I k h w a n,
Pelindung dari
Taghut Raja-Raja Mesir
Selama penjajahan Inggris di Mesir, salibis
mendirikan monarki superfisial yang setia kepada Kerajaan Inggris selama tiga
puluh tahun. Kerajaan ini berhukum dengan hukum sekuler di mana Fuad dan Farouk
bertindak sebagai "raja," keduanya adalah keturunan Muhammad Alī
Pasha, modernis yang - di bawah bendera Turki Utsmaniyah si penyembah-kuburan -
memimpin perang melawan tauhīd di al-Hijāz dan Najd. Kedua murtaddin Fuad dan Farouk
terkenal karena sekularisme, kerusakan, dan sikap tunduk mereka kepada Inggris.
Namun, Hasan al-Bannā menghitung "manfaat"
dari raja Mesir bagi Ikhwān, sebagaimana yang al-Bannā jelaskan dalam otobiografinya.
Dia bahkan memerintahkan para pengikutnya untuk berkumpul di depan publik dalam
jumlah banyak dan menyapa raja pada setiap kunjungan monarki itu ke kota,
dengan mengatakan, "Kalian harus berkumpul di trotoar dan menyapa raja, sehingga
orang asing di negeri ini tahu bahwa kita menghormati raja dan mencintainya, sehingga
rasa hormat mereka kepada kita akan meningkat" [Mudzakkarāt ad-Dakwah].
Jurnal resmi Ikhwān juga akan menyeru untuk menunjuk sang raja – sekuleris bukan
Qurasyī - ke posisi Khalīfah.
Dan secara umum, jurnal Ikhwānī memuji Fuad
dan Farouk meskipun mereka adalah pion murtad dari Inggris. Judul-judul artikel
di jurnal Ikhwānī termasuk, "Raja Farouk Adalah Panutan untuk
Negaranya," "Farouk: Sang Pembela al-Qur'an," "Farouk
Menghidupkan Sunnah Khulafā' Rāsyidah," "Raja Menyeru, Bangsa
Menjawab – Kepada Yang Mulia, Raja Yang Shalih Farouk Yang Pertama, Dari Ikhwānul
Muslimīn," "Kepada Yang Mulia Raja Tercinta, Semoga Allah Menolongnya,"
dan "Farouk: Panutan Yang Shalih." Beberapa artikel tersebut ditulis
oleh al-Bannā sendiri. Di tahun "1937," Ikhwān merayakan pengangkatan
resmi Farouk sebagai raja Mesir di konferensi umum mereka yang keempat,
mengumpulkan dua puluh ribu orang dalam perayaan itu, dan mengumumkan janji
setia mereka kepadanya.
Ikhwān kemudian memerintahkan para pengikut
mereka untuk setiap tahun berkumpul dan menunjukkan kesetiaan mereka kepada tāghūt
pada hari perayaan ulang tahun ia naik tahta, pada saat ia kembali dari perjalanan
ke negara lain, dan bahkan hari ulang tahunnya, sebagaimana didokumentasikan di
dalam tulisan para sejarawan mereka sendiri.
Ikhwan dan Taghut
Mubarak
Meskipun kesyirikan yang diterapkan oleh
Hosni Mubarak dan penindasannya kepada umat Muslim di Mesir, Ikhwān tetap
membelanya dan pemerintahannya, bahkan bekerja sama dengan rezimnya untuk
melawan umat Muslim. Ma'mūn al-Hudaybī berkata, "Tidak ada kerentanan atau
kebencian apa pun antara Ikhwānul Muslimīn dan Presiden Hosni Mubarak, karena
ia tidak ikut campur dalam menekan dan menyiksa Ikhwān di era dahulu. Juga
tidak ada permusuhan apa pun antara kelompok Ikhwān dengan partai politik dan
orientasi mana pun" [Majalah Al-Mujtama].
'Umar at-Tilimsānī juga berkata, "Aku ikut
serta dalam banyak sikap di mana pemerintah membutuhkan bantuan dari Ikhwānul
Muslimīn… Aku selalu berhubungan dengan personil keamanan dari Kementerian
Dalam Negeri. Aku menawarkan segala sesuatu yang akan memperkuat keamanan di
Mesir. Aku tidak akan membiarkan tokoh kecil atau besar dari mereka untuk
mendatangiku. Aku merasa cukup dengan mereka memanggilku di telepon untuk pergi
ke kementerian, kecuali ketika sakit atau liburan, di mana mereka akan mengunjungiku
dan berterima kasih kepadaku. Atas karunia Allah kepadaku, aku tidak pernah
sekali pun pergi ke perguruan tinggi yang terhasut karena sejumlah sebab
kecuali aku kembali dengan sukses. Pihak berwenang di Kementerian Dalam Negeri berterima
kasih atas usahaku" [Dzikrāyāt lā Mudzakkirāt].
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
{Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nashrani menjadi auliyā’. Sebagian mereka adalah auliyā’ bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi auliyā’, maka
sesungguhnya ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim} [Al-Mā'idah: 51]. Ini adalah hukum
Allah atas Muslim yang mengambil orang Yahudi dan Kristen sebagai auliyā'.
Betapa jauh lebih buruk orang-orang yang mengambil murtaddīn sebagai auliyā', karena
kekufuran riddah lebih parah daripada kekufuran orang Yahudi dan Nashrani,
menurut ijmā' Salaf, seperti nampak dalam masalah jizyah, pernikahan, dan hukum
lain.
Ikhwan dan Irja’
Ekstrim
Irja' Ekstrim dari Ikhwān bukanlah fenomena
yang tersembunyi. Hasan al-Hudaybī – "Mursyid 'ām" kedua – menulis
buku "Du'āt lā Qudāt" (Pendakwah, Bukan Hakim), yang digunakan untuk
menyebarkan bentuk ekstrim dari Irjā' dalam barisan para pengikutnya. Dia
menentang pengucapan takfīr kepada pemerintah yang berhukum dengan hukum buatan
manusia, karena sebagian Ikhwān mulai mengambil sikap yang lebih tegas dalam
masalah ini.
Mengenai hal ini, anggota parlemen Ikhwānī
Muhammad Jamāl Hishmat berkata, "Penerbitan buku 'Pendakwah, Bukan Hakim'
adalah cukup untuk menyingkirkan masalah takfīr, bahkan jika permasalahan ini
diangkat oleh Sayyid Qutb[5]. Manhaj yang diikuti oleh Ikhwān adalah
tidak adanya takfīr. Prinsip keduapuluh dari dua puluh prinsip [ditulis oleh
Hasan al-Bannā] adalah tidak diperbolehkan bagi siapa pun untuk menyatakan
takfīr kepada orang lain dikarenakan dosa[6]. Ini adalah jelas.
Tidak ada upaya pembunuhan yang dilatarbelakangi oleh takfīr. Tidak ada adopsi
takfīr. Orang-orang Ikhwān yang mengadopsi takfīr maka telah meninggalkan partai.
Mereka telah dibantah. Mereka yang paham, menjadi moderat, dan kembali dari
kejahatan mereka, kembali ke partai. Mereka yang tidak kembali, diusir dari
partai dan diberitahu oleh yang mengusir mereka, 'Carilah spanduk lain." Ini
adalah perkara yang sangat jelas" [Wawancara Al-Jazīrah].
"Mursyid 'am" keempat Abun-Nasr
berkata, "Kami mengulurkan tangan kami kepada semua aktivis yang
menganggap diri mereka berasal dari gerakan Islam di bidang dakwah, kecuali
mereka yang menyatakan takfīr kepada penguasa atau orang lain. Hal ini karena
kami menentang takfīr secara umum" [Majalah An-Nūr].
Ikhwān mengatakan dalam sebuah pernyataan
resmi, "Ikhwānul Muslimīn melihat semua orang sebagai pembawa kebaikan,
memenuhi syarat untuk membawa amanah dan tegak di atas kebenaran. Ikhwānul
Muslimīn tidak menyibukkan diri dengan takfīr kepada siapa pun... Kami, Ikhwān,
selalu mengatakan, kami adalah pendakwah bukanlah hakim. Dengan alasan ini kami
tidak pernah berpikir sebentar saja untuk memaksa siapa pun ke dalam keyakinan
atau agama lain" [Bayān lin-Nās].
"Mursyid 'am" ketiga 'Umar
at-Tilimsanī berkata, "Terdapat perbedaan yang jelas antara sekularisme
dan ateisme. Sekularisme tidak menentang agama. Ia memberikan orang beragama haknya
untuk mengekspresikan dirinya. Adapun ateisme, maka ini adalah sikap individu
yang mengarah untuk secara tidak adil mengejar orang-orang beragama. Aku adalah
rekan dari Mister Siraj ad-Din, presiden dari partai Wafd [sekuler] di Fakultas
Hukum. Dia adalah orang saleh yang melaksanakan shalat dan puasa. Selain itu,
partai al-Wafd tidak pernah merugikan Ikhwān" [Jurnal Al-Mustaqbal].
Jadi, Ikhwān tidak menyatakan takfīr bahkan
kepada sekuleris! Mereka bahkan mengingkari mantan anggotanya hanya karena
anggota tersebut menyatakan takfīr kepada rezim tāghūt!
[5] Terkadang anggota-anggota Ikhwan telah meninggalkan aqidah para pemimpin
Ikhwani dengan menyatakan takfir kepada rezim yang berhukum dengan hukum buatan
manusia, menyatakan permusuhan dengan rezim semacam itu, dan mengecam
keikutsertaan dalam pemerintahan sekuler. Sebagian anggotanya juga menyeru
kepada jihad yang menjadi wajib bagi tiap Muslim di zaman ini, terutama jihad
melawan rezim murtad tersebut dan para penjajah kafir. Seruan itu ditolak oleh
Ikhwan, jadi para penganut keyakinan tersebut akan meninggalkan partai atau
menghadapi kecaman, pengucilan, dan pengusiran jika orang-orang itu tidak
kembali.
[6] Tidak diperbolehkan
menyatakan tafkīr pada seorang Muslim karena dosa-dosa seperti membunuh,
berzina, dan meminum alkohol. Kesalahan dari ucapan al-Bannā dan ucapan para
pengikutnya adalah penerapan dari aturan tersebut untuk perbuatan-perbuatan
yang termasuk kufur akbar pada dan dari perbuatan itu sendiri, seperti menghina
agama, menyembah kepada yang telah mati, berhukum dengan hukum buatan manusia,
dan menolong kuffār melawan umat Muslim. Pelaku dari perbuatan-perbuatan tersebut
adalah seorang murtad tanpa keraguan.
source: DABIQ 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar