WASIAT UNTUK
PARA AMIR
DAULAH
ISLAM
Oleh : Abu Hamzah Al-Muhajir
(rahimahullah)
Segala puji hanya bagi Allah,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, kepada keluarganya dan
kepada orang-orang yang mengikutinya. Amma ba’du:
Wahai saudara-saudaraku
Mujahid, ini adalah beberapa nasehat, yang saya kumpulkan bagimu dari
lisan-lisan para tokoh dan kandungan berbagai kitab. Dan saya sama sekali tidak
mengklaim (sebagai) ahli hikmah. Saya memohon kepada Allah agar menjadikannya
manfaat bagi diri saya dan kalian. Allah-lah di balik tujuan ini.
[1] Ikhlaslah karena Allah,
karena di dalamnya keselamatan di dunia dan akhirat.
Rasulullah (shallallahu
‘alayhi wa sallam) bersabda, “Allah telah menjamin bagi orang yang berjihad di
Jalan-Nya dan dia tidak keluar kecuali untuk jihad di jalan-Nya dan pembenaran
kalimat-kalimat-Nya, untuk memasukannya ke dalam surga atau memulangkannya ke
rumahnya yang dia keluar darinya bersama apa yang dia dapatkan berupa pahala
atau ghanimah.”
Dan bertujuanlah dengan amalmu
itu agar kalimat Allah-lah yang tertinggi, karena diriwayatkan dari Abu Musa,
berkata, “Rasulullah (shallallahu ‘alayhi wa sallam) ditanya tentang pria yang
berperang karena keberanian, dan berperang karena fanatisme, dan berperang
karena riya, mana di antara itu yang fi sabilillah? Maka berkatalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah-lah yang
tertinggi, maka dia itu Fi sabilillah.”
[2] Adil dan Tulus kepada
orang-orang yang kamu pimpin,
karena “Tidaklah seorang amir
(yang memimpin) sepuluh orang melainkan ia kelak didatangkan di hari kiamat
seraya di belenggu yang tidak dilepaskan kecuali oleh keadilan atau ia dijerumuskan
oleh aniaya”, dan “Tidaklah seorang amir yang menangani urusan kaum muslimin
terus ia tidak bersungguh-sungguh dan tidak tulus kepada mereka, melainkan ia
itu tidak masuk surga bersama mereka”, dan “Tidaklah Allah mengangkat seorang
hamba untuk mengayomi masyarakat, (terus) ia mati saat ia mati sedangkan ia
menipu mereka melainkan Allah haramkan surga terhadapnya.”
[3] Musyawarah dan Diskusi (munadharah),
di mana diskusi ini adalah
sejawat musyawarah, yaitu: duduk untuk melontarkan pikiran di majelis, dan
komentar setiap orang terhadap pendapat orang lain, atau mencari tahu pendapat
baru, kemudian di akhir memilih pendapat yang tepat. Allah ta’ala berfirman:
{Dan ajaklah mereka bermusyawarah di dalam urusan itu} [Ali ‘Imran: 159], di
mana Allah telah mengarahkan Nabi-Nya untuk mengajak musyawarah orang-orang
yang di bawah level beliau padahal akal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
cemerlang lagi unggul, maka bagaimana halnya dengan kalian?
Dan sebagaimana diriwayatkan:
“Tidak menyesal orang yang melakukan musyawarah, dan tidak kecewa orang yang
melakukan istikharah”, dan dikatakan: “Barangsiapa merasa cukup dengan akalnya
maka ia tersesat, barangsiapa mencukupkan diri dengan pendapatnya maka ia
tergelincir, barangsiapa meminta pendapat orang-orang yang berpemikiran maka ia
menempuh jalan yang tepat, dan barangsiapa meminta bantuan orang-orang yang
berakal maka ia berhasil meraih apa yang diharapkan”.
Maka hendaklah setiap amir
memiliki majelis syura yang hakiki, mulai dari amir umum sampai pada amir-amir
sariyyah (brigade). Akan tetapi kamu jangan meminta pendapat orang yang memiliki
hajat yang ingin ia tunaikan, dan jangan pula orang yang kamu rasa bahwa ia
berambisi kepadanya, dan jangan pula orang yang tidak menimbang-nimbang pikiran
pada pendapatnya, karena ada ungkapan: “Biarkan pendapat sehingga ia matang,”
dan telah ada dari Ali radliallahu ‘anhu: “Pendapat syaikh (orang tua) itu lebih
baik dari penyaksian anak muda” yaitu di dalam peperangan, dan jangan meminta
pendapat kecuali saat menyendiri, karena ia lebih menjaga rahasia dan lebih
bisa terkendali bagi orang yang kadang menyebarkannya.
Memang benar! “Sesungguhnya
musyawarah dan diskusi itu adalah dua pintu rahmat dan dua kunci barakah yang
tidak mungkin terlewatkan satu pendapat pun bersama keduanya”.
[4] Hati-hatilah jangan
sekali-kali kamu mengedepankan orang yang menyetujui pendapatmu saja, dan
waspadalah dari pendamping yang buruk, biasakanlah dirimu untuk sabar terhadap
orang yang menyelisihimu dalam pendapat dari kalangan orang-orang yang tulus,
teguklah kepahitan ucapan mereka dan kritikan mereka, dan jangan berlapang dada
dalam hal itu kecuali kepada orang-orang baik, berakal, berumur, bermuru’ah dan
menjaga kehormatan.
[5] Tidak ada yang lebih
melenyapkan dien dan dunia dari lenyapnya kabar masyarakat yang sebenarnya dari
amirnya; maka dari itu janganlah menutupi diri dari mereka, karena kamu ini hanyalah
manusia yang tidak mengetahui apa yang disembunyikan manusia darimu. Dan jangan
sekali-kali kamu berlindung dengan alasan keamanan, sehingga kamu aman namun
orang-orang yang di bawahmu terlantar; maka seburuk-buruknya amir adalah kamu
kalau begitu.
Awasilah segala urusan oleh
dirimu sendiri setelah mengangkat orang-orang kepercayaan yang tulus, karena
kadang berkhianat orang yang terpercaya itu, dan kadang menipu orang yang tulus
itu, maka carilah kejelasan dari semua urusan. Allah ta’ala berfirman: {Wahai
Dawud! Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau sebagai khalifah (penguasa) di
bumi, maka putuskanlah (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.} (Shaad:
26)
“Allah ta’ala tidak
mencukupkan dengan sindiran tanpa langsung (perintah), dan tidak mengudzur dalam
penyibukan diri dengan merasa cukup dengan mewakilkan sehingga Dia
menyertakannya dengan kesesatan.”
Dan jangan tergesa-gesa
membenarkan penebar isu yang ingin merusak, karena orang semacam itu adalah
penipu walau dia menyerupai orang-orang yang tulus, tapi jangan kamu buang
begitu saja ucapannya, karena bisa saja dia itu jujur, dan berbaik sangkalah
kepada ikhwanmu, karena berbaik sangka itu memutus dirimu dari kelelahan yang
panjang.
[6] Seyogyanya
bagi amir membawa dirinya dan bala tentaranya untuk komitmen dengan hak-hak yang
telah Allah ta’ala wajibkan dan dengan batasan-batasan yang telah Allah
perintahkan (karena orang yang berjihad membela agama adalah orang yang paling
berhak untuk komitmen dengan hukum-hukumnya), sebab kamu tidak akan melakukan
perbaikan sedangkan kamu sendiri rusak, dan tidak akan bisa membimbing sedangkan
kamu sendiri menyimpang, dan tidak akan menunjuki jalan sedangkan kamu sendiri sesat,
karena bagaimana bisa orang buta menjadi penunjuk, dan orang hina menjadi jaya?
Sedangkan tidak ada yang
lebih hina dari kehinaan maksiat, dan tidak ada yang lebih jaya (mulia) dari kejayaan
ketaatan, maka jauhkanlah dirimu dari akhlak-akhlak yang rendah dan pertemanan dengan
orang-orang fasiq.
[7] Hati-hatilah, jangan sampai
kesempitan kondisimu dalam suatu hal mendorongmu untuk mencarinya dengan yang
tidak benar; karena sesungguhnya kesabaranmu terhadap kesempitan yang kamu
harapkan keberakhirannya dan keutamaan akibatnya adalah lebih baik daripada maksiat
yang kamu khawatirkan tuntutannya. Sedangkan poros dien itu adalah kesabaran.
[8] Hati-hatilah, jangan kamu
mengistimewakan dirimu dengan kendaraan atau pakaian; karena Umar telah menulis
surat kepada Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallahu ‘anhuma: “… dan telah sampai
berita kepadaku bahwa telah merebak pada dirimu dan keluargamu model pada pakaianmu,
makananmu dan kendaraanmu, yang berbeda dengan keumuman kaum muslimin; maka
hati-hatilah wahai Abdullah jangan sampai kamu seperti hewan ternak, ia
melewati lembah yang subur, maka tidak memiliki keinginan kecuali menggemukan
diri, padahal kebinasaannya itu hanyalah pada kegemukan, dan ketahuilah bahwa bila
pemimpin menyimpang maka menyimpanglah rakyatnya, dan orang yang paling celaka
adalah orang yang rakyatnya menjadi celaka dengan sebabnya.”
[9] Ketahuilah bahwa peperangan
itu sebagaimana yang mereka katakan: Bebannya adalah kesabaran, porosnya adalah
tipu muslihat, lingkarannya adalah ijtihad, pelurusnya adalah ketelitian, dan
kendalinya adalah kewaspadaan. Dan bagi masing-masing hal itu ada buahnya; di mana
buah kesabaran adalah pertolongan, buah tipu muslihat adalah kemenangan, buah
ijtihad adalah taufiq, buah ketelitian adalah optimisme, dan dan buah
kewaspadaan adalah keselamatan.
‘Amr ibnu Ma’di Kariba
ditanya tentang perang, maka ia mengatakan: “Barangsiapa sabar di dalamnya, maka
ia mengenal, dan barangsiapa urung darinya, maka ia binasa”, maka hindarilah ketergesa-gesaan,
karena berapa banyak ketergesa-gesaan itu melahirkan penyesalan.
[10] Kedepankan orang-orang yang
memiliki pengalaman dan yang kuat untuk menghadapi musuh saat peperangan
berkecamuk, dan sebarlah mereka pada sariyah-sariyah supaya menjadi kuat orang
yang lemah dengan sebab mereka, dan menjadi berani orang penakut dengan sebab
keberanian mereka.
Hati-hatilah, jangan sampai
orang penggembos atau penebar isu menyertai ikhwanmu, dan waspadalah terhadap
mata-mata dan intel. Di mana berapa banyak kelompok yang sedikit bisa
mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah. Akan tetapi jangan kamu
pilih di dalam peperangan itu orang-orang yang kuat saja dan kamu tinggalkan orang-orang
lemah yang menginginkan apa yang ada di sisi Allah, karena sesungguhnya:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: “Dan tidaklah kalian itu diberi kemenangan dan diberi rizqi
kecuali dengan sebab orang-orang lemah kalian”, dan sesungguhnya Allah menolong
suatu kaum dengan sebab orang paling lemah mereka.
[11] Jangan menelantarkan
perlengkapan yang bisa dipakai, seperti rompi anti peluru dan helm pelindung,
dan itu bukan tergolong sikap pengecut, karena sungguh manusia paling berani yaitu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki baju besi, namun ini tidak
menghalangi dari bertempur tanpa memakai pelindung pada waktunya yang tepat.
Habib ibnul Muhallab berkata:
“Aku tidak melihat di dalam peperangan seorang pria yang memakai pelindung
kepala melainkan ia itu bagiku adalah dua orang, dan aku tidak melihat dua
orang yang tanpa pelindung melainkan keduanya bagiku adalah satu orang”,
maka ucapan ini didengar oleh
sebagian orang yang berpengalaman, maka ia berkata: “Dia benar! Sesungguhnya
senjata itu memiliki keutamaan; apa kamu tidak melihat mereka saat memanggil
pada kondisi genting; ‘Senjata, senjata,’ dan mereka tidak memanggil: ‘pasukan,
pasukan'”.
[12] Sesungguhnya amir yang
bijaklah yang membekali ikhwannya dengan perbekalan yang bisa menguatkan diri
mereka sepanjang hari berupa makanan dan minuman. Para pejuang salah seorang
panglima Afghan yang memusuhi Taliban, bila kita periksa saku mereka maka kita mendapatkan
zabib (anggur kering) di dalamnya.
[13] Seyogyanya bagi amir
menunjuk bagi setiap grup amirnya, dan ia memeriksa kendaraan dan persenjataan
ikhwannya dan perbekalannya, terutama sebelum penyerangan. Ia jangan memasukan
di dalamnya apa yang susah di bawa saat kondisi gawat dan serius, dan jangan mengosongkan
darinya apa yang dibutuhkan saat terjadi apa yang di luar dugaan dan jauhnya perjalanan,
terutama bila diprediksi lamanya peperangan.
[14] Seyogyanya jumlah muqatil
dalam satu mobil tidak boleh lebih dari tiga, kecuali kepentingan menuntutnya,
dan hendaklah ia menjamin hubungan komunikasi yang aman yang sudah dikaji di
antara sariyah-sariyah itu, serta ia menetapkan bagi mereka sandi untuk ucapan mereka
dan syi’ar (slogan) untuk peperangan mereka.
[15] Amir harus memperdengarkan
kepada rakyatnya dan bala tentaranya suatu yang mengokohkan jiwa mereka dan
membuat mereka merasa optimis bisa mengalahkan musuh mereka, serta mengutarakan
kepada mereka dari sebab-sebab kemenangan suatu yang dengannya mereka menganggap
kecil musuh mereka.
Allah ta’ala berfirman:
{(ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit.
Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak, tentu kalian
menjadi gentar dan tentu kalian akan berbantah-bantahan dalam urusan itu}
[Al-Anfal: 43]
[16] Seyogyanya bagi amir
mempelajari dengan cermat lokasi peperangan, maka dia jangan berperang dari
lokasi yang mudah dia disergap tanpa menutup celah, dan jangan membawa terlalu
jauh pasukannya yang menjadikannya mustahil bisa kembali membawa pulang mereka dalam
keadaan aman.
[17] Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata:
“PERANG ADALAH TIPU
DAYA"
Al-Muhallab berkata:
“Gunakanlah tipu daya dalam peperangan, karena ia itu lebih membuat berhasil
daripada keberanian”, dan di antara tipu daya adalah:
a. Menebar mata-mata.
b. Mencari-cari berita.
c. Tauriyah (penyembunyian maksud) dalam peperangan,
di mana Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bila ingin melakukan suatu peperangan, maka beliau
menutupinya dengan yang lain. “Bila sempit dada seseorang dari rahasia dirinya.
Maka dada yang dititipkan rahasia lebih sempit” [Syair]
Dan waspadalah terhadap musuhmu bagaimanapun
keadaannya, supaya dia tidak:
a. Menyergap dari jarak dekat.
b. Atau menyerbu secara tiba-tiba dari kejauhan.
c. Atau bersembunyi menunggu lengah.
d. Atau menyusul kalian setelah kembali.
[18] Di antara tanda pengalaman
seorang amir dan kecerdikannya adalah memanfaatkan kesempatan, “Karena
kesempatan itu berlalu cepat seperti awan, dan jangan kalian mengejar bekas
setelah berlalu”, dan sergaplah saat kepalanya muncul dan jangan menyergap pada
ekornya!
“Bila berhembus anginmu, maka
gunakanlah kesempatannya. Karena bagi setiap yang bergerak itu ada diamnya”
[Syair]
[19] Boleh bagi amir pasukan
untuk menceburkan kepada kesyahidan
dari kalangan yang menginginkannya
orang yang diketahui bahwa pada keterbunuhannya di dalam peperangan itu menjadi
penyemangat bagi kaum muslimin terhadap peperangan karena pembelaan untuknya.
Dan sebaliknya juga benar,
yaitu: ia menjaga orang yang pada keterbunuhannya bisa menghancurkan kekuatan
ikhwannya, seperti komandan yang istimewa; oleh sebab itu posisi jantung adalah
tempat paling terlindungi dan paling jauh dari musuh.
[20] Jangan kamu mengizinkan
ikhwanmu untuk membunuh atau menawan apa yang bisa memecah barisan mereka dan
membuat mereka berselisih dengan sebabnya, bahkan walaupun hal itu boleh dari
satu sisi, karena persatuan barisan saat qital itu adalah mashlahat paling
utama.
[21] Hati-hatilah dari darah dan
penumpahannya tanpa haq,
karena tidak ada suatu pun
yang lebih cepat mendatangkan adzab dan melenyapkan nikmat daripada penumpahan
darah tanpa haknya. Jangan sekali-kali kamu mengokohkan urusanmu dan tentaramu
dengan darah yang haram, karena sesungguhnya hal ini adalah hal segera yang
kemudian harinya adalah kelemahan dan keambrukan, sehingga tidak ada udzur bagimu
di sisi Allah dan juga di sisi kami. Dan demi Allah tidak diadukan kepada kami
kasus darah yang ditumpahkan dari orang ma’shum dari kalangan Ahlussunnah tanpa
bukti nyata yang menunjukan bahwa ia melakukan apa yang menghalalkan darahnya
dan tanpa syubhat melainkan kami pasti mengambilkan haknya baginya.
[22] Jangan kamu terpedaya dengan
mudahnya ‘amaliyyah tertentu;
karena bisa saja tempat yang turun
itu sesudahnya adalah jurang yang mencekam, oleh sebab itu maka hendaklah pikiranmu
untuk harimu itu dan untuk esok harinya; karena tidak ada yang lebih membahayakan
manusia daripada amir yang berpikir hanya untuk harinya.
[23] Balaslah orang yang berbuat
baik atas perbuatan baiknya, dan muliakanlah sariyah setelah keberhasilan,
berikanlah penghargaan kepada pemberani di hadapan umum, dan berikanlah sangsi
terhadap orang yang berbuat salah atas kesalahannya walau dengan hajr; karena
boleh bagi amir untuk memberikan pelajaran kepada orang yang maksiat terhadap perintahnya,
dan bila kamu tidak melakukannya, maka orang yang berbuat baik menjadi malas
dan orang yang berbuat salah menjadi lancang, dan rusaklah urusan serta
sia-sialah amalan.
Dan hendaklah balasan baik
kepada orang yang berbuat baik itu dilakukan di hadapan umum, sedang sangsimu
kepada orang yang berbuat salah adalah secara sirr (rahasia), terutama terhadap
orang-orang baik di antara mereka, adapun orang-orang yang rusak maka sangsi dilakukan
di hadapan manusia, dan syari’at telah datang dengannya.
Hati-hatilah jangan
berlebih-lebihan dalam pemberian sangsi atau menyesal atas pemberian maaf, dan
hindari juga sikap kasar yang membuat orang lari, karena syari’at ini
memberikan sangsi untuk memperbaiki bukan untuk melampiaskan kedongkolan.
Jagalah diri saat marah dari
kalimat yang tidak bisa kembali, karena berapa banyak kalimat yang mengatakan
kepada pemiliknya “Tinggalkan saya”, dan janganlah kamu wahai amir menjadikan
ucapanmu main-main di dalam sangsi maupun pemaafan, dan jangan kamu melampaui
di dalam sangsimu –dengan aniaya dan hawa nafsu- apa yang telah Allah tetapkan batasannya
bagimu. karena “kedzaliman itu adalah kegelapan-kegelapan di hari kiamat”.
Maka hendaklah kamu wahai
saudaraku bersikap lembut di dalam urusanmu seluruhnya termasuk di dalam
pemberian sangsi. Allah ta'ala berfirman: {Sekiranya engkau bersikap keras dan
berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu} [Ali Imran: 159].
Dan Rasulullah (shallallahu
‘alayhi wa sallam) berkata: “Barangsiapa diberikan bagiannya dari sikap lembut,
maka ia telah diberikan baginya dari kebaikan, dan barangsiapa dihalangi (dari)
bagiannya dari sikap lembut, maka ia telah dihalangi (dari) bagiannya dari
kebaikan)”.
Dan beliau (shallallahu
‘alayhi wa sallam) berkata: “Sesungguhnya dien ini adalah kokoh; maka masuklah
di dalamnya dengan lembut”.
[24] Ketahuilah bahwa ikhwanmu
mendengar dan taat karena menginginkan apa yang ada di sisi Allah;
di mana sikap komitmen mereka
itu adalah dorongan syar’iy akhlaqiy lebih dari sekedar rasa takut terhadap
kekuasaan; maka dari itu janganlah kamu memberi pelajaran kecuali kepada orang
yang kamu anggap memiliki dien yang bisa menerimanya, adapun orang-orang yang kamu
anggap bahwa diennya tidak membuat dia jera maka jangan sekali-kali kamu
memberinya hukuman, akan tetapi bersikap lembutlah kepadanya dan jinakanlah
hatinya, karena orang yang paling berhak memberikan maaf adalah orang yang
paling mampu memberikan hukuman, dan orang yang paling kurang akal dan pertimbangannya
adalah orang yang mendzalimi orang yang di bawahnya, maka berikanlah keadilan
kepada Allah dan berikanlah keadilan kepada manusia dari dirimu, keluargamu dan
dari orang yang kamu cintai dari kalangan ikhwanmu dan rakyatmu. Dan bila kamu
tidak melakukannya, maka kamu berbuat dzalim, dan barangsiapa dzalim kepada
hamba-hamba Allah, maka Allahlah seterunya, dan barangsiapa yang Allah
seterunya maka ia telah menancapkan peperangan terhadap-Nya sampai ia taubat
dan mencabut diri.
Maka hindarilah doa orang
yang didzalimi, karena tidak ada penghalang antara doanya itu dengan Allah, dan
sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka baginya. Dan hendaklah dari waktumu ada
satu saat di siang hari yang di dalamnya kamu berpikir apakah kamu telah
mendzalimi orang atau di sana ada orang yang didzalimi yang wajib kamu tolong?
Dan barangsiapa menginginkan penyegeraan murka Allah, maka silahkan berbuat dzalim!
Kuasailah ikhwanmu dan
manusia dengan ihsan (berbuat baik), tentu kamu bisa mengikat hati mereka,
karena kesinambungan mahabbah itu adalah dengan ihsan, dan lenyapnya mahabbah itu
adalah dengan sikap kasar. Santunlah kepada manusia tentu tulus pula kecintaan
mereka kepadamu dan pasti kamu raih penghargaan dari mereka, karena sikap
santun dari orang kuat itu adalah tawadlu.
Adalah Umar ibnu Abdil Aziz
sangat lemah lembut kepada masyarakat, di mana bila ia menginginkan suatu hal
dari urusan Allah (dan) ia mengira manusia kurang menyukainya, maka ia menunggu
sampai datang apa yang disukai masyarakat kemudian ia mengeluarkannya
bersamanya. Dan telah ada ucapan darinya: (Sesungguhnya Allah mencela khamr dua
kali dalam Al-Qur’an dan mengharamkannya pada kali ketiganya, dan saya khawatir
membawa manusia kepada al-haq secara sekaligus kemudian mereka malah
meninggalkannya, dan jadilah fitnah).
[26] Kenalilah kedudukan manusia
dan ketahuilah macam-macam mereka, dan kedepankanlah seseorang karena dia itu:
a. Tergolong
ahlul ilmi wal fadli, sedangkan nash-nash prihal keutamaan mereka sangatlah
banyak.
b. Tergolong
orang-orang yang berumur, karena (bukan tergolong kita orang yang tidak memuliakan
orang yang tua di antara kita, dan tidak menyayangi orang yang kecil di antara
kita, serta tidak mengenal bagi orang alim kita haknya).
c. Berasal
dari keluarga bangsawan dan pemimpin, dan terutama ahlul ba'it Nabi
(shallallahu 'alayhi wa sallam).
[27] Perhatikanlah keluarga-keluarga
para syuhada dan tawanan dan kedepankanlah mereka terhadap yang lain, jenguklah
orang yang sakit, dan jadilah kamu terhadap ikhwanmu sebagai pelayan bagi
mereka; karena kamu ini hanyalah salah seorang dari mereka, namun bedanya adalah
karena kamulah yang paling berat bebannya dan paling banyak perhitungannya di sisi
Allah, maka beramallah untuk esok hari.
[28] Selektiflah dalam memilih
utusanmu kepada kabilah-kabilah dan kelompok-kelompok bersenjata, dan begitu
juga orang yang bertugas menguasai (wilayah) dan mencari dukungan masyarakat,
karena sesungguhnya mereka adalah wajah Daulah di hadapan manusia, bila mereka baik
maka baik pula kita, dan bila mereka berbuat buruk maka buruk pula kita.
Dan secara umum: “Utuslah
orang yang bijaksana dan jangan mewasiatinya.”
[29] Wahai amir, hindarilah
fanatisme-fanatisme kejahiliyahan; karena sesungguhnya bangunan kekuasaan yang
kokoh itu tidak hancur kecuali dengan sebab fanatisme yang berlebihan.
Gunakanlah kecerdasan dan
hilah (kecerdikan) dalam menghancurkan fanatisme itu dan bukan menggunakan
kekuatan saja, di mana sesungguhnya Ahlul Iraq bangkit membangkang terhadap
Abdul Malik ibnu Marwan bersama ibnul Asy’ats dan di tengah mereka banyak
tabi’in pilihan seperti Sa’id ibnu Jubair dan yang lainnya, maka Al-Hajjaj
mengalahkan mereka dalam perang “Dairul Jamajim” dengan hilah lebih dari sekedar
dengan kekuatan. Dan ketahuilah bahwa termasuk siasat yang bijak bersegera
menguasai mereka itu, terutama para tokoh.
[30] Hendaklah kalian serius,
bersungguh-sungguh dan tinggi cita-cita, dan hindarilah sikap lemah, karena ia
itu –demi Allah- adalah kendaraan yang paling hina; dan dikala kamu tersandung
maka cobalah kembali; di mana sudah diketahui dari pengalaman bahwa tidak ada
amaliyyat yang Allah berikan kemenangan di dalamnya kecuali ia itu pernah
melalui berbagai ketersandungan yang banyak.
Saudara
kalian,
Abū
Hamzah al-Muhājir
1Ramadān
1428 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar