Wawancara
ABU SAMIR AL URDUNI
Mantan Anggota Majelis
Syuro Jawlani
Allah memberikan kesempatan pada Dabiq untuk
mewawancarai al Akh Abu Samir al Urduni (dari Yordania), mantan anggota Majelis
Syuro Jawlani. Dia tinggalkan Jabhah Jawlani setelah Allah memberkahinya
petunjuk dengan memperlihatkan padanya kontradiksi manhaj dan
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Jabhah Jawlani. Dan Allah berkahi dia
kesempatan guna menyaksikan realisasi tauhid Hakimiyyah (penegakan hukum Allah)
di bumi Khilafah. Pada akhirnya, dia kembali bergabung dalam barisan Khilafah,
dan berikut ini bincang-bincang kita bersamanya:
Wawancara Bersama Abu Samir al Urduni
Dabiq:
Informasi apa saja yang kamu miliki terkait makar
shahawat dan peran Jabhah Jawlani di dalamnya?
Abu
Samir: Jawlani mengunjungiku di akhir
bulan Desember 2013 dan menginformasikan padaku bahwa dia berada dalam sebuah
pertemuan bersama Jabhah Islamiyyah dan faksi-faksi anggotanya, termasuk diantaranya
Liwa Tauhid dan sejumlah batalyon lain dari elemen Tentara Pembebasan Suriah
(FSA). Dia menuturkan padaku bahwa mereka bermufakat untuk memerangi Daulah
Islamiyyah. Aku bertanya padanya, "Kenapa kau diundang dalam pertemuan itu?"
Dia menjawab, “Guna mengusulkan dan mendiskusikan suatu perkara denganku,
karena aku adalah salah satu pihak yang berada di lapangan dan paling dekat
dengan Daulah Islamiyyah”. Aku berkata kepadanya, “Lantas, apa tanggapanmu?”
Dia menjawab, “Aku katakan pada mereka bahwa aku akan berada di front-front
yang menghalangi rezim”. Aku menimpali, “Itulah peranmu dalam peperangan
melawan Daulah Islamiyyah!” Dia berkata kepadaku, “Bagaimana bisa kau
mengatakan bahwa aku mempunyai peran dalam rencana itu?” Maka aku katakan
kepadanya, “Engkau akan menggantikan beberapa front pertempuran yang sekarang
mereka hadapi agar bisa mundur lalu berkumpul dalam jumlah besar untuk
memerangi Daulah Islamiyyah”. Inilah yang terjadi kurang lebih 10 hari setelah
pertemuan dengan Jawlani pada tanggal 3 Januari 2014.[1]
Aku bahkan mendengar Ahmad Zakkur,
salah seorang pemimpin “Jabhah an Nusrah,” tengah berbicara dengan Jawlani
menggunakan walkie-talkie ketika dia menghilang pasca dimulainya perang antara
Daulah Islamiyyah dan faksi-faksi tersebut, termasuk diantaranya FSA. Zakkur
berkata kepadanya, “Kita harus menolong saudara kita dari serangan faksi-faksi
yang ada di medan perang dan menghentikan kedzoliman Daulah Islam dan
memeranginya”.
Aku juga menyaksikan
peristiwa-peristiwa lainnya. Misalnya, ketika beberapa pemimpin “Jabhah an Nushrah”
mendukung FSA dengan bantuan persenjataan dan menolong mereka untuk memerangi
Daulah Islamiyyah di beberapa kawasan, seperti halnya kasus yang terjadi pada
Hammaudah dan Abu Dzar at Tunisi di bagian barat Halab. [Hammaudah ialah
pemimpin tertinggi Jabhah Jawlani di kawasan tersebut].
Hal yang sama terjadi di Idlib,
ketika Abu Sulaiman al Australi mencegah para tentara “Jabhah an Nushrah” membantu
Daulah Islamiyyah saat FSA berencana menyerang kamp pelatihan militer Daulah di
sana padahal mereka mampu memberikan pertolongan. Maka aku dikirim menghadap
Abu Sulaiman al Australi lalu berkata kepadanya, “Sebenarnya engkau sanggup menempatkan
pasukan untuk mencegah FSA bergerak menyerbu kamp pelatihan”. Aku terkejut
ketika keesokan harinya FSA telah memasuki kamp pelatihan Daulah Islamiyyah
setelah mengepungnya, memotong jalur bantuan, dan memerangi Daulah Islamiyyah
di dalamnya. Inilah awal kecurigaanku bahwa di sana terdapat makar rahasia
antara FSA dan “Jabhah an Nushrah”.
Dabiq:
Kapan anda memutuskan untuk menjaga jarak dari peristiwa
yang tengah terjadi ini ?
Abu
Samir: Setelah mengamati dan mengikuti
kejadian-kejadian yang ada, aku merasa di sana terdapat sebuah makar yang
sedang berlangsung melawan Daulah Islamiyyah yang melibatkan “Jabhah an Nushrah”.
Maka aku memutuskan untuk menjaga jarak dan bergerak ke selatan. Dalam perjalanan,
aku mengumpulkan banyak bukti atas kesimpulan ini. Dimulai dari pertemuanku
dengan Abu ‘Abbas ad Darir, amir “Jabhah an Nushrah” untuk wilayah Raqqah. Aku
berjumpa dengannya di daerah Albu Kamal dan menanyakan alasannya memerangi
Daulah Islamiyyah di Raqqah. Dia menceritakan seluruhnya, bagaimana dia dan
Ahrar Asy Syam bersepakat dengan banyak batalyon, termasuk batalyonnya Abu ‘Isa
ar Raqqawi (Katiban Liwa’ Tsuwwar Raqqah) yang telah berbai’at kepada “Jabhah
an Nushrah”. Abu ‘Isa dan pasukannya sekarang bersama dengan PKK di ‘Aynul
Islam untuk memerangi Daulah Islamiyyah. Abu ‘Abbas ad Darir berkata kepadaku,
“Kami berencana untuk memerangi Daulah Islamiyyah”. Ketika aku menanyakan
alasannya, dia menjawab, “Karena mereka membunuh Abu Sa’ad al Hadhrami”. Dia mencoba
mengesankan padaku bahwa permasalahan itu seolah-olah adalah respon dirinya
atas pembunuhan Al Hadhrami.[2]
Aku berkata padanya, “Mengapa
engkau mengambil kesempatan waktu dalam memerangi Daulah Islamiyyah bertepatan
dengan dimulainya peperangan antara Daulah Islamiyyah dan FSA di semua batalyon
lain di medan tempur, baik itu di Idlib, Lattakia, dan Hamah?” Dia menjawab,
“Kami memang telah mengadakan rencana bersama mereka dan mengambil keuntungan
dari kebijakan Daulah Islamiyyah untuk memerangi kelompok-kelompok tersebut”.
Dabiq:
Apa sikap para anggota Jabhah al Jawlani di awal
peperangan dengan Daulah Islamiyyah? Apakah berbeda dengan sikap Jawlani dan
orang-orang terdekatnya?
Abu
Samir: Abu ‘Abbas ad Darir menyebutkan sebuah
insiden yang membuat perkara ini nampak lebih jelas. Dia pergi menuju wilayah
al Khayr untuk mencari tahu sebab alasan mengapa Abu Mariyah menunda pengiriman
bantuan untuk memerangi Daulah Islamiyyah, oleh karena Abu Mariyah menjanjikan kepadanya
ratusan orang dan konvoi demi konvoi pasukan – sebagaimana yang diklaim olehnya
– untuk memerangi Daulah Islamiyyah di Raqqah. Ketika menghitung jumlah pemuda
yang telah dikumpulkan al Harari, terkuaklah bahwa personel pasukan bantuan itu
hanya berjumlah 60 orang saja. Abu ‘Abbas mengerahkan mereka semua untuk
melawan Daulah Islamiyyah, namun dalam perjalanan ada sesuatu yang merusak
rencana tersebut. Salah seorang personel Jabhah an Nushrah melihat papan tanda
yang bergambar bendera Daulah Islamiyyah. Maka dia berteriak, “Daulah Islam,
baqiyyah!” Lalu Abu ‘Abbas menghentikan konvoi dan bertanya kepada mujahid
tersebut, “Apa yang kamu katakan?” Dia menjawab, “Daulah Islam, baqiyyah.
Mereka adalah saudara-saudara kita”. Abu ‘Abbas kembali bertanya, “Apakah kami
tidak tahu ke mana kamu hendak berangkat?” Dia mejawab, “Aku tidak tahu”. Abu
‘Abbas berkata, “Bagaimana bisa kamu tidak mengetahuinya? Kamu akan pergi
memerangi Daulah Islamiyyah. Apakah Abu Mariyah tidak memberitahumu tentang hal
ini?” Sang pejuang tadi berkata, “Kami tidak ingin memerangi Daulah Islamiyyah
dan kami tidak setuju untuk memeranginya. Abu Mariyah berkata bahwa kami
diberangkatkan untuk melakukan ribath di Divisi 17”. Adanya insiden ini
menjelaskan padaku adanya unsur penipuan yang dilakukan Jabhah an Nushrah di
kawasan timur yang berada di bawah komando Abu Mariyah, bahkan terhadap para tentaranya
untuk memudahkan makar dan perang terhadap Daulah Islamiyyah.[3]
Dabiq:
Pada waktu itu apa sikap anggota faksi-faksi yang
memerangi Daulah Islamiyyah? Apakah mereka harus diyakinkan dulu untuk
memerangi Daulah Islamiyyah seperti halnya para pemimpinnya?
Abu
Samir: Sebagian besar prajurit faksi-faksi
“Islam” yang berperang melawan Daulah Islamiyyah pada saat itu tidak setuju
untuk memeranginya. Aku teringat terhadap sebuah peristiwa yang mampu menjelaskan
hal ini. Jawlani mengatakan kepadaku bahwa Ahrar Asy Syam telah membentuk
sebuah kelompok yang disebut dengan nama “Sel Krisis”, terdiri dari Abu ‘Ali
Taibah, Abu Zaid Asy Syar’i, Abu Jamil Quthb, Abu Anas Saraqib, dan Abu al
Khayr. Barangkali aku keliru menyebutkan salah satu nama tersebut, tetapi empat
diantaranya aku meyakini kebenarannya. “Sel Krisis” ini datang menemui Jawlani.
Aku bertanya kepadanya, “Apa keperluan mereka untuk menemuimu?” Dia menjawab,
“Mereka mendatangiku untuk meyakinkan padaku kekufuran Daulah Islamiyyah, dimana
Daulah adalah sebuah organisasi yang bekerja untuk kepentingan Iran yang
mengimplementasikan politik Rofidhoh di Syam. Dan mereka merupakan bagian dari
makar Iran”. Jawlani mengaku bahwa dia membahas hal itu bersama mereka, lalu
berkata, “Tuduhan itu tidaklah logis”. Akan tetapi mereka tetap bersikeras
menginginkan tuduhan itu, dan menginginkan fatwa atasnya, guna meyakinkan
pasukan mereka untuk memerangi Daulah Islamiyyah karena sebagian besar darinya
tidak yakin, tidak menyetujui, dan menolak peperangan terhadap Daulah
Islamiyyah. Sementara itu para pimpinan mereka tengah berusaha keras mencari
dalih untuk meyakinkan pasukannya agar memerangi Daulah Islamiyyah, maka mereka
berjuang untuk menawarkan vonis kufur terhadap Daulah Islamiyyah yang diberi
nama “politik takfir”. [4]
Dabiq:
Beberapa orang masih berpikir bahwa kesepakatan faksi-faksi
kelompok tersebut untuk memerangi Daulah Islamiyyah merupakan sebuah “kebetulan”. Apakah hal itu benar?
Abu
Samīr: Itu tidak benar. Mobilisasi
peperangan yang gila ini tidaklah timbul secara kebetulan. Aku mengetahuinya melalui pengalamanku di lapangan bahwa FSA,
batalyon-batalyon lain, dan bahkan “Jabhah an Nushrah,” saat hendak melakukan
aksi militer, jika pun terbatas, mereka butuh waktu berhari-hari dan banyak
menggelar pertemuan untuk merencanakannya, merumuskannya, dan mengadakan kesepakatan
terkait peran masing-masing kelompok anggota di dalam aksi militer tersebut.
Adapun jika hal itu terjadi secara kebetulan dalam sehari semalam seperti yang
mereka klaim dan katakan, termasuk yang diklaim oleh al Muhaisini, maka hal itu
tidaklah benar. Justru realitanya menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi lewat
kerjasama langsung dan tidak langsung antara Barat, FSA, dan berbagai faksi
lainnya. Tidak mungkin bagi semua kelompok untuk ikut andil bersama-sama di
saat yang sama dan tanggal yang sama melawan Daulah Islamiyyah dengan jalan
seperti ini.
Dabiq:
Apakah Anda melihat target khusus yang ingin dicapai
oleh Jabhah al Jawlani?
Abu
Samir: Faksi-faksi kelompok di Syam
itu tidaklah memiliki target apapun melainkan
pendistorsian atas makna hakimiyyah dan ini merupakan fitnah pada masa ini.
Hukum Allah tidak hanya berupa bangunan yang disebut “mahkamah”! Hukum-hukum
Allah dan syari’atNya lebih luas dan lebih komprehensif daripada hal tersebut.
Makna syari’at Allah sekarang telah mengalami distorsi dan dibatasi hanya pada
wilayah mahkamah dan komite arbitrase. Melalui ini, manusia disesatkan agar
percaya bahwa hukum Allah ada di dalamnya. Padahal sesungguhnya, hukum Allah
tidak akan terwujud kecuali dengan pendirian sebuah negara dan pengangkatan
seorang amir yang menerapkan hukum Allah kepada manusia dan mengatur mereka
dengan syari’atNya.[5]
Aku masih ingat saat
batalyon-batalyon “Islam” moderat terbesar di Suriah mengumumkan pembentukan kelompok
yang disebut dengan “Jabhah Islamiyyah.” Ketika itu aku bertanya kepada
Jawlani, “Jika kau menolak penegakan Daulah Islamiyyah dan perjuangannya untuk
berhukum dengan hukum Allah di muka bumi dan menundukkan manusia padanya, lalu
kenapa kau tidak bergabung saja dengan ‘Jabhah Islamiyyah’ dan proyek adz
Dzowahiri?” Dia menjawab, “Aku lebih mengetahui peta lapangan daripada Dr.
Ayman dan kita tidak suka dengan manhaj politik ‘Jabhah Islamiyyah’.
Karena itu, kita menginformasikan
Dr. Ayman bahwa kita tidak akan bergabung dengan mereka”. lalu kukatakan
kepadanya, “Dengan ini, kau mengumumkan adanya proyek ketiga di lapangan, lalu
apakah itu? Kau tidak menyukai misi dan penerapan hukum Allah oleh Daulah
Islamiyyah di muka bumi melalui kekuatan dan kau juga tidak menyukai proyek
meraup dukungan massa dan bergabung dengan kebanyakan massa manusia di negeri
ini dan di lapangan bersama faksi-faksi kelompok yang telah ada. Lalu apa
gerangan proyek ketiga yang di benakmu itu?” Dia terdiam dan aku tidak
mendapatkan jawaban apa pun darinya. Akan tetapi, kemudian dia berkata, “Kita
akan mencoba mereformasikan dukungan massa hingga ia menjadi salah satu manhaj
yang sesuai dan orientasi politik yang pantas”.
Pada saatu itulah adz Dzowahiri
mengirimkan tiga surat, dua untuk Ahrar Asy Syam yang ditujukan kepada Abu Khalid
As Suri dan satunya kepada Jawlani. Surat tersebut berisikan seruan dari adz
Dzowahiri pada “Jabhah An Nushrah” untuk bergabung ke dalam “Jabhah Islamiyyah”
dan dia menyatakan penundaan untuk bergabung dalam jama’ah tersebut merupakan
sebuah kesalahan. Karena itu, aku kemudian menanyakan bagaimana balasannya
terhadap perintah tersebut, maka dia berkata, “Aku tidak akan menyetujui
peritnah itu kecuali dengan syarat”. Saya bertanya kepadanya, “Syarat apa itu?”
Dia berkata, “Zahran ‘Allusy dan ‘Jaisy Al-Islam’ keluar dari formasi Jabhah
Islamiyyah”.[6] Saya kembali bertanya kepadanya, “Apa lagi syaratnya?” Dia
mengatakan bahwa ‘Jabhah Islamiyyah’ memiliki struktur yang terdiri dari
seorang direktur jenderal, pengawas syar’i, dan biro politik luar negeri yang
berbicara atas nama ‘Jabhah Islamiyyah,’ yaitu Abu ‘Abdillah al Hamawi. Dia
tidak menginginkan hanya satu pengurus disana yang menerima delegasi luar
negeri, namun menginginkan jumlah tiga orang. Maka aku katakan padanya, “Jadi
kau setuju untuk bertemu dengan politisi thowaghit?” Dia menjawab, “Ya, apa ada
yang salah dengan hal itu?” Lalu dia berkata, “Apakah kau tidak menyaksikan dan
mendengar bagaimana Taliban bermajelis bersama dengan Pakistan dan Qatar serta
membuka kantor di Qatar?” Dia hendak menyoroti Talidan dan tindakan mereka agar
dia diperkenankan melakukan hal yang sama, terutama setelah adz Dzowahiri
memproklamirkan bai'at dirinya kepada Mullah ‘Umar. Pada asalnya, dia
menyatakan secara tidak langsung, bila “amir kita” saja bisa melakukan hal ini,
maka mengapa kita tidak diperbolehkan melakukannya? Abu Khalid as Suri, mantan
pemimpin “Jabhah Islamiyyah” yang nasionalis.
Dabiq:
Lalu, langkah apa ditempuh oleh Jabhah al Jawlani sekarang?
Abu
Samir: Kenyataannya adalah “Jabhah an
Nushrah” tidak mempnyai langkah khusus atau proyek dengan bentuk yang jelas.
Karena ia berada dalam bayangan pola global yang jahat serta melakukan makar
melawan manhaj yang shahih, dimana para pengikutnya juga berupaya untuk memikat
dan mengakomodasi semua tujuan itu, kini kami mengetahui bahwa “Jabhah An
Nushrah” secara efektif bergabung dalam misi jahat tersebut dan membenamkan
diri ke dalamnya. Manhaj infiltrasi “Jabhah An Nushrah” mendorongnya untuk
menyerahkan diri kepada politik regional dan tidak mempunyai kejelasan dan
keistiqamahan dalam setiap sikapnya, sementara ia berada di bawah bayang-bayang
yang membuat tata organisasinya berserakan dan memiliki rencana yang salah.
Maka kekuatan dalam dan luar akhirnya memanipulasi “Jabhah An Nushrah”.
Gambaran
ketidakberdayaan yang jelas dari “Jabhah An Nushrah” nampak ketika mereka
mengutuk tindakan-tindakan Daulah Islamiyyah dan realita memaksa mereka untuk melakukan cara yang persis sama yang dilakukan oleh
Daulah Islamiyyah, karena tidak ada jalan lain menuju pada konsolidasi kekuatan
kecuali dengan menempuh apa-apa yang telah dilakukan oleh daulah Islamiyyah.
Selain itu, sikap mereka berkaitan dengan faksi-faksi yang mereka jadikan sebagai
sekutu. Contohnya, mereka mengutuk Daulah Islamiyyah karena menetapkan takfir
terhadap “Jabhah Islamiyyah,” syar’i Abu Muhammad (Abu ‘Abdillah Asy Syami)
sebelumnya telah menggambarkan “Jabhah
Islamiyyah” sebagai “Hamas Masa Depan” (merujuk pada manhaj sesat Hamas dan hukum
junjungan mereka yang berdasarkan hukum buatan manusia). Dan dia termasuk orang
yang paling tahu mengenai keadaan mereka. Karena dia dahulu termasuk salah satu
anggotanya, dan tiga saudara lelakinya adalah pemimpin di Ahrar Asy-Syam, di antaranya
ialah saudaranya yang bernama Abu al Khayr yang merupakan wakil dari Abu
‘Abdillah al Hamawi dan terbunuh bersama dengannya dalam sebuah ledakan yang
sangat terkenal. Dan dia dahulu menggambarkan mereka sebagai “Hamas Masa Depan”!
Jaulani sendiri berkata kepadaku, “Ahrar asy Syam adalah shahawat masa depan,
tetapi Daulah Islamiyah tergesa-gesa dalam memerangi mereka!”[7]
Aku juga pernah bertanya kepada
Jawlani mengenai FSA setelah “Jabhah an Nushrah” memandang harta dan senjata
mereka halal untuk dirampas di Idlib, “Apakah kamu mengkafirkan mereka?” Dia
menjawab, “Ya”.[8] Sama sekali saya tidak heran, karena kita mengkafirkan FSA
yang murtad setiap kali dia berkumpul dengan mereka. Aku kembali berkata kepadanya,
“Lalu mengapa engkau mengutuk Daulah Islamiyyah atas kebijakannya memerangi FSA
dan bagaimana Daulah Islamiyyah melawan Hayyani, Jazarah, dan seluruh pasukan
FSA? Beberapa hari yang lalu engkau mencela mereka dan menuduh kebijakan Daulah
Islamiyyah adalah penyebab terjadinya fitnah dan perang antar faksi di Halab,
Idlib, Hamah, dan Latakia, namun sekarang engkau sendiri melakukan hal yang
sama.”
Walaupun seluruh diskusi ini
terjadi di antara para pimpinan, realita mereka bertentangan dengan pernyataan
mereka sendiri yang tidak mereka umumkan. Hal ini semata-mata terjadi lantaran
sikap penuh kerancuan, keraguan, dan kompromi hingga slogan-slogan “Jabhah An
Nushrah” di lapangan benar-benar dangkal dan tidak konsisten karena tidak memiliki
makna yang jelas.
Di manakah tanggung jawab dakwah
untuk menjelaskan kebenaran, dan mewujudkannya di antara manusia? Bukankah kita
seharusnya mengajak manusia kepada ‘aqidah yang shahih dan membebaskan bumi dari
kekuasaan thawaghit? Bukankah membebaskan hati dan membebaskan manusia dari
kesyirikan adalah tugas kita, dan bukannya menipu, memanfaatkan, dan
mengeksploitasi mereka demi tujuan dan kepentingan sehingga semuanya bisa kita
kompromikan! Bukan dengan menyesatkan mereka dan diam terhadap kebatilah yang
ada pada mereka dan dengan sanjungan! “Jabhah an Nushrah” mengira bahwa hasil
dari kebijakan ini ialah mereka mengontrol berbagai pihak yang ada di lapangan,
namun waktu akan membuktikan sebaliknya. Awal dari persoalan ini mungkin sudah
tampak jelas dengan dideklarasikannya koalisi “Jaisyul Fath” dan demikian pula
dengan melebur dan hilangnya Jabhah An Nushrah di Ghuthoh Timur dan selatan
Damaskus. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Afghansitan setelah berakhirnya
perang melawan Rusia tidak tersembunyi dari siapa pun yang memiliki wawasan dan
akal.
Dabiq:
Adakah orang yang memiliki pandangan yang sama dengan
Anda? Apakah ada orang di sana yang memiliki kesimpulan yang sama?
Abu
Samir: Ya, tentu saja. Dan aku akan
mengatakan apa yang aku lihat sebelum berhijrah ke Daulah Islamiyyah. Ketika
itu aku pergi meninggalkan Jabhah Al Jawlani dan mengikuti berbagai
perkembangan, aku memutuskan untuk kembali ke barisan Daulah Islamiyyah setelah
menyaksikan dan mendegar berbagai hal. Selain itu, aku sejatinya juga putera
Daulah Islamiyyah. Pada saat itu, aku berbincang-bincang kepada dua orang yang
tengah mengeluhkan diriku sendiri kepada Allah (‘azza wa jalla) dan untuk
menyampaikan catatan kesaksianku dan apa yang aku alami setelah meninggalkan
Jabhah al Jawlani. Aku menemui dua penasihat dan pemimpin “Jabhah an Nushrah”. Salah
seorang diantara mereka – sudah sangat dikenal di antara “Jabhah An Nushrah” –
merupakan delegasi Aiman adz Dzowahiri. Dia orang yang berbicara dan menyampaikan
pesan kepada adz Dzowahiri mengenai setiap kejadian yang ada di medan Syam.
Ketika aku duduk bersamanya dalam suatu pertemuan yang berlangsung selama 10
jam, aku menjelaskan kepadanya sejarah dan tindak tanduk Jawlani, dewan
syura’nya dan pendapatku mengenai situasi di lapangan.
Dia berkata kepadaku, “Akhi
yang aku hormati, kami lebih mengetahui daripada apa-apa
yang engkau katakan dan kami mengumpulkan banyak hal yang lebih jelas
daripadamu”. Aku terlejut! Dia berkata, “Ya, aku mempunyai lebih banyak bukti
daripada yang kau miliki”. Aku berkata kepadanya, “Subhanallah! Pada Hari
Pembalasan, ini akan menjadi bukti atas pengingkaranmu! Lalu apa yang musti kau
lakukan dengan setiap ucapanmu itu? Aku mempunyai sejarah, fakta, dan cerita
yang terjadi antara diriku dan Jawlani, dewan syura'nya, fakta lapangan, dan
pendapatku terhadap hal ini, juga telah membuat keputusan dan menyelesaikan perkara
yang terjadi, sementara kau mengatakan lebih mengetahui banyak hal daripada
diriku, maka menurutmu apa yang harus kau lakukan?” Dia berkata, “Saat ini kami
adalah dewan rekonsiliasi. Kami memproses perkara-perkara yang kau sebutkan dan
bekerja untuk mereformasi organisasi ini”. Aku berkata, “Subhanallah! Apakah
ini adalah ‘gantungan kain’ di mana engkau menggantungkan sikapmu? Karena aku
percaya bahwa seorang pembaharu pastilah mempunyai batasan waktu atau proyek multilevel
yang menjadi dasar pijakan baginya untuk mereformasi atau mengubah sesuatu.
Lantas, apakah engkau melihat suatu perubahan? Apakah kau memandang dirimu
mampu untuk melakukan perubahan?”
Yang lebih membuat sikapku semakin
keras padanya ketika dia menceritakan diumumkannya “imarah” oleh Jawlani dalam
pidato terkenalnya di Idlib. Dia tidak mengkonsultasikan rencana itu kepada
siapa pun sejak awal, baik itu pada utusan adz Dzowahiri maupun orang-orang
yang dipercayainya ketika bersamanya. Jawlani telah meminta delegasi adz
Dzowahiri dan al Muhaisini guna hadir dalam acara pidato tersebut yang akan
dibacakan dan disebutkan di dalamnya “sesuatu yang besar”! Mereka tidak tahu
apakah gerangan sesuatu yang besar tersebut dan delegasi adz Dzowahiri tersebut
mengatakannya kepada saya secara rinci, “Jawlani ingin memanfaatkan diriku
untuk membacakan sebuah pidato yang isinya terkait pembentukan imarah dan
semacamnya”. Lalu dia berkata, “Aku terkejut mendengar hal itu karena dia sama
sekali tidak membicarakan hal itu terlebih dahulu padaku dan tidak pernah mendiskusikan
tentang ini sebelumnya,”. Akan tetapi, al Muhaisini yang bukan anggota “Jabhah
an Nushrah” dan sejak awal juga tidak mempunyai bai’at kepada “Jabhah an
Nushrah” berbicara dengan lantang dan berpidato dengan disertai rasa antusiasme
yang tinggi dan teriakan takbir saat diumumkannya rencana penegakan “Imarah
Islam” yang mereka klaim itu.
Aku mengatakan kepadanya,
“Bagaimana bisa engkau mengklaim sebagai bagian dari reformasi dan engkau akan mengadakan
perubahan, sedangkan engkau bahkan tidak ikut dilibatkan dalam perkara besar
tersebut?! Bagaimana bisa engkau mengadakan perubahan terhadap apa yang engkau
ingkari hari ini?” Dia mengatakan, “Hanya pada Allahlah tempat memohon
pertolongan. Kami mencoba mengubahnya”. Dia mengatakan hal ini dengan nada
pasrah dan penuh kekalahan. Maka aku katakan padanya, “Saudaraku yang mulia,
aku memohon kepadamu demi Allah; mengapa engkau tidak memberitahu adz Dzowahiri
dan menginformasikan padanya mengenai hal ini?” Dia menjawab, “Siapa bilang aku
tidak memberitahunya semua hal ini?
Kemudian aku menimpalinya dengan
berkata, “Allahu Akbar! Apa jawabannya?” Dia mengakui bahwa adz Dzowahiri
“tidak mempunyai kekuatan otoritas apapun untuk melakukan apa-apa”! Setelah itu
aku bertakbir, sujud kepada Allah sebagai rasa syukur, dan berkata,
“Subhanallah, jika adz Dzowahiri tidak memiliki kekuasaan, lalu organisasi apa
yang sedang dia pimpin! Alhamdulillahi rabbil ‘alamin! Aku berlepas diri dari
organisasi yang pemimpinnya tidak mempunyai otoritas terhadap apa yang
dipimpinnya!” Dengan demikian, maka pendirianku untuk meninggalkan “Jabhah An
Nushrah” semakin kuat. Ia tidaklah lebih dari sekedar sekumpulan geng untuk
kawasan yang kecil. Setiap pemimpin memiliki kawasan tersendiri. Dan ini adalah
kesaksian dari delegasi Ayman adz Dzowahiri kepadaku.[9]
Dabiq:
Sebagai penutup, kami mohon kepada Allah agar menjadikan
kesaksian ini untuk membimbing orang-orang yang tetap berada dalam Koalisi
Shahawat agar bertaubat secara tulus dan menjadikan kesaksian ini sebagai
timbangan amak shalihmu. Jazakallahu khairan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar