8/16/2019

DARI PERANG AL-AHZAB HINGGA PERANG KOALISI


DARI PERANG
AL-AHZAB
HINGGA PERANG KOALISI

“Tidak ada seorangpun yang pernah datang membawa seperti apa yang engkau bawa kecuali dia akan dimusuhi”
Inilah apa yang dikatakan oleh Waraqah ibn Naufal kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tentang reaksi kaumnya terhadap da‘wah. Waraqah berharap andai dia menemani Nabi di saat Nabi diusir, akan tetapi Waraqah tidak pernah mendapati saat-saat itu.

Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah itu memulai misi yang mana Allah telah mengutus beliau dengannya. Umatnya menjawab seruan Rasulullah dengan permusuhan yang besar. Mereka menuduh beliau sebagai tukang sihir, pembohong, orang gila, orang yang terkena sihir, pendongeng, peniru, dan tuduhan lainnya… padahal mereka sebelumnya menganggap beliau sebagai seorang yang jujur dan dapat dipercaya! Mereka menawarkan kepada beliau tahta, wanita dan harta, tetapi beliau menolak itu semua karena keikhlasan dan demi meraih keridhoan Rabbnya. Mereka berencana untuk membunuh atau mengusir beliau, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala membuat makar terhadap musuh-musuh Nabi-Nya dan memerintahkan beliau untuk meninggalkan negeri yang paling diberkahi di muka bumi – Makkah - menuju tempat tinggal baru di Madinah.

Sebuah negara yang didirikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam itu lalu menga-rahkan pasukan perangnya untuk menghadang kafilah kaum musyrikin, peristiwa yang kemudian menjadi pemicu perang besar; Perang Badr. Kaum musyrikin yang marah pun segera mengirimkan utusan dan pasukan perang mereka, hingga kemudian kaum muslimin harus menghadapi perang terhadap orang-orang musyrik Arab, suku-suku badui jazirah Arab, orang-orang Yahudi dan kaum munafik Madinah. Daulah Nabawiyah itu pun terus tumbuh dan menguat, begitu juga kedengkian dan kemarahan orang kafir yang terus memuncak hingga menjelma men-jadi Perang Ahzab (Sekutu-sekutu). Kaum Yahudi berencana jahat bersama kaum munafikin untuk meyakinkan suku-suku Arab melakukan penyerangan ke kota Madinah, sementara mereka akan membuat gejolak dari dalam. Suku Quraisy dan Kinanah, serta sekutu mereka bergerak maju dari arah selatan, sedangkan Ghathafan dan sekutu mereka maju dari arah timur. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu pejuang dan mengepung kota Madinah selama satu bulan, sementara umat Islam sangat kalah dalam jumlah. Tapi kesabaran mereka dalam menghadapi peperangan, rasa takut, lapar dan cuaca, membuat kaum muslimin mampu untuk merebut kemenangan, dan bisyarah ke-nabian mengabarkan bahwa kini kaum muslimin yang akan menyerang kaum musyrikin dan kaum musyrikin kini yang akan bertahan.

Perang Ahzab Baru
Sebagaimana para shahabat yang harus menghadapi koalisi berbagai pihak; Yahudi, Pagan, dan golongan munafik dalam perang Ahzab, kaum Muslimin dari Daulah Islam juga menghadapi berbagai koalisi kuffar yang memiliki kepentingan bersama untuk menghancurkan Khilafah. Dan sebagaimana reaksi para shahabat terhadap pasukan Ahzab adalah merupakan bentuk keimanan, “Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka” [Al-Ahzab: 22], demikian juga seharusnya reaksi umat Islam ketika melihat banyaknya koalisi yang bersatu dan memobilisasi. Di sini kita akan mencoba untuk memberikan sejumlah wawasan tentang beragam koalisi sehingga kaum Muslimin dapat berusaha untuk melawan mereka baik dengan kata dan perbuatan karena “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia bagian dari mereka. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Ibnu Umar] dan agar supaya {jalan orang-orang yang berdosa terlihat jelas} [Al- An‘am: 55].

Koalisi Salibis
Meskipun koalisi ini mungkin muncul belum lama, yakni dibentuk pada tahun “2001 yang dikenal dengan “Operation Enduring Freedom. Dengan cepat hal ini meluas hingga ke Philipina, Tanduk Afrika, Trans Sahara, dan Kaukasia. Pada tahun 2003 tentara salib kembali meluncurkan kampanye perang kedua dengan sandi yang dikenal Operation Iraqi Freedom, disusul dengan kam-panye ketiga dengan sandi “Operation Inherent Resolve yang diluncurkan pada tahun 2014 di Iraq dan Suriah terhadap Islamic State.[2] Namun tidak ada satupun dari operasi ini yang berhasil membungkam kebangkitan kembali Khilafah baik kelangsungannya atau ekspansinya. Namun khilafah tetap bertahan dengan tekad yang tetap me-lekat, sebagai hasil dari Tauhid dan al-Wala` wal-Bara`.

Koalisi terbaru tentara salib terhadap Iraq dan Suriah (Operation Inherent Resolve) secara resmi terdiri dari beberapa negara dan kelompok berikut:
Albania, Liga Arab, Australia, Austria, Bahrain, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Denmark, Mesir, Estonia, Uni Eropa, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hungaria, Islandia, Irak, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Kosovo, Kuwait, Latvia, Lebanon, Lithuania, Luksemburg, Makedonia, Moldova, Montenegro, Maroko, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Oman, Panama, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Korea (Korea Selatan), Rumania, Saudi Arabia, Serbia, Singapura, Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Taiwan, Turki, Ukraina, Uni Emirates, Inggris, dan Amerika Serikat.

Rezim lain dan pasukan yang didukung oleh Barat namun tidak disebutkan pada daftar di atas namun ikut ambil bagian dalam perang melawan Islamic State di wilayah-wilayah lain. Uni Afrika, Benin, Kamerun, Chad, Niger dan Nigeria semuanya terlibat dalam perang melawan Wilayah Afrika Barat. Afghanistan, Armenia, Azerbeijan, Mongolia, NATO dan Pakistan – ditambah dengan be-berapa negara yang disebutkan pada daftar di atas – terlibat dalam perang melawan Wilayah Khurasan. Aljazair, Libya, Tunisia, dan Yaman terlibat dalam perang melawan Islamic State di dalam daerah perwakilan mereka. Negara Yahudi juga secara terbuka terlibat dalam perang melawan Wilayah Sinai, ditambah keterlibatan mereka secara diam-diam bersama Salibis di banyak kampanye perang mereka terhadap wilayah Islamic State. Dewan Kerjasama negara Teluk, India, Indonesia, Malaysia, OKI, Kyrgistan dan Swiss juga terlibat – baik dalam bidang politik, finansial, intelijen dan banyak dari mereka juga dalam level militer – dalam kampanye melawan Islam dan Khilafahnya. Maka di sana terdapat sekutu paling penting Amerika, yaitu: Iran, Suriah dan Rusia.

Front Stage Cooperation
Meskipun kerjasama Pasukan Salib Barat bersama Iran, Suriah dan Rusia tidak bisa dipungkiri, mereka berusaha mengecilkan peran ini secara resmi untuk menutupi perang mereka dalam perang Safawi terhadap kaum Muslimin. Di sini kita akan mencoba menyajikan beberapa ulasan tentang hubungan yang keberadaannya sangat jelas terlihat seperti mentari di tengah siang.

Bahkan sebelum operasi 11 September yang penuh berkah, Amerika telah bekerja sama dengan Iran melalui PBB "Six Plus Two Group on Afghanistan," salah satu bagian dari rencana melawan para mujahidin Khurasan. Setelah 11 September, kerjasama ini berkembang menjadi apa yang nanti akan dikenal sebagai "The Geneva Contact Group" selama masa presiden Salibis George W. Bush. Kerjasasama ini mensyaratkan Iran untuk menyediakan intelijen bagi tentara salib, membangun hubungan antara tentara salib dan "Aliansi Utara," dan menangkap mujahidin yang berusaha untuk menyeberangi perbatasan Iran dalam perjalanan mereka menuju Kurdistan Irak atau tujuan lainnya. Iran telah menyediakan beberapa pelabuhannya dan pangkalan udara untuk misi tentara salib, "Korps Pengawal Revolusi Islam" mereka bekerja sama dengan US Special Ops dan CIA di Afghanistan, dan mengambil bagian dalam pembentukan rezim boneka murtad Afghanistan. Beberapa bulan menjelang invasi Amerika ke Irak, Amerika kembali bekerja sama dengan Iran, tapi kali ini terutama melalui British Foreign and Commonwealth Office. Kerjasama ini mencapai puncak melalui pembentukan rezim Safawi Irak, yang pada dasarnya adalah boneka Iran.[6]

Pada "6 November 2014," "Wall Street Journal" merilis sebuah artikel berjudul “Obama Wrote Secret Letter to Iran‘s Khamenei about Fighting Islamic State – Presidential Correspondence with Ayatollah Stresses Shared U.S.- Iranian Interests in Combating Insurgents, Urges Progress on Nuclear Talks”. Dalam artikel itu, mereka melaporkan bahwa "Obama diam-diam menulis surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei" dan di dalam suratnya "dijelaskan kepentingan bersama dalam memerangi militan Negara Islam di Irak dan Suriah." Surat itu "bertujuan untuk memperkuat kampanye melawan Islamic State dan menyinggung pemimpin agama Iran agar lebih dekat dengan kesepakatan nuklir" dan juga menekankan "bahwa kerjasama apapun dalam masalah Islamic State adalah bagian besar Iran untuk mencapai kesepakatan yang komprehensif dengan kekuasaan global bagi program nuklir Teheran di masa depan." Surat itu juga "merupakan surat yang ditandatangani setidaknya keempat kalinya oleh Obama yang ditulis bagi pemimpin politik dan agama yang paling kuat di Iran sejak menjabat pada tahun 2009 dan berjanji untuk terlibat dengan Pemerintah Islam Teheran" dan "menggarisbawahi bahwa Obama memandang Iran penting … baginya untuk mengerahkan Kampanye militer dan diplomatik untuk mengusir Islamic State dari wilayah yang telah mereka kuasai." Melalui surat itu, Obama berusaha "untuk meredakan kekhawatiran Iran tentang masa depan dari sekutu dekat mereka, Presiden Basyar al-Assad dari Suriah" dan meyakinkan Iran bahwa "operasi militer AS di dalam Suriah tidak menargetkan Assad atau pasukan keamanannya." Mereka juga melaporkan bahwa "pemerintahan Obama melakukan pembicaraan rahasia dengan Iran di ibukota Oman di Muscat pada pertengahan 2012" dan bahwa "Sekretaris Pers Gedung Putih Josh Earnest ... mengakui bahwa pejabat AS dahulu pernah berdiskusi membahas tentang kampanye Islamic State dengan para pejabat Iran di sela-sela pembicaraan nuklir internasional. Dia menambahkan bahwa negosiasi tetap berpusat pada pembicaraan tentang program nuklir Iran." Mereka juga melaporkan bahwa "Obama mengirim dua surat untuk pemimpin tertinggi Iran berusia 75-tahun itu selama semester pertama tahun 2009, mengajak perbaikan hubungan AS-Iran ... Hubungan AS-Iran telah dicairkan jauh sejak pemilihan Presiden Hasan Rouhani pada bulan Juni 2013. Dia dan Obama melakukan panggilan telepon selama 15 menit pada bulan September 2013, Messrs. Kerry dan Zarif telah rutin menyelenggarakan pembicaraan langsung tentang diplomasi nuklir dan masalah regional" dan bahwa "Departemen Luar Negeri telah mengkonfirmasi bahwa para pejabat senior AS telah berdiskusi tentang Irak dengan Zarif di sela-sela perundingan nuklir di Wina. Para diplomat AS juga telah meneruskan pesan ke Teheran melalui Pemerintahan Abadi di Baghdad dan melalui kantor Irak Ayatollah Ali al-Sistani, salah seorang pemimpin agama yang kuat paling di dunia Syiah. Di antara pesan yang disampaikan ke Teheran, menurut pejabat AS, adalah bahwa operasi militer AS di Irak dan Suriah tidak bertujuan untuk melemahkan Teheran atau sekutu-sekutunya. "Kami telah meneruskan pesan ke Iran melalui pemerintah Irak dan Sistani mengatakan bahwa tujuan kami adalah melawan ISIL," kata seorang pejabat senior AS memberitahu tentang komunikasi ini. "Kami tidak menggunakan ini sebagai alat untuk menduduki kembali Irak atau melemahkan Iran.'"

Setelah surat ini, Rafidhah Khamenei menjawab surat itu dengan menulis kepada Obama. "Wall Street Journal" melaporkannya dalam sebuah artikel pada "13 Feb 2015" berjudul "Ayatollah Iran Mengirim Surat Baru kepada Obama di tengah Pembicaraan Nuklir" di mana Khamenei merespon positif dengan melayangkan sebuah surat untuk mencari hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat dan kerjasama lebih lanjut melawan Islaic State.

Tapi kerjasama itu sebenarnya sudah ada di permukaan sejak beberapa lama. Pada tanggal 31 Agustus 2014, "New York Times" merilis sebuah artikel berjudul "U.S. and Iran Unlikely Allies in Iraq Battle." Mereka melaporkan bahwa seorang pejabat pemerintahan senior AS mengatakan, "Setiap kerjasama dengan milisi Syiah bukanlah dilakukan oleh kami – ini dilakukan oleh ISF ['Iraqi Security Force‘]" dan kemudian komentar pada kata-katanya: "Tapi tentu saja diketahui bahwa milisi Syiah telah bertempur bersama tentara kita dalam beberapa bulan terakhir di saat ancaman ISIS semakin jelas." Kemudian dalam artikel tersebut, mereka mengatakan bahwa "Pemerintahan Obama mencoba menghindari agar tidak terlihat telah ambil bagian dalam perang sektarian, karena milisi Syiah terutama ditakuti oleh Sunni Irak. Tapi untuk akhir pekan ini setidaknya, realitas di lapangan tampaknya mengesampingkan kekhawatiran untuk mendukung milisi secara efektif." Sebenarnya, Amerika telah bekerja sama dengan negara Iran, pasukannya, dan milisinya, tetapi melalui rezim Irak Safawi – hal ini meniru orang-orang Yahudi yang bekerja tetapi "tidak bekerja" di hari Sabtu walau telah dilarang sehingga mereka dirubah menjadi kera dan babi. Ini mirip dengan Klaim Jabhah Jawlānī bahwa mereka tidak bekerja sama dengan para thaghut ketika mereka bekerja sama dengan faksi-faksi milik para thaghut ...

Adapun kerjasama Amerika dengan rezim Suriah, maka ini telah terjadi sejak program rendisi AS yang memperlihatkan banyaknya mujahidin yang dikirim ke Suriah hanya untuk disiksa di tangan orang-orang Ba‘ath Nusairiyyah atas nama Amerika. Rezim Suriah juga berada di balik tindakan keras yang terjadi di Suriah terhadap semua pendukung jihad melawan Amerika di Irak pada saat munculnya Sahwah pro-Amerika. Banyak dari faksi Sahwah ini akan menempatkan pemimpin mereka di Suriah dan khotbah Jumat diarahkan untuk mendukung mereka. Kerjasama AS-Suriah terlihat nyata akhir-akhir ini dalam serangan udara tentara salib. "Washington Post" melaporkan pada tanggal 23 September 2014 dalam sebuah artikel berjudul "Syria Informed in Advance of U.S.-Led Airstrikes against Islamic State" bahwa Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan, "Suriah diberi informasi oleh pihak Amerika dalam serangan udara terhadap target sasaran termasuk pertahanan Islamic State." Artikel itu menambahkan bahwa ini "Ditandai dengan penampilan yang jarang, interaksi antara Washington dan utusan Presiden Suriah Basyar al-Assad. ... Letnan Jenderal William C. Mayville Jr., Direktur operasi Pentagon, dia menjelaskan bahwa radar militer Suriah menjadi 'pasif' selama serangan, dengan tidak ada usaha untuk melawan mereka. ... cakupan ini menunjukkan hal kecil tapi merupakan pergeseran penting Amerika Serikat dan sekutunya, yang sebelumnya telah memberikan dukungan diplomatik dan militer secara terbatas kepada pemberontak yang berusaha menggulingkan Assad. Perluasan Serangan udara yang dipimpin AS ke Suriah sekarang bisa membuka canel baru bagi pemerintahan Assad ... kantor berita Suriah Arab News Agency (SANA) mengatakan bahwa Amerika Serikat memberikan informasi kepada perwakilan Suriah di PBB bahwa mereka akan melakukan serangan udara. [juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jen] Psaki mengkonfirmasi kontak itu tapi tidak mengatakan kapan itu terjadi." Artikel tersebut juga merujuk pada laporan "SANA" yang menyatakan bahwa Sekretaris Negara John Kerry telah mengirimkan surat kepada Walid Muallem (menteri luar negeri rezim Nusairī) untuk memberitahukan kepadanya tentang rencana tentara salib untuk mulai menyerang posisi Islamic State.

Menurut laporan Reuters pada tanggal yang sama berjudul "Syria‘s U.N. Envoy Says Told of Airstrikes by Samantha Power, "Duta Suriah untuk PBB Basyar Ja'afari mengatakan kepada Reuters, pada hari Selasa ia secara pribadi diberitahu oleh Duta Besar AS Samantha Power bahwa beberapa jam kemudian AS dan Arab akan segera melakukan serangan udara terhadap target-target Islamic State di wilayah Suriah. Ja'afari mengatakan bahwa Power berkata kepadanya bahwa pada Senin pagi aksi militer akan dilakukan. Dia menambahkan bahwa 'kita dalam koordinasi yang erat dengan Irak." Misi AS menegaskan bahwa Power telah memberikan informasi kepada Ja'afari."

Hal ini ditegaskan oleh taghut Bashar dalam sebuah wawancara dengan BBC pada "10 Februari 2015." Dalam sebuah artikel berjudul "Assad Says Syria Is Informed on Anti-IS Air Campaign," BBC melaporkan, "Presiden Suriah Basyar al-Assad mengatakan pemerintahnya menerima pesan dari koalisi pimpinan AS tentang perang melawan kelompok jihad, Islamic State. Assad mengatakan kepada BBC bahwa telah ada kerjasama secara tidak langsung sejak serangan udara dimulai di Suriah pada bulan September. Tapi pihak ketiga - di antara mereka adalah Irak – menyampaikan 'informasi' ... tentang serangan mendadak oleh pesawat tempur AS dan Arab atas Suriah."

Amerika juga telah melayani kepentingan rezim Suriah dengan mendukung PKK, sekutu terdekat rezim sejak dimulainya perang di Syam dan terus berperang bersama rezim di wilayah al-Barakah. Amerika juga berusaha keras untuk mempertahankan rezim Ba‘ath dan tentara Nusayrī mereka hingga bisa menjamin sebuah transisi menuju pluralistik negara yang sesuai dengan agama Amerika. Satu-satunya syarat mereka sangat mudah; mereka meminta taghut Asad disingkirkan tapi sisa rezim dan pasukannya tetap utuh. Sehingga kemudian bisa duduk di meja perundingan dengan kelompok murtad Koalisi Nasional Suriah (SNC) dan Free Syrian Army (FSA).

Layanan Amerika terhadap kepentingan rezim Suriah juga disoroti oleh mantan Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel. "Washington Times" melaporkan pada "30 Oktober 2014" dalam sebuah artikel berjudul "Syria Airstrikes Spur White House Infighting over Benefit to Assad" bahwa " Sekretaris Pertahanan Chuck Hagel mengakui untuk pertama kalinya pada hari Kamis bahwa serangan udara yang dipimpin AS terhadap Islamic State menguntungkan Presiden Suriah Basyar Assad ... 'Ya, Assad mendapatkan beberapa keuntungan,' Hagel berkata kepada wartawan di Pentagon ... Menggambarkan bahwa situasi di dalam Suriah adalah rumit, Hagel mengatakan bahwa pemerintah tetap menyerukan penggulingan Assad meskipun seolah membantu dia." Laporan itu menambahkan ada sebuah sumber di administrasi yang menginformasikan kepada mereka bahwa "logika yang dimiliki beberapa orang yang berada di administrasi bahwa menyerang aset milik Suriah akan merusak pembicaraan nuklir antara AS dan Iran, sekutu dekat Assad”.

Rusia, selain berada di pihak AS, Rafidah, dan Nusayriyyah di Irak dan Syam dalam perang melawan Islamic State, dia juga terlibat dalam perang melawan wilayah al-Qawqāz. Adapun di Irak dan Syam, Direktur Federal Security Service Rusia (FSB) Alexander Bortnikov mengatakan kepada para wartawan pada tanggal "20 Februari 2015" bahwa "Amerika Serikat dan Rusia mungkin akan mulai bertukar intelijen dalam rangka mengalahkan Islamic State." Hal ini diawali dengan laporan dari "New York Times" pada "14 Oktober 2014" berjudul "U.S. and Russia Agree to Share More Intelligence on ISIS." Dalam laporan tersebut, mereka menyatakan, "Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan pada hari Selasa bahwa Amerika Serikat dan Rusia telah sepakat untuk lebih berbagi kerjasama intelijen tentang Islamic State, sebagaimana dia juga berusaha untuk meletakkan dasar bagi peningkatan kerjasama dengan Moskow. ... Kerry membuat hal ini jelas bahwa dia akan menyambut perluasan kerjasama dengan Putin setelah pertemuan di sini dengan Sergey V. Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia. ... tercatat bahwa ada 500 atau lebih relawan Islamic State yang mungkin datang dari Rusia, Kerry mengatakan bahwa dia telah mengusulkan agar kedua belah pihak mengintensifkan kerjasama intelijen terhadap para kelompok militan dan ancaman teroris lainnya, dan Lavrov telah sepakat. Membuka pintu untuk kerjasama di Irak, Kerry mengatakan Lavrov telah sepakat untuk menyelidiki apakah Rusia bisa berbuat lebih banyak untuk mendukung pemerintah terkepung Irak karena pertempuran Islamic State – termasuk dengan memberikan senjata."

Rusia juga secara terbuka mendukung rezim Irak yang didukung oleh Amerika Serikat. Melalui kantor berita Itar- Tass, Kementerian Luar Negeri Rusia mengeluarkan pernyataan pada "26 September 2014" tentang pertemuan yang diadakan antara Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi. Kementerian Luar Negeri mengatakan dalam pernyataan tersebut, "Dalam pertemuan tersebut, Lavrov menegaskan dukungan Rusia untuk kemerdekaan Irak, integritas wilayah dan kedaulatan ... Moskow siap untuk melanjutkan dukungan terhadap Irak dalam upaya memerangi ancaman teroris, dan yang paling pertama dari semuanya, adalah Islamic State."

Menurut "New York Times" dalam sebuah artikel berjudul "Russian Jets and Experts Sent to Iraq to Aid Army " dirilis pada "29 Juni 2014," "pejabat pemerintah Irak mengatakan pada hari Minggu bahwa para ahli Rusia telah tiba di Irak untuk membantu tentara mendapatkan 12 pesawat tempur Rusia yang baru untuk memerangi ekstrimis Sunni ... 'Dalam tiga atau empat hari mendatang pesawat akan segera beroperasi untuk mendukung pasukan kami dalam perang melawan gerilyawan Islamic State di Irak dan Suriah, kata Jenderal Anwar Hama Ameen, Komandan Angkatan Udara Irak, menunjuk lima Pesawat SU-25 yang diterbangkan ke Irak kapal lewat pesawat kargo Rusia pada Sabtu malam, dan dua lagi diharapkan akan datang pada Minggu nanti. ... Komandan Angkatan Udara Irak, Jenderal Ameen, mengatakan bahwa para ahli militer Rusia telah tiba untuk membantu mempersiapkan pesawat tempur baru SU-25, tetapi mereka hanya akan tinggal dalam waktu singkat. Lima pesawat Rusia terakhir akan tiba pada hari Senin, katanya. ... Ini adalah laporan pertama tentang bantuan militer Rusia di negara itu, meskipun Jenderal Ameen mengatakan bahwa mereka hanya tenaga ahli, dan bukan penasihat. ... Pada hari Kamis, Perdana Menteri Nuri Kamal al-Maliki mengatakan, negara Iraq bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan Rusia, telah memerintahkan selusin SU-25, jet tempur serang darat yang berguna untuk operasi dukungan udara jarak dekat (close air support). 'Mereka datang sangat cepat," kata Jenderal Ameen pada wawancara via telepon, 'karena kita membutuhkan mereka dalam konflik ini untuk melawan teroris sesegera mungkin." Dia mengatakan bahwa orang-orang Rusia ini akan pergi dalam waktu sekitar tiga hari setelah pesawat siap untuk beroperasi. ... Namun, Jenderal Ameen mengatakan mereka akan segera terlibat aksi lagi. "Kami memiliki pilot yang memiliki pengalaman panjang dengan pesawat ini dan tentu saja kami mendapat bantuan dari teman-teman Rusia dan para ahli yang datang dengan pesawat ini untuk mempersiapkannya," katanya. 'Ini akan memberikan hukuman yang sangat kuat terhadap para teroris dalam beberapa hari mendatang." ... Pesawat baru ini akan meningkatkan dan mendukung kekuatan dan kemampuan angkatan udara Irak untuk membasmi terorisme,' disebutkan oleh sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Irak."

Menurut "The Hill" dalam sebuah artikel berjudul "Hagel: US knows Iran, Russia aiding Iraq in fight against ISIS" yang dirilis pada "11 Juli 2014," Chuck Hagel berkomentar tentang laporan bahwa "Menukil para pejabat militer Irak yang mengatakan bahwa Iran dan Rusia sedang melakukan serangan udara di negara mereka, menyerang target-target Islamic State in Iraq and Syria (ISIS)," dengan mengatakan, "Kami menyadari upaya Iran dan Rusia untuk membantu rakyat Irak."

Oleh karena itu, Iran dan semua sekutunya terlibat langsung dalam perang tentara salib terhadap Islamic State. "Foreign Policy" melaporkan bahwa pada "12 November 2014" dalam sebuah artikel yang berjudul "Who Has Contributed What in the Coalition against the Islamic State?" disebutkan "Meskipun Iran bukan mitra koalisi yang diakui, dia dan Amerika Serikat berunding secara informal."

Kemudian diakhiri dengan "Joint Comprehensive Plan of Action " kesepakatan nuklir antara Barat yang dipimpin Amerika dan rezim Iran yang didukung oleh Rusia.

Pada akhirnya, Amerika melayani kepentingan Kekaisaran Safawi dengan serangan udaranya, intelijen, dan politik, dan Kekaisaran Safawi juga bekerja sama dengan Amerika secara sama melawan Mujahidin. Hal ini dilakukan secara terselubung, secara tidak langsung, apalagi secara publik. "Si perantara" - bila diperlukan – adalah rezim boneka Safawi di Irak. David Petraeus (mantan komandan militer Amerika untuk Irak) mengomentari perang pemerintahan Obama, "Ini tidak boleh terjadi Amerika Serikat menjadi angkatan udara untuk milisi Syiah atau perang antara Arab Syiah-terhadap-Sunni." Tapi inilah apa yang terjadi , tapi sebenarnya ini adalah perang terhadap Islam, bukan terhadap bangsa Arab.

The Safawi Empire
Bangkitnya kembali Kekaisaran Safawi adalah tujuan akhir dari Rafidah Iran. Kekaisaran Safawi didirikan oleh seorang sufi tarekat bernama Safawiyyah. Pada awalnya dia dianggap berasal dari "Sunnah" dan mazhab "Syāfi'ī", namun kemudian menggabungkan di dalamnya banyak ajaran sesat yang ekstrim dari sufisme murtad. Aliran sesat ini kemudian diadopsi oleh Syiah Imamiyah yang kemudian setelah didirikan dan segera menjadi gerakan politik dan militan dia mulai melakukan peperangan hingga pemimpinnya Ismail Ibnu Haydar as-Safawi berhasil mengambil alih Persia. Dia kemudian memaksakan faham Syiah atas masyarakat Sunni hingga Persia menjadi negara yang didominasi oleh kaum Rāfidah setelah sebelumnya didominasi oleh Sunni. Di antara kebijakannya adalah mengeksekusi ulama Sunni dan membantai penduduk Sunni yang bertahan. Dia adalah penguasa yang paling anti-Sunni yang berkuasa sejak jatuhnya negara Ubaydiah Ismailiyah yang berbasis di Mesir. Dinasti Safawi berkuasa pada masa "1501-1736M."

Lebih dari dua ratus tahun kemudian, seorang Rāfidah Khomeini melakukan upaya para pendahulu kaum Safawi dan memberikan kekuatan langsung dalam politik kepada para ulama Rāfidī melalui konsep yang telah dia sebarkan yang dikenal sebagai "Wilayat al-Faqih" dan melalui apa yang disebut "revolusi." Kemudian secara mengejutkan para ulama Rāfidah ini berada dalam kontrol langsung terhadap Persia dan dalam beberapa tahun kemudian, mereka mengekspor agama syirik mereka ke Syam, Irak, Semenanjung Arab, Khurasan, India, Turki, Azerbaijan, Afrika, dan Asia Tenggara.

Kaum Rafidah kemudian banyak mengambil alih di Yaman ketika berada di sisi boneka Amerika Ali Abdullah Saleh, setelah mendapatkan kekuasaan di Suriah dan Lebanon sebagai hasil dari Amerika yang menyerahkan Irak kepada mereka setelah "Operation Iraqi Freedom." Tiba-tiba "Bulan sabit Syiah" tumbuh dari bulan sabit menjadi gerhana matahari, yang benar-benar mengancam Islam di mana-mana. Mereka menyatukan Nusayriyyah, Ismailiyah, dan Zaidiyah dibalik apa yang mereka sebut "Faqih" dalam perang melawan Sunnah. Rencana mereka adalah untuk terus berperang melawan Islam sampai munculnya "al-Mahdi" kaum Rafidah, yang menurut mereka, akan berbicara dengan bahasa Ibrani, mengatur dengan Taurat, diikuti oleh orang-orang Yahudi, dan membunuh semua orang Arab – sifat-sifat yang tidak diragukan lagi lebih cocok sebagai Dajjal Yahudi bukan al-Mahdī Muslim.

Secara fakta kaum murtad Rafidah memang lebih solid, terorganisir, kuat, dan agresif dibanding sekutu-sekutu lain pasukan salib – yaitu para thaghut murtad dan sahwāt – sehingga mereka mendapatkan dukungan tentara salib, dengan demikian tentara salib mengandalkan mereka dan sekutu Rafidah Kurdi lebih daripada kelompok lain dalam perang melawan Khilafah. Secara keseluruhan kaum Rafidah lebih barbar dan bersatu daripada tentara salib itu sendiri, tetapi muwahhidīn Khilafah telah mengasah pisau dan menyiapkan banyak bom mobil untuk menyembelih kawanan domba Rāfidah hingga Rāfidah terakhir mati di bawah bendera Dajjal.

Koalisi Sahwah
Nama Sahwah pertama kali disebutkan di Irak, namun sebenarnya telah ada sebagai sebuah fenomena yang jauh lebih awal kemunculannya sejak Afghanistan pasca-komunis. Nama ini diambil dari kata Arab yang berarti "kebangkitan." Asal muasal Sahwah Irak adalah geng-geng suku yang mulai mendukung tentara salib Amerika melawan mujahidin pada tahun "2005," sebelum pembentukan Daulah Islam. Kerjasama ini terus tumbuh hingga Abdul Sattar al-Risyawi membentuk dewan "Sahwah Anbar", salah satu sahwāt resmi Amerika yang pertama, mungkin maksudnya "kebangkitan" untuk menghadapi para mujahidin. Suku-suku ini mendukung dewan untuk melawan Daulah Islam bersama faksi-faksi sahwat, yang kebanyakan dikendalikan oleh kesukuan.

Kelompok-kelompok sahwat mungkin dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis: kelompok perlawanan nasionalis berorientasi Ikhwani, dan kelompok "jihadi" berorientasi Sururi. Kelompok "Jihadi" ("Tentara Islam di Irak," "Jaisy al-Mujahidin," dan "Komite syari‘ah Jaisy Ansar as-Sunnah,"[9] dan lain-lain) membentuk "front Jihad dan Reformasi." Faksi perlawanan ("Brigade Revolusi 1920," "Jaisy ar-Rasyidin," "Jaisy al- Muslimin fil-'Iraq," dan lain-lain) membentuk "Front jihad dan Perubahan," yang kemudian diikuti pembentukan koalisi resistensi lain yang dikenal sebagai "Front Islam untuk perlawanan Irak." Berbagai faksi perlawanan dan faksi "Jihad" dalam koalisi yang lebih kecil ini akhirnya bergabung ke dalam " Dewan Politik untuk Peralwanan Irak " sedangkan beberapa kelompok yang lebih kecil yang tersisa menghadapi kepunahan. Semua front dan dewan yang beragam ini secara tidak nampak dipengaruhi atau disusupi oleh "al-Hizb al-Islami," sayap ikhwan di Iraq. Tidak lama setelah dibentuknya berbagai front dan dewan ini, “jihad mereka dimulai dengan merilis statemen politik yang tidak memiliki realitas di lapangan. Mereka hanya aktif perang melawan Daulah Islam sedangkan mereka telah sepakat melakukan gencatan senjata dengan Amerika dan memutuskan bahwa apa yang mereka sebut "Khawarij" adalah musuh terbesar Islam!

"Ikhwanisasi jihad" itulah yang ada di balik pengkhianatan dan menyimpangnya Burhanuddin Rabbani, Ahmad Syah Massoud, dan Abdul Rasul Sayyaf di Afghanistan, Abdul lo Nur i di Taj ikistan, Abdelhakim Belhadj, Abdel Wahab Qaid, Abdel-Hakim al-Hasidi, dan Sami Mustafa as-Sa'idi di Libya, Syarif Sheikh Ahmed di Somalia, Mohamed Abu Samra, Kamal Habib, Nabil Nu'aim, Karam Zuhdi, Abbud al-Zumar, Tarek al- Zumar, Najih Ibrahim, Usamah Hafidh, 'Asim 'Abdil-Majid, 'Isam Dirbālah, 'Abdul- Akhir al-Ghunaymī, dan Usamah Rusydi di Mesir, dan Hamas di Palestina.[10]

Ini adalah "Ikhwanisasi jihad" yang mendorong dibentuknya kongres "Fajar Libya" dan kelompok Ikhwani "Dewan Komando Revolusioner Suriah" yang bersekutu dengan Ikhwani "Koalisi Nasional Suriah" dan "Pemerintahan sementara"nya.

Ini adalah "Ikhwanisasi jihad" yang telah menyebabkan pembentukan, penggabungan, dan pemecahan berbagai front dan ruang kerja di Syam dengan cara yang sangat mirip dengan apa yang ada di Irak, kecuali dalam beberapa aspek penting, faksi sahwāt Irak adalah faksi-faksi yang sebelumnya berperang melawan tentara salib Amerika, kemudian membuat normalisasi hubungan dengan tentara salib walau agak canggung. Adapun faksi sahwāt di Syam, maka sejak awal perang di Syam, mereka telah meminta intervensi Amerika, Eropa, Arab, dan Turki atau setidaknya bantuan dan telah menarik lebih dekat berbagai pendukung dan sekutu mereka baik publik dan swasta, membuat perubahan mereka menjadi sahwāt adalah sesuatu yang alami dan sudah diperkirakan.

Dan sebagaimana sahwāt Irak, di Syam juga terdapat faksi-faksi perlawanan nasionalis ("al Jaysh Mujahidin," "Jabhah Syāmiyyah," "Faylaq asy-Sham," dll) dan faksi "jihad" nasionalis ("Ahrar asy-Syam," "Jaisy al-Islām, dan "Jabhah Jawlānī). Dan sebagaimana front dan dewan yang dibentuk di Irak yang mana anggota faksi-faksi ini berjanji untuk sepenuhnya melebur akan tetapi justru pecah dan tidak pernah benar-benar bersatu seperti yang mereka maksudkan, berbagai koalisi dan front di Syam seperti "Jabhah Islamiyyah" dan "Jaisy al- Fath" tetap bersikeras untuk menjadi faksi independen dan menolak untuk melebur menjadi entitas yang lebih besar dan tetap bertahan terhadap perpecahan. Ini adalah penyakit hizbiyyah dan cinta kepemimpinan yang terus menjangkiti mereka, di samping kesesatan ekstrim mereka.

Dan juga karena hal yang terjadi ini dan perpecahan yang t erus mendalam menyebabkan AS lebih memilih rezim Safawi di Irak daripada proyek Sahwah, lalu mereka meninggalkan kaum murtad Sahwāh dan lebih memilih hawa nafsu dan keinginan "Faqih" Safawi Iran, yang telah menelikung dan mengkhianati mereka setelah bertahun-tahun Sahwah melayani kepentingan rezim Safawi di Irak dan juga kepentingan tentara salib.

Dan Shahwat – baik itu di Syam, Iraq, Libya, Pakistan, Afghanistan, Yaman, atau di mana saja mereka - di samping pemimpin mereka melakukan perjalanan dari Yordania ke Arab Saudi‘, ke Kuwait, ke Qatar, ke Turk,i ke Inggris, atau ke Amerika, mereka memiliki satu hal yang sama; mereka adalah Machiavellian. Bagi mereka, tujuan bisa membolehkan segala cara, dan demi meraih sesuatu yang "baik" atau mengejar "kepentingan", kemurtadan dan kemunafikan menjadi hal yang diperbolehkan. Mereka tidak mengambil pendapat berdasarkan dalil, bahkan mereka akan mengambil pendapat yang lemah dan aneh untuk mengejar jabatan, kekayaan, dan kehormatan, dan untuk membenarkan wala‘ mereka kepada orang-orang kafir dan Bara' dari kaum Muslimin. Ketika perbuatan mereka menjadi pertempuran yang nyata demi kepentingan tentara salib dan para thaghut terhadap Islam dan kaum muslimin, mereka lalu berusaha menggambarkan diri mereka sedang mencari bantuan dari orang-orang kafir untuk memerangi apa yang disebut "Khawarij"! Maka berbagai faksi "jihad" Sahwah - didorong oleh sikap Irja' dan hizbiyyah - murtad dan bersekutu dengan faksi nasionalis melawan musuh bersama - "Khawarij" – sambil membuat-buat udzur untuk menolerir kekufuran para sekutu nasionalis mereka, untuk menggambarkan bahwa mereka hanyalah kaum Muslimin yang fasiq yang sedang melawan musuh yang berbahaya, dan jika begitu maka setiap kekufuran yang dilakukan untuk "membela diri" maka diudzur! Bisa jadi sebentar lagi, sikap hizbiyyah mereka akan mendapatkan yang lebih baik dari mereka, dan mereka akan mulai saling mengacungkan senjata satu sama lain demi mengejar dominasi politik pada wilayah yang telah "dibebaskan" oleh mereka.

Sebuah Peluang Beramal Shalih
Adapun bagi kaum muslimin yang tidak mampu melakukan hijrah dari Darul-kufur menuju Khilafah, maka ada banyak kesempatan baginya untuk menyerang orang-orang kafir yang memusuhi Islamic State. Ada lebih dari tujuh puluh negara salibis, rezim taghut, tentara murtad, milisi rāfidah, dan faksi sahwah yang bisa dipilih olehnya. Kepentingan mereka berada di seluruh dunia. Dia tidak perlu ragu untuk menyerang mereka di mana saja dia mampu. Tidak lebih dari membunuh warga Salibis di belahan bumi mana saja. Apa, sebagai misal, yang menghalangi dirinya untuk menyerang komunitas Rāfidah di Dearborn (Michigan), Los Angeles, dan New York City? Atau menyerang misi diplomatik Panama di Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau menyerang misi diplomatik Jepang di Bosnia, Malaysia, dan Indonesia? Atau menyerang diplomat Saudi di Tirana (Albania), Sarajevo (Bosnia), dan Pristina (Kosovo)? Atau mengeksekusi sponsor utama Sahwah di Qatar, Kuwait, dan Arab ―Saudi? Apa yang menghalanginya untuk menyerang sekutu PKK dan Peshmerga di Eropa dan Amerika termasuk " Asosiasi Konfederasi Kurdi di Eropa" (KON-KURD - yang berbasis di Brussels) dan "Persatuan Pengusaha Kurdi International" (KAR-SAZ - berbasis di Rotterdam), keduanya dikenal buruk karena dukungan keuangan mereka kepada PKK?

Jika seseorang tertahan untuk bisa melakukan hijrah karena berbagai alasan, namun tidak ada alasan baginya untuk tidak melakukan jihad terhadap para musuh Islam yang terdekat dengannya. {Wahai orang-orang yang beri-man! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang yang bertakwa} [At-Taubah: 123].

Kesimpulan
Kesabaran dan keteguhan kaum muslimin dalam Perang Ahzab, menjadikan mereka sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan, dan ditambah dengan berbagai kemenangan militer mereka, para musuh mau tidak mau harus mengakui kekalahan dan mengakui gencatan senjata, sebagaimana yang terjadi di Hudaibiah, pelanggaran yang dilakukan oleh kaum musyrikīn Quraisy kelak berujung dengan ditaklukannya kota Makkah.

Para pengklaim jihad berusaha untuk mengubah urutan peristiwa dalam Sirah. Peristiwa Hudaibiah mereka putar, kemudian memasukkannya ke dalam – apa yang disebut – "fiqh" yang melalui hal itu mereka mempermudah kewajiban jihad dan al-wala' wal-bara'. Mereka lupa bahwa perjanjian Hudaibiah terjadi setelah hijrah, pembentukan negara kenabian, dan kemenangan di perang Badar. Dia datang setelah kesabaran dan keteguhan diperlihatkan di medan Uhud dan Ahzab. Dia datang di saat pasukan kaum Muslimin kuat, tidak lagi merasa terancam akan musnah di tangan kaum Quraisy. Dia datang pada saat kaum Quraisy takut terhadap umat Islam sebagai musuh yang tangguh.

Sahwāt, di sisi lain, berlomba menuju tentara salib ... dan bahkan menuju kemurtadan! Sahwāt kemudian masuk di bawah sayap mereka, mematuhi perintah mereka dengan imbalan bantuan dan dukungan, dan berperang melawan Islamic State sementara mereka sendiri menolak pelaksanaan syariat, semua ini sambil mengklaim bahwa ini adalah "fiqh" dari perjanjian Hudaibiah, padahal fiqh Hudaibiah adalah kesabaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat di semua pertempuran sebelum perjanjian Hudaibiah. Itu semua adalah kebenaran dari janji Rabb mereka dalam peristiwa al-Ahzab. Itu semua adalah karena jihad terus menerus mereka dan al-wala' wal-bara' yang tidak pernah berhenti. Itu semua karena pencapaian tamkien sehingga penandatanganan mereka terhadap gencatan senjata berasal dari posisi kekuasaan bukan kelemahan, sehingga pada akhirnya semua manfaatnya kembali bagi mashlahat persatuan kaum muslimin.


Sourec: DABIQ 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...