Demokrasi dalam Pandangan Syariat Islam
(Mata-Media.Net) – Bagi
setiap Muslim, maka sudah seharusnya dalam melihat dan memandang sesuatu itu
harus dengan kacamata syariat Islam, dan bukan dengan syariat atau kacamata
lainnya. Termasuk dalam hal ini adalah ketika seseorang itu melihat dan
memandang apa dan bagaimana sistem Demokrasi.
Untuk diketahui yang Pertama
adalah, Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan
pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu,
apakah ia sesuai dengan al-Haq (kebenaran yang sesuai dengan Islam) atau tidak.
Al-Haq menurut pandangan Demokrasi dan kaum Demokrat adalah segala sesuatu yang
disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang
dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-Haq yang
mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu,
yaitu al-Haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Al-Haq adalah
ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh
mayoritas manusia. Sedangkan al-Bathil adalah ajaran yang dinyatakan bathil
oleh al-Qur’an dan Sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai
kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di
tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِى ٱلْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾
“DAN
JIKA KAMU MENURUTI KEBANYAKAN ORANG-ORANG YANG DI MUKA BUMI INI, NISCAYA MEREKA
AKAN MENYESATKANMU DARI JALAN ALLAH.
MEREKA
TIDAK LAIN HANYALAH MENGIKUTI PERSANGKAAN BELAKA, DAN MEREKA TIDAK LAIN
HANYALAH BERDUSTA (TERHADAP ALLAH)”.
(QS. Al-An’aam 6 : 116)
إِنَّ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ
يُصْدِقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ
“Sesungguhnya
diantara para Nabi ada yang tidak di imani oleh umatnya kecuali hanya seorang
saja”.
(HR. Ibnu Hibban)
Jika dilihat dengan kacamata
Demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, dimanakah posisi Nabi dan
pengikutnya ini? Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya
kepada Amr bin Maimun, “Jumhur jama’ah adalah orang yang memisahkan diri dari
al-Jama’ah. Sedangkan al-Jama’ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran
(al-Haq) meskipun hanya dirimu seorang”.
Ibnu Qayyim rahimahullah
di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “Ketahuilah bahwa ijma’, hujjah,
sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas
al-Haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini
menyelisihinya”.
Kemudian
yang Kedua adalah, Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan
dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi
kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme
ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat
syar’i (bagian dari syari’ah.
Sikap ini tentu bertentangan
dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridha
sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah
dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada
Rabb-nya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar
tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ
اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ () يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ
فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang
keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari”.
(QS. Al-Hujurat 49 : 1-2)
Kalau hanya meninggikan suara
di atas suara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja bisa sampai
menghapuskan pahala amal perbuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan
kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih
mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh
Rasulullah? Maka tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih
besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya. Allah berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ
وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka”.
(QS. Al-Ahzab 33 : 36)
Tetapi Demokrasi akan mengatakan, “Ya, harus
diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah”.
Maka perhatikanlah ayat ini,
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim ter-hadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu ke-beratan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
(QS. An-Nisa 4 : 65)
Ketiga adalah,
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah
manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan
berbagai cara yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk
kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara
yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan
sistem kapitalisme liberal.
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran
Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah Ta’ala. Dan
bahwasannya manusia diminta untuk menjadi Khalifah saja terhadap harta kekayaan
itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana
ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan.
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari
harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap,
dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta
untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’.
Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya
sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa
mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan
diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan
diberikan balasan adzab yang pedih.
Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan
dalam firman Allah,
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ
الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ
مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ
“Katakanlah:
“Wahai Rabb yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang
Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki”.
(QS. Ali Imran 3 : 26)
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ
فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
“Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan
memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh”.
(QS. at-Taubah; 9:111)
Jiwa adalah milik Allah, maka
Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang Mukmin–
untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka,
sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak mengirim
seseorang atau sariyah (sekelompok pasukan) menuju medan jihad, beliau
berpesan,
إِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ
وَلَهُ مَا أَعْطَى
“Sesungguhnya
kepunyaan Allah lah apa yang Dia ambil dan kepunyaan-Nya juga yang Dia
berikan”.
(HR. Bukhari dan Abu Dawud)
Selanjutnya, seseorang tidak
memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia
bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya
adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Secara ringkas, inilah sistem
Demokrasi!!! Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa
ada keraguan sedikit pun bisa disimpulkan bahwa Demokrasi dalam pandangan hukum
Allah (Islam) adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang
samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata
hatinya serta yang ada kepentingan duniawi belaka.
Adapun orang yang meyakininya,
menyerukannya, menerima dan meridhainya, atau bahkan ikut berpartisipati
didalamnya (seperti ikut nyoblos atau nyontreng, menjadi caleg) dan beranggapan
–dasar dan prinsip yang mendasari bangunan Demokrasi– sebagai kebaikan yang
tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah Kafir dan Murtad
dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya
termasuk Muslim dan Mukmin. Islam dan sikap seperti ini (yang berpartisipasi
dalam Demokrasi dan Pemilu) tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah
selamanya. Wallahu a’lam..
source: mata-media.net
Kacauuuu.... gua pantau beberapa tulisan, kok ekstrim bat... ehhh ternyata sumbernya dari teroris... wkwkkwwkw
BalasHapus