DARI PERANG
AL-AHZAB
HINGGA PERANG KOALISI
“Tidak ada seorangpun yang pernah datang membawa seperti
apa yang engkau bawa kecuali dia akan dimusuhi”.
Inilah apa yang dikatakan oleh Waraqah ibn Naufal kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tentang reaksi kaumnya terhadap da‘wah. Waraqah berharap andai dia menemani Nabi di saat Nabi diusir, akan tetapi Waraqah tidak pernah mendapati saat-saat itu.
Inilah apa yang dikatakan oleh Waraqah ibn Naufal kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam tentang reaksi kaumnya terhadap da‘wah. Waraqah berharap andai dia menemani Nabi di saat Nabi diusir, akan tetapi Waraqah tidak pernah mendapati saat-saat itu.
Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah itu memulai misi yang
mana Allah telah mengutus beliau dengannya. Umatnya menjawab seruan Rasulullah
dengan permusuhan yang besar. Mereka menuduh beliau sebagai tukang sihir,
pembohong, orang gila, orang yang terkena sihir, pendongeng, peniru, dan
tuduhan lainnya… padahal mereka sebelumnya menganggap beliau sebagai seorang
yang jujur dan dapat dipercaya! Mereka menawarkan kepada beliau tahta, wanita
dan harta, tetapi beliau menolak itu semua karena keikhlasan dan demi meraih
keridhoan Rabbnya. Mereka berencana untuk membunuh atau mengusir beliau, tetapi
Allah subhanahu wa ta’ala membuat makar terhadap musuh-musuh Nabi-Nya dan
memerintahkan beliau untuk meninggalkan negeri yang paling diberkahi di muka
bumi – Makkah - menuju tempat tinggal baru di Madinah.
Sebuah negara yang didirikan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam
itu lalu menga-rahkan pasukan perangnya untuk menghadang kafilah kaum
musyrikin, peristiwa yang kemudian menjadi pemicu perang besar; Perang Badr.
Kaum musyrikin yang marah pun segera mengirimkan utusan dan pasukan perang
mereka, hingga kemudian kaum muslimin harus menghadapi perang terhadap
orang-orang musyrik Arab, suku-suku badui jazirah Arab, orang-orang Yahudi dan
kaum munafik Madinah. Daulah Nabawiyah itu pun terus tumbuh dan menguat, begitu
juga kedengkian dan kemarahan orang kafir yang terus memuncak hingga menjelma
men-jadi Perang Ahzab (Sekutu-sekutu). Kaum Yahudi berencana jahat bersama kaum
munafikin untuk meyakinkan suku-suku Arab melakukan penyerangan ke kota
Madinah, sementara mereka akan membuat gejolak dari dalam. Suku Quraisy dan Kinanah,
serta sekutu mereka bergerak maju dari arah selatan, sedangkan Ghathafan dan
sekutu mereka maju dari arah timur. Jumlah mereka mencapai sepuluh ribu pejuang
dan mengepung kota Madinah selama satu bulan, sementara umat Islam sangat kalah
dalam jumlah. Tapi kesabaran mereka dalam menghadapi peperangan, rasa takut,
lapar dan cuaca, membuat kaum muslimin mampu untuk merebut kemenangan, dan
bisyarah ke-nabian mengabarkan bahwa kini kaum muslimin yang akan menyerang
kaum musyrikin dan kaum musyrikin kini yang akan bertahan.
Perang Ahzab Baru
Sebagaimana para shahabat yang
harus menghadapi koalisi berbagai pihak; Yahudi, Pagan, dan golongan munafik
dalam perang Ahzab, kaum Muslimin dari Daulah Islam juga menghadapi berbagai
koalisi kuffar yang memiliki kepentingan bersama untuk menghancurkan Khilafah.
Dan sebagaimana reaksi para shahabat terhadap pasukan Ahzab adalah merupakan
bentuk keimanan, “Dan ketika
orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka
berkata, “inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah
Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman
mereka” [Al-Ahzab:
22], demikian juga seharusnya reaksi umat Islam ketika melihat banyaknya
koalisi yang bersatu dan memobilisasi. Di sini kita akan mencoba untuk
memberikan sejumlah wawasan tentang beragam koalisi sehingga kaum Muslimin
dapat berusaha untuk melawan mereka baik dengan kata dan perbuatan karena “Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia bagian dari mereka”. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan Abu Dawud dari Ibnu Umar] dan agar supaya {jalan orang-orang yang berdosa terlihat jelas} [Al- An‘am: 55].
Koalisi Salibis
Meskipun koalisi ini mungkin muncul belum lama, yakni dibentuk
pada tahun “2001” yang dikenal dengan “Operation Enduring Freedom.” Dengan
cepat hal ini meluas hingga ke Philipina, Tanduk Afrika, Trans Sahara, dan
Kaukasia. Pada tahun 2003 tentara salib kembali meluncurkan kampanye perang
kedua dengan sandi yang dikenal Operation Iraqi Freedom, disusul dengan
kam-panye ketiga dengan sandi “Operation Inherent Resolve” yang
diluncurkan pada tahun 2014 di Iraq dan Suriah terhadap Islamic State.[2] Namun
tidak ada satupun dari operasi ini yang berhasil membungkam kebangkitan kembali
Khilafah baik kelangsungannya atau ekspansinya. Namun khilafah tetap bertahan
dengan tekad yang tetap me-lekat, sebagai hasil dari Tauhid dan al-Wala`
wal-Bara`.
Koalisi terbaru tentara salib terhadap Iraq dan Suriah (Operation
Inherent Resolve) secara resmi terdiri dari beberapa negara dan kelompok
berikut:
Albania, Liga Arab, Australia, Austria, Bahrain, Belgia, Bosnia
dan Herzegovina, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Siprus, Republik Ceko, Denmark,
Mesir, Estonia, Uni Eropa, Finlandia, Perancis, Georgia, Jerman, Yunani,
Hungaria, Islandia, Irak, Irlandia, Italia, Jepang, Yordania, Kosovo, Kuwait,
Latvia, Lebanon, Lithuania, Luksemburg, Makedonia, Moldova, Montenegro, Maroko,
Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Oman, Panama, Polandia, Portugal, Qatar,
Republik Korea (Korea Selatan), Rumania, Saudi Arabia, Serbia, Singapura,
Slovakia, Slovenia, Somalia, Spanyol, Swedia, Taiwan, Turki, Ukraina, Uni
Emirates, Inggris, dan Amerika Serikat.
Rezim lain dan pasukan yang
didukung oleh Barat namun tidak disebutkan pada daftar di atas namun ikut ambil
bagian dalam perang melawan Islamic State di
wilayah-wilayah lain. Uni Afrika, Benin, Kamerun, Chad, Niger dan Nigeria
semuanya terlibat dalam perang melawan Wilayah Afrika Barat. Afghanistan,
Armenia, Azerbeijan, Mongolia, NATO dan Pakistan – ditambah dengan be-berapa
negara yang disebutkan pada daftar di atas – terlibat dalam perang melawan
Wilayah Khurasan. Aljazair, Libya, Tunisia, dan Yaman terlibat dalam perang
melawan Islamic State di dalam daerah perwakilan mereka. Negara Yahudi juga
secara terbuka terlibat dalam perang melawan Wilayah Sinai, ditambah
keterlibatan mereka secara diam-diam bersama Salibis di banyak kampanye perang
mereka terhadap wilayah Islamic State. Dewan Kerjasama negara Teluk, India,
Indonesia, Malaysia, OKI, Kyrgistan dan Swiss juga terlibat – baik dalam bidang
politik, finansial, intelijen dan banyak dari mereka juga dalam level militer –
dalam kampanye melawan Islam dan Khilafahnya. Maka di sana terdapat sekutu
paling penting Amerika, yaitu: Iran, Suriah dan Rusia.
Front Stage Cooperation
Meskipun kerjasama Pasukan Salib Barat bersama Iran, Suriah dan
Rusia tidak bisa dipungkiri, mereka berusaha mengecilkan peran ini secara resmi
untuk menutupi perang mereka dalam perang Safawi terhadap kaum Muslimin. Di
sini kita akan mencoba menyajikan beberapa ulasan tentang hubungan yang
keberadaannya sangat jelas terlihat seperti mentari di tengah siang.
Bahkan sebelum operasi 11 September yang penuh berkah, Amerika
telah bekerja sama dengan Iran melalui PBB "Six Plus Two Group on Afghanistan,"
salah satu bagian dari rencana melawan para mujahidin Khurasan. Setelah 11
September, kerjasama ini berkembang menjadi apa yang nanti akan dikenal sebagai
"The Geneva Contact Group" selama masa presiden Salibis George W.
Bush. Kerjasasama ini mensyaratkan Iran untuk menyediakan intelijen bagi
tentara salib, membangun hubungan antara tentara salib dan "Aliansi
Utara," dan menangkap mujahidin yang berusaha untuk menyeberangi
perbatasan Iran dalam perjalanan mereka menuju Kurdistan Irak atau tujuan lainnya.
Iran telah menyediakan beberapa pelabuhannya dan pangkalan udara untuk misi
tentara salib, "Korps Pengawal Revolusi Islam" mereka bekerja sama
dengan US Special Ops dan CIA di Afghanistan, dan mengambil bagian dalam
pembentukan rezim boneka murtad Afghanistan. Beberapa bulan menjelang invasi
Amerika ke Irak, Amerika kembali bekerja sama dengan Iran, tapi kali ini
terutama melalui British Foreign and Commonwealth Office. Kerjasama ini
mencapai puncak melalui pembentukan rezim Safawi Irak, yang pada dasarnya
adalah boneka Iran.[6]
Pada "6 November 2014,"
"Wall Street Journal" merilis sebuah artikel berjudul “Obama Wrote
Secret Letter to Iran‘s Khamenei about Fighting Islamic State – Presidential Correspondence with Ayatollah
Stresses Shared U.S.- Iranian Interests in Combating Insurgents, Urges Progress
on Nuclear Talks”. Dalam artikel itu, mereka melaporkan bahwa "Obama
diam-diam menulis surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali
Khamenei" dan di dalam suratnya "dijelaskan kepentingan bersama dalam
memerangi militan Negara Islam di Irak dan Suriah." Surat itu
"bertujuan untuk memperkuat kampanye melawan Islamic State dan menyinggung
pemimpin agama Iran agar lebih dekat dengan kesepakatan nuklir" dan juga
menekankan "bahwa kerjasama apapun dalam masalah Islamic State adalah
bagian besar Iran untuk mencapai kesepakatan yang komprehensif dengan kekuasaan
global bagi program nuklir Teheran di masa depan." Surat itu juga
"merupakan surat yang ditandatangani setidaknya keempat kalinya oleh Obama
yang ditulis bagi pemimpin politik dan agama yang paling kuat di Iran sejak
menjabat pada tahun 2009 dan berjanji untuk terlibat dengan Pemerintah Islam
Teheran" dan "menggarisbawahi bahwa Obama memandang Iran penting …
baginya untuk mengerahkan Kampanye militer dan diplomatik untuk mengusir
Islamic State dari wilayah yang telah mereka kuasai." Melalui surat itu,
Obama berusaha "untuk meredakan kekhawatiran Iran tentang masa depan dari
sekutu dekat mereka, Presiden Basyar al-Assad dari Suriah" dan meyakinkan
Iran bahwa "operasi militer AS di dalam Suriah tidak menargetkan Assad
atau pasukan keamanannya." Mereka juga melaporkan bahwa "pemerintahan
Obama melakukan pembicaraan rahasia dengan Iran di ibukota Oman di Muscat pada
pertengahan 2012" dan bahwa "Sekretaris Pers Gedung Putih Josh
Earnest ... mengakui bahwa pejabat AS dahulu pernah berdiskusi membahas tentang
kampanye Islamic State dengan para pejabat Iran di sela-sela pembicaraan nuklir
internasional. Dia menambahkan bahwa negosiasi tetap berpusat pada pembicaraan
tentang program nuklir Iran." Mereka juga melaporkan bahwa "Obama
mengirim dua surat untuk pemimpin tertinggi Iran berusia 75-tahun itu selama
semester pertama tahun 2009, mengajak perbaikan hubungan AS-Iran ... Hubungan
AS-Iran telah dicairkan jauh sejak pemilihan Presiden Hasan Rouhani pada bulan
Juni 2013. Dia dan Obama melakukan panggilan telepon selama 15 menit pada bulan
September 2013, Messrs. Kerry dan Zarif telah rutin menyelenggarakan
pembicaraan langsung tentang diplomasi nuklir dan masalah regional" dan
bahwa "Departemen Luar Negeri telah mengkonfirmasi bahwa para pejabat
senior AS telah berdiskusi tentang Irak dengan Zarif di sela-sela perundingan
nuklir di Wina. Para diplomat AS juga telah meneruskan pesan ke Teheran melalui
Pemerintahan Abadi di Baghdad dan melalui kantor Irak Ayatollah Ali al-Sistani,
salah seorang pemimpin agama yang kuat paling di dunia Syiah. Di antara pesan
yang disampaikan ke Teheran, menurut pejabat AS, adalah bahwa operasi militer
AS di Irak dan Suriah tidak bertujuan untuk melemahkan Teheran atau
sekutu-sekutunya. "Kami telah meneruskan pesan ke Iran melalui pemerintah
Irak dan Sistani mengatakan bahwa tujuan kami adalah melawan ISIL," kata
seorang pejabat senior AS memberitahu tentang komunikasi ini. "Kami tidak
menggunakan ini sebagai alat untuk menduduki kembali Irak atau melemahkan
Iran.'"
Setelah surat ini, Rafidhah Khamenei menjawab surat itu dengan
menulis kepada Obama. "Wall Street Journal" melaporkannya dalam
sebuah artikel pada "13 Feb 2015" berjudul "Ayatollah Iran
Mengirim Surat Baru kepada Obama di tengah Pembicaraan Nuklir" di mana
Khamenei merespon positif dengan melayangkan sebuah surat untuk mencari
hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat dan kerjasama lebih lanjut
melawan Islaic State.
Tapi kerjasama itu sebenarnya sudah ada di permukaan sejak
beberapa lama. Pada tanggal 31 Agustus 2014, "New York Times" merilis
sebuah artikel berjudul "U.S. and Iran Unlikely Allies in Iraq
Battle." Mereka melaporkan bahwa seorang pejabat pemerintahan senior AS
mengatakan, "Setiap kerjasama dengan milisi Syiah bukanlah dilakukan oleh
kami – ini dilakukan oleh ISF ['Iraqi Security Force‘]" dan kemudian
komentar pada kata-katanya: "Tapi tentu saja diketahui bahwa milisi Syiah
telah bertempur bersama tentara kita dalam beberapa bulan terakhir di saat
ancaman ISIS semakin jelas." Kemudian dalam artikel tersebut, mereka
mengatakan bahwa "Pemerintahan Obama mencoba menghindari agar tidak
terlihat telah ambil bagian dalam perang sektarian, karena milisi Syiah terutama
ditakuti oleh Sunni Irak. Tapi untuk akhir pekan ini setidaknya, realitas di
lapangan tampaknya mengesampingkan kekhawatiran untuk mendukung milisi secara
efektif." Sebenarnya, Amerika telah bekerja sama dengan negara Iran,
pasukannya, dan milisinya, tetapi melalui rezim Irak Safawi – hal ini meniru
orang-orang Yahudi yang bekerja tetapi "tidak bekerja" di hari Sabtu
walau telah dilarang sehingga mereka dirubah menjadi kera dan babi. Ini mirip
dengan Klaim Jabhah Jawlānī bahwa mereka tidak bekerja sama dengan para thaghut
ketika mereka bekerja sama dengan faksi-faksi milik para thaghut ...
Adapun kerjasama Amerika dengan
rezim Suriah, maka ini telah terjadi sejak program rendisi AS yang
memperlihatkan banyaknya mujahidin yang dikirim ke Suriah hanya untuk disiksa
di tangan orang-orang Ba‘ath Nusairiyyah atas nama Amerika. Rezim Suriah juga
berada di balik tindakan keras yang terjadi di Suriah terhadap semua pendukung
jihad melawan Amerika di Irak pada saat munculnya Sahwah pro-Amerika. Banyak
dari faksi Sahwah ini akan menempatkan pemimpin mereka di Suriah dan khotbah
Jumat diarahkan untuk mendukung mereka. Kerjasama AS-Suriah terlihat nyata
akhir-akhir ini dalam serangan udara tentara salib. "Washington Post"
melaporkan pada tanggal 23 September 2014 dalam sebuah artikel berjudul
"Syria Informed in Advance of U.S.-Led Airstrikes against Islamic
State" bahwa Juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan, "Suriah
diberi informasi oleh pihak Amerika dalam serangan udara terhadap target
sasaran termasuk pertahanan Islamic State." Artikel itu menambahkan bahwa
ini "Ditandai dengan penampilan yang jarang, interaksi antara Washington
dan utusan Presiden Suriah Basyar al-Assad. ... Letnan Jenderal William C.
Mayville Jr., Direktur operasi Pentagon, dia menjelaskan bahwa radar militer
Suriah menjadi 'pasif' selama serangan, dengan tidak ada usaha untuk melawan
mereka. ... cakupan ini menunjukkan hal kecil tapi merupakan pergeseran penting
Amerika Serikat dan sekutunya, yang sebelumnya telah memberikan dukungan
diplomatik dan militer secara terbatas kepada pemberontak yang berusaha
menggulingkan Assad. Perluasan Serangan udara yang dipimpin AS ke Suriah
sekarang bisa membuka canel baru bagi pemerintahan Assad ... kantor berita
Suriah Arab News Agency (SANA) mengatakan bahwa Amerika Serikat memberikan
informasi kepada perwakilan Suriah di PBB bahwa mereka akan melakukan serangan
udara. [juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jen] Psaki mengkonfirmasi kontak
itu tapi tidak mengatakan kapan itu terjadi." Artikel tersebut juga
merujuk pada laporan "SANA" yang menyatakan bahwa Sekretaris Negara
John Kerry telah mengirimkan surat kepada Walid Muallem (menteri luar negeri
rezim Nusairī) untuk memberitahukan kepadanya tentang rencana tentara salib
untuk mulai menyerang posisi Islamic State.
Menurut laporan Reuters pada tanggal yang sama berjudul
"Syria‘s U.N. Envoy Says Told of Airstrikes by Samantha Power, "Duta
Suriah untuk PBB Basyar Ja'afari mengatakan kepada Reuters, pada hari Selasa ia
secara pribadi diberitahu oleh Duta Besar AS Samantha Power bahwa beberapa jam
kemudian AS dan Arab akan segera melakukan serangan udara terhadap
target-target Islamic State di wilayah Suriah. Ja'afari mengatakan bahwa Power
berkata kepadanya bahwa pada Senin pagi aksi militer akan dilakukan. Dia
menambahkan bahwa 'kita dalam koordinasi yang erat dengan Irak." Misi AS
menegaskan bahwa Power telah memberikan informasi kepada Ja'afari."
Hal ini ditegaskan oleh taghut Bashar dalam sebuah wawancara
dengan BBC pada "10 Februari 2015." Dalam sebuah artikel berjudul
"Assad Says Syria Is Informed on Anti-IS Air Campaign," BBC
melaporkan, "Presiden Suriah Basyar al-Assad mengatakan pemerintahnya
menerima pesan dari koalisi pimpinan AS tentang perang melawan kelompok jihad,
Islamic State. Assad mengatakan kepada BBC bahwa telah ada kerjasama secara
tidak langsung sejak serangan udara dimulai di Suriah pada bulan September.
Tapi pihak ketiga - di antara mereka adalah Irak – menyampaikan 'informasi' ...
tentang serangan mendadak oleh pesawat tempur AS dan Arab atas Suriah."
Amerika juga telah melayani kepentingan rezim Suriah dengan
mendukung PKK, sekutu terdekat rezim sejak dimulainya perang di Syam dan terus
berperang bersama rezim di wilayah al-Barakah. Amerika juga berusaha keras
untuk mempertahankan rezim Ba‘ath dan tentara Nusayrī mereka hingga bisa
menjamin sebuah transisi menuju pluralistik negara yang sesuai dengan agama
Amerika. Satu-satunya syarat mereka sangat mudah; mereka meminta taghut Asad
disingkirkan tapi sisa rezim dan pasukannya tetap utuh. Sehingga kemudian bisa
duduk di meja perundingan dengan kelompok murtad Koalisi Nasional Suriah (SNC)
dan Free Syrian Army (FSA).
Layanan Amerika terhadap
kepentingan rezim Suriah juga disoroti oleh mantan Menteri Pertahanan AS Chuck
Hagel. "Washington Times" melaporkan pada "30 Oktober 2014"
dalam sebuah artikel berjudul "Syria Airstrikes Spur White House
Infighting over Benefit to Assad" bahwa " Sekretaris Pertahanan Chuck
Hagel mengakui untuk pertama kalinya pada hari Kamis bahwa serangan udara yang
dipimpin AS terhadap Islamic State menguntungkan Presiden Suriah Basyar Assad
... 'Ya, Assad mendapatkan beberapa keuntungan,' Hagel berkata kepada wartawan
di Pentagon ... Menggambarkan bahwa situasi di dalam Suriah adalah rumit, Hagel
mengatakan bahwa pemerintah tetap menyerukan penggulingan Assad meskipun seolah
membantu dia." Laporan itu menambahkan ada sebuah sumber di administrasi
yang menginformasikan kepada mereka bahwa "logika yang dimiliki beberapa
orang yang berada di administrasi bahwa menyerang aset milik Suriah akan
merusak pembicaraan nuklir antara AS dan Iran, sekutu dekat Assad”.
Rusia, selain berada di pihak AS, Rafidah, dan Nusayriyyah di Irak
dan Syam dalam perang melawan Islamic State, dia juga terlibat dalam perang
melawan wilayah al-Qawqāz. Adapun di Irak dan Syam, Direktur Federal Security
Service Rusia (FSB) Alexander Bortnikov mengatakan kepada para wartawan pada
tanggal "20 Februari 2015" bahwa "Amerika Serikat dan Rusia
mungkin akan mulai bertukar intelijen dalam rangka mengalahkan Islamic
State." Hal ini diawali dengan laporan dari "New York Times"
pada "14 Oktober 2014" berjudul "U.S. and Russia Agree to Share
More Intelligence on ISIS." Dalam laporan tersebut, mereka menyatakan,
"Menteri Luar Negeri John Kerry mengatakan pada hari Selasa bahwa Amerika
Serikat dan Rusia telah sepakat untuk lebih berbagi kerjasama intelijen tentang
Islamic State, sebagaimana dia juga berusaha untuk meletakkan dasar bagi
peningkatan kerjasama dengan Moskow. ... Kerry membuat hal ini jelas bahwa dia
akan menyambut perluasan kerjasama dengan Putin setelah pertemuan di sini
dengan Sergey V. Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia. ... tercatat bahwa ada 500
atau lebih relawan Islamic State yang mungkin datang dari Rusia, Kerry
mengatakan bahwa dia telah mengusulkan agar kedua belah pihak mengintensifkan
kerjasama intelijen terhadap para kelompok militan dan ancaman teroris lainnya,
dan Lavrov telah sepakat. Membuka pintu untuk kerjasama di Irak, Kerry
mengatakan Lavrov telah sepakat untuk menyelidiki apakah Rusia bisa berbuat lebih
banyak untuk mendukung pemerintah terkepung Irak karena pertempuran Islamic
State – termasuk dengan memberikan senjata."
Rusia juga secara terbuka mendukung rezim Irak yang didukung oleh
Amerika Serikat. Melalui kantor berita Itar- Tass, Kementerian Luar Negeri
Rusia mengeluarkan pernyataan pada "26 September 2014" tentang
pertemuan yang diadakan antara Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi. Kementerian Luar Negeri mengatakan dalam
pernyataan tersebut, "Dalam pertemuan tersebut, Lavrov menegaskan dukungan
Rusia untuk kemerdekaan Irak, integritas wilayah dan kedaulatan ... Moskow siap
untuk melanjutkan dukungan terhadap Irak dalam upaya memerangi ancaman teroris,
dan yang paling pertama dari semuanya, adalah Islamic State."
Menurut "New York Times" dalam sebuah artikel berjudul
"Russian Jets and Experts Sent to Iraq to Aid Army " dirilis pada
"29 Juni 2014," "pejabat pemerintah Irak mengatakan pada hari
Minggu bahwa para ahli Rusia telah tiba di Irak untuk membantu tentara
mendapatkan 12 pesawat tempur Rusia yang baru untuk memerangi ekstrimis Sunni
... 'Dalam tiga atau empat hari mendatang pesawat akan segera beroperasi untuk
mendukung pasukan kami dalam perang melawan gerilyawan Islamic State di Irak
dan Suriah, kata Jenderal Anwar Hama Ameen, Komandan Angkatan Udara Irak,
menunjuk lima Pesawat SU-25 yang diterbangkan ke Irak kapal lewat pesawat kargo
Rusia pada Sabtu malam, dan dua lagi diharapkan akan datang pada Minggu nanti.
... Komandan Angkatan Udara Irak, Jenderal Ameen, mengatakan bahwa para ahli
militer Rusia telah tiba untuk membantu mempersiapkan pesawat tempur baru
SU-25, tetapi mereka hanya akan tinggal dalam waktu singkat. Lima pesawat Rusia
terakhir akan tiba pada hari Senin, katanya. ... Ini adalah laporan pertama
tentang bantuan militer Rusia di negara itu, meskipun Jenderal Ameen mengatakan
bahwa mereka hanya tenaga ahli, dan bukan penasihat. ... Pada hari Kamis,
Perdana Menteri Nuri Kamal al-Maliki mengatakan, negara Iraq bekerjasama dengan
Kementerian Pertahanan Rusia, telah memerintahkan selusin SU-25, jet tempur
serang darat yang berguna untuk operasi dukungan udara jarak dekat (close air
support). 'Mereka datang sangat cepat," kata Jenderal Ameen pada wawancara
via telepon, 'karena kita membutuhkan mereka dalam konflik ini untuk melawan
teroris sesegera mungkin." Dia mengatakan bahwa orang-orang Rusia ini akan
pergi dalam waktu sekitar tiga hari setelah pesawat siap untuk beroperasi. ...
Namun, Jenderal Ameen mengatakan mereka akan segera terlibat aksi lagi.
"Kami memiliki pilot yang memiliki pengalaman panjang dengan pesawat ini
dan tentu saja kami mendapat bantuan dari teman-teman Rusia dan para ahli yang
datang dengan pesawat ini untuk mempersiapkannya," katanya. 'Ini akan memberikan
hukuman yang sangat kuat terhadap para teroris dalam beberapa hari
mendatang." ... Pesawat baru ini akan meningkatkan dan mendukung kekuatan
dan kemampuan angkatan udara Irak untuk membasmi terorisme,' disebutkan oleh
sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan Irak."
Menurut "The Hill"
dalam sebuah artikel berjudul "Hagel: US knows Iran, Russia aiding Iraq in
fight against ISIS" yang dirilis pada "11 Juli 2014," Chuck
Hagel berkomentar tentang laporan bahwa "Menukil para pejabat militer Irak
yang mengatakan bahwa Iran dan Rusia sedang melakukan serangan udara di negara
mereka, menyerang target-target Islamic State in Iraq and Syria (ISIS),"
dengan mengatakan, "Kami menyadari upaya Iran dan Rusia untuk membantu
rakyat Irak."
Oleh karena itu, Iran dan semua sekutunya terlibat langsung dalam
perang tentara salib terhadap Islamic State. "Foreign Policy"
melaporkan bahwa pada "12 November 2014" dalam sebuah artikel yang
berjudul "Who Has Contributed What in the Coalition against the Islamic
State?" disebutkan "Meskipun Iran bukan mitra koalisi yang diakui,
dia dan Amerika Serikat berunding secara informal."
Kemudian diakhiri dengan "Joint Comprehensive Plan of Action
" kesepakatan nuklir antara Barat yang dipimpin Amerika dan rezim Iran
yang didukung oleh Rusia.
Pada akhirnya, Amerika melayani kepentingan Kekaisaran Safawi
dengan serangan udaranya, intelijen, dan politik, dan Kekaisaran Safawi juga
bekerja sama dengan Amerika secara sama melawan Mujahidin. Hal ini dilakukan
secara terselubung, secara tidak langsung, apalagi secara publik. "Si
perantara" - bila diperlukan – adalah rezim boneka Safawi di Irak. David
Petraeus (mantan komandan militer Amerika untuk Irak) mengomentari perang
pemerintahan Obama, "Ini tidak boleh terjadi Amerika Serikat menjadi
angkatan udara untuk milisi Syiah atau perang antara Arab
Syiah-terhadap-Sunni." Tapi inilah apa yang terjadi , tapi sebenarnya ini
adalah perang terhadap Islam, bukan terhadap bangsa Arab.
The Safawi Empire
Bangkitnya kembali Kekaisaran Safawi adalah tujuan akhir dari
Rafidah Iran. Kekaisaran Safawi didirikan oleh seorang sufi tarekat bernama
Safawiyyah. Pada awalnya dia dianggap berasal dari "Sunnah" dan
mazhab "Syāfi'ī", namun kemudian menggabungkan di dalamnya banyak ajaran
sesat yang ekstrim dari sufisme murtad. Aliran sesat ini kemudian diadopsi oleh
Syiah Imamiyah yang kemudian setelah didirikan dan segera menjadi gerakan
politik dan militan dia mulai melakukan peperangan hingga pemimpinnya Ismail
Ibnu Haydar as-Safawi berhasil mengambil alih Persia. Dia kemudian memaksakan
faham Syiah atas masyarakat Sunni hingga Persia menjadi negara yang didominasi
oleh kaum Rāfidah setelah sebelumnya didominasi oleh Sunni. Di antara
kebijakannya adalah mengeksekusi ulama Sunni dan membantai penduduk Sunni yang
bertahan. Dia adalah penguasa yang paling anti-Sunni yang berkuasa sejak
jatuhnya negara Ubaydiah Ismailiyah yang berbasis di Mesir. Dinasti Safawi
berkuasa pada masa "1501-1736M."
Lebih dari dua ratus tahun kemudian, seorang Rāfidah Khomeini melakukan
upaya para pendahulu kaum Safawi dan memberikan kekuatan langsung dalam politik
kepada para ulama Rāfidī melalui konsep yang telah dia sebarkan yang dikenal
sebagai "Wilayat al-Faqih" dan melalui apa yang disebut
"revolusi." Kemudian secara mengejutkan para ulama Rāfidah ini berada
dalam kontrol langsung terhadap Persia dan dalam beberapa tahun kemudian,
mereka mengekspor agama syirik mereka ke Syam, Irak, Semenanjung Arab,
Khurasan, India, Turki, Azerbaijan, Afrika, dan Asia Tenggara.
Kaum Rafidah kemudian banyak mengambil alih di Yaman ketika berada
di sisi boneka Amerika Ali Abdullah Saleh, setelah mendapatkan kekuasaan di
Suriah dan Lebanon sebagai hasil dari Amerika yang menyerahkan Irak kepada
mereka setelah "Operation Iraqi Freedom." Tiba-tiba "Bulan sabit
Syiah" tumbuh dari bulan sabit menjadi gerhana matahari, yang benar-benar
mengancam Islam di mana-mana. Mereka menyatukan Nusayriyyah, Ismailiyah, dan
Zaidiyah dibalik apa yang mereka sebut "Faqih" dalam perang melawan
Sunnah. Rencana mereka adalah untuk terus berperang melawan Islam sampai
munculnya "al-Mahdi" kaum Rafidah, yang menurut mereka, akan
berbicara dengan bahasa Ibrani, mengatur dengan Taurat, diikuti oleh
orang-orang Yahudi, dan membunuh semua orang Arab – sifat-sifat yang tidak
diragukan lagi lebih cocok sebagai Dajjal Yahudi bukan al-Mahdī Muslim.
Secara fakta kaum murtad Rafidah memang lebih solid, terorganisir,
kuat, dan agresif dibanding sekutu-sekutu lain pasukan salib – yaitu para
thaghut murtad dan sahwāt – sehingga mereka mendapatkan dukungan tentara salib,
dengan demikian tentara salib mengandalkan mereka dan sekutu Rafidah Kurdi
lebih daripada kelompok lain dalam perang melawan Khilafah. Secara keseluruhan
kaum Rafidah lebih barbar dan bersatu daripada tentara salib itu sendiri,
tetapi muwahhidīn Khilafah telah mengasah pisau dan menyiapkan banyak bom mobil
untuk menyembelih kawanan domba Rāfidah hingga Rāfidah terakhir mati di bawah
bendera Dajjal.
Koalisi Sahwah
Nama Sahwah pertama kali disebutkan di Irak, namun sebenarnya
telah ada sebagai sebuah fenomena yang jauh lebih awal kemunculannya sejak
Afghanistan pasca-komunis. Nama ini diambil dari kata Arab yang berarti
"kebangkitan." Asal muasal Sahwah Irak adalah geng-geng suku yang
mulai mendukung tentara salib Amerika melawan mujahidin pada tahun
"2005," sebelum pembentukan Daulah Islam. Kerjasama ini terus tumbuh
hingga Abdul Sattar al-Risyawi membentuk dewan "Sahwah Anbar", salah
satu sahwāt resmi Amerika yang pertama, mungkin maksudnya "kebangkitan"
untuk menghadapi para mujahidin. Suku-suku ini mendukung dewan untuk melawan
Daulah Islam bersama faksi-faksi sahwat, yang
kebanyakan dikendalikan oleh kesukuan.
Kelompok-kelompok sahwat mungkin
dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis: kelompok perlawanan nasionalis
berorientasi Ikhwani, dan kelompok "jihadi" berorientasi Sururi.
Kelompok "Jihadi" ("Tentara Islam di Irak," "Jaisy
al-Mujahidin," dan "Komite syari‘ah Jaisy Ansar as-Sunnah,"[9]
dan lain-lain) membentuk "front Jihad dan Reformasi." Faksi
perlawanan ("Brigade Revolusi 1920," "Jaisy ar-Rasyidin,"
"Jaisy al- Muslimin fil-'Iraq," dan lain-lain) membentuk "Front
jihad dan Perubahan," yang kemudian diikuti pembentukan koalisi resistensi
lain yang dikenal sebagai "Front Islam untuk perlawanan Irak."
Berbagai faksi perlawanan dan faksi "Jihad" dalam koalisi yang lebih
kecil ini akhirnya bergabung ke dalam " Dewan Politik untuk Peralwanan
Irak " sedangkan beberapa kelompok yang lebih kecil yang tersisa
menghadapi kepunahan. Semua front dan dewan yang beragam ini secara tidak
nampak dipengaruhi atau disusupi oleh "al-Hizb al-Islami," sayap
ikhwan di Iraq. Tidak lama setelah dibentuknya berbagai front dan dewan ini, “jihad” mereka dimulai dengan merilis
statemen politik yang tidak memiliki realitas di lapangan. Mereka hanya aktif
perang melawan Daulah Islam sedangkan mereka telah sepakat melakukan gencatan
senjata dengan Amerika dan memutuskan bahwa apa yang mereka sebut
"Khawarij" adalah musuh terbesar Islam!
"Ikhwanisasi jihad" itulah yang ada di balik pengkhianatan
dan menyimpangnya Burhanuddin Rabbani, Ahmad Syah Massoud, dan Abdul Rasul
Sayyaf di Afghanistan, Abdul lo Nur i di Taj ikistan, Abdelhakim Belhadj, Abdel
Wahab Qaid, Abdel-Hakim al-Hasidi, dan Sami Mustafa as-Sa'idi di Libya, Syarif
Sheikh Ahmed di Somalia, Mohamed Abu Samra, Kamal Habib, Nabil Nu'aim, Karam
Zuhdi, Abbud al-Zumar, Tarek al- Zumar, Najih Ibrahim, Usamah Hafidh, 'Asim
'Abdil-Majid, 'Isam Dirbālah, 'Abdul- Akhir al-Ghunaymī, dan Usamah Rusydi di
Mesir, dan Hamas di Palestina.[10]
Ini adalah "Ikhwanisasi jihad" yang mendorong
dibentuknya kongres "Fajar Libya" dan kelompok Ikhwani "Dewan
Komando Revolusioner Suriah" yang bersekutu dengan Ikhwani "Koalisi
Nasional Suriah" dan "Pemerintahan sementara"nya.
Ini adalah "Ikhwanisasi jihad" yang telah menyebabkan
pembentukan, penggabungan, dan pemecahan berbagai front dan ruang kerja di Syam
dengan cara yang sangat mirip dengan apa yang ada di Irak, kecuali dalam
beberapa aspek penting, faksi sahwāt Irak adalah faksi-faksi yang sebelumnya
berperang melawan tentara salib Amerika, kemudian membuat normalisasi hubungan
dengan tentara salib walau agak canggung. Adapun faksi sahwāt di Syam, maka
sejak awal perang di Syam, mereka telah meminta intervensi Amerika, Eropa,
Arab, dan Turki atau setidaknya bantuan dan telah menarik lebih dekat berbagai
pendukung dan sekutu mereka baik publik dan swasta, membuat perubahan mereka
menjadi sahwāt adalah sesuatu yang alami dan sudah diperkirakan.
Dan sebagaimana sahwāt Irak, di Syam juga terdapat faksi-faksi perlawanan
nasionalis ("al Jaysh Mujahidin," "Jabhah Syāmiyyah,"
"Faylaq asy-Sham," dll) dan faksi "jihad" nasionalis ("Ahrar
asy-Syam," "Jaisy al-Islām, dan "Jabhah Jawlānī”). Dan
sebagaimana front dan dewan yang dibentuk di Irak yang mana anggota faksi-faksi
ini berjanji untuk sepenuhnya melebur akan tetapi justru pecah dan tidak pernah
benar-benar bersatu seperti yang mereka maksudkan, berbagai koalisi dan front
di Syam seperti "Jabhah Islamiyyah" dan "Jaisy al- Fath"
tetap bersikeras untuk menjadi faksi independen dan menolak untuk melebur
menjadi entitas yang lebih besar dan tetap bertahan terhadap perpecahan. Ini
adalah penyakit hizbiyyah dan cinta kepemimpinan yang terus menjangkiti mereka,
di samping kesesatan ekstrim mereka.
Dan juga
karena hal yang terjadi ini dan perpecahan yang t erus mendalam menyebabkan AS
lebih memilih rezim Safawi di Irak daripada proyek Sahwah, lalu mereka
meninggalkan kaum murtad Sahwāh dan lebih memilih hawa nafsu dan keinginan
"Faqih" Safawi Iran, yang telah menelikung dan mengkhianati mereka
setelah bertahun-tahun Sahwah melayani kepentingan rezim Safawi di Irak dan
juga kepentingan tentara salib.
Dan Shahwat – baik itu di Syam, Iraq, Libya, Pakistan,
Afghanistan, Yaman, atau di mana saja mereka - di samping pemimpin mereka
melakukan perjalanan dari Yordania ke Arab Saudi‘, ke Kuwait, ke Qatar, ke
Turk,i ke Inggris, atau ke Amerika, mereka memiliki satu hal yang sama; mereka
adalah Machiavellian. Bagi mereka, tujuan bisa membolehkan segala cara, dan
demi meraih sesuatu yang "baik" atau mengejar
"kepentingan", kemurtadan dan kemunafikan menjadi hal yang
diperbolehkan. Mereka tidak mengambil pendapat berdasarkan dalil, bahkan mereka
akan mengambil pendapat yang lemah dan aneh untuk mengejar jabatan, kekayaan,
dan kehormatan, dan untuk membenarkan wala‘ mereka kepada orang-orang kafir dan
Bara' dari kaum Muslimin. Ketika perbuatan mereka menjadi pertempuran yang
nyata demi kepentingan tentara salib dan para thaghut terhadap Islam dan kaum
muslimin, mereka lalu berusaha menggambarkan diri mereka sedang mencari bantuan
dari orang-orang kafir untuk memerangi apa yang disebut "Khawarij"!
Maka berbagai faksi "jihad" Sahwah - didorong oleh sikap Irja' dan
hizbiyyah - murtad dan bersekutu dengan faksi nasionalis melawan musuh bersama
- "Khawarij" – sambil membuat-buat udzur untuk menolerir kekufuran
para sekutu nasionalis mereka, untuk menggambarkan bahwa mereka hanyalah kaum
Muslimin yang fasiq yang sedang melawan musuh yang berbahaya, dan jika begitu
maka setiap kekufuran yang dilakukan untuk "membela diri" maka
diudzur! Bisa jadi sebentar lagi, sikap hizbiyyah mereka akan mendapatkan yang
lebih baik dari mereka, dan mereka akan mulai saling mengacungkan senjata satu
sama lain demi mengejar dominasi politik pada wilayah yang telah "dibebaskan"
oleh mereka.
Sebuah Peluang Beramal Shalih
Adapun bagi kaum muslimin yang tidak mampu melakukan hijrah dari
Darul-kufur menuju Khilafah, maka ada banyak kesempatan baginya untuk menyerang
orang-orang kafir yang memusuhi Islamic State. Ada lebih dari tujuh puluh
negara salibis, rezim taghut, tentara murtad, milisi rāfidah, dan faksi sahwah
yang bisa dipilih olehnya. Kepentingan mereka berada di seluruh dunia. Dia
tidak perlu ragu untuk menyerang mereka di mana saja dia mampu. Tidak lebih
dari membunuh warga Salibis di belahan bumi mana saja. Apa, sebagai misal, yang
menghalangi dirinya untuk menyerang komunitas Rāfidah di Dearborn (Michigan),
Los Angeles, dan New York City? Atau menyerang misi diplomatik Panama di
Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau menyerang misi diplomatik Jepang di Bosnia,
Malaysia, dan Indonesia? Atau menyerang diplomat Saudi di Tirana (Albania),
Sarajevo (Bosnia), dan Pristina (Kosovo)? Atau mengeksekusi sponsor utama
Sahwah di Qatar, Kuwait, dan Arab ―Saudi‖? Apa yang
menghalanginya untuk menyerang sekutu PKK dan Peshmerga di Eropa dan Amerika
termasuk " Asosiasi Konfederasi Kurdi di Eropa" (KON-KURD - yang
berbasis di Brussels) dan "Persatuan Pengusaha Kurdi International"
(KAR-SAZ - berbasis di Rotterdam), keduanya dikenal buruk karena dukungan
keuangan mereka kepada PKK?
Jika seseorang tertahan untuk bisa melakukan hijrah karena
berbagai alasan, namun tidak ada alasan baginya untuk tidak melakukan jihad
terhadap para musuh Islam yang terdekat dengannya. {Wahai orang-orang yang beri-man!
Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka
merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang yang
bertakwa} [At-Taubah: 123].
Kesimpulan
Kesabaran dan keteguhan kaum muslimin dalam Perang Ahzab,
menjadikan mereka sebagai kekuatan yang harus diperhitungkan, dan ditambah
dengan berbagai kemenangan militer mereka, para musuh mau tidak mau harus
mengakui kekalahan dan mengakui gencatan senjata, sebagaimana yang terjadi di
Hudaibiah, pelanggaran yang dilakukan oleh kaum musyrikīn Quraisy kelak
berujung dengan ditaklukannya kota Makkah.
Para pengklaim jihad berusaha untuk mengubah urutan peristiwa
dalam Sirah. Peristiwa Hudaibiah mereka putar, kemudian memasukkannya ke dalam
– apa yang disebut – "fiqh" yang melalui hal itu mereka mempermudah
kewajiban jihad dan al-wala' wal-bara'. Mereka lupa bahwa perjanjian Hudaibiah
terjadi setelah hijrah, pembentukan negara kenabian, dan kemenangan di perang
Badar. Dia datang setelah kesabaran dan keteguhan diperlihatkan di medan Uhud
dan Ahzab. Dia datang di saat pasukan kaum Muslimin kuat, tidak lagi merasa
terancam akan musnah di tangan kaum Quraisy. Dia datang pada saat kaum Quraisy
takut terhadap umat Islam sebagai musuh yang tangguh.
Sahwāt, di sisi lain, berlomba menuju tentara salib ... dan bahkan menuju kemurtadan! Sahwāt kemudian masuk di bawah sayap mereka, mematuhi perintah mereka dengan imbalan bantuan dan dukungan, dan berperang melawan Islamic State sementara mereka sendiri menolak pelaksanaan syariat, semua ini sambil mengklaim bahwa ini adalah "fiqh" dari perjanjian Hudaibiah, padahal fiqh Hudaibiah adalah kesabaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat di semua pertempuran sebelum perjanjian Hudaibiah. Itu semua adalah kebenaran dari janji Rabb mereka dalam peristiwa al-Ahzab. Itu semua adalah karena jihad terus menerus mereka dan al-wala' wal-bara' yang tidak pernah berhenti. Itu semua karena pencapaian tamkien sehingga penandatanganan mereka terhadap gencatan senjata berasal dari posisi kekuasaan bukan kelemahan, sehingga pada akhirnya semua manfaatnya kembali bagi mashlahat persatuan kaum muslimin.
Sahwāt, di sisi lain, berlomba menuju tentara salib ... dan bahkan menuju kemurtadan! Sahwāt kemudian masuk di bawah sayap mereka, mematuhi perintah mereka dengan imbalan bantuan dan dukungan, dan berperang melawan Islamic State sementara mereka sendiri menolak pelaksanaan syariat, semua ini sambil mengklaim bahwa ini adalah "fiqh" dari perjanjian Hudaibiah, padahal fiqh Hudaibiah adalah kesabaran Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat di semua pertempuran sebelum perjanjian Hudaibiah. Itu semua adalah kebenaran dari janji Rabb mereka dalam peristiwa al-Ahzab. Itu semua adalah karena jihad terus menerus mereka dan al-wala' wal-bara' yang tidak pernah berhenti. Itu semua karena pencapaian tamkien sehingga penandatanganan mereka terhadap gencatan senjata berasal dari posisi kekuasaan bukan kelemahan, sehingga pada akhirnya semua manfaatnya kembali bagi mashlahat persatuan kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar