Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 1 – 11)
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman
Aman Abdurrahman
(1)
Tujuan Hidup Manusia
Allah menciptakan
kita untuk menyembahnya dan tidak menyekutukannya
dengan sesuatu apapun. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu
Wa Ta’ala:
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku”
(Adz Dzariyat: 56).
Di
dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan
bahwa tujuan manusia
dan jin diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya dengan
penuh ketulusan, dan
perlu kita ketahui bahwa ibadah itu bukan hanya sekedar shalat,
zakat, shaum, haji saja,
namun ibadah adalah sangat luas cakupannya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah memberikan
definisi ibadah: “Nama yang mencakup segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, baik berupa perkataan, maupun perbuatan, yang
lahir dan yang bathin
[Fathul Madjid: 17]
Syaikh
Abu Bakar Al Jazairi mengatakan bahwa
alam ini diciptakan untuk kita, dan kita diciptakan untuk
beribadah.[Muhadlarah yang direkam dengan suara beliau
berjudul Sirwul Wujud kaset pertama].
Dan
sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
حَقُّ اللهُ
عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرَكُوا بِهِ شَيْئًا
“Hak Allah atas hamba-Nya aga supaya menyembah-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan
sesuatu apapun”
(Muttafaqun ‘alaih).
(2)
Syarat-Syarat Ibadah Kepada Allah
Kita
beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagai mana yang diperintahkan Allah ‘azza wa
jalla dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
disertai niat yang
ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla. Sebagimana firman-nya ‘azza
wa jalla:
وَمَآ
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (Al
Bayyinah: 5)
Di
dalam ayat ini kita diperintahkan untuk beribadah dengan penuh keikhlasan, sebab ikhlas
merupakan salah satu syarat amalan kita bisa diterima Allah ‘azza wa jalla, orang yang
melakukan amalan-amalan yang sifatnya ibadah namun tidak dibarengi dengan keikhlasan
atau memberikan bagian di dalam amalan tersebut kepada selain Allah, baik untuk
manusia maupun dunia, maka amalan tersebut tidak mungkin diterima oleh Allah ‘azza wa
jalla, karena Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni karena-Nya.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
مَنْ
عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
berbuat suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka amalannya ditolak”
(HR.
Muslim).
Di dalam hadits
ini Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa
amalan apa saja yang dilakukan oleh orang dengan tujuan mendekatkan diri kepada
Allah ‘azza wa jalla, namun amalan tersebut tidak ada tutunannya dari Allah dan
Rasul-Nya, maka amalan tersebut maka amalan tersebut tidak mungkin diterima, meskipun
dilakukan dengan penuh keikhlasan, karena amalan tersebut adalah bid’ah, sedangkan
semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.
Berarti syarat
ibadah kita agar diterima Allah ‘azza wa jalla ada dua, yaitu: ikhlas
dan mutaba’ah
(mengikuti
petunjuk Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Al
Kulafa Ar Rasyidin).
Ibadah yang tidak terkumpul di dalamnya kedua syarat ini maka tidak mungkin
diterima, ikhlas saja tidak cukup sebagaimana mutaba’ah saja tidak cukup, tapi
harus terkumpul kedua-duanya.
(3)
Bagaimana Kita Ibadah Kepadanya
Kita harus beribadah
kepada Allah ‘azza wa jalla dengan penuh rasa khauf (takut) dan tama’/raja’
(pengharapan)
juga mahabbah (rasa cinta) kepada-Nya.
Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:
وَادْعُوهُ
خَوْفًا وَ طَعَمًا
“Dan
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)”
(Al
A’raf: 56)
Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa
jalla memerintahkan agar kita memohon kepada-Nya dengan rasa takut dan rasa
harapan, dan tentunya adalah rasa cinta yang merupakan salah satu rukun ibadah,
dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْأَلُ
اللهُ الْجَنَّةُ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ
“Saya
meminta kepada Allah (agar dimasukan surga) dan saya berlindung kepada Allah dari neraka”.
(Hadits
shahih riwayat Abu Dawud)
Dalam hadits
tersebut ada permintaan surga dan ini adalah pengharapan, juga di dalamnya ada
permintaan lindungan dari api neraka dan ini adalah karena adanya rasa takut
akan siksa Allah ‘azza wa jalla, dan sudah otomatis kalau orang merasa takut kepada
Allah dan mengharapkan rahmat-Nya, maka timbullah rasa cinta akannya.
Sehingga terkumpullah khauf,
tama’/raja’, dan
mahhabah (cinta).
Sebagian ulama
mengatakan: Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut saja,
maka dia itu Haruriy (tergolong Khawarij), dan barangsiapa
beribadah kepada Allah hanya dengan raja’ (pengharapan) saja, maka dia itu Murjii’iy
(tergolong
orang Murji’ah), serta barangsiapa beribadah kepada Allah dengan hanya rasa
cinta saja, maka dia itu adalah Zindiq, dan barangsiapa beribadah
kepada Allah dengan ketiga hal itu maka dia adalah Muwahhid.
(4) Ihsan
Ketika Beribadah
Ihsan adalah
selalu merasa di awasi Allah ‘azza wa jalla, dan yang selalu melihat kita, dan
ini mendorong kita untuk selalu taat dan patuh kepada-Nya.
Sebagaimana firman-Nya ‘azza
wa jalla:
إِنَّ
اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
“Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An
Nisa: 1)
Sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
الإِحْسَانُ
أَنْ تَعْبُدَ اللهُ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُمْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ
“Ihsan
adalah engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatnya, dan bila
engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau”
(HR.
Muslim).
Bila kita
meyakini bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita akan selalu beramal
sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya, karena segala gerak-gerik, perkataan
yang terlontar, dan bisikan nafsu kita, semuanya diketahui Allah ‘azza wa jalla,
tidak ada yang samar di hadapan Allah ‘azza wa jalla jadi ihsan
melahirkan muraqabah
(merasa
selalu diawasi) Allah ‘azza wa jalla.
(5) Tujuan
Diutusnya Para Rasul
Para rasul
diutus ke dunia untuk mengajak umat beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla saja
dan tidak menjadikan sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ
بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنْ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا
الطَّغُوتَ
“Dan sungguhnya
Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”
(An
Nahl: 36)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
وَ
الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ وَدَيْنُهُمْ وَاحِدٌ – أَي كُلُّ الرَّسُولِ دُعُوا
إِلَى التَّوحِيْدِ -
“Dan
para nabi itu adalah bersaudara, dan agama mereka itu adalah satu (yaitu setiap
rasul menyeru kepada tauhid)”
(Muttafaqun
‘alaih)
Inti dakwah para
rasul adalah sama, yaitu mengajak iman kepada Allah ‘azza wa jalla dan kufur
kepada Thaghut. Orang yang beriman kepada Allah namun tidak kufur kepada
thaghut, maka ia bukan orang mukmin, dan begitu juga sebaliknya. Jadi tauhid adalah
iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut. Dan para Rasul itu hanya berbeda dalam
masalah syari’atnya saja.
(6) Makna
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid uluhiyyah
adalah mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam hal semua ibadah, seperti do’a,
nadzar, hukum, dan ibdah lainnya. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:
فَآعْلَمْ
أَنَّهُ, لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) yang haq
melainkan Allah”
(Muhamad:
19)
Sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
فَلْيَكُنْ
أَوَّلٌ تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةٌ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ (أي إِلَى
أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ)
“Maka
hendaklah hal yang paling pertama engkau menyeru mereka kepada-Nya adalah (mengucapkan)
syahadat bahwa tidak ada Ilah yang haq melainkan Allah (yaitu mereka mengesakan
Allah)”
(Muttafaq
‘alaih)
(7) Makna
Laa Ilaaha Illallaah
Makna kalimah
tauhid yang benar adalah tidak ada yang berhak diibadati kecuali Allah ‘azza wa
jallaısebagaimana
firman-Nya ‘azza wa jalla:
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُوْنِهِ الْبَاطِلُ
“Demikianlah
karena sesungguhnya Allah Dialah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka
selain dari Allah itulah yang bathil”
(Luqman: 30)
Jadi, makna
kalimat tauhid itu bukanlah tidak ada Tuhan selain Allah, tapi yang benar
adalah tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, karena di
dalam Al Qur’an disebutkan adanya tuhan-tuhan selain Allah dan pada
kenyataannya juga seperti itu, namun semua yang disembah selain Allah adalah
tuhan-tuhan yang bathil, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di
antaranya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz -semoga
Allah memaafkanya-
dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ
قَالَ لَا إلَهَ إِلَّا اللهَ وَ كَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ حَرَّمَ
مَالُهُ وَ دَمُهُ
“Barangsiapa
yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap apa yang disembah
selain Allah maka harta dan darahnya adalah haram”
(HR.
Muslim)
(8) Tauhid
Asmaa Was Sifat
Menetapkan suatu sifat yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla bagi
Dzat-Nya di dalam Kitab-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya shalallaahu
‘alaihi wa sallam di
dalam as sunnah ash shahihah tanpa tamtsil dan tanpa takyif serta tanpa tahrif dan ta’til.
Tamtsil
adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Takyif
adalah menentukan bentuk/cara sifat itu.
Tahrif
adalah merubah lafadz dan merubah makna yang sebenarnya dengan makna
lain.
Ta’til
adalah menafikan sifat-sifat Allah. (Lihat Syarah Al Aqidah Al-Washithiyyah, Al
fauzan: 15)
Sebagaimana firman-Nya ‘azza
wa jalla:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”.
(Asy
Syuraa: 11)
Di dalam ayat ini
Allah ‘azza wa jalla menafikan/meniadakan penyerupaan dengan makhluk-Nya, namun
Dia juga menetapkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya, sehingga ini merupakan
petunjuk kepada kita agar menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah
‘azza wa jalla yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam
tanpa tamtsil
(menyerupakan Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya) dan
tanpa takyif (menentukan
kaifiyyah (cara begini cara begitu)) atas sifat itu, serta tanpa tahrif (memalingkan
kepada makna lain) dan ta’til.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
يِنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا –
نُزُولًا يَلِيقُ بِجَلَالِهِ
“Rabb kita Tabaraka Wa Ta’ala
turun ke langit terdekat setiap malam -turun yang sesuai dengan kebesaran-Nya-”
(Muttafaqun
‘alaih)
Bukan hanya sifat turun saja,
namun semua sifat wajib kita tetapkan, karena Allah ‘azza wa jallaılebih
mengatahui akan Dzat-Nya daripada kita, dan juga Rasul-Nya lebih tahu akan Dia
daripada kita semua, kewajiban kita adalah beriman dan membenarkan.
(9) Faidah-Faidah
Bagi Muslim
Di antaranya agar
mendapatkan petunjuk (hidayah) di dunia ini dan mendapatkan keamanan dari adzab
di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:
الَّذِيْنَ
ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ
وَهُمْ مُّهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuradukan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk”.
(Al
An’am: 82)
Orang yang bertauhid akan merasa aman dan tentram di dunia,
karena hidupnya di atas petunjuk Allah ‘azza wa jalla dan hatinya tertuju
kepada satu tujuan yaitu ridla dari Sang Penciptanya saja, dan di akhirat dia
aman dalam naungan dan surga Allah.
Dan
sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
حَقُّ
اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Hak hamba atas Allah adalah
Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu apapun
dengan-Nya”
(Muttafaqun
‘alaih)
Tauhid yang
sempurna akan menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat, sehingga dia
dihindarkan dari adzab-Nya secara mutlak, namun orang yang bertauhid di samping
itu dia juga melakukan maksiat yang bukan syirik dan bukan kekufuran, maka bila
seandainya dosa dia itu melebihi kebaikannya, maka tauhidnya itu menjaga dia dari
kekal di neraka bila dia disiksa akibat perbuatan dosa-dosanya.
(10) Dimana
Allah?
Allah ‘azza wa
jalla di atas langit di atas Arasy. Sebagaimana firman-Nya ta’ala:
الرَّحْمَنُ
عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(yaitu)
Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy”
(Thahaa:
5)
Ayat ini
menjelaskan dengan gamblang bahwa Allah ‘azza wa jalla ada di atas Arasy-Nya,
namun ilmu-Nya dan liputan-Nya ada bersama makhluk-Nya. Allah ‘azza wa jalla
ada di atas semua mahkluk-Nya, namun liputan-Nya ada dimana-mana.
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ
اللهَ كَتَبَ كِتَبًا فَهُوَ وَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Sesungguhnya
Allah telah menulis tulisan, dan ia itu termaktub di sisi-Nya di atas Arasy”
(HR.
Al Bukhariy)
(11) Makna
Kebersamaan Allah Dengan Hamba-Hamba-Nya
Allah menyertai kita dengan
Ilmu-Nya, Dia selalu mendengar dan melihat kita. Sebagaimana firman-Nya ‘azza
wa jalla:
قَالَ
لَهُ تَخَافَآ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى
“Allah
berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu
berdua, aku mendengar dan melihat".
(Thaha:
46)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّكُمْ
تَدْعُونَ سَمِعْنَا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ (بِعِلْمِهِ يَسْمَعْكُمْ وَ
يَرَاكُمْ)
“Sesungguhnya
kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar Lagi Maha dekat, dan Dia itu bersama
kalian –yaitu dengan ilmu-Nya Dia Mendengar dan Melihat kalian–”
(HR.
Muslim)
Ma’iyyah
(kebersamaan)
Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya ada dua:
1) Ma’iyyah ‘Ammaah
(kebersamaan
yang sifatnya umum), ini meliputi seluruh makhluk-Nya dan artinya adalah
liputan dan ilmu Allah selalu memantau semua makhluk-Nya, baik mukmin, kafir,
munafiq, manusia, hewan, jin, setan, dan yang lainnya.
2) Ma’iyyah Khaashshah
(kebersamaan
yang sifatnya khusus), ini khusus bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan
kebersamaan di sini artinya adalah pertolongan, dukungan, dan bantuan Allah
‘azza wa jalla selalu bersama orang-orang yang beriman.
Perhatikan dan
camkanlah hal ini agar anda tidak terjerumus kepada keyakinan yang sesat yang mengatakan Allah ada dimana-mana atau
keyakinan Wihdatul Wujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar