Jawaban Kepada
Dakwah Nabi
Setelah Perjanjian Hudaybiyah di tahun ke-6
dari hijrah Nabi ke Madinah, Daulah Islam, di bawah pimpinan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil keuntungan dari perjanjian damai sementara dengan suku
kafir Quraisy untuk mulai menyebarkan cahaya Islam ke wilayah yang lebih jauh
dari Jazirah Arab dan negeri-negeri yang lebih jauh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan utusan kepada para penguasa dari berbagai negeri,
menyampaikan kepada mereka risalah Islam, mengajak mereka untuk masuk Islam dan
mengikutinya di atas jalan petunjuk, dan memberi peringatan kepada mereka bahwa
jika mereka menolak mereka akan bertanggung jawab atas kekafiran dan kesesatan
rakyatnya.
Di antara penguasa yang dikirimi surat oleh
Nabi shallallahu
alaihi wa sallam adalah raja Habasyah, Asyamah ibn Abjar,
dikenal dengan Najasyi (Negus), raja Koptik Mesir Jurayj ibn Mina, dikenal
dengan Muqauqas, dan kaisar Byzantium, Heraklius. Ketiga penguasa Kristen
tersebut masing-masing menerima risalah Islam, namun jawaban dan respon mereka
berbeda.
Adapun Asyamah, yang telah menampung puluhan
sahabat Nabi di kerajaannya – termasuk sepupu beliau Ja'far radhiallahu ‘anhu – ketika mereka lari dari penganiayaan musyrikin Makkah, dia
menyadari kebenaran Islam dan segera menyatakan sifat keilahian dari risalah
Nabi di depan istananya. Ini terjadi ketika suku Quraisy mengirim dua utusan
kepadanya untuk memintanya menyerahkan Ja'far dan kaum Muslimin yang bersamanya
agar mereka bisa kembali ke Mekah.
Kedua utusan itu, ‘Amr ibn al-‘Ash dan
‘Abdullah ibn Abi Rabi’ah, membawa berbagai hadiah untuk Asyamah dan para
menterinya. Terlebih dahulu mereka memberikan hadiah mereka kepada para menteri
dan menjelaskan pada mereka permintaan yang akan mereka ajukan kepada Asyamah dengan
harapan para menteri itu akan membantu mereka dan membujuk Asyamah untuk
memenuhi permintaan mereka. Para menteri menerima hadiah itu dan setuju untuk
melakukannya.
Kedua utusan itu lalu menemui Asyamah,
memberikannya hadiah dari mereka, dan kemudian berbicara kepadanya, “Wahai
raja, sesungguhnya sejumlah pemuda bodoh telah mengungsi ke negerimu. Mereka
telah meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk ke agamamu. Mereka telah
datang dengan sebuah agama baru yang mereka ciptakan dan yang tidak diketahui oleh
kami dan olehmu. Kami telah diutus kepadamu, terkait mereka, oleh para pembesar
kaum kami, dari kalangan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, dan
kabilah-kabilah mereka, supaya engkau mengembalikan (para pemuda ini) kepada
mereka, karena mereka yang paling mengenal mereka dan lebih mengetahui atas apa
mereka menyalahkan dan mengingatkan mereka.”
Para menteri berkata, "Mereka telah
berkata jujur, wahai raja. Serahkanlah mereka sehingga mereka bisa dikembalikan
ke kaum dan negeri mereka." Namun, Asyamah, ingin mendengar kisah dari
sisi lainnya, maka dia memanggil kaum Muslimin dan bertanya kepada mereka,
"Apakah agama yang karenanya kalian telah meninggalkan kaum kalian,
karenanya kalian tidak masuk ke agamaku tidak pula agama-agama lainnya?"
Ja'far radhiallahu
’anhu, sebagai juru bicara kaum Muslimin, berkata,
"Wahai raja, kami dulunya ialah orang-orang bodoh yang menyembah berhala, memakan bangkai binatang,
melakukan zina, memutus silaturahim, dan menyakiti tetangga kami; dan
orang-orang kuat di antara kami mendzalimi yang lemah."
"Kami terus seperti itu sampai Allah mengutus kepada
kami seorang rasul dari kalangan kami yang keturunan, kejujuran, sifat
terpercaya, dan kedermawanannya kami kenal. Dia menyeru kami kepada pentauhidan
Allah, memerintahkan kami untuk beribadah kepada-Nya dan meninggalkan apa yang
kami dan bapak-bapak kami sembah berupa batu-batu dan berhala, dan
memerintahkan kami untuk berbicara jujur, memenuhi amanah [kepada yang berhak],
menyambung silaturahim, berbuat baik pada tetangga, dan menahan diri dari
perkara-perkara haram dan penumpahan darah yang haram, dan dia melarang kami
dari zina, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita yang
suci berzina. Dia memerintahkan kepada kami untuk beribadah kepada Allah semata
dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya dan memerintahkan kami dengan
shalat, zakat, dan puasa. Maka kami mengakui kebenarannya dan beriman
kepadanya, dan kami mengikutinya di atas apa yang ia bawa dari agama Allah.
"Kami beribadah kepada Allah semata, tidak
menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, kami mengharamkan apa yang telah ia
haramkan atas kami, dan menghalalkan apa yang ia halalkan atas kami, maka kaum
kami memusuhi kami. Mereka menyiksa kami dan ingin mengeluarkan kami dari agama
kami dengan bujukan dan penganiayaan untuk mengembalikan kami untuk menyembah
berhala selain Allah yang Maha Mulia, dan untuk menghalalkan hal-hal jahat yang
dulu kami halalkan. Jadi, ketika mereka merendahkan kami, mendzalimi kami,
membuat segala sesuatu sulit bagi kami, dan menghalang-halangi kami dari agama
kami, maka kami pergi ke negerimu. Kami memilihmu dari semua selainmu, dan kami
menginginkan perlindunganmu, dan berharap kami tidak akan terdzalimi di
depanmu, wahai raja."
Asyamah bertanya padanya, “Apakah engkau membawa sesuatu
dari apa yang ia bawa dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Asyamah berkata,
“Bacakanlah ia untukku.” Maka Ja’far membacakan untuknya bagian pertama Surat
Maryam. Asyamah menangis hingga jenggotnya menjadi basah dan para menterinya juga
menangis hingga buku-buku mereka menjadi basah saat mereka mendengar apa yang
dibacakan Ja’far untuk mereka. Asyamah kemudian berkata, “Sesungguhnya, ini dan
apa yang dibawa Yesus datang dari sumber yang sama.” Dia pun kemudian berkata kepada
dua utusan Quraisy, “Pergilah, karena demi Allah aku tidak akan menyerahkan
mereka kepadamu dan mereka tidak akan disakiti.” Maka mereka pergi, dan ‘Amr
berkata kepada ‘Abdullah, “Demi Allah, besuk aku akan membawakannya sesuatu
dari mereka yang akan mencabut kegembiraan mereka.”
Keesokan harinya, ‘Amr berkata kepada Asyamah, “Wahai
raja, mereka mengatakan sesuatu yang besar mengenai ‘Isa putra Maryam.” Maka
Asyamah memanggil Ja’far dan kaum Muslimin yang bersamanya dan menanyai mereka
tentang apa yang mereka katakan tentang ‘Isa. Ja’far berkata, "Kami
katakan tentangnya sebagaimana yang diajarkan nabi kami shallallahu alaihi wa sallam kepada
kami – bahwa dia adalah hamba Allah, rasul-Nya, ruh [pilihan]-Nya, dan
kalimat-Nya yang Dia sampaikan ke perawan Maryam.” Asyamah lalu mengambil
sebuah tongkat lantas berkata, “Demi Allah, ‘Isa putra Maryam tidak melebihi
apa yang engkau katakan walau sepanjang tongkat ini.” Para menterinya
mendengus, maka dia berkata kepada mereka, “Demi Allah, meskipun kalian
mendengus!” (Sirah Ibnu Hisyam).
Beberapa tahun kemudian, ketika surat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai
padanya, dia telah menyatakan syahadat keimanan, menjawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan
kata-kata berikut:
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kepada
Muhammad, Rasulullah, dari Najasyi Asyamah:
Semoga
shalawat dan salam Allah terlimpah kepadamu, wahai Nabi Allah, sekaligus rahmat
dan kasih sayang-Nya; Laa ilaaha illallaah.”
“Amma
ba’du: Suratmu telah sampai padaku, wahai Rasulullah, termasuk apa yang engkau
sebutkan mengenai ‘Isa. Demi Tuhan langit dan bumi, ‘Isa tidak melebihi dari
apa yang engkau katakan. Bahkan, dia adalah apa yang engkau katakan. Kami telah
mempelajarinya dengan apa yang engkau kirimkan kepada kami, dan kami telah
menampung sepupumu dan para sahabatmu. Maka, aku bersaksi, dengan kebenaran dan
keyakinan, bahwa engkau adalah Rasulullah, dan aku berbai’at kepadamu. Aku
telah berbai’at kepada sepupumu dan, di tangannya, aku telah berserah diri pada
Allah, Tuhan seluruh makhluk”
(Zad
al-Ma’ad).
Jadi, setelah dipercaya untuk mengurus dan melindungi keluarga
dan sahabat Nabi shallallahu
alaihi wa sallam
yang
mulia, hubungan Asyamah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beralih
ke babak baru. Dengan masuk Islam, dia telah membatalkan loyalitasnya kepada
orang-orang kafir dan menggenggam ikatan Islam yang kuat, menjadikannya satu-satunya
timbangan untuk menentukan hubungan dia dengan orang lain. Hal ini terwujud
ketika dia memutus hubungan dengan kaisar Byzantium, Heraklius, dengan membatalkan
pajak yang biasa ia bayarkan kepadanya. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ketika
Nabi shallallahu
alaihi wa sallam
mengutus
‘Amr bin Al-Ash kepada dua raja Oman dengan suratnya yang menyeru mereka untuk
masuk Islam, 'Amr bertemu dengan yang lebih muda dari dua saudara yang
memerintah negeri itu, menjawab beberapa pertanyaannya, dan memberitahunya bahwa
Asyamah memeluk Islam. Raja itu menyatakan keyakinannya bahwa kaisar Byzantium,
Heraklius, tidak menyadari hal ini, tapi 'Amr memberitahunya bahwa ia menyadari
fakta ini. Ketika dia bertanya pada 'Amr bagaimana ia tahu hal ini, 'Amr berkata
bahwa Asyamah biasa membayar pajak kepada Heraklius, tetapi setelah masuk Islam
ia berhenti membayar pajak berikutnya, dan mengatakan, "Tidak, demi Allah!
Jika ia meminta dariku satu dirham, aku tidak akan memberikannya" (Zad
al-Ma'ad).
Ketika Asyamah wafat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
para sahabatnya untuk shalat ghaib bagi jenazahnya, hal ini dilakukan pertama
kali dalam Islam. Beliau memberitahu sahabatnya tentang kematian raja Habasyah,
dengan bersabda, "Seorang saleh telah wafat hari ini, maka bangkit dan
mintakanlah ampunan bagi saudara kalian Asyamah" (Al-Bukhari).
Adapun Heraklius, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim
Dihyah al-Kalbi radhiallahu
‘anhu kepada pemimpin Busra dengan suratnya agar ia akan
meneruskannya ke Heraklius. 'Abdullah Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu menceritakan
bahwa Abu Sufyan ibn Harb radhiallahu
‘anhu memberitahunya bahwa Heraklius datang padanya ketika ia
bersama kafilah Quraisy melakukan bisnis di Syam selama periode Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan perjanjian
damai dengan Abu Sufyan dan kafir Quraisy.
Maka ia dan sahabatnya datang ke Heraklius ketika dia
berada di Yerusalem. Heraklius memanggil mereka ke istana dengan dihadiri
pemimpin Romawi. Dia kemudian memanggil mereka ke depan dan memanggil
penerjemah, dan kemudian berkata, "Siapa di antara kalian yang paling
dekat kekerabatannya dengan orang ini yang mengklaim dirinya sebagai seorang
nabi?" Abu Sufyan berkata, "Akulah yang paling dekat." Dia lalu
berkata, "Bawa dia mendekat padaku dan biarkan mereka berdiri di belakangnya."
Dia lalu berkata kepada penerjemah, "Katakan kepada mereka bahwa aku akan
bertanya padanya tentang orang ini [Nabi], maka jika ia membohongiku mereka
harus membantahnya."
Ketika mengisahkan peristiwa itu pada Ibnu 'Abbas, Abu
Sufyan berkata, "Demi Allah, jika tidak karena aku takut mereka akan
mendapatiku berbohong, aku akan berbohong tentang beliau. Lalu, hal pertama
yang ia tanyakan adalah, 'Bagaimana kedudukan nasabnya di antara kalian?' Aku
berkata, 'Beliau memiliki nasab yang mulia di antara kami.' Dia berkata,
'Adakah seseorang dari kalian pernah mengklaim seperti ini [kenabian]?"
Aku berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Adakah salah satu dari leluhurnya seorang
raja?" Aku berkata, 'Tidak.' Dia berkata, 'Apakah yang mengikutinya adalah
dari kalangan bangsawan atau kalangan lemah?' Aku berkata, 'Kalangan lemah.'
Dia berkata, 'Apakah jumlah mereka terus meningkat atau menurun?" Aku
berkata, 'Mereka meningkat.’ Dia berkata, 'Adakah dari mereka yang meninggalkan
agamanya karena tidak menyukainya setelah mereka masuk ke dalamnya? "Aku
berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Apakah kamu pernah mendapatinya berbohong
sebelum ia membuat klaim ini?’ Aku berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Apakah dia
berkhianat?" Aku berkata, 'Tidak, tapi kami sedang dalam perjanjian damai
dengannya dan tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengannya." Aku tidak
menemukan kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang melawannya selain itu. Dia
lalu berkata, 'Apakah kamu memeranginya?" Aku berkata, 'Ya.; Dia berkata,
‘Bagaimana hasil peperanganmu dengannya?’ Aku berkata, 'Perang antara kami
bergantian menang dan kalah; ia mengalahkan kami dan kami mengalahkannya.’ Dia
berkata, 'Apa yang ia perintahkan padamu?’ Aku berkata, 'Dia menyuruh kami, 'Sembahlah
Allah saja dan jangan menyekutu-Nya, dan tinggalkan perkataan nenek moyangmu.’
Dia menyuruh kami untuk shalat, bersedekah, berkata jujur, menjaga kehormatan,
dan menjaga silaturahim.”’
“Dia lalu berkata pada penerjemahnya, 'Katakan padanya,
'Aku bertanya padamu mengenai nasabnya dan kau katakan ia memiliki nasab yang
mulia dari kaumnya. Demikianlah para Rasul; mereka berasal dari nasab yang
mulia diantara kaumnya. Aku bertanya padamu adakah di antara kalian yang pernah
membuat klaim serupa [kenabian] dan kau katakan ‘Tidak.’ Aku katakan pada
diriku jika ada seseorang yang membuat klaim serupa sebelumnya, aku akan
berpikir bahwa dia hanya seseorang yang meniru apa yang dilakukan orang lain
sebelumnya. Aku bertanya padamu adakah dari leluhurnya yang seorang raja dan
kau katakan, ‘Tidak.’ Aku katakan pada diriku jika ada dari leluhurnya yang
pernah menjadi raja aku akan berpikir bahwa dia adalah seorang lelaki yang
ingin mengambil kembali kerajaan leluhurnya. Aku bertanya padamu apakah kau
pernah mendapatinya berbohong sebelum ia membuat klaim ini dan kau katakan,
‘Tidak.’ Dan yang aku tahu bahwa jika dia tidak menghindari berbohong tentang
manusia maka ia juga akan berbohong tentang Allah. Aku bertanya padamu apakah
yang mengikutinya dari kalangan bangsawan atau kalangan lemah dan kamu berkata
bahwa kalangan lemahlah yang mengikutinya, dan memang, merekalah yang biasanya
menjadi pengikut para Rasul. Aku bertanya padamu apakah jumlah mereka semakin
bertambah atau berkurang dan kau katakan bahwa jumlah mereka terus bertambah,
dan memang, begitulah perkara keimanan hingga ia sempurna. Aku bertanya padamu apakah
ada yang meninggalkan agamanya karena tidak menyukainya setelah masuk ke dalamnya
dan kau berkata, ‘Tidak,’ dan demikianlah keimanan ketika manisnya telah masuk
ke hati dan bersatu dengannya. Aku bertanya padamu apakah ia berkhianat dan kau
berkata, ‘Tidak.’ Dan begitulah para Rasul mereka tidak berkhianat. Aku
bertanya padamu apa yang dia perintahkan padamu dan kau berkata bahwa
perintahnya adalah untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya,
melarangmu dari menyembah berhala, menyuruhmu untuk shalat, berkata jujur, dan menjaga
kehormatan. Jika yang kau katakan adalah benar maka tak lama lagi dia akan
memiliki [kerajaan] yang ada di bawah kakiku. Sungguh, aku tahu bahwa ia akan
muncul tapi aku tidak berpikir bahwa ia akan datang dari kalian (bangsa Arab).
Jika aku yakin aku bisa mencapainya aku akan bersegera menemuinya, dan jika aku
bersamanya aku akan mencuci kakinya.’”
Dia lalu meminta surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam –
yang dikirim melalui Dihyah untuk pemimpin Busra yang kemudian diteruskan ke
Heraklius – dan ia membacanya. Isi surat itu adalah sebagai berikut."
"'Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dari
Muhammad, Rasulullah, kepada Heraklius, pemimpin Roma: Keselamatan bagi yang
mengikuti petunjuk.’”
“Amma
ba’du: Aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam Islam dan kau akan
selamat, dan Allah akan memberimu pahala dua kali. Tapi jika kamu berpaling,
maka kamu menanggung dosa [menyesatkan] rakyatmu.”
"'Selanjutnya:
'Hai Ahli Kitab, marilah [berpegang] pada suatu kalimat yang tidak ada
perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak [pula] sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.' Namun jika mereka
berpaling, maka katakan, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim
[yang berserah diri kepada-Nya]'
(Ali
'Imran 64)”
"Ketika ia mengatakan apa yang dia katakan dan selesai
membaca surat, terjadilah hiruk-pikuk dan suara-suara ribut, hingga mengusir
kami. Ketika kami keluar, aku berkata pada temanku, 'Perkara [Muhammad] telah
menjadi besar. Raja Romawi takut padanya.' Lalu aku senantiasa yakin bahwa ia
akan meraih kejayaan hingga Allah membimbingku pada Islam."
Dalam mempertimbangkan seruan Nabi, Heraklius menulis
surat kepada temannya di Roma yang setara dengannya dalam ilmu, lalu ia
melakukan perjalanan ke Homs. Sebelum pergi dari Homs, ia menerima balasan dari
temannya di Roma, yang menyetujui pendapatnya bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memang
seorang nabi. Maka Heraklius memanggil para pembesar Byzantium ke istananya di
Homs lalu memerintahkan agar pintu-pintu dikunci. Lantas dia berpidato pada
mereka, mengatakan, "Wahai bangsa Rum, maukah kalian semua memperoleh
kemenangan dan petunjuk sedangkan kerajaan kalian tetap utuh dengan berbai'at
kepada nabi ini?" Lalu mereka lari ke pintu-pintu bagaikan keledai liar
dan mendapatinya terkunci. Ketika Heraklius melihat mereka melarikan diri dan
putus harapannya agar mereka menerima Islam, ia berkata, “Bawa mereka kembali
padaku.” Ia kemudian mengatakan pada mereka, “Aku hanya mengucapkan apa yang
kuucapkan untuk menguji keteguhan hati kalian pada agama kalian, dan aku telah
melihatnya.” Maka mereka bersujud padanya dan ridha dengannya, dan inilah akhir
kisah Heraklius terkait dengan Islam (Al-Bukhari).
Maka, kaisar Romawi memilih untuk menolak kebenaran –
setelah jelas-jelas mengakuinya – dan tetap di atas kebathilan karena takut
kehilangan kerajaan dan kekuasaan. Kurang dari dua tahun kemudian, di tahun
ke-8 setelah hijrah nabi, peperangan antara umat Muslim dan Imperium Byzantium
dimulai. Peperangan yang berlanjut selama beberapa tahun sebelum Byzantium
terusir dari Syam secara total, setelah mereka mendapat kekalahan di
Pertempuran Yarmuk, dan dipaksa mundur ke benteng mereka di Eropa. Jadi,
Heraklius akhirnya kehilangan banyak dari kerajaannya, sebelum akhirnya mati
beberapa tahun kemudian, meski telah mengorbankan keselamatan akhiratnya dalam
usahanya yang sia-sia untuk mempertahankan kekuasaannya.
Adapun Jurayj, raja Koptik Mesir, Ibnul Qayyim menyebutkan
dalam "Zad al- Ma'ad" bahwa surat Nabi disampaikan kepadanya oleh
Hatib ibnu Abi Balta'ah radhiallahu
‘anhu. Surat itu berisi sebagai berikut:
"Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dari
Muhammad, hamba Allah, kepada Muqauqas, pemimpin umat Koptik: Keselamatan bagi
yang mengikuti petunjuk."
“Amma
ba’du: Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam Islam
maka kau akan selamat. Masuklah ke dalam Islam maka Allah akan memberimu pahala
dua kali lipat. Tapi jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa [menyesatkan]
umat Koptik.
“Hai
Ahli Kitab, marilah [berpegang] pada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan suatu apapun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.' Namun jika mereka berpaling, maka
katakanlah, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim [yang berserah
diri kepada-Nya]” (Ali 'Imran 64)."
Setelah memberikan surat kepadanya, Hatib menasihatinya, dengan
berkata, "Sungguh, ada seorang lelaki sebelum kamu yang mengaku bahwa
dirinya adalah Tuhan, Yang Maha Tinggi, sehingga Allah menghukumnya dengan
hukuman yang dapat menjadi peringatan untuk yang pertama dan yang terakhir
[dari kedzalimannya], menghukum orang lain dengannya dan kemudian menghukumnya.
Maka jadikanlah ia sebagai pelajaran dan jangan biarkan orang lain menjadikanmu
sebagai pelajaran." Dia lalu menjawab, "Sesungguhnya, kami memiliki
agama yang tidak akan kami tinggalkan kecuali untuk yang lebih baik dari itu."
Lalu Hatib berkata, "Kami menyerumu kepada agama Allah, ia adalah agama
Islam yang mana Allah menurunkannya untuk menggantikan agama selainnya. Sesungguhnya,
nabi ini mengajak manusia [kepada Islam]. Orang-orang yang paling keras
memusuhinya adalah [suku] Quraisy, yang paling memusuhinya adalah orang-orang
Yahudi, dan yang paling dekat [menerima] dengannya adalah umat Kristen. Aku
bersumpah bahwa kabar gembira Musa mengenai Yesus adalah sebagaimana kabar
gembira Yesus mengenai Muhammad, dan seruan kami kepada Al-Qur’an adalah
sebagaimana seruan pengikut Taurat (yaitu kaum Yahudi) terhadap Injil. Jika ada
nabi yang menjangkau suatu umat, mereka adalah orang-orang yang kepada
merekalah risalah ditujukan, maka wajib bagi mereka untuk mematuhinya. Dan
kalian adalah diantara orang-orang yang Nabi ini jangkau. Kami tidak
menghalangimu dari agama Al-Masih yang benar, bahkan kami memerintahkanmu
dengannya.”
Meskipun Hatib menasihati dengan baik, Jurayj menolak
seruan Nabi shallallahu
alaihi wa sallam,
tapi
menanggapi dengan cara yang sopan, dengan menyatakan, "Sesungguhnya, aku
telah melihat ke dalam urusan nabi ini dan mendapati bahwa dia tidak
memerintahkan apa-apa yang tidak disukai atau melarang dari hal-hal yang
diinginkan. Aku tidak mendapati bahwa ia seorang tukang sihir yang sesat atau
dukun pembohong, dan aku telah mendapati tanda-tanda kenabian padanya dengan kemampuannya
menyingkap apa-apa yang tersembunyi dan mengabarkan apa-apa yang dibicarakan secara
rahasia, jadi aku akan memeriksanya." Dia kemudian mengambil surat dari
Nabi shallallahu
alaihi wa sallam
dan
meletakkannya di sebuah kotak dari gading lalu menyegelnya dan menyerahkannya
kepada seorang budak perempuannya. Dia kemudian memanggil salah seorang juru tulisnya
untuk menulis surat berikut kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kepada
Muhammad ibn ‘Abdillah dari Muqauqas, pemimpin umat Koptik: Semoga keselamatan
bagimu. Amma ba’du.”
“Aku
telah membaca suratmu dan mengerti apa yang engkau sebutkan di dalamnya dan apa
yang kau seru kepadaku. Aku mengetahui bahwa masih ada seorang Nabi [yang belum
datang] dan menyangka bahwa ia akan muncul dari Syam. Aku menghormati risalahmu,
dan telah aku kirim kepadamu dua orang budak perempuan yang memiliki status yang
tinggi diantara umat Koptik, dengan tambahan beberapa pakaian, dan
menghadiahimu dengan keledai untuk kamu kendarai. Semoga keselamatan bagimu.”
Demikianlah, meskipun jawaban sopan yang ia berikan, ia
tidak menerima Islam dan malah memilih untuk tetap di atas kekafirannya.
Setelah menerima surat dan hadiah-hadiahnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,
"Lelaki jahat ini sedang mencengkeram kerajaannya, tapi kerajaannya tidak
akan bertahan." Hanya beberapa tahun kemudian, ekspansi umat Muslim mencapai
Mesir di masa Khalifah 'Umar shallallahu alaihi wa sallam, dan
pemimpin pasukan Muslim di Mesir, 'Amr ibn al-'Ash radhiallahu ‘anhu,
mencapai gerbang Aleksandria dan menawarkan Jurayj salah satu dari tiga
pilihan: Islam, jizyah, atau perang. Dia memilih untuk membayar jizyah dalam
kehinaan, sehingga mengakhiri kekuasaannya saat ia memilih untuk tetap hidup
dalan kedamaian – dengan ditundukkan dan diturunkan dari tahta – daripada
memasuki perang berkepanjangan dengan umat Muslim.
Oleh karena itu, jawaban yang berbeda dari ketiga pemimpin
Kristen itu terhadap dakwah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengantarkan
mereka kepada nasib yang berbeda-beda. Asyamah memilih Islam dan dengannya
menjaga kehidupan dunianya ditambah dengan mendapatkan kebahagiaan yang kekal
di akhirat, sedangkan Jurayj dan Heraklius menolak dakwah, masing-masing memilih
pilihan yang berbeda dalam berusaha untuk mempertahankan apa yang bisa ia
pertahankan dari kehidupan dunianya. Jurayj memilih untuk membayar jizyah
dengan harapan menghindari terjadinya pertumpahan darah dan perbudakan dalam
waktu dekat dan memperoleh kedamaian, meskipun dalam keadaan terhina, dan
penurunan tahta. Sementara itu, Heraklius, memilih perang, berharap dapat
menghalau ancaman terhadap kedudukan dan hartanya, masing-masing berusaha
mempertahankan secuil bagian dari kehidupan dunianya sembari mengorbankan
keselamatan di akhirat, namun sebaliknya, masing-masing dari mereka harus
kehilangan keduanya.
Ini adalah pilihan yang sama yang ditawarkan kepada umat
Kristen hari ini. Mereka mempunyai pilihan untuk mencoba menggenggam kemewahan hidup
yang sementara, menolak kebenaran dengan jalan antara membayar jizyah kepada
Daulah Islam atau terus melancarkan perang perlawanan yang sia-sia terhadapnya.
Atau, mereka dapat memperhatikan peringatan Allah bahwa kehidupan duniawi tidak
terjamin bahkan bagi mereka yang mengejarnya dengan mengorbankan keselamatan
mereka, sehingga mereka memilih untuk memeluk islam, meraih kebenaran, menggapai
rahmat dari Tuhan mereka, dan masuk ke dalam Taman-Taman Surga.
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang [duniawi],
maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang
yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Jahannam, ia akan memasukinya
dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat
dan berusaha ke arahnya dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah orang yang
beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan dibalas dengan
baik” (Al-Isra 18-19).
Source
: DABIQ 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar