8/09/2019

JAWABAN KEPADA DAKWAH NABI


Jawaban Kepada Dakwah Nabi

Setelah Perjanjian Hudaybiyah di tahun ke-6 dari hijrah Nabi ke Madinah, Daulah Islam, di bawah pimpinan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengambil keuntungan dari perjanjian damai sementara dengan suku kafir Quraisy untuk mulai menyebarkan cahaya Islam ke wilayah yang lebih jauh dari Jazirah Arab dan negeri-negeri yang lebih jauh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirimkan utusan kepada para penguasa dari berbagai negeri, menyampaikan kepada mereka risalah Islam, mengajak mereka untuk masuk Islam dan mengikutinya di atas jalan petunjuk, dan memberi peringatan kepada mereka bahwa jika mereka menolak mereka akan bertanggung jawab atas kekafiran dan kesesatan rakyatnya.

Di antara penguasa yang dikirimi surat oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah raja Habasyah, Asyamah ibn Abjar, dikenal dengan Najasyi (Negus), raja Koptik Mesir Jurayj ibn Mina, dikenal dengan Muqauqas, dan kaisar Byzantium, Heraklius. Ketiga penguasa Kristen tersebut masing-masing menerima risalah Islam, namun jawaban dan respon mereka berbeda.

Adapun Asyamah, yang telah menampung puluhan sahabat Nabi di kerajaannya – termasuk sepupu beliau Ja'far radhiallahu ‘anhu – ketika mereka lari dari penganiayaan musyrikin Makkah, dia menyadari kebenaran Islam dan segera menyatakan sifat keilahian dari risalah Nabi di depan istananya. Ini terjadi ketika suku Quraisy mengirim dua utusan kepadanya untuk memintanya menyerahkan Ja'far dan kaum Muslimin yang bersamanya agar mereka bisa kembali ke Mekah.

Kedua utusan itu, ‘Amr ibn al-‘Ash dan ‘Abdullah ibn Abi Rabi’ah, membawa berbagai hadiah untuk Asyamah dan para menterinya. Terlebih dahulu mereka memberikan hadiah mereka kepada para menteri dan menjelaskan pada mereka permintaan yang akan mereka ajukan kepada Asyamah dengan harapan para menteri itu akan membantu mereka dan membujuk Asyamah untuk memenuhi permintaan mereka. Para menteri menerima hadiah itu dan setuju untuk melakukannya.

Kedua utusan itu lalu menemui Asyamah, memberikannya hadiah dari mereka, dan kemudian berbicara kepadanya, “Wahai raja, sesungguhnya sejumlah pemuda bodoh telah mengungsi ke negerimu. Mereka telah meninggalkan agama kaumnya dan tidak masuk ke agamamu. Mereka telah datang dengan sebuah agama baru yang mereka ciptakan dan yang tidak diketahui oleh kami dan olehmu. Kami telah diutus kepadamu, terkait mereka, oleh para pembesar kaum kami, dari kalangan bapak-bapak mereka, paman-paman mereka, dan kabilah-kabilah mereka, supaya engkau mengembalikan (para pemuda ini) kepada mereka, karena mereka yang paling mengenal mereka dan lebih mengetahui atas apa mereka menyalahkan dan mengingatkan mereka.” 

Para menteri berkata, "Mereka telah berkata jujur, wahai raja. Serahkanlah mereka sehingga mereka bisa dikembalikan ke kaum dan negeri mereka." Namun, Asyamah, ingin mendengar kisah dari sisi lainnya, maka dia memanggil kaum Muslimin dan bertanya kepada mereka, "Apakah agama yang karenanya kalian telah meninggalkan kaum kalian, karenanya kalian tidak masuk ke agamaku tidak pula agama-agama lainnya?" Ja'far radhiallahu ’anhu, sebagai juru bicara kaum Muslimin, berkata, "Wahai raja, kami dulunya ialah orang-orang bodoh yang menyembah  berhala, memakan bangkai binatang, melakukan zina, memutus silaturahim, dan menyakiti tetangga kami; dan orang-orang kuat di antara kami mendzalimi yang lemah." 

"Kami terus seperti itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang rasul dari kalangan kami yang keturunan, kejujuran, sifat terpercaya, dan kedermawanannya kami kenal. Dia menyeru kami kepada pentauhidan Allah, memerintahkan kami untuk beribadah kepada-Nya dan meninggalkan apa yang kami dan bapak-bapak kami sembah berupa batu-batu dan berhala, dan memerintahkan kami untuk berbicara jujur, memenuhi amanah [kepada yang berhak], menyambung silaturahim, berbuat baik pada tetangga, dan menahan diri dari perkara-perkara haram dan penumpahan darah yang haram, dan dia melarang kami dari zina, berbicara dusta, memakan harta anak yatim, dan menuduh wanita yang suci berzina. Dia memerintahkan kepada kami untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya dan memerintahkan kami dengan shalat, zakat, dan puasa. Maka kami mengakui kebenarannya dan beriman kepadanya, dan kami mengikutinya di atas apa yang ia bawa dari agama Allah.

"Kami beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun, kami mengharamkan apa yang telah ia haramkan atas kami, dan menghalalkan apa yang ia halalkan atas kami, maka kaum kami memusuhi kami. Mereka menyiksa kami dan ingin mengeluarkan kami dari agama kami dengan bujukan dan penganiayaan untuk mengembalikan kami untuk menyembah berhala selain Allah yang Maha Mulia, dan untuk menghalalkan hal-hal jahat yang dulu kami halalkan. Jadi, ketika mereka merendahkan kami, mendzalimi kami, membuat segala sesuatu sulit bagi kami, dan menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kami pergi ke negerimu. Kami memilihmu dari semua selainmu, dan kami menginginkan perlindunganmu, dan berharap kami tidak akan terdzalimi di depanmu, wahai raja."

Asyamah bertanya padanya, “Apakah engkau membawa sesuatu dari apa yang ia bawa dari Allah?” Ja’far menjawab, “Ya.” Maka Asyamah berkata, “Bacakanlah ia untukku.” Maka Ja’far membacakan untuknya bagian pertama Surat Maryam. Asyamah menangis hingga jenggotnya menjadi basah dan para menterinya juga menangis hingga buku-buku mereka menjadi basah saat mereka mendengar apa yang dibacakan Ja’far untuk mereka. Asyamah kemudian berkata, “Sesungguhnya, ini dan apa yang dibawa Yesus datang dari sumber yang sama.” Dia pun kemudian berkata kepada dua utusan Quraisy, “Pergilah, karena demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka kepadamu dan mereka tidak akan disakiti.” Maka mereka pergi, dan ‘Amr berkata kepada ‘Abdullah, “Demi Allah, besuk aku akan membawakannya sesuatu dari mereka yang akan mencabut kegembiraan mereka.”

Keesokan harinya, ‘Amr berkata kepada Asyamah, “Wahai raja, mereka mengatakan sesuatu yang besar mengenai ‘Isa putra Maryam.” Maka Asyamah memanggil Ja’far dan kaum Muslimin yang bersamanya dan menanyai mereka tentang apa yang mereka katakan tentang ‘Isa. Ja’far berkata, "Kami katakan tentangnya sebagaimana yang diajarkan nabi kami shallallahu alaihi wa sallam kepada kami – bahwa dia adalah hamba Allah, rasul-Nya, ruh [pilihan]-Nya, dan kalimat-Nya yang Dia sampaikan ke perawan Maryam.” Asyamah lalu mengambil sebuah tongkat lantas berkata, “Demi Allah, ‘Isa putra Maryam tidak melebihi apa yang engkau katakan walau sepanjang tongkat ini.” Para menterinya mendengus, maka dia berkata kepada mereka, “Demi Allah, meskipun kalian mendengus!” (Sirah Ibnu Hisyam).

Beberapa tahun kemudian, ketika surat Nabi shallallahu alaihi wa sallam sampai padanya, dia telah menyatakan syahadat keimanan, menjawab Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan kata-kata berikut:

“Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kepada Muhammad, Rasulullah, dari Najasyi Asyamah:
Semoga shalawat dan salam Allah terlimpah kepadamu, wahai Nabi Allah, sekaligus rahmat dan kasih sayang-Nya; Laa ilaaha illallaah.”

“Amma ba’du: Suratmu telah sampai padaku, wahai Rasulullah, termasuk apa yang engkau sebutkan mengenai ‘Isa. Demi Tuhan langit dan bumi, ‘Isa tidak melebihi dari apa yang engkau katakan. Bahkan, dia adalah apa yang engkau katakan. Kami telah mempelajarinya dengan apa yang engkau kirimkan kepada kami, dan kami telah menampung sepupumu dan para sahabatmu. Maka, aku bersaksi, dengan kebenaran dan keyakinan, bahwa engkau adalah Rasulullah, dan aku berbai’at kepadamu. Aku telah berbai’at kepada sepupumu dan, di tangannya, aku telah berserah diri pada Allah, Tuhan seluruh makhluk”
(Zad al-Ma’ad).

Jadi, setelah dipercaya untuk mengurus dan melindungi keluarga dan sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang mulia, hubungan Asyamah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam beralih ke babak baru. Dengan masuk Islam, dia telah membatalkan loyalitasnya kepada orang-orang kafir dan menggenggam ikatan Islam yang kuat, menjadikannya satu-satunya timbangan untuk menentukan hubungan dia dengan orang lain. Hal ini terwujud ketika dia memutus hubungan dengan kaisar Byzantium, Heraklius, dengan membatalkan pajak yang biasa ia bayarkan kepadanya. Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus ‘Amr bin Al-Ash kepada dua raja Oman dengan suratnya yang menyeru mereka untuk masuk Islam, 'Amr bertemu dengan yang lebih muda dari dua saudara yang memerintah negeri itu, menjawab beberapa pertanyaannya, dan memberitahunya bahwa Asyamah memeluk Islam. Raja itu menyatakan keyakinannya bahwa kaisar Byzantium, Heraklius, tidak menyadari hal ini, tapi 'Amr memberitahunya bahwa ia menyadari fakta ini. Ketika dia bertanya pada 'Amr bagaimana ia tahu hal ini, 'Amr berkata bahwa Asyamah biasa membayar pajak kepada Heraklius, tetapi setelah masuk Islam ia berhenti membayar pajak berikutnya, dan mengatakan, "Tidak, demi Allah! Jika ia meminta dariku satu dirham, aku tidak akan memberikannya" (Zad al-Ma'ad).

Ketika Asyamah wafat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk shalat ghaib bagi jenazahnya, hal ini dilakukan pertama kali dalam Islam. Beliau memberitahu sahabatnya tentang kematian raja Habasyah, dengan bersabda, "Seorang saleh telah wafat hari ini, maka bangkit dan mintakanlah ampunan bagi saudara kalian Asyamah" (Al-Bukhari).

Adapun Heraklius, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengirim Dihyah al-Kalbi radhiallahu ‘anhu kepada pemimpin Busra dengan suratnya agar ia akan meneruskannya ke Heraklius. 'Abdullah Ibnu 'Abbas radhiallahu ‘anhu menceritakan bahwa Abu Sufyan ibn Harb radhiallahu ‘anhu memberitahunya bahwa Heraklius datang padanya ketika ia bersama kafilah Quraisy melakukan bisnis di Syam selama periode Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan perjanjian damai dengan Abu Sufyan dan kafir Quraisy.

Maka ia dan sahabatnya datang ke Heraklius ketika dia berada di Yerusalem. Heraklius memanggil mereka ke istana dengan dihadiri pemimpin Romawi. Dia kemudian memanggil mereka ke depan dan memanggil penerjemah, dan kemudian berkata, "Siapa di antara kalian yang paling dekat kekerabatannya dengan orang ini yang mengklaim dirinya sebagai seorang nabi?" Abu Sufyan berkata, "Akulah yang paling dekat." Dia lalu berkata, "Bawa dia mendekat padaku dan biarkan mereka berdiri di belakangnya." Dia lalu berkata kepada penerjemah, "Katakan kepada mereka bahwa aku akan bertanya padanya tentang orang ini [Nabi], maka jika ia membohongiku mereka harus membantahnya."

Ketika mengisahkan peristiwa itu pada Ibnu 'Abbas, Abu Sufyan berkata, "Demi Allah, jika tidak karena aku takut mereka akan mendapatiku berbohong, aku akan berbohong tentang beliau. Lalu, hal pertama yang ia tanyakan adalah, 'Bagaimana kedudukan nasabnya di antara kalian?' Aku berkata, 'Beliau memiliki nasab yang mulia di antara kami.' Dia berkata, 'Adakah seseorang dari kalian pernah mengklaim seperti ini [kenabian]?" Aku berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Adakah salah satu dari leluhurnya seorang raja?" Aku berkata, 'Tidak.' Dia berkata, 'Apakah yang mengikutinya adalah dari kalangan bangsawan atau kalangan lemah?' Aku berkata, 'Kalangan lemah.' Dia berkata, 'Apakah jumlah mereka terus meningkat atau menurun?" Aku berkata, 'Mereka meningkat.’ Dia berkata, 'Adakah dari mereka yang meninggalkan agamanya karena tidak menyukainya setelah mereka masuk ke dalamnya? "Aku berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Apakah kamu pernah mendapatinya berbohong sebelum ia membuat klaim ini?’ Aku berkata, 'Tidak.’ Dia berkata, 'Apakah dia berkhianat?" Aku berkata, 'Tidak, tapi kami sedang dalam perjanjian damai dengannya dan tidak tahu apa yang akan ia lakukan dengannya." Aku tidak menemukan kesempatan untuk mengatakan sesuatu yang melawannya selain itu. Dia lalu berkata, 'Apakah kamu memeranginya?" Aku berkata, 'Ya.; Dia berkata, ‘Bagaimana hasil peperanganmu dengannya?’ Aku berkata, 'Perang antara kami bergantian menang dan kalah; ia mengalahkan kami dan kami mengalahkannya.’ Dia berkata, 'Apa yang ia perintahkan padamu?’ Aku berkata, 'Dia menyuruh kami, 'Sembahlah Allah saja dan jangan menyekutu-Nya, dan tinggalkan perkataan nenek moyangmu.’ Dia menyuruh kami untuk shalat, bersedekah, berkata jujur, menjaga kehormatan, dan menjaga silaturahim.”’

“Dia lalu berkata pada penerjemahnya, 'Katakan padanya, 'Aku bertanya padamu mengenai nasabnya dan kau katakan ia memiliki nasab yang mulia dari kaumnya. Demikianlah para Rasul; mereka berasal dari nasab yang mulia diantara kaumnya. Aku bertanya padamu adakah di antara kalian yang pernah membuat klaim serupa [kenabian] dan kau katakan ‘Tidak.’ Aku katakan pada diriku jika ada seseorang yang membuat klaim serupa sebelumnya, aku akan berpikir bahwa dia hanya seseorang yang meniru apa yang dilakukan orang lain sebelumnya. Aku bertanya padamu adakah dari leluhurnya yang seorang raja dan kau katakan, ‘Tidak.’ Aku katakan pada diriku jika ada dari leluhurnya yang pernah menjadi raja aku akan berpikir bahwa dia adalah seorang lelaki yang ingin mengambil kembali kerajaan leluhurnya. Aku bertanya padamu apakah kau pernah mendapatinya berbohong sebelum ia membuat klaim ini dan kau katakan, ‘Tidak.’ Dan yang aku tahu bahwa jika dia tidak menghindari berbohong tentang manusia maka ia juga akan berbohong tentang Allah. Aku bertanya padamu apakah yang mengikutinya dari kalangan bangsawan atau kalangan lemah dan kamu berkata bahwa kalangan lemahlah yang mengikutinya, dan memang, merekalah yang biasanya menjadi pengikut para Rasul. Aku bertanya padamu apakah jumlah mereka semakin bertambah atau berkurang dan kau katakan bahwa jumlah mereka terus bertambah, dan memang, begitulah perkara keimanan hingga ia sempurna. Aku bertanya padamu apakah ada yang meninggalkan agamanya karena tidak menyukainya setelah masuk ke dalamnya dan kau berkata, ‘Tidak,’ dan demikianlah keimanan ketika manisnya telah masuk ke hati dan bersatu dengannya. Aku bertanya padamu apakah ia berkhianat dan kau berkata, ‘Tidak.’ Dan begitulah para Rasul mereka tidak berkhianat. Aku bertanya padamu apa yang dia perintahkan padamu dan kau berkata bahwa perintahnya adalah untuk menyembah Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya, melarangmu dari menyembah berhala, menyuruhmu untuk shalat, berkata jujur, dan menjaga kehormatan. Jika yang kau katakan adalah benar maka tak lama lagi dia akan memiliki [kerajaan] yang ada di bawah kakiku. Sungguh, aku tahu bahwa ia akan muncul tapi aku tidak berpikir bahwa ia akan datang dari kalian (bangsa Arab). Jika aku yakin aku bisa mencapainya aku akan bersegera menemuinya, dan jika aku bersamanya aku akan mencuci kakinya.’”

Dia lalu meminta surat dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam – yang dikirim melalui Dihyah untuk pemimpin Busra yang kemudian diteruskan ke Heraklius – dan ia membacanya. Isi surat itu adalah sebagai berikut."

"'Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dari Muhammad, Rasulullah, kepada Heraklius, pemimpin Roma: Keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk.’”
“Amma ba’du: Aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam Islam dan kau akan selamat, dan Allah akan memberimu pahala dua kali. Tapi jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa [menyesatkan] rakyatmu.”

"'Selanjutnya: 'Hai Ahli Kitab, marilah [berpegang] pada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.' Namun jika mereka berpaling, maka katakan, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim [yang berserah diri kepada-Nya]'
(Ali 'Imran 64)”

"Ketika ia mengatakan apa yang dia katakan dan selesai membaca surat, terjadilah hiruk-pikuk dan suara-suara ribut, hingga mengusir kami. Ketika kami keluar, aku berkata pada temanku, 'Perkara [Muhammad] telah menjadi besar. Raja Romawi takut padanya.' Lalu aku senantiasa yakin bahwa ia akan meraih kejayaan hingga Allah membimbingku pada Islam." 

Dalam mempertimbangkan seruan Nabi, Heraklius menulis surat kepada temannya di Roma yang setara dengannya dalam ilmu, lalu ia melakukan perjalanan ke Homs. Sebelum pergi dari Homs, ia menerima balasan dari temannya di Roma, yang menyetujui pendapatnya bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam memang seorang nabi. Maka Heraklius memanggil para pembesar Byzantium ke istananya di Homs lalu memerintahkan agar pintu-pintu dikunci. Lantas dia berpidato pada mereka, mengatakan, "Wahai bangsa Rum, maukah kalian semua memperoleh kemenangan dan petunjuk sedangkan kerajaan kalian tetap utuh dengan berbai'at kepada nabi ini?" Lalu mereka lari ke pintu-pintu bagaikan keledai liar dan mendapatinya terkunci. Ketika Heraklius melihat mereka melarikan diri dan putus harapannya agar mereka menerima Islam, ia berkata, “Bawa mereka kembali padaku.” Ia kemudian mengatakan pada mereka, “Aku hanya mengucapkan apa yang kuucapkan untuk menguji keteguhan hati kalian pada agama kalian, dan aku telah melihatnya.” Maka mereka bersujud padanya dan ridha dengannya, dan inilah akhir kisah Heraklius terkait dengan Islam (Al-Bukhari).

Maka, kaisar Romawi memilih untuk menolak kebenaran – setelah jelas-jelas mengakuinya – dan tetap di atas kebathilan karena takut kehilangan kerajaan dan kekuasaan. Kurang dari dua tahun kemudian, di tahun ke-8 setelah hijrah nabi, peperangan antara umat Muslim dan Imperium Byzantium dimulai. Peperangan yang berlanjut selama beberapa tahun sebelum Byzantium terusir dari Syam secara total, setelah mereka mendapat kekalahan di Pertempuran Yarmuk, dan dipaksa mundur ke benteng mereka di Eropa. Jadi, Heraklius akhirnya kehilangan banyak dari kerajaannya, sebelum akhirnya mati beberapa tahun kemudian, meski telah mengorbankan keselamatan akhiratnya dalam usahanya yang sia-sia untuk mempertahankan kekuasaannya.

Adapun Jurayj, raja Koptik Mesir, Ibnul Qayyim menyebutkan dalam "Zad al- Ma'ad" bahwa surat Nabi disampaikan kepadanya oleh Hatib ibnu Abi Balta'ah radhiallahu ‘anhu. Surat itu berisi sebagai berikut:

"Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Dari Muhammad, hamba Allah, kepada Muqauqas, pemimpin umat Koptik: Keselamatan bagi yang mengikuti petunjuk."
“Amma ba’du: Sesungguhnya aku menyerumu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam Islam maka kau akan selamat. Masuklah ke dalam Islam maka Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Tapi jika kamu berpaling, maka kamu menanggung dosa [menyesatkan] umat Koptik.
“Hai Ahli Kitab, marilah [berpegang] pada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan suatu apapun dan tidak [pula] sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.' Namun jika mereka berpaling, maka katakanlah, 'Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim [yang berserah diri kepada-Nya]” (Ali 'Imran 64)."

Setelah memberikan surat kepadanya, Hatib menasihatinya, dengan berkata, "Sungguh, ada seorang lelaki sebelum kamu yang mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, Yang Maha Tinggi, sehingga Allah menghukumnya dengan hukuman yang dapat menjadi peringatan untuk yang pertama dan yang terakhir [dari kedzalimannya], menghukum orang lain dengannya dan kemudian menghukumnya. Maka jadikanlah ia sebagai pelajaran dan jangan biarkan orang lain menjadikanmu sebagai pelajaran." Dia lalu menjawab, "Sesungguhnya, kami memiliki agama yang tidak akan kami tinggalkan kecuali untuk yang lebih baik dari itu." Lalu Hatib berkata, "Kami menyerumu kepada agama Allah, ia adalah agama Islam yang mana Allah menurunkannya untuk menggantikan agama selainnya. Sesungguhnya, nabi ini mengajak manusia [kepada Islam]. Orang-orang yang paling keras memusuhinya adalah [suku] Quraisy, yang paling memusuhinya adalah orang-orang Yahudi, dan yang paling dekat [menerima] dengannya adalah umat Kristen. Aku bersumpah bahwa kabar gembira Musa mengenai Yesus adalah sebagaimana kabar gembira Yesus mengenai Muhammad, dan seruan kami kepada Al-Qur’an adalah sebagaimana seruan pengikut Taurat (yaitu kaum Yahudi) terhadap Injil. Jika ada nabi yang menjangkau suatu umat, mereka adalah orang-orang yang kepada merekalah risalah ditujukan, maka wajib bagi mereka untuk mematuhinya. Dan kalian adalah diantara orang-orang yang Nabi ini jangkau. Kami tidak menghalangimu dari agama Al-Masih yang benar, bahkan kami memerintahkanmu dengannya.” 

Meskipun Hatib menasihati dengan baik, Jurayj menolak seruan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tapi menanggapi dengan cara yang sopan, dengan menyatakan, "Sesungguhnya, aku telah melihat ke dalam urusan nabi ini dan mendapati bahwa dia tidak memerintahkan apa-apa yang tidak disukai atau melarang dari hal-hal yang diinginkan. Aku tidak mendapati bahwa ia seorang tukang sihir yang sesat atau dukun pembohong, dan aku telah mendapati tanda-tanda kenabian padanya dengan kemampuannya menyingkap apa-apa yang tersembunyi dan mengabarkan apa-apa yang dibicarakan secara rahasia, jadi aku akan memeriksanya." Dia kemudian mengambil surat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan meletakkannya di sebuah kotak dari gading lalu menyegelnya dan menyerahkannya kepada seorang budak perempuannya. Dia kemudian memanggil salah seorang juru tulisnya untuk menulis surat berikut kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

“Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Kepada Muhammad ibn ‘Abdillah dari Muqauqas, pemimpin umat Koptik: Semoga keselamatan bagimu. Amma ba’du.”

“Aku telah membaca suratmu dan mengerti apa yang engkau sebutkan di dalamnya dan apa yang kau seru kepadaku. Aku mengetahui bahwa masih ada seorang Nabi [yang belum datang] dan menyangka bahwa ia akan muncul dari Syam. Aku menghormati risalahmu, dan telah aku kirim kepadamu dua orang budak perempuan yang memiliki status yang tinggi diantara umat Koptik, dengan tambahan beberapa pakaian, dan menghadiahimu dengan keledai untuk kamu kendarai. Semoga keselamatan bagimu.”

Demikianlah, meskipun jawaban sopan yang ia berikan, ia tidak menerima Islam dan malah memilih untuk tetap di atas kekafirannya. Setelah menerima surat dan hadiah-hadiahnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan, "Lelaki jahat ini sedang mencengkeram kerajaannya, tapi kerajaannya tidak akan bertahan." Hanya beberapa tahun kemudian, ekspansi umat Muslim mencapai Mesir di masa Khalifah 'Umar shallallahu alaihi wa sallam, dan pemimpin pasukan Muslim di Mesir, 'Amr ibn al-'Ash radhiallahu ‘anhu, mencapai gerbang Aleksandria dan menawarkan Jurayj salah satu dari tiga pilihan: Islam, jizyah, atau perang. Dia memilih untuk membayar jizyah dalam kehinaan, sehingga mengakhiri kekuasaannya saat ia memilih untuk tetap hidup dalan kedamaian – dengan ditundukkan dan diturunkan dari tahta – daripada memasuki perang berkepanjangan dengan umat Muslim.

Oleh karena itu, jawaban yang berbeda dari ketiga pemimpin Kristen itu terhadap dakwah Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengantarkan mereka kepada nasib yang berbeda-beda. Asyamah memilih Islam dan dengannya menjaga kehidupan dunianya ditambah dengan mendapatkan kebahagiaan yang kekal di akhirat, sedangkan Jurayj dan Heraklius menolak dakwah, masing-masing memilih pilihan yang berbeda dalam berusaha untuk mempertahankan apa yang bisa ia pertahankan dari kehidupan dunianya. Jurayj memilih untuk membayar jizyah dengan harapan menghindari terjadinya pertumpahan darah dan perbudakan dalam waktu dekat dan memperoleh kedamaian, meskipun dalam keadaan terhina, dan penurunan tahta. Sementara itu, Heraklius, memilih perang, berharap dapat menghalau ancaman terhadap kedudukan dan hartanya, masing-masing berusaha mempertahankan secuil bagian dari kehidupan dunianya sembari mengorbankan keselamatan di akhirat, namun sebaliknya, masing-masing dari mereka harus kehilangan keduanya.

Ini adalah pilihan yang sama yang ditawarkan kepada umat Kristen hari ini. Mereka mempunyai pilihan untuk mencoba menggenggam kemewahan hidup yang sementara, menolak kebenaran dengan jalan antara membayar jizyah kepada Daulah Islam atau terus melancarkan perang perlawanan yang sia-sia terhadapnya. Atau, mereka dapat memperhatikan peringatan Allah bahwa kehidupan duniawi tidak terjamin bahkan bagi mereka yang mengejarnya dengan mengorbankan keselamatan mereka, sehingga mereka memilih untuk memeluk islam, meraih kebenaran, menggapai rahmat dari Tuhan mereka, dan masuk ke dalam Taman-Taman Surga.

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang [duniawi], maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Jahannam, ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arahnya dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah orang yang beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya akan dibalas dengan baik” (Al-Isra 18-19).


Source : DABIQ 15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...