8/13/2019

DAN TERHADAP NIKMAT DARI TUHANMU HENDAKLAH ENGKAU NYATAKAN (AD-DUHA: 11)


DAN TERHADAP NIKMAT DARI
TUHANMU
HENDAKLAH ENGKAU NYATAKAN
(AD-DUHA: 11)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda:

“Barangsiapa yang diberi nikmat, kemudian dia menyebutnya, sungguh ia telah bersyukur. Dan jika ia menyembunyikannya, sungguh ia telah mengingkarinya” 

[Shahih: HR. Abu Dawud dari Jabir Ibnu ‘Abdillah].

Al-Hasan Ibnu ‘Ali radhiallahu anhu berkata,  “Jika engkau memperoleh nikmat / kebaikan, maka ceritakanlah  kepada saudara-saudaramu.” Umar Ibn’ abdil-Aziz rahimahullah (wafat 101 H) mengatakan, “menceritakan nikmat merupakan wujud rasa syukur.” Abu Nadrah rahimahullah (wafat 108 H) mengatakan,” kaum  Muslimin biasanya memandang bahwa menceritakan tentang nikmat merupakan perwujudan terima kasih atasnya.” Al-Hasan  al-Basri rahimahullah (wafat 110 H) mengatakan, “Biasakanlah untuk  menceritakan nikmat, karena itu adalah bagian dari rasa syukur.” Qatadah rahimahullah (wafat 118 H) mengatakan, “menyebarkan kabar baik tentang sebuah nikmat adalah bagian dari terima kasih atasnya.”

Al-Jariri rahimahullah (wafat 144 H) dan Yahya Ibnu Sa’id rahimahullah (wafat 143 H) keduanya berkata, “Dahulu dikatakan bahwa menghitung nikmat-nikmat itu adalah bagian dari rasa syukur.” Al-Fudayl Ibn ‘Iyad rahimahullah (wafat 187 H) mengatakan, “Dahulu dikatakan bahwa membicarakan nikmat adalah bagian untuk menunjukkan terima kasih atasnya.” Ibn Abi al-Hawari mengatakan,” Fudhail bin Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama di malam hari hingga pagi. Sufyan mengatakan, ”Allah telah menganugerahkan kepada kita ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun halnya dengan Fudhail”

Kenikmatan terbesar yang diberikan kepada kaum Muslimin pada umumnya dan untuk para mujahidin khususnya adalah Kebangkitan Khilafah, tubuh umat islam yang telah absen selama beberapa abad sejak runtuhnya khilafah Abbasiyah. Tidak ada yang dapat menyadari dan memahami nikmat ini melebihi mereka yang pernah hidup di negara tentara salib di Barat, atau penduduk syam yang pernah tersiksa oleh Baath dan tawāghīt Nusayrīah, atau penduduk Syam yang dijarah oleh murtadin dari Tentara pembebasan Suriah (FSA) dan sekutu nasionalisnya. Ya, kebangkitan kembali Khilāfah adalah nikmat yang tidak terbantahkan bagi mereka yang berusaha dan mengupayakannya, sehingga mereka bersyukur kepada Allah atasnya, dan ia tidak akan pernah bisa berhenti mengucapkan rasa syukur ini kepada-Nya.

Salah satu contoh dari Dawud (’alayhis-salam) yang diriwayatkan bahwa ia telah berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur atas nikmat-Mu sementara aku saya tidak bisa bersyukur kecuali dengan nikmat-Mu” kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Wahai Dawud, tidakkah engkau mengetahui bahwa nikmat yang engkau miliki itu adalah dari-Ku?” Dia menjawab,” Tentu saja Tuhanku.” Allah berkata kepadanya,” Aku Puas dengan rasa syukur seperti itu darimu” [HR Imam Ahmad dalam “Az- Zuhd”].

Kami juga memiliki contoh dari Musa ‘alayhis-salam yang diriwayatkan bahwa ia telah berkata, “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa bersyukur sementara aku tidak mampu mengganti nikmat terkecil dari nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dengan semua amalku?” Maka Allah berfirman kepadanya, “wahai Musa, sekarang engkau telah bersyukur kepada-Ku” [HR Imam Ahmad dalam “Az-Zuhd”].

Ya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi kita dengan menghidupkan kembali Khilafah  bagi kita melalui tentara dari Negara Islam. Dia juga memberkahi kita dengan meng-izin-kan kita untuk bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang besar ini. Dan tidaklah semua ini  tercapai kecuali atas kehendak-Nya sendiri.

Keterasingan

Keterasingan adalah suatu kondisi dimana Muslim yang tinggal di Barat yang tidak dapat melarikan diri selama dia tetap berada diantara pasukan salib. Dia adalah orang asing di antara orang Kristen dan kaum liberal. Ia adalah orang asing di antara pezina dan pelaku sodomi. Dia adalah orang asing di antara pemabuk dan pecandu obat-obatan. Dia adalah orang asing dalam iman dan perbuatannya, yang ketulusan dan penyerahan dirinya hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sedangkan orang-orang kafir dari Barat mereka menyembah dan mentaati pendeta, badan legislatif, media, nafsu kebinatangan serta keinginan menyimpang mereka. adalah aneh Bagi mereka jika ada seseorang yang memanifestasikan penyerahan diri secara tulus untuk Tuhan-Nya dalam kata dan perbuatan. Sungguh aneh orang yang bekerja untuk akhirat dan lebih mempropritaskannya daripada dunia. Sungguh aneh ketika seseorang tidak memburu nafsunya seperti binatang atau bahkan percobaan atas keinginannya yang menyimpang seperti setan! Mereka seperti kaum Sodom yang terkutuk yang mengatakan tentang Luth ‘alayhis-salam, {”Usirlah mereka (luth dan pengikutnya) dari negerimu ini, mereka adalah orang yang menganggap dirinya suci”} [Al- A’raf: 82].

Penyimpangan yang merata ini -sebagaimana dinubuatkan dalam Sunnah- bertentangan dengan fitrah dari manusia, apalagi Muslim yang telah dianugerahi oleh Tuhannya untuk menggenggam erat fitrah dari ketulusan, kemurnian, dan moralitas. Dan meskipun orang Mu’min yang asing ini diberkahi dalam Sunnah dari Rosululloh, seorang Mu’min tidak akan membuat Islam menjadi aneh. Kecuali jika ia berusaha untuk menghidupkan kembali dan menyebarkan Islam serta membuat jahiliyyah terancam atau malah melenyapkannya. Dengan demikian, Muslim di Barat selalu berada dalam pertempuran yang terus-menerus. Fitrahnya selalu berperang melawan  kecenderungan menyimpang kuffar yang mengelilinginya.

Pertempuran yang tidak mengenal gencatan senjata untuk melindungi fitrah dan imannya. Jika dia ingin melindungi iman yang hanya sebesar biji sawi yang telah dikaruniakan kepadanya, ia harus menguras tenaganya semaksimal mungkin untuk hanya tetap bertahan sebagai seorang Muslim saja, apalagi untuk menjadi seorang Mu’min yang berjihad?. Jika ia meninggalkan perjuangan atau hanya sesekali saja, ia akan segera menemukan dirinya sebagai seorang murtad.

Kesulitan lain yang ada di Barat adalah bahwa pada umumnya tidak ada masjid yang berdiri kecuali masjid Dhirar atau masjid yang dijalankan oleh Ikhwan, para sufi, para Madākhilah, Surūriyyah, Jama’ah Tabligh, Deobandis, dan modernis yang menyimpang. Hampir tidak ada Masjid di mana seseorang dapat mencari perlindungan dari bid’ah dan dimiliki oleh komunitas orang-orang “asing”. Jika disana ada dakwah yang lurus, maka akan bertentangan dengan pihak menyimpang yang mengendalikan “Masjid” itu.

Secara umum, ini adalah kasus yang paling sering ditemui oleh seorang Muslim ketika tinggal di Barat. Ia merasa dirinya orang asing dan selalu mencari tempat di mana ia dapat mengamalkan Islam secara menyeluruh, terutama jika ia berharap untuk berjihad, maka ia akan berada dalam ancaman dan penganiayaan badan intelijen tentara salib. Dia tidur setiap malam dengan pisau atau pistol di sampingnya, khawatir akan ada enggerebekan pada malam atau dini hari dirumahnya, hanya karena ia selalu engingatkan dirinya dan orang lain dengan kewajiban dari jihad.

Ini adalah apa yang saya rasakan di Barat dan karenanya saya lari bersama agama saya menuju Syam beberapa tahun sebelum “Revolusi Suriah”.

“Saya langsung merasakan perbedaan ketika berada diantara orang-orang Syam. Saya tidak lagi merasa asing untuk hanya melaksanakan beberapa kewajiban Islam yang mungkin akan menciptakan gelombang hebat bila dikerjakan di Barat. Tapi masih banyak yang kurang di Suriah ini. Memiliki jenggot akan memunculkan kecurigaan dari aparat keamanan murtadin. Mengangkat tangan sebelum dan sesudah ruku’ juga menarik perhatian mereka karena mereka akan menuduh Anda salafi. Mencari ilmu agama juga memicu kecurigaan mereka. Niat untuk berjihad juga suatu kejahatan. Permusuhan terhadap taghut juga kejahatan. Takfir kepada Rafidhah, Nusayriyyah, dan Baath adalah kejahatan juga. Dan aku terus merasa asing di Syam, meskipun kadar dan sifat keterasingannya masih kurang parah dibanding di barat. Di sana, kerabat dan teman hanya berbicara tentang Dunia. Lidah mereka sibuk dengan harga barang pokok dan dekorasi rumah mereka. Bila tidak, mereka akan saling memfitnah. ‘Aqidah dan jihad merupakan hal yang asing untuk sebagian besar masyarakat.

Mereka telah dirusak oleh “agama” yang dipelihara oleh “ulama” rezim pemerintah dan “agama satelit”. Aku harus berdebat dengan beberapa orang yang berpikir bahwa Jamal Abdil Nasir, Bashar al-Asad, Nasserites, Baathists, dan tawāghīt Arab dan Murtaddin lainnya adalah “Muslim”! Aku harus berdebat dengan orang yang berpikir bahwa Rafidhah, Hasan Nasrullāt, dan Hizb al-lat adalah “Muslim” atau bahkan “Mujahidin”! yang paling parah adalah ketika saya harus berdebat dengan orang-orang yang berpikir bahwa Nusayriyyah adalah “Muslim”! Aku bahkan harus berdebat dengan beberapa yang berpikir bahwa mencari syafaat dari orang mati atau mengutuk agama itu benar-benar hal “normal”! Ini sangat mengejutkan, mengingat saya selalu memiliki asumsi yang baik tentang orang-orang yang tinggal di negeri-negeri Muslim’ dan mengasumsikan bahwa tawāghīt murtad tidak akan berhasil merusak agama kecuali orang yang bodoh saja. Suasana disana juga sedikit berbahaya, itu karena Dunia yang diprioritaskan oleh kebanyakan orang sehingga mengikis perjuangan seseorang untuk berjihad. Itu adalah keterasingan lainnya yang harus saya hadapi.

Beberapa tahun kemudian, saya mengamati “Musim Semi Arab” yang melompat dari Tunisia ke Mesir ke Libya dan ke Yaman. Saya berharap bahwa kekacauan yang ditimbulkan oleh “Musim Semi Arab” akan datang ke Syam, karena itu akan memudahkan kebangkitan jihad di sana. Pada saat yang sama, saya berpikir bahwa orang-orang syam tidak akan bergerak karena banyaknya pembantaian atas orang Syam yang telah dilakukan oleh Rezim selama awal “1980” di Halab, Hamah, Tadmur, Jisr ash-Shughūr, dan tempat lain, dan juga karena agama mereka telah dirusak selama lima puluh tahun pemerintahan Baath, itu selain kecondongan mereka kepada dunia. Tapi ternyata Aku salah, karena beberapa pemudalah yang memulai pergerakan, mereka yang hanya mendengar pembantaian ini dalam cerita dari orang tua untuk menakut-nakuti mereka agar bersikap apatis. Saya bertemu dengan beberapa pemuda ini, lalu bekerja sama dengan mereka yang religius, dan memperoleh wawasan langsung di dalam sifat demonstrasi ini.

Sayangnya, sebagian besar demonstran tidak berdiri diatas dasar Islam. Kebanyakan mereka sekularis yang menyerukan adanya taghut baru dalam demokrasi, yang ikut mengucapkan “Allahu Akbar” hanya karena latar belakang dan budaya tempat mereka dibesarkan, dan bukan karena mereka meyakini bahwa Allah maha besar dan memiliki hak mutlak dalam membuat undang-undang. Banyak dari mereka yang menghadiri Shalat tarawih atau Jumat hanya untuk bergabung dengan demonstran, tapi sebaliknya, mereka tidak memiliki hubungan apapun dengan sholat ataupun Masjid. Saya sendiri harus berdebat dengan sekuleris yang datang menghadiri pemakaman seorang pria yang bermanhaj jihadi yang meninggal di dalam penjara Rezim Nusayrīah. Saya mengatakan kepada sekuleris sesaat sebelum pemakaman: “Saya menasehatkan kepada Anda untuk bertobat dari sekularisme sebelum pemakamanmu. Jika tidak, maka bila Anda mati Anda akan berada didalam neraka.” Dia tidak mendengarkan nasehat saya, dia malah berteriak dan berpendapat bahwa nasionalisme Suriah dan pemisahan agama dan negara bukanlah sekularisme! Ini karena pemikiran bodoh yang menyimpulkan bahwa sekularisme adalah kata lain dari atheisme.

Pada insiden berikutnya, aku akhirnya di penjara untuk beberapa waktu setelah tertangkap oleh murtad Shabīhah. Aku berada di sebuah ruangan dengan enam puluh tahanan yang semuanya juga ditangkap karena terkait dengan demonstrasi. Sayangnya, tidak lebih dari sepuluh orang yang shalat lima waktu dari enam puluh tahanan itu! di antara tahanan tersebut tidak sedikit yang mengutuk agama. Dan masa penahanan saya hanya seminggu, Alhamdulillah.

Di antara para demonstran, ada juga orang-orang yang berpikiran “Islam” yang mengakui bahwa Burhan Ghalyūn dan Dewan Nasional Suriah adalah kafir, tapi ia mengklaim bahwa itu bukan waktu yang tepat utuk menyatakan takfir kepada mereka! (Ada juga pengklaim jihad online yang mengatakan bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk jihad karena itu akan merusak citra “revolusi”). Sekali lagi, ini adalah keterasingan baru yang harus dihadapi.

Sebagaimana demonstran menjadi lebih militan, slogan-slogan yang diangkat oleh berbagai nasionalis dan sekuleris juga menjadi lebih militan. Kehadiran Negara Islam di arena -pertama kali bernama “Jabhat an-Nusrah,” kemudian bernama Negara Islam Irak dan Syam (sebelum kebangkitan dari Khilafah)- memaksa penggambaran politik dan agama di Syam bergeser. Sekularis dan nasionalis sekarang berada dalam perlombaan propaganda dengan Mujahidin. Tentara Pembebasan Suriah (FSA), faksi yang didukung taghut, dan semua faksi proxy dari tentara salib juga berusaha menarik simpati dari masyarakat awam di Syam, yang pada umumnya jahil atas hukum Islam dan tidak menyukai sekulerisme. Sangatlah sulit untuk meyakinkan seorang Muslim atau bahkan orang awam bodoh pengklaim islam untuk memilih yang terbaik diantara terbunuh demi sedikit uang atau mendapatkan sebuah tempat di dekat Allah di surga. Dan begitu banyak sekularis dan nasionalis menjadi lebih “Islam” (permukaannya saja), dan beberapa dari mereka bahkan bergabung dan menyusup ke beberapa faksi yang lebih “Islami”.

Sebelum memiliki kesempatan untuk bergabung dengan Negara Islam yang telah memasuki Syam dengan nama “Jabhat an-Nusrah”, Aku telah bertempur di beberapa pertempuran bersama beberapa faksi lokal yang mengaku memperjuangkan Syari’ah; dan itu sebelum bantuan dari luar negeri yang menyebabkan kemunafikan mereka muncul ke permukaan. Nasionalisme dan kebanggaan lokal telah mengakar dan hal ini tidak bisa mereka hilangkan dari diri mereka sendiri. Mereka yang berasal dari pedesaan selalu sesumbar dengan bangga bahwa mereka dari pedesaan dan bukan dari kota. Mereka yang dari suatu kampung akan selalu membanggakan bahwa mereka berasal dari kampung itu dan bukan kampung lainnya. Merokok di bulan Ramadhan adalah salah satu kebiasaan diantara pejuang ini. Tidak jarang mereka mengutuk agama ketika marah. Perampokan rakyat biasa dan pencurian rampasan perang semakin menyebar. Saya lalu menyadari bahwa mereka adalah calon Sahawat yang menunggu sponsor untuk mengaktifkan mereka. Alhamdulillāh, saya bisa bergabung dengan Negara Islam, yang waktu itu disebut “Jabhat an-nusrah”. Dengan demikian, beban berat keterasingan cukup berkurang.

Tapi itu bukanlah pemberhentian terakhir. Kami dikelilingi oleh tentara murtad FSA dan faksi munafik yang bersembunyi sambil menunggu untuk mengumumkan wala mereka untuk demokrasi dan tawāghīt. Setiap Muhajir yang dicari oleh tentara salib atau tawāghīt sangat berhati-hati akan kemunafikan ini, karena tidak ada hal yang dapat mencegah mereka dari menangkap dan menyerahkannya kepada kuffar. faksi Munafik ini selalu menyebabkan masalah bagi Muhajirin, seolah-olah mereka diperintahkan untuk melakukannya oleh tentara salib dan tawāghīt. Itu adalah bentuk lain dari keterasingan yang harus saya hadapi.

Kepemimpinan Negara Islam sangatlah bijaksana dan memerintahkan untuk beroperasi dengan nama “Jabhat an-Nusrah” yang secara umum bersih dari faksi menyimpang. Tapi banyak Pemimpin di “Jabhat an-Nusrah” yang dari Suriah telah mendekatkan diri dengan faksi yang menyimpang, hanya karena mereka memiliki hubungan kerabat atau mantan rekan di faksi tersebut. Mereka lalu menjadi sensitif dengan konsep wala’ dan bara’ serta sam’u (mendengarkan) dan tā’ah (mematuhi). Mereka membenci kritik kepada faksi-faksi itu. Mereka mengeluhkan perintah dari pemimpin Negara Islam untuk menghindari - sebanyak mungkin- kerjasama dengan faksi yang menyimpang.

Mereka mengkritik perintah untuk memisahkan diri dari faksi-faksi itu. Mereka bahkan menjadikan kehadiran Muhajirin sebagai kambing hitam atas semua masalah antara “jabhah” dan faksi-faksi lain. Mereka mencoba untuk membatasi kehadiran Muhajirin secara Perlahan-lahan. Dan perintah ini diberikan oleh Abu Ahmad Zakkūr Di Halab -mantan pemimpin wilayah Halab yang ditunjuk oleh Jawlānī. Itu kurang lebih 2 bulan sebelum pengumuman berdirinya Negara Islam Irak dan Syam.

Pengumuman resmi yang diberkahi ini membuat Syam terbagi menjadi dua kelompok yang berbeda serta memudarnya zona abu-abu. Polarisasi / pengerucutan ini juga dibantu dengan pergeseran alamiah dalam agama dan politik. Faksi nasionalis dan kriminal lalu berpura-pura mengubah nada mereka menjadi “Islami”, dan kemunafikanpun akan beresonansi. Tiba-tiba berbagai faksi mengubah bendera dan nama mereka untuk tampil lebih “Islami”. Mereka mencampurkan pesan nasionalis mereka dengan kata-kata yang bisa ditafsirkan secara “islami” oleh seorang pemuda yang naif. “Islamisasi” permukaan faksi ini dilakukan hingga tiga bulan sebelum hadirnya Sahawat yang memulai proses de-”Islamisasi”. Bahkan pengklaim jihad yang bersekutu dengan nasionalis dan faksi sekuleris mengubah “nada” mereka. Tiba-tiba mereka mengakui dan menerima kehadiran Muhajirin dan mendengungkan takfir kepada tawāghīt, setelah berbulan-bulan mengklaim itu hingga akhirnya mereka malah “merusak” jihad.

Kemudian datanglah peristiwa Sahawat, tapi tidak seperti Sahawat Irak pada tahun “2006/2007” yang mampu memaksa Negara Islam keluar dari kota-kota dan tinggal di padang pasir, Sahawat syam memandang Negara Islam tidak punya pengalaman sebelumnya dalam mengkonsolidasikan pasukan akan pengkhianatan seperti ini. Tapi secara mengejutkan wilayah -wilayah besar seperti al Khayr, ar-Raqqah, Hims, Halab timur, dan al-Barakah secara eksklusif berada di bawah kekuasaan Negara Islam dengan tanpa faksi munafik atau murtad apapun yang memperebutkan kekuasaan didalamnya. Perluasan Negara Islam setelah konspirasi sahawat diikuti dengan konsolidasi di Irak serta kebangkitan Khilafah. Dan tiba-2 Muhajir dapat melakukan perjalanan dari al-Bab & Manbij di Syam ke Mosul dan al-Fallujah di Irak tidak takut apapun kecuali ban kempes.

Khilafah telah dibangkitkan kembali, dan Muhajirin dari seluruh penjuru bumi seakan tumpah ke tanah Syam pada tingkat yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Tidak seorangpun yang merasa asing sebagaimana yang ia alami di tanah tentara salib atau di tanah tawāghīt maupun di wilayah yang dikuasai faksi nasionalis. Dialah tuan diatas tanahnya sendiri, di mana aqidahnya dijunjung tinggi dan manhajnya ditegakkan, aqidah dan manhaj Islam, Sunnah, dan Jama’ah. Tidak ada ikhwānisme, Irja’, ataupun hizbiyyah.

Setelah hampir dua puluh tahun hidup di bawah penindasan dari tentara salib dan murtad, seseorang akhirnya bisa menjalani Kehidupan Islami dengan keselamatan dan keamanan yang terjamin. Dia mampu mempraktekan imannya dalam jihad tanpa khawatir intelijen kafir tiba-tiba menggerebek rumahnya. Dia bisa menyatakan Takfir atas tawāghīt dan Murtaddin tanpa takut hukuman penjara. Dia bisa membesarkan anak-anaknya jauh dari sistem sekolah orang-orang kafir tanpa takut akan dinas layanan sosial yang akan menculik anak-anaknya. Dan ia tidak lagi terasing di dalam masyarakatnya sendiri. Dia dikelilingi oleh Mujahidin muwahhid. Ia akan dengan mudah menemukan beberapa mujahidin selain dirinya yang berjalan pada setiap jalan utama di dalam kota di Negara Islam. Bila dia pergi ke Masjid atau bahkan toko-toko ia akan menemukan keakraban mujāhirīn dan Ansar. Banyak masyarakat umum yang tidak sabar menuju ma’had syar’i untuk belajar dan berlatih agama mereka. Percakapan mereka banyak yang menjadi, “Apakah ini dan itu adalah bid’ah? Apakah ini dan itu adalah Sunnah?” Setelah bertahun-tahun percakapannya hanya tentang Dunia saja. Keterasingan yang berat telah terangkat. Satu-satunya keterasingan yang dihadapi adalah aliansi tentara salib, aliansi Sahawat, dan aliansi Safawi. Tapi kami menyambut keterasingan ini, karena itu adalah kunci untuk Syahadah dan Jannah.

Ya Allah….. segala nikmat yang ada pada kami ini hanyalah dari-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu, dan hanya kepada-Mu lah segala puji dan syukur, ya Allah….. lindungilah Khilafah karena ia adalah nikmat terbesar bagi kami hingga Nabi Isa ‘alayhis-salam turun untuk memimpin kami. Ya Allah….. jadikanlah kami sebagai hamba yang pandai bersyukur.

Rasulullah bersabda: ”BARANGSIAPA YANG TIDAK BERSYUKUR (BERTERIMA KASIH) KEPADA MANUSIA, MAKA TIDAK BERSYUKUR KEPADA ALLAH” [HR Imam Ahmad dari Abu Hurairah].

Dan Khilāfah ini tidak akan aman jika bukan karena Allah yang menjaga garis depannya. Semoga Allah membalas murabitin, muqatilin, dan Syuhada dengan balasan yang sangat besar baik di dunia dan akhirat.
Dan segala puji hanya bagi Allah yang telah memberkahi semua nikmat hingga selesai.


SOURCE: DABIQ 12



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...