuah negara dan pengangkatan seorang amir yang menerapkan hukum Allah kepada manusia dan mengatur mereka dengan syari’atNya.[5]

Aku masih ingat saat batalyon-batalyon “Islam” moderat terbesar di Suriah mengumumkan pembentukan kelompok yang disebut dengan “Jabhah Islamiyyah.” Ketika itu aku bertanya kepada Jawlani, “Jika kau menolak penegakan Daulah Islamiyyah dan perjuangannya untuk berhukum dengan hukum Allah di muka bumi dan menundukkan manusia padanya, lalu kenapa kau tidak bergabung saja dengan ‘Jabhah Islamiyyah’ dan proyek adz Dzowahiri?” Dia menjawab, “Aku lebih mengetahui peta lapangan daripada Dr. Ayman dan kita tidak suka dengan manhaj politik ‘Jabhah Islamiyyah’.

Karena itu, kita menginformasikan Dr. Ayman bahwa kita tidak akan bergabung dengan mereka”. lalu kukatakan kepadanya, “Dengan ini, kau mengumumkan adanya proyek ketiga di lapangan, lalu apakah itu? Kau tidak menyukai misi dan penerapan hukum Allah oleh Daulah Islamiyyah di muka bumi melalui kekuatan dan kau juga tidak menyukai proyek meraup dukungan massa dan bergabung dengan kebanyakan massa manusia di negeri ini dan di lapangan bersama faksi-faksi kelompok yang telah ada. Lalu apa gerangan proyek ketiga yang di benakmu itu?” Dia terdiam dan aku tidak mendapatkan jawaban apa pun darinya. Akan tetapi, kemudian dia berkata, “Kita akan mencoba mereformasikan dukungan massa hingga ia menjadi salah satu manhaj yang sesuai dan orientasi politik yang pantas”.

Pada saatu itulah adz Dzowahiri mengirimkan tiga surat, dua untuk Ahrar Asy Syam yang ditujukan kepada Abu Khalid As Suri dan satunya kepada Jawlani. Surat tersebut berisikan seruan dari adz Dzowahiri pada “Jabhah An Nushrah” untuk bergabung ke dalam “Jabhah Islamiyyah” dan dia menyatakan penundaan untuk bergabung dalam jama’ah tersebut merupakan sebuah kesalahan. Karena itu, aku kemudian menanyakan bagaimana balasannya terhadap perintah tersebut, maka dia berkata, “Aku tidak akan menyetujui peritnah itu kecuali dengan syarat”. Saya bertanya kepadanya, “Syarat apa itu?” Dia berkata, “Zahran ‘Allusy dan ‘Jaisy Al-Islam’ keluar dari formasi Jabhah Islamiyyah”.[6] Saya kembali bertanya kepadanya, “Apa lagi syaratnya?” Dia mengatakan bahwa ‘Jabhah Islamiyyah’ memiliki struktur yang terdiri dari seorang direktur jenderal, pengawas syar’i, dan biro politik luar negeri yang berbicara atas nama ‘Jabhah Islamiyyah,’ yaitu Abu ‘Abdillah al Hamawi. Dia tidak menginginkan hanya satu pengurus disana yang menerima delegasi luar negeri, namun menginginkan jumlah tiga orang. Maka aku katakan padanya, “Jadi kau setuju untuk bertemu dengan politisi thowaghit?” Dia menjawab, “Ya, apa ada yang salah dengan hal itu?” Lalu dia berkata, “Apakah kau tidak menyaksikan dan mendengar bagaimana Taliban bermajelis bersama dengan Pakistan dan Qatar serta membuka kantor di Qatar?” Dia hendak menyoroti Talidan dan tindakan mereka agar dia diperkenankan melakukan hal yang sama, terutama setelah adz Dzowahiri memproklamirkan bai'at dirinya kepada Mullah ‘Umar. Pada asalnya, dia menyatakan secara tidak langsung, bila “amir kita” saja bisa melakukan hal ini, maka mengapa kita tidak diperbolehkan melakukannya? Abu Khalid as Suri, mantan pemimpin “Jabhah Islamiyyah” yang nasionalis.

Dabiq: Lalu, langkah apa ditempuh oleh Jabhah al Jawlani sekarang?

Abu Samir: Kenyataannya adalah “Jabhah an Nushrah” tidak mempnyai langkah khusus atau proyek dengan bentuk yang jelas. Karena ia berada dalam bayangan pola global yang jahat serta melakukan makar melawan manhaj yang shahih, dimana para pengikutnya juga berupaya untuk memikat dan mengakomodasi semua tujuan itu, kini kami mengetahui bahwa “Jabhah An Nushrah” secara efektif bergabung dalam misi jahat tersebut dan membenamkan diri ke dalamnya. Manhaj infiltrasi “Jabhah An Nushrah” mendorongnya untuk menyerahkan diri kepada politik regional dan tidak mempunyai kejelasan dan keistiqamahan dalam setiap sikapnya, sementara ia berada di bawah bayang-bayang yang membuat tata organisasinya berserakan dan memiliki rencana yang salah. Maka kekuatan dalam dan luar akhirnya memanipulasi “Jabhah An Nushrah”.

        Gambaran ketidakberdayaan yang jelas dari “Jabhah An Nushrah” nampak ketika mereka mengutuk tindakan-tindakan Daulah Islamiyyah dan realita memaksa mereka untuk melakukan cara yang persis sama yang dilakukan oleh Daulah Islamiyyah, karena tidak ada jalan lain menuju pada konsolidasi kekuatan kecuali dengan menempuh apa-apa yang telah dilakukan oleh daulah Islamiyyah. Selain itu, sikap mereka berkaitan dengan faksi-faksi yang mereka jadikan sebagai sekutu. Contohnya, mereka mengutuk Daulah Islamiyyah karena menetapkan takfir terhadap “Jabhah Islamiyyah,” syar’i Abu Muhammad (Abu ‘Abdillah Asy Syami) sebelumnya telah  menggambarkan “Jabhah Islamiyyah” sebagai “Hamas Masa Depan” (merujuk pada manhaj sesat Hamas dan hukum junjungan mereka yang berdasarkan hukum buatan manusia). Dan dia termasuk orang yang paling tahu mengenai keadaan mereka. Karena dia dahulu termasuk salah satu anggotanya, dan tiga saudara lelakinya adalah pemimpin di Ahrar Asy-Syam, di antaranya ialah saudaranya yang bernama Abu al Khayr yang merupakan wakil dari Abu ‘Abdillah al Hamawi dan terbunuh bersama dengannya dalam sebuah ledakan yang sangat terkenal. Dan dia dahulu menggambarkan mereka sebagai “Hamas Masa Depan”! Jaulani sendiri berkata kepadaku, “Ahrar asy Syam adalah shahawat masa depan, tetapi Daulah Islamiyah tergesa-gesa dalam memerangi mereka!”[7]

Aku juga pernah bertanya kepada Jawlani mengenai FSA setelah “Jabhah an Nushrah” memandang harta dan senjata mereka halal untuk dirampas di Idlib, “Apakah kamu mengkafirkan mereka?” Dia menjawab, “Ya”.[8] Sama sekali saya tidak heran, karena kita mengkafirkan FSA yang murtad setiap kali dia berkumpul dengan mereka. Aku kembali berkata kepadanya, “Lalu mengapa engkau mengutuk Daulah Islamiyyah atas kebijakannya memerangi FSA dan bagaimana Daulah Islamiyyah melawan Hayyani, Jazarah, dan seluruh pasukan FSA? Beberapa hari yang lalu engkau mencela mereka dan menuduh kebijakan Daulah Islamiyyah adalah penyebab terjadinya fitnah dan perang antar faksi di Halab, Idlib, Hamah, dan Latakia, namun sekarang engkau sendiri melakukan hal yang sama.”

Walaupun seluruh diskusi ini terjadi di antara para pimpinan, realita mereka bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri yang tidak mereka umumkan. Hal ini semata-mata terjadi lantaran sikap penuh kerancuan, keraguan, dan kompromi hingga slogan-slogan “Jabhah An Nushrah” di lapangan benar-benar dangkal dan tidak konsisten karena tidak memiliki makna yang jelas.

Di manakah tanggung jawab dakwah untuk menjelaskan kebenaran, dan mewujudkannya di antara manusia? Bukankah kita seharusnya mengajak manusia kepada ‘aqidah yang shahih dan membebaskan bumi dari kekuasaan thawaghit? Bukankah membebaskan hati dan membebaskan manusia dari kesyirikan adalah tugas kita, dan bukannya menipu, memanfaatkan, dan mengeksploitasi mereka demi tujuan dan kepentingan sehingga semuanya bisa kita kompromikan! Bukan dengan menyesatkan mereka dan diam terhadap kebatilah yang ada pada mereka dan dengan sanjungan! “Jabhah an Nushrah” mengira bahwa hasil dari kebijakan ini ialah mereka mengontrol berbagai pihak yang ada di lapangan, namun waktu akan membuktikan sebaliknya. Awal dari persoalan ini mungkin sudah tampak jelas dengan dideklarasikannya koalisi “Jaisyul Fath” dan demikian pula dengan melebur dan hilangnya Jabhah An Nushrah di Ghuthoh Timur dan selatan Damaskus. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Afghansitan setelah berakhirnya perang melawan Rusia tidak tersembunyi dari siapa pun yang memiliki wawasan dan akal.

Dabiq: Adakah orang yang memiliki pandangan yang sama dengan Anda? Apakah ada orang di sana yang memiliki kesimpulan yang sama?

Abu Samir: Ya, tentu saja. Dan aku akan mengatakan apa yang aku lihat sebelum berhijrah ke Daulah Islamiyyah. Ketika itu aku pergi meninggalkan Jabhah Al Jawlani dan mengikuti berbagai perkembangan, aku memutuskan untuk kembali ke barisan Daulah Islamiyyah setelah menyaksikan dan mendegar berbagai hal. Selain itu, aku sejatinya juga putera Daulah Islamiyyah. Pada saat itu, aku berbincang-bincang kepada dua orang yang tengah mengeluhkan diriku sendiri kepada Allah (‘azza wa jalla) dan untuk menyampaikan catatan kesaksianku dan apa yang aku alami setelah meninggalkan Jabhah al Jawlani. Aku menemui dua penasihat dan pemimpin “Jabhah an Nushrah”. Salah seorang diantara mereka – sudah sangat dikenal di antara “Jabhah An Nushrah” – merupakan delegasi Aiman adz Dzowahiri. Dia orang yang berbicara dan menyampaikan pesan kepada adz Dzowahiri mengenai setiap kejadian yang ada di medan Syam. Ketika aku duduk bersamanya dalam suatu pertemuan yang berlangsung selama 10 jam, aku menjelaskan kepadanya sejarah dan tindak tanduk Jawlani, dewan syura’nya dan pendapatku mengenai situasi di lapangan.

Dia berkata kepadaku, “Akhi yang aku hormati, kami lebih mengetahui daripada apa-apa yang engkau katakan dan kami mengumpulkan banyak hal yang lebih jelas daripadamu”. Aku terlejut! Dia berkata, “Ya, aku mempunyai lebih banyak bukti daripada yang kau miliki”. Aku berkata kepadanya, “Subhanallah! Pada Hari Pembalasan, ini akan menjadi bukti atas pengingkaranmu! Lalu apa yang musti kau lakukan dengan setiap ucapanmu itu? Aku mempunyai sejarah, fakta, dan cerita yang terjadi antara diriku dan Jawlani, dewan syura'nya, fakta lapangan, dan pendapatku terhadap hal ini, juga telah membuat keputusan dan menyelesaikan perkara yang terjadi, sementara kau mengatakan lebih mengetahui banyak hal daripada diriku, maka menurutmu apa yang harus kau lakukan?” Dia berkata, “Saat ini kami adalah dewan rekonsiliasi. Kami memproses perkara-perkara yang kau sebutkan dan bekerja untuk mereformasi organisasi ini”. Aku berkata, “Subhanallah! Apakah ini adalah ‘gantungan kain’ di mana engkau menggantungkan sikapmu? Karena aku percaya bahwa seorang pembaharu pastilah mempunyai batasan waktu atau proyek multilevel yang menjadi dasar pijakan baginya untuk mereformasi atau mengubah sesuatu. Lantas, apakah engkau melihat suatu perubahan? Apakah kau memandang dirimu mampu untuk melakukan perubahan?”

Yang lebih membuat sikapku semakin keras padanya ketika dia menceritakan diumumkannya “imarah” oleh Jawlani dalam pidato terkenalnya di Idlib. Dia tidak mengkonsultasikan rencana itu kepada siapa pun sejak awal, baik itu pada utusan adz Dzowahiri maupun orang-orang yang dipercayainya ketika bersamanya. Jawlani telah meminta delegasi adz Dzowahiri dan al Muhaisini guna hadir dalam acara pidato tersebut yang akan dibacakan dan disebutkan di dalamnya “sesuatu yang besar”! Mereka tidak tahu apakah gerangan sesuatu yang besar tersebut dan delegasi adz Dzowahiri tersebut mengatakannya kepada saya secara rinci, “Jawlani ingin memanfaatkan diriku untuk membacakan sebuah pidato yang isinya terkait pembentukan imarah dan semacamnya”. Lalu dia berkata, “Aku terkejut mendengar hal itu karena dia sama sekali tidak membicarakan hal itu terlebih dahulu padaku dan tidak pernah mendiskusikan tentang ini sebelumnya,”. Akan tetapi, al Muhaisini yang bukan anggota “Jabhah an Nushrah” dan sejak awal juga tidak mempunyai bai’at kepada “Jabhah an Nushrah” berbicara dengan lantang dan berpidato dengan disertai rasa antusiasme yang tinggi dan teriakan takbir saat diumumkannya rencana penegakan “Imarah Islam” yang mereka klaim itu.

Aku mengatakan kepadanya, “Bagaimana bisa engkau mengklaim sebagai bagian dari reformasi dan engkau akan mengadakan perubahan, sedangkan engkau bahkan tidak ikut dilibatkan dalam perkara besar tersebut?! Bagaimana bisa engkau mengadakan perubahan terhadap apa yang engkau ingkari hari ini?” Dia mengatakan, “Hanya pada Allahlah tempat memohon pertolongan. Kami mencoba mengubahnya”. Dia mengatakan hal ini dengan nada pasrah dan penuh kekalahan. Maka aku katakan padanya, “Saudaraku yang mulia, aku memohon kepadamu demi Allah; mengapa engkau tidak memberitahu adz Dzowahiri dan menginformasikan padanya mengenai hal ini?” Dia menjawab, “Siapa bilang aku tidak memberitahunya semua hal ini?

Kemudian aku menimpalinya dengan berkata, “Allahu Akbar! Apa jawabannya?” Dia mengakui bahwa adz Dzowahiri “tidak mempunyai kekuatan otoritas apapun untuk melakukan apa-apa”! Setelah itu aku bertakbir, sujud kepada Allah sebagai rasa syukur, dan berkata, “Subhanallah, jika adz Dzowahiri tidak memiliki kekuasaan, lalu organisasi apa yang sedang dia pimpin! Alhamdulillahi rabbil ‘alamin! Aku berlepas diri dari organisasi yang pemimpinnya tidak mempunyai otoritas terhadap apa yang dipimpinnya!” Dengan demikian, maka pendirianku untuk meninggalkan “Jabhah An Nushrah” semakin kuat. Ia tidaklah lebih dari sekedar sekumpulan geng untuk kawasan yang kecil. Setiap pemimpin memiliki kawasan tersendiri. Dan ini adalah kesaksian dari delegasi Ayman adz Dzowahiri kepadaku.[9]

Dabiq: Sebagai penutup, kami mohon kepada Allah agar menjadikan kesaksian ini untuk membimbing orang-orang yang tetap berada dalam Koalisi Shahawat agar bertaubat secara tulus dan menjadikan kesaksian ini sebagai timbangan amak shalihmu. Jazakallahu khairan.

Source: DABIQ 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...