Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 38 – 44 )
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman
Aman Abdurrahman
(39) Makhluk Pertama
Makhluk yang
pertama kali diciptakan Allah ‘azza wa jalla dari golongan manusia adalah Adam ‘alaihissalam, dan dari sekalian makhluk
di alam ini adalah qalam (pena), sedangkan Arasy Allah sudah ada
sebelum pena sebagaimana Allah berfirman:
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّيْ
خَلِقٌ بَشَرٌ مِّنْ طِيْنٍ
“(ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan
menciptakan manusia dari tanah".
(Shaad:
71)
Ayat ini
menegaskan bahwa manusia pertama adalah Adam, dia diciptakan langsung dengan tangan Allah dari
tanah, tiada manusia sebelum Adam, sehingga di dalam hadits Adam dipanggil
dengan panggilan Abul Basyar (Ayah Manusia), maka barangsiapa mengatakan bahwa
manusia itu terbentuk dari kera atau dari makhluk yang lebih kecil darinya,
kemudian setelah lama berubah dan beradaptasi sehingga menjadi manusia, maka
dia telah keluar dari Islam karena telah mengingkari ayat Al Qur’an dan hadits
nabi yang tidak menerima ta’wil sebagaimana yang dijelaskan
oleh para ulama.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
أَوَّلُ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمُ فَقَالَ
لَهُ : أُكْتُبْ
“Yang
pertama kali diciptakan Allah adalah Al Qalam (pena) kemudian Dia berfirman: “Tulislah!”
(HR.
Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadits ini ada
kemungkinan satu kalimat dan ada kalimat dua kalimat, dan bila satu kalimat
-dan ini yang benar- maka maknanya: di saat awal Allah menciptakan pena, Dia
langsung befirman kepada-Nya: “Tulislah” sebagaimana dalam lafadz yang
lain:
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللهُ الْقَلَمَ فَقَالَ
لَهُ : أُكْتُبْ
“Di awal Allah menciptakan pena, Dia langsung
berfirman kepadanya: “Tulislah”
Dengan dibaca
nashab “awwala” dan “al
qalama”. Dan
bila hadits itu mengandung dua kalimat, yaitu yang diriwayatkan dengan dibaca
rafa’ “awwalu” dan “al
qalamu” maka
maknanya bahwa qalam itu makhluk pertama dari alam ini, bukan makhluk pertama
secara mutlak. Pena lebih awal lebih awal dibandingkan makhluk-makhluk di alam
ini. Namun Arasy lebih awal daripada qalam, karena Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قَدَّرَ اللهُ مقدِرَ الْخلقِ قبل أن يخلق
السَّموات و الأرض بِخمسين ألف سنةٍ وكان عرشه على الماءِ
“Allah
telah mentaqdirkan taqdir-taqdir semua makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi, sedangkan Arasy-Nya telah ada di atas air”
(HR.
Muslim)
Penetapan taqdir
ini berbarengan dengan penciptaan qalam, karena qalam langsung diperintahkan
untuk menulis di awal penciptaannya, sebagaimana di dalam sebagian lafadz
hadits: “Tatkala Allah menciptakan qalam, Dia
langsung berfirman kepada-Nya: “Tulislah!”, dan di dalam lafadz yang lain: “Pada
awal Allah menciptakan qalam, Dia langsung berfirman kepadanya: “Tulislah”, sedangkan Arasy itu sudah
ada sebelum penetapan taqdir. [Syarah Al Aqidah Ath Thahawiyyah:
345]
(40) Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam Diciptakan Dari
Sperma Seperti Manusia Biasa
Penciptaan
Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam dari nuthfah
(sperma)
seperti manusia biasa. Sebagaimana firman Allah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
هُوَ الَّذِى خَلَقَكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ
مِنْ نُّطْفَةٍ
“Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani”
(Al
Mu’min: 67)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَحَدُكُمْ يُجْمَعُ خلقه فِي بَطْنِ
أُمِّهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا نُطْفَةً ....
“Sesungguhnya,
setiap orang dari kamu diproses penciptaannya di dalam perut ibunya selama 40 hari,
sebagai nuthfah (sperma)”
(Muttafaq
‘alaih)
(41) Hukum Jihad
Jihad hukumnya
wajib, dengan harta, jiwa dan lisan, dan jihad itu terus berlaku hingga hari
kiamat, sebagaiman firman Allah ‘azza wa jalla:
أنْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَ جَهَدُوْا بِأَمْوَالِكُمْ
وَ أَنْفُسِكُمْ فِيْ سَلِيْلِ اللهِ
“Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah”
(At
Taubah: 41)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
جَاهِدُوا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُكْ وَ أَلْسِنَتِكُمْ
“Perangilah
orang-orang musyrik itu dengan harta, jiwamu, dan lisanmu”
(HR.
Abu Dawud)
(42) Makna Loyal (Wala) Kepada Sesama Muslim
Loyal kepada
sesama muslim adalah dengan mencintainya, membelanya, serta menolong mereka
yang beriman lagi bertauhid. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَ الْمُؤْمِنَتُ بَعْضُهُمْ
أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain”. (At
Taubah: 71)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
ألمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشدُّ
بَعْضُهُمْ بَعْضًا
“Seorang
mukmin terhadap mukmin yang lainnya bagaikan bangunan, satu sama lainnya saling
menguatkan”. (HR. Muslim)
(43) Tidak Ada Loyal Terhadap Orang Kafir
Tidak, tidak
boleh berwala’ (berloyal) kepada orang kafir dan tidak pula membela mereka,
sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَإِنَّهُ
مِنْهُمْ
“Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu
termasuk golongan mereka” (Al Maidah:
51)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ ال بنِي فُلَانٍ لَيْسَ لِى بِأَولِيَاء
“Sesungguhnya
bani (suku) si fulan itu bukanlah para waliku” (Muttafaqun
‘alaih)
Di antara bentuk
wala’ kepada orang kafir adalah membantu, bahu-membahu dengan orang-orang kafir
dalam rangka menindas dan memerangi orang muslim, bahkan ini merupakan pembatal
keislaman. Banyak sekali para penguasa di negeri kaum muslimin yang sengaja
mencari muka, dan menjilat terhadap negara kafir, mereka memberangus dan
menekan umat Islam, inilah di antara bentuk loyal kepada orang kafir yang
membatalkan keislamannya.
(44) Wali Allah
Wali Allah yaitu
orang yang beriman kepada Allah ‘azza wa jalla lagi bertaqwa sebagaiman
firman-Nya ‘azza wa jalla:
أَلَآ إِنَّ أَوْلِيَآءَ اللهِ لَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَ لَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ () الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَ كَانُوا
يَتَّقُونَ
“Ingatlah, Sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa”.
(Yunus:
62-63)
Ayat ini secara
gamlang menerangkan bahwa wali Allah Subhanahu Wa
Ta'ala adalah
orang mukmin yang bertaqwa, dan sebagaimana derajat keimanan itu bertingkat-tingkat,
maka demikian juga derajat kewalian itu, namun yang jelas bahwa semua orang
mukmin yang bertaqwa adalah wali Allah. Wali Allah yang paling tinggi adalah
para rasul dan para nabi, kemudian para shahabat nabi, dan seterusnya. Dengan demikian
kita mengetahui bahwa wali Allah itu bukanlah golongan tertentu saja, terus wali
itu tidak identik dengan karomah, karena karomah itu bukan syarat ada atau tidaknya
kewalian, serta tidak setiap wali diberi karomah, dan sebenarnya karomah itu adalah
salah satu bentuk pahala yang disegerakan di dunia sehingga sebagian para wali Allah
ketika diberi karomah, mereka taubat darinya. Para wali selain para wali dan
rasul tidak ma’shum, dan bila ada sesuatu yang luar biasa pada
diri seseorang, kita tidak boleh langsung mengatakan bahwa dia itu wali Allah
dan hal itu karomah, sehingga kita bisa menilai apakah dia itu mengikuti ajaran
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam atau tidak? Bila iya, berarti
itu adalah karomah, namun bila tidak maka dia itu adalah wali syaitan, dan hal
luarbiasa itu adalah tipu daya syaitan atau bisa jadi istidraj. Dan orang tidak bisa
menjadi wali Allah ‘azza wa jalla kecuali bila mengikuti syari’at yang dibawa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا وَلِيِّيَ الله وَ صَالِح المؤمِنِين
“Sesungguhnya
penolongku adalah Allah, dan orang yang shaleh dari orang-orang mukmin”
(Muttafaq
‘alaih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar