Syubhat Kedelapan:
Barangkali Ada Yang
Mengatakan,
‘Kalaulah Kami Terima
Pendapat Kalian ini,
Maka Sesungguhnya Ini Berlaku
Ketika Dalam Kondisi Perang, Sedangkan Antara Kita Dan Amerika Adalah Kondisi
Damai, Sebab Ada Mu‘âhadah (Adanya Perjanjian) Yang Harus Dipenuhi
Jawaban:
Pertama:
Sudah jelas dari pemaparan sebelumnya dan tidak menyisakan tempat untuk ragu,
bahwa Amerika adalah negara yang memerangi kaum muslimin secara umum, tidak ada
yang membantahnya kecuali orang yang sombong.
Kedua:
Kalaulah kita setuju ada mu‘ahadah, apa yang kalian katakan tentang perbuatan
Abu Bashir dan larinya dia ke daerah Tepi Pantai lalu menyerang orang-orang
kafir, setelah itu orang yang masuk Islam yang lari membawa agamanya bergabung
kepadanya? Apakah kalian akan menganggap perbuatannya haram?
Jika
iya, berarti kalian telah mencela Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menyebut
beliau telah membatalkan janji –dan itu mustahil bagi beliau—, karena
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membenarkan hal itu, beliau bersabda,
“Tsakilathu Ummuhu, Abu Bashir adalah pengobar perang seandainya bersamanya para
perwira.” (Ini adalah riwayat Bukhori)
Sekarang,
tidak ada alasan buat Anda untuk mengatakan bahwa masa sekarang ini termasuk
dalam kondisi perjanjian. Jika Anda mengatakan hal itu, kami katakan kepada
Anda: Kondisi yang kita alami sekarang ini bukan termasuk dalam kondisi
perjanjian, wahai para penghalang dan pelemah semangat jihad…
Jika
Anda hendak menilai kondisi yang sedang kita hadapi sekarang, Anda mesti
mendatangkan dalil tentangnya.
Ketiga:
Perjanjian umum –menurut Anda tadi— sudah batal berdasarkan alasan berikut:
1. Perjanjian itu tidak dilangsungkan oleh Imam Tertinggi kaum
muslimin. Maka perjanjian itu berlaku khusus bagi yang mengadakan akad dengan
Amerika jika yang mengadakannya adalah seorang penguasa yang berhukum dengan
hukum Islam. Jika tidak maka tidak, dan seribu kali tidak..
2. Perjanjian itu waktunya tidak terbatas, sehingga itu batil.
Karena sekarang ini sudah lebih dari 150 tahun kaum muslimin tidak terjun dalam
kancah perang tholabi terhadap orang kafir, dan ini adalah batil serta tidak diperbolehkan.
Makanya, Ibnu Qudamah berkata, “Minimal, jihad dilaksanakan
setahun sekali; sebab jizyah itu wajib atas Ahlu Dzimmah setiap tahun dan itu
merupakan ganti dari pemberian perlindungan. Maka begitu juga dengan pengganti
jizyah, yaitu jihad; ia wajib dilaksanakan setahun sekali kecuali ada uzur,
seperti karena kaum muslimin masih lemah dari segi jumlah dan logistiknya, atau
sedang menunggu bantuan yang diminta, atau jalan yang hendak mereka lewati ke
arah musuh ada penghalang, atau di sana tidak ada makanan dan minuman, atau ia
mengetahui bahwa musuhnya punya pandangan bagus terhadap Islam, sehingga besar
harapan mereka masuk Islam jika perang terhadap mereka ditunda, atau hal lain
yang dipandang sebagai mashlahat ketika perang tidak dilaksanakan. Maka boleh
tidak melaksanakan jihad dalam rangka gencatan senjata.
Karena Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dulupun membuat
perjanjian damai dengan kaum Quraisy selama dua puluh tahun dan menunda
peperangan terhadap mereka sampai mereka sendiri yang membatalkan janjinya,
beliau juga menunda perang terhadap para kabilah Arab tanpa adanya gencatan
senjata. Jika satu tahun diperlukan perang lebih dari satu kali, hal itu wajib dilaksanakan;
sebab itu adalah fardhu kifâyah, sehingga wajib dilaksanakan kapan diperlukan.
Dan sebagaimana ditetapkan para ulama, jika mu‘ahadah lebih dari batas waktu
yang ditentukan, batallah sisa waktu yang lebih tersebut.
3. Perjanjian itu adalah perjanjian mengenai perkara haram, maka
tidak ada kata mendengar dan taat di dalamnya, yang bernilai haram di sana
adalah penihilan jihad dan penghapusan pilar penegak Islam dengan alasan
menjaga perdamaian dunia.
4. Tetap berlangsung tidaknya perjanjian ini sangat tergantung
dengan konsekwen tidaknya salah satu fihak, yaitu ia tidak melanggarnya.
Faktanya, Amerika telah melanggar semua perjanjian dan ikatan. Bahkan ia tidak mengenal
selain kata khianat dan melanggar janji! “Bagaimana bisa ada perjanjian
(aman) dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang musyrikin.” [At-Taubah:
7]
“Bagaimana
bisa (ada perjanjian dari sisi Alloh dan rosul-Nya dengan orang-orang
musyrikin) padahal jika mereka menang terhadap kamu mereka tidak memelihara hubungan
kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula (mengindahkan perjanjian). Mereka
menyenangkanmu dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” [At-Taubah:
8]
“Mereka
tidak memelihara hubungan kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula
(mengindahkan perjanjian). Dan mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.”
[At-Taubah: 10]
5. Kalaulah kita setuju akan adanya perjanjian khusus satu negeri
Muslim dan penguasanya dengan Amerika, maka para mujahidin yang berada di
selain negara yang menjalin ‘perjanjian palsu’ tadi tidak terikat janji apapun
dengan Amerika seperti yang dinyatakan Amerika sendiri.
6. Berdasarkan ijma‘, boleh membatalkan janji dari suatu kaum
dengan syarat dikhawatirkan kaum itu akan mengabaikannya. Alloh berfirman:
وَإِمَّا
تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَآءٍ إِنَّ اللهَ
لَا يُحِبُّ الْخَآئِنِيْنَ
“Dan jika kamu khawatir akan terjadinya
pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada
mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Alloh tidak suka orang-orang yang
berkhianat.” [Al-Anfal: 58]
7. Kemudian, bagaimana mungkin memberikan jaminan keamanan
kepada orang kafir yang memerangi dan menjajah negeri Islam sementara ia selalu
melakukan pelanggaran keamanan dan perjanjian ini setiap masa.
Maka
memberikan rasa aman dan jaminan keamanan kepada orang seperti ini ibarat orang
yang mengucapkan sesuatu hal sekaligus mengucapkan lawan katanya dalam satu
waktu, dan seperti orang yang memberikan jaminan keamanan kepada orang yang
menyembelih, merampok dan menodai kehormatannya, kemudian setelah itu mengatakan
kepadanya, “Kejahatan seperti apapun yang engkau lakukan terhadap hak-ku, engkau
tetap aman menurut fihak saya; adapun engkau –hai musuh yang menyerang—engkau
mendapatkan kebebasan sebebas-bebasnya untuk menodai kehormatanku dan merampok hasil
negeriku, bagaimana dan kapan saja kamu mau.”
Tindakan
seperti ini tentu saja tidak benar baik secara akal maupun syar‘i. Dan tidak
ada seorangpun –yang memiliki akal dan din walau seberat biji dzarroh— menyatakan
kebenaran akad dan perjanjian seperti ini dan keharusan untuk menghormatinya.
Umat
ini belum pernah mengenal perjanjian dan akad seperti ini kecuali di zaman kita
sekarang, di mana banyak sekali putera-putera Umat Islam yang mengekor dan “menuhankan”
Amerika serta negeri kekafiran dan keangkaramurkaan lainnya, merasa ridho
dengannya.
8. Islam melarang memberi tempat, melindungi, menyelamatkan atau
memberi keamanan kepada ahli bid‘ah yang seharusnya dijatuhi hukuman atau had.
Islam menganggap perbuatan seperti itu termasuk dosa besar.
Terdapat
riwayat shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau
bersabda,
“Barangsiapa
yang berbuat bid‘ah di Madinah, atau melindungi pelakunya, maka ia menanggung
laknat Alloh, para malaikat dan semua manusia, tidak ada alasan lagi bagi dia.”
Walaupun
hadits ini khusus bagi orang yang memberi tempat berlindung pelaku bid‘ah di
Madinah, namun ia mengandung celaan mutlak bagi orang yang menjadi tempat lari
orang yang menjadi ahli bid‘ah kemudian ia melindungi dan menyelamatkannya
serta menghalangi antara dirinya dan pelaksaan qishosh hak dan keadilan.
Jika
hukum orang yang memberi tempat, melindungi dan mengamankan orang Muslim yang
melakukan bid‘ah saja seperti ini, lantas bagaimana dengan orang yang menyelamatkan
dan memberikan keamanan kepada orang kafir harbi yang terus melancarkan makar
dan memeranginya sebelum, ketika dan setelah ia beri jaminan keamanan dan perlindungan?
Tidak diragukan lagi orang seperti ini lebih berhak mendapatkan ancaman, laknat
dan kejauhan dari rahmat Alloh. Dia juga merupakan serikat dari orang kafir ini
dalam kejahatan dan permusuhannya yang terus menerus tiada henti. Sebagaimana
firman Alloh ta‘ala:
مَّنْ
يَشْفَعْ شَفَاعَةً يَكُنْ لَّهُ نَصِيْبٌ مِّنْهَا وَ مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً
سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلُ مِّنْهَا وَ كَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ
مُّقِيْمًا
“Barangsiapa
memberi syafaat yang baik, niscaya akan memperoleh bagian pahala daripadanya.
Dan siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian dosa
dari padanya. Dan Alloh Mahakuasa atas segala sesuatu.”
[An-Nisa’: 85]
Terdapat
riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam
Shohih Muslim—bahwa beliau bersabda, “Siapa yang menyimpan barang hilang, maka
ia sesat selama ia tidak mengumumkannya.”
Hadits
ini berbicara mengenai orang yang menyimpan serta menyembunyikan hewan hilang.
Lantas bagaimana dengan orang yang memberi tempat orang kafir harbi dan tidak
menghentikan perang dan penjajahannya, kemudian malah menyembunyikan, membantu
dan menghalangi antara dirinya dengan pedang-pedang kebenaran untuk bisa mencapainya?
tidak diragukan lagi, ini lebih berhak mendapat predikat jahat dan sesat.!
Bukti
keterangan dari penjelasan tadi adalah: Siapa saja yang seperti ini keadaannya
–yaitu melakukan penjajahan dan perang yang terus menerus—maka dalam kondisi
apapun tidak boleh mendapatkan jaminan keamanan atau diselamatkan. Dan siapa
yang memberi tempat, menyelamatkan atau melindunginya, maka ia dosa dan
penjahat. Jaminan keamanannya tidak berlaku, tidak boleh dan tidak mengharuskan
seorangpun dari umat ini memenuhinya.
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar