HUKUM ASAL DARAH
ORANG KAFIR
Oleh : Ibnu Qudamah An Najdi
Perlu diketahui, pada asalnya
hubungan kaum muslimin dengan orang kafir adalah hubungan perang, darah dan
harta mereka halal, tidak ada damai dan perlindungan. Ini berdasarkan firman
Alloh ta‘ala:
وَاقْتُلُوهُمْ
حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوْكُمْ وَ
الْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيْهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ
كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِيْنَ
“Dan bunuhlah mereka di
manapun kalian jumpai mereka dan usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu,
dan fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan. Dan janganlah kalian perangi
mereka di Masjidil Haram sampai mereka memerangi kalian. Maka jika mereka
memerangi, perangilah mereka, demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.”
[Al-Baqoroh:
191]
Alloh
ta‘ala juga berfirman:
قَاتِلُوا
الَّذِيْنَ لَايُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang
Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama
Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar
jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
[At-Taubah:
29]
Alloh
ta‘ala juga berfirman:
وَ قَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّيْنُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوا فَلَا
عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِيْنَ
“Dan perangilah mereka sampai
tidak ada fitnah dan agama itu menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka tidak
ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang dzalim.”
[Al-Baqoroh:
193]
Alloh
ta‘ala juga berfirman:
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ وَ يَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنْ
انْتَهَوا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْلَمُونَ بَصِيْرٌ
“Dan perangilah mereka sampai
tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti,
maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
[Al-Anfal:
39]
Jadi, negara-negara di dunia
ini, hubungannya dengan kaum muslimin adalah: Kalau bukan negara harbi (yang berstatus
perang), maka negeri ‘ahd (yang terikat dengan perjanjian damai). Pada asalnya,
keadaan negara kafir adalah negara harbi, boleh diperangi dengan segala bentuk
jenis peperangan sebagaimana yang dilakukan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dahulu, Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam pernah mencegat kafilah-kafilah dagang negara-negara harbi
seperti ketika beliau mencegat kafilah kaum Quraisy. Beliau juga pernah
mengambil penduduk negara-negara kafir sebagai gadai ketika itu diperlukan,
sebagaimana ketika beliau mengambil seorang lelaki Bani ‘Uqoil sebagai tawanan sebagai
balasan dari dua shahabat beliau yang ditawan oleh Tsaqîf.
Pernah juga beliau melakukan
ightiyal (membunuh diam-diam) sebagaimana ketika beliau memerintahkan untuk
membunuh Kholid Al-Hudzali, Ka‘b Al-Asyrof dan Salamah bin Abil Huqoiq. Dua
orang terakhir ini tadinya adalah orang kafir mu‘ahad (terikat perjanjian) lalu
mereka melanggar janjinya sehingga beliau mengizinkan untuk membunuh keduanya.
Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam juga menfatwakan bolehnya membunuh wanita, orang tua dan
anak-anak di negeri kafir harbi jika mereka tidak terpisahkan dan tidak mungkin
bisa mencapai pasukan perang musuh kecuali dengan terbunuhnya mereka,
sebagaimana yang beliau lakukan ketika menyerang Tho’if, beliau membombardir mereka
dengan munjanik.
Jadi, terhadap negara-negara
kafir harbi tidaklah ada batasan-batasan syar‘i yang melarang menimpakan marabahaya
kepada mereka kecuali dengan sengaja menyerang wanita, anak-anak dan orang tua
dan jika mereka terpisah atau tidak membantu perang dan permusuhan, dan ketika
kita tidak merasa perlu untuk menimpakan hukuman setimpal kepada orang kafir,
sebagaimana yang akan kita terangkan nanti.
Jadi, negara terbagi menjadi
dua, harbi –dan inilah hubungan asli terhadapnya– dan negara mu‘ahad.
Ibnul Qoyyim berkata di dalam
Zadul Ma‘ad (III/ 159) menyebutkan tentang keadaan Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam pasca hijroh:
“Kemudian, Status orang-orang kafir di hadapan
Nabi SAW setelah perintah jihad ada tiga macam:
- Orang kafir yang terikat
perjanjian damai dan gencatan senjata.
- Orang kafir harbi. Dan,
- Orang kafir dzimmi.”
Sedangkan negara-negara yang
kita bahas di atas tidak mungkin kita nilai berstatus dzimmi, kalau tidak harbi
atau mu‘ahad. Sebab dzimmah (dzimmi) adalah hak perorangan yang tinggal di
negeri Islam.
Sedangkan orang kafir, jika
bukan berstatus mu‘ahad atau dzimmi, maka pada asalnya dia adalah harbi; halal
darahnya, hartanya dan kehormatannya (artinya boleh ditawan dan dijadikan
budak, penerj.).
Syaikhul Islam berkata di
dalam Al-Fatawa (32/ 343), “Dan jika seseorang berstatus kafir harbi, maka
peperangan yang ia lancarkan (terhadap kaum muslimin) menjadikan halal untuk
membunuhnya, mengambil hartanya dan menjadikannya sebagai budak.”
Disebutkan dalam riwayat
Bukhori dari Ibnu ‘Abbas RA mengenai klasifikasi orang-orang musyrik di zaman
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, beliau mengatakan, “Orang-orang musyrik
berada dalam dua posisi di hadapan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kaum
mukminin: Orang musyrik harbi: beliau memerangi mereka dan mereka memerangi
beliau; dan kaum musyrik yang mengikat perjanjian damai: beliau tidak memerangi
mereka dan mereka tidak memerangi beliau.”
Perang melawan orang kafir
telah diwajibkan di mana saja mereka berada, di mana saja mereka dijumpai dan
dapat dilumpuhkan sampai mereka mengucapkan La ilaaha illalloooh (baca: masuk
Islam).
Di dalam Shohih Muslim
disebutkan dari Jabir ia berkata: Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaaha illallooh. Jika mereka sudah
mengatakannya, darah dan harta mereka terlindungi dariku kecuali dengan haknya
dan perhitungannya kepada Alloh.”
Kemudian beliau membaca: Inamaa
Anta Mudzakkir.. Lasta ‘Alaihim bimushothir.” (Tidak lain dirimu adalah
pemberi peringatan, kamu tidak berkuasa atas mereka.)
[Al-Ghosyiyah:
21-22]
Perjanjian
damai adalah satu cabang dari hukum asal ini, yang datang belakangan dan
dilakukan sesuai dengan nilai maslahatnya bagi din (agama).
Oleh karena
itu, Asy-Syafi‘i berkata dalam Al-Umm: “Karena asal kewajiban adalah memerangi
orang-orang musyrik sampai mereka beriman atau memberikan jizyah.”
Di
bagian lain beliau mengatakan:
“Memerangi mereka sampai masuk Islam adalah kewajiban
jika memang memiliki kekuatan untuk menaklukkan mereka.”
Ibnu Qudamah berkata di dalam
Al-Mughni:
“Minimal Rosululloh
Sollallohu ‘alaihi wa sallam berjihad sekali dalam setahun, sebab jizyah itu
wajib dibayar setiap tahun oleh ahlu dzimmah, jizyah adalah ganti dari bantuan yang
diberikan. Demikian juga dengan jihad, ia wajib dilakukan setahun sekali
kecuali bagi orang yang berudzur, seperti jika kaum muslimin masih lemah dalam
hal jumlah pasukan dan logistik, atau sedang menunggu bantuan yang ditunggu-tunggu,
atau jalan menuju musuh terdapat penghalang atau…dst.”
Dari sini bisa difahami bahwa
pada asalnya hubungan dengan orang kafir adalah senantiasa perang, bukan senantiasa
damai.
Sesungguhnya, syari‘at Islam
mengharamkan darah kaum muslimin, haram menodai kehormatan mereka, mengambil harta
mereka, dan menimpakan marabahaya kepada mereka dengan bentuk apapun, baik
secara langsung maupun tidak, kecuali bila didasari dengan tuntutan syar‘i.
Berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا يَحِلُّ دَمُ
امْرِيءٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ : اَلثَّيِّبُ الزَّانِيْ, وَ النَّفْسُ
بِالنَّفْسِ, وَ التَّارِكِ لِدِيْنِهِ اَلْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang
muslim kecuali dengan salah satu dari tiga perkara: nyawa dibalas nyawa, orang
sudah menikah yang berzina dan orang yang meninggalkan agamanya serta
memisahkan diri dari jama‘ah.”
Tiga kondisi dalam hadits
inilah yang menjadikan darah kaum muslimin halal, walaupun masih ada perselisihan
pendapat di kalangan para fuqoha’ mengenai apakah hadits ini untuk membatasi
atau sebagai sebagian contoh saja.
Untuk orang non muslim, hukum
asalnya tidak haram, tapi sebaliknya: halal. Maka orang kafir halal darahnya, hartanya
dan kehormatannya –artinya untuk dijadikan tawanan—. Darah, harta dan
kehormatannya serta menimpakan bahaya kepadanya tidaklah haram kecuali bila ada
hukum yang muncul belakangan, seperti terjalinnya ikatan janji, adanya jaminan
(dzimmah) dan jaminan keamanan.
Adapun kaum wanita, anak
kecil, orang tua dan orang yang tidak turut menjadi pasukan perang (bukan
kelompok militer atau rakyat sipil dalam istilah kita, penerj.) dan bukan orang
yang membantu peperangan maka hukum asalnya adalah terlindungi, karena ada nash
khusus yang berlaku atas mereka.
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar