8/24/2019

HUKUM ASAL DARAH ORANG KAFIR - Ibnu Qudamah An Najdi


HUKUM ASAL DARAH
ORANG KAFIR
 Oleh : Ibnu Qudamah An Najdi
  

Perlu diketahui, pada asalnya hubungan kaum muslimin dengan orang kafir adalah hubungan perang, darah dan harta mereka halal, tidak ada damai dan perlindungan. Ini berdasarkan firman Alloh ta‘ala:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوْكُمْ وَ الْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيْهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِيْنَ

“Dan bunuhlah mereka di manapun kalian jumpai mereka dan usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu, dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan. Dan janganlah kalian perangi mereka di Masjidil Haram sampai mereka memerangi kalian. Maka jika mereka memerangi, perangilah mereka, demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
[Al-Baqoroh: 191]

Alloh ta‘ala juga berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَايُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
[At-Taubah: 29]

Alloh ta‘ala juga berfirman:

وَ قَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّيْنُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang dzalim.”
[Al-Baqoroh: 193]

Alloh ta‘ala juga berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَ يَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنْ انْتَهَوا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْلَمُونَ بَصِيْرٌ

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
[Al-Anfal: 39]

Jadi, negara-negara di dunia ini, hubungannya dengan kaum muslimin adalah: Kalau bukan negara harbi (yang berstatus perang), maka negeri ‘ahd (yang terikat dengan perjanjian damai). Pada asalnya, keadaan negara kafir adalah negara harbi, boleh diperangi dengan segala bentuk jenis peperangan sebagaimana yang dilakukan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Dahulu, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah mencegat kafilah-kafilah dagang negara-negara harbi seperti ketika beliau mencegat kafilah kaum Quraisy. Beliau juga pernah mengambil penduduk negara-negara kafir sebagai gadai ketika itu diperlukan, sebagaimana ketika beliau mengambil seorang lelaki Bani ‘Uqoil sebagai tawanan sebagai balasan dari dua shahabat beliau yang ditawan oleh Tsaqîf.

Pernah juga beliau melakukan ightiyal (membunuh diam-diam) sebagaimana ketika beliau memerintahkan untuk membunuh Kholid Al-Hudzali, Ka‘b Al-Asyrof dan Salamah bin Abil Huqoiq. Dua orang terakhir ini tadinya adalah orang kafir mu‘ahad (terikat perjanjian) lalu mereka melanggar janjinya sehingga beliau mengizinkan untuk membunuh keduanya.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga menfatwakan bolehnya membunuh wanita, orang tua dan anak-anak di negeri kafir harbi jika mereka tidak terpisahkan dan tidak mungkin bisa mencapai pasukan perang musuh kecuali dengan terbunuhnya mereka, sebagaimana yang beliau lakukan ketika menyerang Tho’if, beliau membombardir mereka dengan munjanik.

Jadi, terhadap negara-negara kafir harbi tidaklah ada batasan-batasan syar‘i yang melarang menimpakan marabahaya kepada mereka kecuali dengan sengaja menyerang wanita, anak-anak dan orang tua dan jika mereka terpisah atau tidak membantu perang dan permusuhan, dan ketika kita tidak merasa perlu untuk menimpakan hukuman setimpal kepada orang kafir, sebagaimana yang akan kita terangkan nanti.

Jadi, negara terbagi menjadi dua, harbi –dan inilah hubungan asli terhadapnya– dan negara mu‘ahad.

Ibnul Qoyyim berkata di dalam Zadul Ma‘ad (III/ 159) menyebutkan tentang keadaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pasca hijroh:
“Kemudian, Status orang-orang kafir di hadapan Nabi SAW setelah perintah jihad ada tiga macam:

- Orang kafir yang terikat perjanjian damai dan gencatan senjata.
- Orang kafir harbi. Dan,
- Orang kafir dzimmi.”

Sedangkan negara-negara yang kita bahas di atas tidak mungkin kita nilai berstatus dzimmi, kalau tidak harbi atau mu‘ahad. Sebab dzimmah (dzimmi) adalah hak perorangan yang tinggal di negeri Islam.

Sedangkan orang kafir, jika bukan berstatus mu‘ahad atau dzimmi, maka pada asalnya dia adalah harbi; halal darahnya, hartanya dan kehormatannya (artinya boleh ditawan dan dijadikan budak, penerj.).

Syaikhul Islam berkata di dalam Al-Fatawa (32/ 343), “Dan jika seseorang berstatus kafir harbi, maka peperangan yang ia lancarkan (terhadap kaum muslimin) menjadikan halal untuk membunuhnya, mengambil hartanya dan menjadikannya sebagai budak.”

Disebutkan dalam riwayat Bukhori dari Ibnu ‘Abbas RA mengenai klasifikasi orang-orang musyrik di zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengatakan, “Orang-orang musyrik berada dalam dua posisi di hadapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum mukminin: Orang musyrik harbi: beliau memerangi mereka dan mereka memerangi beliau; dan kaum musyrik yang mengikat perjanjian damai: beliau tidak memerangi mereka dan mereka tidak memerangi beliau.”

Perang melawan orang kafir telah diwajibkan di mana saja mereka berada, di mana saja mereka dijumpai dan dapat dilumpuhkan sampai mereka mengucapkan La ilaaha illalloooh (baca: masuk Islam).

Di dalam Shohih Muslim disebutkan dari Jabir ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaaha illallooh. Jika mereka sudah mengatakannya, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya dan perhitungannya kepada Alloh.”
Kemudian beliau membaca: Inamaa Anta Mudzakkir.. Lasta ‘Alaihim bimushothir.” (Tidak lain dirimu adalah pemberi peringatan, kamu tidak berkuasa atas mereka.)
[Al-Ghosyiyah: 21-22]

Perjanjian damai adalah satu cabang dari hukum asal ini, yang datang belakangan dan dilakukan sesuai dengan nilai maslahatnya bagi din (agama).

Oleh karena itu, Asy-Syafi‘i berkata dalam Al-Umm: “Karena asal kewajiban adalah memerangi orang-orang musyrik sampai mereka beriman atau  memberikan jizyah.”

Di bagian lain beliau mengatakan:
“Memerangi mereka sampai masuk Islam adalah kewajiban jika memang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka.”

Ibnu Qudamah berkata di dalam Al-Mughni:
“Minimal Rosululloh Sollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad sekali dalam setahun, sebab jizyah itu wajib dibayar setiap tahun oleh ahlu dzimmah, jizyah adalah ganti dari bantuan yang diberikan. Demikian juga dengan jihad, ia wajib dilakukan setahun sekali kecuali bagi orang yang berudzur, seperti jika kaum muslimin masih lemah dalam hal jumlah pasukan dan logistik, atau sedang menunggu bantuan yang ditunggu-tunggu, atau jalan menuju musuh terdapat penghalang atau…dst.”

Dari sini bisa difahami bahwa pada asalnya hubungan dengan orang kafir adalah senantiasa perang, bukan senantiasa damai.

Sesungguhnya, syari‘at Islam mengharamkan darah kaum muslimin, haram menodai kehormatan mereka, mengambil harta mereka, dan menimpakan marabahaya kepada mereka dengan bentuk apapun, baik secara langsung maupun tidak, kecuali bila didasari dengan tuntutan syar‘i. Berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِيءٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ : اَلثَّيِّبُ الزَّانِيْ, وَ النَّفْسُ بِالنَّفْسِ, وَ التَّارِكِ لِدِيْنِهِ اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: nyawa dibalas nyawa, orang sudah menikah yang berzina dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama‘ah.”

Tiga kondisi dalam hadits inilah yang menjadikan darah kaum muslimin halal, walaupun masih ada perselisihan pendapat di kalangan para fuqoha’ mengenai apakah hadits ini untuk membatasi atau sebagai sebagian contoh saja.

Untuk orang non muslim, hukum asalnya tidak haram, tapi sebaliknya: halal. Maka orang kafir halal darahnya, hartanya dan kehormatannya –artinya untuk dijadikan tawanan—. Darah, harta dan kehormatannya serta menimpakan bahaya kepadanya tidaklah haram kecuali bila ada hukum yang muncul belakangan, seperti terjalinnya ikatan janji, adanya jaminan (dzimmah) dan jaminan keamanan.

Adapun kaum wanita, anak kecil, orang tua dan orang yang tidak turut menjadi pasukan perang (bukan kelompok militer atau rakyat sipil dalam istilah kita, penerj.) dan bukan orang yang membantu peperangan maka hukum asalnya adalah terlindungi, karena ada nash khusus yang berlaku atas mereka.


Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...