8/28/2019

Aqidah Muslim Berikut Penjelasannya ( 1 – 11 )


Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 1 – 11)
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman Aman Abdurrahman


(1) Tujuan Hidup Manusia

Allah menciptakan kita untuk menyembahnya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
(Adz Dzariyat: 56).

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa tujuan manusia dan jin diciptakan adalah untuk beribadah kepada-Nya dengan penuh ketulusan, dan perlu kita ketahui bahwa ibadah itu bukan hanya sekedar shalat, zakat, shaum, haji saja, namun ibadah adalah sangat luas cakupannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan definisi ibadah: “Nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik berupa perkataan, maupun perbuatan, yang lahir dan yang bathin [Fathul Madjid: 17]

Syaikh Abu Bakar Al Jazairi mengatakan bahwa alam ini diciptakan untuk kita, dan kita diciptakan untuk beribadah.[Muhadlarah yang direkam dengan suara beliau berjudul Sirwul Wujud kaset pertama].

Dan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

حَقُّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرَكُوا بِهِ شَيْئًا

“Hak Allah atas hamba-Nya aga supaya menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”
(Muttafaqun ‘alaih).

(2) Syarat-Syarat Ibadah Kepada Allah

Kita beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla sebagai mana yang diperintahkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dengan disertai niat yang ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla. Sebagimana firman-nya ‘azza wa jalla:

وَمَآ أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (Al Bayyinah: 5)

Di dalam ayat ini kita diperintahkan untuk beribadah dengan penuh keikhlasan, sebab ikhlas merupakan salah satu syarat amalan kita bisa diterima Allah ‘azza wa jalla, orang yang melakukan amalan-amalan yang sifatnya ibadah namun tidak dibarengi dengan keikhlasan atau memberikan bagian di dalam amalan tersebut kepada selain Allah, baik untuk manusia maupun dunia, maka amalan tersebut tidak mungkin diterima oleh Allah ‘azza wa jalla, karena Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni karena-Nya.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
         
“Barangsiapa berbuat suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka amalannya ditolak”
(HR. Muslim).

Di dalam hadits ini Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kita bahwa amalan apa saja yang dilakukan oleh orang dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah ‘azza wa jalla, namun amalan tersebut tidak ada tutunannya dari Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut maka amalan tersebut tidak mungkin diterima, meskipun dilakukan dengan penuh keikhlasan, karena amalan tersebut adalah bid’ah, sedangkan semua bid’ah itu adalah sesat meskipun orang menganggapnya baik.

Berarti syarat ibadah kita agar diterima Allah ‘azza wa jalla ada dua, yaitu: ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para Al Kulafa Ar Rasyidin). Ibadah yang tidak terkumpul di dalamnya kedua syarat ini maka tidak mungkin diterima, ikhlas saja tidak cukup sebagaimana mutaba’ah saja tidak cukup, tapi harus terkumpul kedua-duanya.

(3) Bagaimana Kita Ibadah Kepadanya

Kita harus beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan penuh rasa khauf (takut) dan tama’/raja’ (pengharapan) juga mahabbah (rasa cinta) kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

وَادْعُوهُ خَوْفًا وَ طَعَمًا

“Dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan)”
(Al A’raf: 56)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla memerintahkan agar kita memohon kepada-Nya dengan rasa takut dan rasa harapan, dan tentunya adalah rasa cinta yang merupakan salah satu rukun ibadah, dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

أَسْأَلُ اللهُ الْجَنَّةُ وَأَعُوذُ بِهِ مِنَ النَّارِ

“Saya meminta kepada Allah (agar dimasukan surga) dan saya berlindung  kepada Allah dari neraka”.
(Hadits shahih riwayat Abu Dawud)

Dalam hadits tersebut ada permintaan surga dan ini adalah pengharapan, juga di dalamnya ada permintaan lindungan dari api neraka dan ini adalah karena adanya rasa takut akan siksa Allah ‘azza wa jalla, dan sudah otomatis kalau orang merasa takut kepada Allah dan mengharapkan rahmat-Nya, maka timbullah rasa cinta akannya.

Sehingga terkumpullah khauf, tama’/raja’, dan mahhabah (cinta).

Sebagian ulama mengatakan: Barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut saja, maka dia itu Haruriy (tergolong Khawarij), dan barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan raja’ (pengharapan) saja, maka dia itu Murjii’iy (tergolong orang Murji’ah), serta barangsiapa beribadah kepada Allah dengan hanya rasa cinta saja, maka dia itu adalah Zindiq, dan barangsiapa beribadah kepada Allah dengan ketiga hal itu maka dia adalah Muwahhid.

(4) Ihsan Ketika Beribadah

Ihsan adalah selalu merasa di awasi Allah ‘azza wa jalla, dan yang selalu melihat kita, dan ini mendorong kita untuk selalu taat dan patuh kepada-Nya.
Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An Nisa: 1)

Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

الإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللهُ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُمْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

“Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah, seolah-olah engkau melihatnya, dan bila engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau”
(HR. Muslim).

Bila kita meyakini bahwa Allah selalu mengawasi kita, maka kita akan selalu beramal sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhai-Nya, karena segala gerak-gerik, perkataan yang terlontar, dan bisikan nafsu kita, semuanya diketahui Allah ‘azza wa jalla, tidak ada yang samar di hadapan Allah ‘azza wa jalla jadi ihsan melahirkan muraqabah (merasa selalu diawasi) Allah ‘azza wa jalla.


(5) Tujuan Diutusnya Para Rasul

Para rasul diutus ke dunia untuk mengajak umat beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla saja dan tidak menjadikan sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنْ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّغُوتَ

 “Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”
(An Nahl: 36)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

وَ الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ وَدَيْنُهُمْ وَاحِدٌ – أَي كُلُّ الرَّسُولِ دُعُوا إِلَى التَّوحِيْدِ -

“Dan para nabi itu adalah bersaudara, dan agama mereka itu adalah satu (yaitu setiap rasul menyeru kepada tauhid)”
(Muttafaqun ‘alaih)

Inti dakwah para rasul adalah sama, yaitu mengajak iman kepada Allah ‘azza wa jalla dan kufur kepada Thaghut. Orang yang beriman kepada Allah namun tidak kufur kepada thaghut, maka ia bukan orang mukmin, dan begitu juga sebaliknya. Jadi tauhid adalah iman kepada Allah dan kufur kepada thaghut. Dan para Rasul itu hanya berbeda dalam masalah syari’atnya saja.

(6) Makna Tauhid Uluhiyyah

Tauhid uluhiyyah adalah mengesakan Allah ‘azza wa jalla dalam hal semua ibadah, seperti do’a, nadzar, hukum, dan ibdah lainnya. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

فَآعْلَمْ أَنَّهُ, لَآ إِلَهَ إِلَّا اللهُ

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) yang haq melainkan Allah”
(Muhamad: 19)

Sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

فَلْيَكُنْ أَوَّلٌ تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ شَهَادَةٌ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهَ (أي إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ)

“Maka hendaklah hal yang paling pertama engkau menyeru mereka kepada-Nya adalah (mengucapkan) syahadat bahwa tidak ada Ilah yang haq melainkan Allah (yaitu mereka mengesakan Allah)”
(Muttafaq ‘alaih)

(7) Makna Laa Ilaaha Illallaah

Makna kalimah tauhid yang benar adalah tidak ada yang berhak diibadati kecuali Allah ‘azza wa jallaısebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُوْنِهِ الْبَاطِلُ

“Demikianlah karena sesungguhnya Allah Dialah Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka selain dari Allah itulah yang bathil”
(Luqman: 30)

Jadi, makna kalimat tauhid itu bukanlah tidak ada Tuhan selain Allah, tapi yang benar adalah tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah saja, karena di dalam Al Qur’an disebutkan adanya tuhan-tuhan selain Allah dan pada kenyataannya juga seperti itu, namun semua yang disembah selain Allah adalah tuhan-tuhan yang bathil, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama di antaranya Al Imam Abdul Aziz Ibnu Abdillah Ibnu Baz -semoga Allah memaafkanya- dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ قَالَ لَا إلَهَ إِلَّا اللهَ وَ كَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللهِ حَرَّمَ مَالُهُ وَ دَمُهُ

“Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan kafir terhadap apa yang disembah selain Allah maka harta dan darahnya adalah haram”
(HR. Muslim)

(8) Tauhid Asmaa Was Sifat

Menetapkan suatu sifat yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla bagi Dzat-Nya di dalam Kitab-Nya dan ditetapkan oleh rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam di dalam as sunnah ash shahihah tanpa tamtsil dan tanpa takyif serta tanpa tahrif dan ta’til.

Tamtsil adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya.
Takyif adalah menentukan bentuk/cara sifat itu.
Tahrif adalah merubah lafadz dan merubah makna yang sebenarnya dengan makna lain.
Ta’til adalah menafikan sifat-sifat Allah. (Lihat Syarah Al Aqidah Al-Washithiyyah, Al fauzan: 15)

Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”.
(Asy Syuraa: 11)

Di dalam ayat ini Allah ‘azza wa jalla menafikan/meniadakan penyerupaan dengan makhluk-Nya, namun Dia juga menetapkan sifat-sifat dan nama-nama-Nya, sehingga ini merupakan petunjuk kepada kita agar menetapkan semua nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yang telah ditetapkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa tamtsil (menyerupakan Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya) dan tanpa takyif (menentukan kaifiyyah (cara begini cara begitu)) atas sifat itu, serta tanpa tahrif (memalingkan kepada makna lain) dan ta’til.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

يِنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا – نُزُولًا يَلِيقُ بِجَلَالِهِ

Rabb kita Tabaraka Wa Ta’ala turun ke langit terdekat setiap malam -turun yang sesuai dengan kebesaran-Nya-”
(Muttafaqun ‘alaih)

Bukan hanya sifat turun saja, namun semua sifat wajib kita tetapkan, karena Allah ‘azza wa jallaılebih mengatahui akan Dzat-Nya daripada kita, dan juga Rasul-Nya lebih tahu akan Dia daripada kita semua, kewajiban kita adalah beriman dan membenarkan.

(9) Faidah-Faidah Bagi Muslim

Di antaranya agar mendapatkan petunjuk (hidayah) di dunia ini dan mendapatkan keamanan dari adzab di akhirat kelak. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

الَّذِيْنَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kedzaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk”.
(Al An’am: 82)

Orang yang bertauhid akan merasa aman dan tentram di dunia, karena hidupnya di atas petunjuk Allah ‘azza wa jalla dan hatinya tertuju kepada satu tujuan yaitu ridla dari Sang Penciptanya saja, dan di akhirat dia aman dalam naungan dan surga Allah.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

حَقُّ اللهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Hak hamba atas Allah adalah Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukan sesuatu apapun dengan-Nya”
(Muttafaqun ‘alaih)

Tauhid yang sempurna akan menghindarkan seseorang dari perbuatan maksiat, sehingga dia dihindarkan dari adzab-Nya secara mutlak, namun orang yang bertauhid di samping itu dia juga melakukan maksiat yang bukan syirik dan bukan kekufuran, maka bila seandainya dosa dia itu melebihi kebaikannya, maka tauhidnya itu menjaga dia dari kekal di neraka bila dia disiksa akibat perbuatan dosa-dosanya.

(10) Dimana Allah?

Allah ‘azza wa jalla di atas langit di atas Arasy. Sebagaimana firman-Nya ta’ala:

الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى

“(yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy”
(Thahaa: 5)

Ayat ini menjelaskan dengan gamblang bahwa Allah ‘azza wa jalla ada di atas Arasy-Nya, namun ilmu-Nya dan liputan-Nya ada bersama makhluk-Nya. Allah ‘azza wa jalla ada di atas semua mahkluk-Nya, namun liputan-Nya ada dimana-mana.

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ اللهَ كَتَبَ كِتَبًا فَهُوَ وَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ

“Sesungguhnya Allah telah menulis tulisan, dan ia itu termaktub di sisi-Nya di atas Arasy”
(HR. Al Bukhariy)

(11) Makna Kebersamaan Allah Dengan Hamba-Hamba-Nya

Allah menyertai kita dengan Ilmu-Nya, Dia selalu mendengar dan melihat kita. Sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla:

قَالَ لَهُ تَخَافَآ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسْمَعُ وَأَرَى

“Allah berfirman: "Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku mendengar dan melihat".
(Thaha: 46)

Dan sabda Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِعْنَا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ (بِعِلْمِهِ يَسْمَعْكُمْ وَ يَرَاكُمْ)

“Sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar Lagi Maha dekat, dan Dia itu bersama kalian –yaitu dengan ilmu-Nya Dia Mendengar dan Melihat kalian–”
(HR. Muslim)

Ma’iyyah (kebersamaan) Allah ‘azza wa jalla dengan makhluk-Nya ada dua:

1) Ma’iyyah ‘Ammaah (kebersamaan yang sifatnya umum), ini meliputi seluruh makhluk-Nya dan artinya adalah liputan dan ilmu Allah selalu memantau semua makhluk-Nya, baik mukmin, kafir, munafiq, manusia, hewan, jin, setan, dan yang lainnya.

2) Ma’iyyah Khaashshah (kebersamaan yang sifatnya khusus), ini khusus bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dan kebersamaan di sini artinya adalah pertolongan, dukungan, dan bantuan Allah ‘azza wa jalla selalu bersama orang-orang yang beriman.

Perhatikan dan camkanlah hal ini agar anda tidak terjerumus kepada keyakinan yang sesat yang mengatakan Allah ada dimana-mana atau keyakinan Wihdatul Wujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...