TENTANG IMAROH
(KEPEMIMPINAN)
Oleh
: Ibnu Qudamah An-Najdi
PERTAMA:IMAROH
ADALAH WAJIB
a)
Berdasarkan firman Alloh ta‘ala:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُولَ
وَأُوْلِى الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh, rosul dan pemimpin
dari kalian.”
[An-Nisa’:
59]
b)
Firman Alloh ta‘ala:
وَ
إِذَا جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الْأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَ إِلَى أُولِى الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“Dan apabila datang berita kepadamu tentang keamanan atau
ketakutan, mereka menyebarluaskannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
rosul dan ulil Amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (rosul dan ulil Amri).”
[An-Nisa’:
83]
Kedua
ayat di atas menunjukkan bahwa manusia harus memiliki seorang pemimpin yang
mengatur berbagai masalah dan mengurusi kepentingan-kepentingan mereka.
Ini ditunjukkan
oleh isyarat nash.
c)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لَا
يَحِلُّ دَمُ امْرِيءٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ : اَلثَّيِّبُ
الزَّانِيْ, وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ, وَالتَّارِكِ لِدِيْنِهِ اَلْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada
di sejengkal tanah, kecuali mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.”
[HR.
Ahmad dari Abdulloh bin Amru]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga
bersabda,
“Jika ada tiga orang yang
keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
[HR.
Abu
Dawud dari Abu Sa‘id, ia juga meriwayatkan yang semisal dari hadits Abu
Huroiroh]
Asy-Syaukani di dalam Nailul Author (Bab wajibnya mengangkat
Qodhi dan kepemimpinan dan lain-lain) – setelah menyebutkan hadits-hadits
ini—berkata:
“Yang senada dengan hadits
Abdulloh bin ‘Amru dan Hadits Abu Sa‘id juga diriwayatkan oleh Al-Bazzar dengan
isnad shohih dari hadits ‘Umar bin Khothob dengan lafadz: “Jika kalian bertiga
dalam perjalanan, maka angkatlah salah seorang sebagai amir.” “Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah memerintahkannya.”
Al-Bazzar juga meriwayatkan
dengan isnad shohih dari hadits Abdulloh bin ‘Umar secara marfu‘ dengan lafadz:
“Jika mereka bertiga dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu
sebagai pemimpin.”
Ath-Thobroni meriwayatkan dengan
lafadz ini dari hadits Ibnu Mas‘ud dengan isnad shohih.
Hadits-hadits
ini saling menguatkan satu sama lain. Abu Dawud dan Al-Munziri tidak
berkomentar tehadap hadits Abu Sa‘id dan Abu Huroiroh, kedua hadits tersebut rijalnya
adalah shohih selain Ali bin Bahr, ia adalah tsiqoh.
Sedangkan
lafadz hadits Abu Huroiroh: “Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya
mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Di dalamnya
terdapat dalil bahwa setiap tiga orang atau lebih mesti mengangkat salah satu
sebagai pemimpin.
Sebab langkah
ini untuk menjamin keselamatan dari perselisihan yang mengarah kepada
kerusakan. Dengan tidak adanya pemimpin, masing-masing akan bersikukuh dengan
pendapatnya dan melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginan hawa nafsunya,
sehingga mereka semua akan hancur. Sedangkan jika ada pemimpin, perselisihan akan
terminimalisir dan kalimat akan bersatu. Dan jika hal ini disyari‘atkan bagi
tiga orang di salah satu jengkal bumi atau ketika mereka bepergian, maka disyari‘atkannya
hal itu pada jumlah yang lebih banyak yang tinggal di desa-desa dan berbagai
penjuru daerah serta mereka membutuhkannya untuk menyelesaikan kezaliman dan
pertikaian, tentu lebih layak disyariatkan.
Di sini terdapat
dalil bagi mereka yang mengatakan wajibnya kaum muslimin mengangkat pemimpin,
wali dan penguasa.” [Nailul Author juz
IX hal. 157]
d) Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata:
“Perlu diketahui bahwa
memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agama terbesar. Bahkan urusan agama
dan dunia tidak akan tegak selain dengan itu. Sebab tidak akan sempurna
maslahat Bani Adam kecuali dengan bersatu, karena masing-masing saling membutuhkan;
ketika mereka bersatu maka harus ada pimpinannya.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jika ada tiga orang dalam perjalanan, maka hendaknya mereka mengangkat
salah satu sebagai pemimpin.”
[HR. Abu Dawud dari hadits
Abu Sa‘id dan Abu Huroiroh]
Imam Ahmad meriwayatkan dalam
Al-Musnad dari ‘Abdulloh bin ‘Amru bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
“Tidak halal bagi tiga orang yang berada dalam satu jengkal tanah kecuali
mengangkat salah satu sebagai pemimpin.”
Di sini,
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan mengangkat salah satu
sebagai pemimpin di dalam perkumpulan beranggota sedikit dalam bepergian,
sebagai peringatan akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan. Juga
karena Alloh ta‘ala mewajibkan amar makruf nahi munkar dan hal itu tidak akan
terlaksana dengan baik kecuali dengan kekuatan serta kepemimpinan.
Demikian juga
dengan semua yang Alloh wajibkan, mulai dari jihad, penegakkan keadilan dan
pelaksanaan hajji, sholat jum‘at, sholat ‘Id dan menolong orang yang terzalimi.
Demikian juga
pelaksanaan hudud, tidak akan terlaksana kecuali dengan kekuatan dan
kepemimpinan… dst” –sampai dengan perkataan beliau: “…maka wajib membentuk
kepemimpinan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama dan pendekatan diri kepada Alloh,
sebab mendekatkan diri kepada Alloh di dalam urusan tersebut dengan
mentaati-Nya dan mentaati rosul-Nya termasuk taqorrub paling utama.
Hanya,
kebanyakan urusan manusia justeru menjadi rusak dalam urusan yang satu ini
lantaran mereka mencari jabatan dan harta dengan kepemimpinan.
Diriwayatkan
dari Ka‘b bin Malik dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau
bersabda, “Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan pada tempat gembalaan
domba itu lebih merusak agama seseorang daripada (merusaknya) ambisi seseorang
memperoleh harta dan kedudukan.” [Tirmizi
berkata: Hadits hasan shohih]
Nabi SAW
mengkhabarkan bahwa ketamakan seseorang terhadap harta dan kepemimpinan itu
akan merusak agamanya seperti –atau bahkan lebih— daripada kerusakan yang
ditimbulkan dua ekor serigala lapar terhadap gembalaan domba.” [Majmu‘
Fatawa juz 28 hal 390-392]
e) Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dalam Jaami‘ Bayaanil
Ilmi,
Ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abul Qosim Kholaf bin Al-Qosim, telah menceritakan
kepada kami Abu Sholih Ahmad bin ‘Abdur Rohman di Mesir, telah menceritakan
kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Al-Hasan Al-Bukhori, telah menceritakan
kepada kami Al-Husain bin Al-Hasan bin Widhoh Al-Bukhori As-Simsar, telah
bercerita kepada kami Hafsh bin Dawud Ar-Rib‘I, ia berkata telah menceritakan
kepada kami Kholid, ia berkata telah menceritakan kepada kami Baqiyyah, ia
berkata telah menceritakan kepada kami Sofwan bin Rustum Abu Kamil, telah
menceritakan kepada kami Abdur Rohman bin Maisaroh dari Abdur Rohman dari Tamim
Ad-Dari ia berkata:
“Manusia
berlomba-lomba meninggikan bangunan pada zaman ‘Umar bin Al-Khothob, maka
beliau berkata: “Wahai orang-orang arab, bumi..bumi.., sesungguhnya tidak ada Islam
kecuali dengan jama‘ah, tidak ada jama‘ah kecuali dengan kepemimpinan, tidak
ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan. Ketahuilah, barangsiapa yang diangkat
sebagai pemimpin oleh kaumnya atas dasar kefakihan, maka itu lebih baik
baginya. Dan barangsiapa yang diangkat sebagai pemimpin oleh kaumnya tidak di
atas kefakihan, maka hal itu adalah kerusakan bagi orang yang mengikutinya.”
[Jâmi‘
Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Juz I hal 63. Dan
diriwayatkan oleh Ad-Dârimi dengan sanad dho‘if]
Dalam
perkataan ‘Umar RA ini terdapat isyarat akan kewajiban berjama‘ah, kepemimpinan
dan ketaatan untuk tegakknya syari‘at Islam.
********************
PENGANGKATAN PEMIMPIN
DIPERCAYAKAN KEPADA IMAM
YANG MAS’UL, JIKA ADA
Berdasarkan
hadits Buroidah RA:
“Bahwasanya Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang
komandan pada satu pasukan atau sariyah, beliau
mewasiatkan khusus kepadanya untuk bertakwa kepada Alloh, dan
mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang
menyertainya.”
[HR.
Muslim di dalam Kitâbul Jihâd was Sair dari Shohihnya, Bab
Ta’mîrul Imâm Al-Umarô’ ‘Alal Bu‘ûts]
Ibnu
Qudamah berkata,
“Dan urusan jihad diserahkan kepada Imam serta
ijtihadnya…dst,” –hingga perkataannya— “…ia berhak mengangkat amir pada setiap sektor yang akan mengatur urusan perang dan jihad, yang ia angkat
adalah orang yang berpandangan jeli,
memiliki ketajaman akal, keberanian dan analisa yang
baik dalam urusan perang dan membuat tipudaya terhadap
musuh. Pada dirinya juga harus ada sifat amanah, berkelakuan
baik dan memberikan nasehat kepada kaum muslimin.” [Al-Mughnî, Kitâbul Jihâd]
********************
PEMIMPIN BOLEH
MENGANGKAT BEBERAPA
PIMPINAN SEKALIGUS
SECARA BERURUTAN
Berdasarkan yang dilakukan
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada perang Mu’tah (ketika beliau mengutus
para komandan) di mana beliau mengurutkan tiga orang untuk memimpin. (HR.
Bukhori-Muslim dari Anas). Jika yang pertama terbunuh, diganti yang kedua dan begitu
seterusnya.
Bukhori meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ibnu ‘Umar RA ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai komandan pada perang Mu’tah. Maka Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Jika Zaid terbunuh, maka Ja‘far
sebagai gantinya. Jika Ja‘far terbunuh, maka gantinya Abdulloh bin Rowahah.”
Ibnu Umar berkata, “Aku ikut
dalam perang itu. Kami mencari Ja‘far bin Abi Tholib, lalu kami menemukannya pada
mereka yang terbunuh, pada jasadnya kami temukan sembilan puluh sekian luka
akibat tikaman dan panahan.”
Kepemimpinan tidak diberikan
kepada yang berikutnya kecuali yang pertama meninggal atau terkena musibah sehingga
tidak mampu melaksanakan tugasnya. Yang kedua juga tidak berhak menentang
pemimpin pertama dalam urusan tugas dengan alasan karena dia memiliki kemungkinan
menjadi pemimpin atau alasan semisal, selama tampuk kepemimpinan masih dipegang
oleh pemimpin yang pertama. Semuanya harus mendengar dan taat kepadanya.
Pada saat meletusnya
peristiwa Al-Jisr melawan kaum Persi yang cukup populer, pemegang kepemimpinan
saat itu: Abu ‘Ubaid bin Mas‘ud Ats-Tsaqofî, menyampaikan wasiat kepemimpinan
pasukan kepada delapan orang secara berurutan jika ia terbunuh. Akhirnya ia
terbunuh berikut tujuh orang pemimpin dari Bani Tsaqif sepeninggalnya, sampai
kepemimpinan itu berujung kepada yang kedelapan, yaitu Al-Mutsanna bin
Haritsah. Saat itu, Daumah, isteri dari Abu ‘Ubaid melihat dalam mimpinya
kejadian yang sama persis dengan apa yang telah terjadi. [Al-Bidâyah
wan Nihâyah Ibnu Katsir juz VII hal. 28. Lihat juga
Al-Ahkâm As-Sulthôniyyah milik Abu Ya‘la hal]
Kejadian ini pecah pada tahun
13 H di era kekhalifahan Umar bin Khothob RA. Ini adalah jumlah pengangkatan pemimpin
ketika ia telah meninggal paling banyak dalam sejarah yang pernah diketahui.
Hal itu terjadi pada masa kekhalifahan ‘Umar dan kala itu banyak sekali
terdapat para shahabat tanpa ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya.
********************
KAPANKAH HAK MENGANGKAT
PEMIMPIN DIBERIKAN
KEPADA RAKYAT ?
Sudah kami jelaskan di muka
mengenai wajibnya sebuah kepemimpinan dan mengangkat pemimpin adalah hak imam kaum
muslimin atau orang yang seposisi dengannya misalnya seorang pemimpin yang
menjadi penanggung jawab dari satu tugas pekerjaan tertentu.
Hanya saja, dalam beberapa
kondisi masyarakat kaum muslimin dituntut memilih pemimpin sendiri, misalnya:
- Jika
amir yang ditunjuk oleh Imam pusat tidak ada (karena terbunuh, tertawan atau
kondisi lemah) sementara kaum muslimin tidak memungkinkan untuk merujuk kepada
Imam pusat, dan mereka tidak memiliki Amir lain yang ditunjuk secara berurut,
atau kalaulah ada mereka semua sudah meninggal.
- Apabila
kaum muslimin, atau salah satu kelompok dari mereka, mengadakan sebuah operasi
yang bersifat jama‘i (kolektif) –khususnya tadrib (latihan) dan jihad—sementara
kaum muslimin tidak memiliki Imam, sebagaimana kondisi kaum muslimin di zaman
kita sekarang.
Maka kaum muslimin boleh
mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin, dan tidak sah bagi
mereka bekerja tanpa adanya pemimpin. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah
memberikan hak mengangkat pemimpin kepada kaum muslimin dalam sabdanya: “Hendaknya
mereka mengangkat pemimpin…” dari hadits:
“Jika ada tiga orang yang
keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai
pemimpin.”
Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam melimpahkan kuasa mengangkat amir kepada satu kelompok ini di
mana mereka berkumpul di atas perkara yang bersifat kolektif antar mereka yang
dalam hal ini adalah bepergian.
Penjelasan hadits ini sudah
kita terangkan sebelumnya.
Bisa juga menggunakan dalil
tindakan para shahabat –Ridhwanulloh ‘alaihim– pada perang Mu’tah setelah terbunuhnya
tiga orang yang diangkat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pemimpin.
Maka setelah itu mereka sepakat untuk mengangkat Kholid bin Walid sebagai
pemimpin, sedangkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merestui langkah yang
mereka ambil ini.
Bukhori meriwayatkan dengan
sanadnya dari Anas Radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam berkhutbah, beliau bersabda:
“Panji diambil oleh Zaid,
maka ia terkena (terbunuh). Kemudian diambil oleh Ja‘far, kemudian ia terbunuh.
Kemudian diambil Abdulloh bin Rowahah, kemudian ia terbunuh. Kemudian diambil
oleh Kholid bin Al-Walid tanpa ia sendiri menginginkan untuk menjadi sebagai
pemimpin, maka Allohpun menangkan dia. Dan betapa senang mereka jika mereka
menyertai kita.
Anas berkata, “Dan sungguh
kedua mata beliau menderaikan air mata.”
[Hadits
3063]
Dan di dalam riwayat Bukhori
dari Anas disebutkan: “Sampai panji diambil oleh salah satu pedang Alloh,
hingga Alloh menangkan ia.” [Hadits 4362]
Ibnu Hajar berkata –tentang
peristiwa setelah Ibnu Rowahah terbunuh—:
“Kemudian bendera diambil oleh Tsabit
bin Aqrom Al-Anshori, ia berkata, “Tunjuklah seseorang (sebagai pemimpin).”
Maka mereka mengatakan, “Kalau begitu anda saja.” Ia berkata, “Tidak.” Akhirnya
mereka sepakat mengangkat Kholid bin Walid sebagai komandan.
Thobaroni meriwayatkan
dari hadits Abul Yasar Al- Anshori ia berkata,
“Aku memberikan panji kepada
Tsabit bin Aqrom ketika Abdulloh bin Rowahah terkena. Kemudian Tsabit memberikannya
kepada Kholid bin Walid dan berkata kepadanya, “Engkau lebih tahu tentang
perang daripada saya.” [Fathul Bari juz
VII hal. 512]
Ibnu Hajar
berkata lagi, “Di dalam kisah di atas terdapat dalil bolehnya mengangkat
pemimpin dalam perang tanpa harus melalui proses pengangkatan –atau tanpa
keputusan dari Imam—.
Ath-Thohawi
berkata, “Inilah
prinsip yang diambil, yaitu kaum muslimin harus mengangkat seseorang sebagai
pemimpin jika imam tidak ada, ia menggantikan posisinya sampai ia datang.”
[Fathul
Bari juz VII hal. 513]
Ibnu Hajar juga
berkata, “Ibnul Munayyar berkata: ‘Dari hadits bab ini diambil kesimpulan bahwa
siapa ditunjuk sebagai pemimpin sementara tidak memungkinkan untuk merujuk
kepada imam, maka kepemimpinan saat itu sah secara syar‘i dan mentaatinya wajib
hukumnya.”
Demikian yang
ia katakan, dan tidak samar lagi bahwa posisinya adalah ketika orang-orang yang
hadir di situ menyepakatinya.” [Fathul
Bârî juz VI hal. 180]
Ibnu Qudamah
Al-Hanbali berkata:
“Jika imam tidak ada, jihad
tidak ditunda. Sebab maslahat jihad akan hilang jika ia ditunda. Dan jika
diperoleh ghanimah, maka pemiliknya bisa langsung membagikannya sebagaimana
ketentuan syar‘i.”
Al-Qodhi
berkata: “Diakhirkan jatah imam sampai imam datang, sebagai bentuk hati-hati
kalau-kalau ada jalan keluar.”
Jika imam mengirim satu
pasukan dan mengangkat salah seorang dari mereka sebagai amir kemudian ia
terbunuh atau meniggal, maka pasukan boleh mengangkat salah seorang dari mereka
sebagai pemimpin sebagaimana yang dilakukan para shahabat Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam pada pasukan perang Mu’tah ketika para pemimpin yang ditunjuk
oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terbunuh. Mereka kemudian mengangkat
Kholid bin Walid sebagai pemimpin.
Berita itu kemudian sampai
kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau merestui langkah dan
inisiatif mereka, bahkan menggelari Kholid dengan sebutan: Saifulloh (pedang Alloh).”
[Al-Mughnî was Syarhul Kabîr juz
X hal. 374]
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar