Pelajaran dari
Fitnah
Bangsa Mongol
Tujuh ratus tahun lalu, sebuah pasukan yang dipimpin oleh
raja Mongol Mahmud Ghazan menyerang bumi Syām, menyebarkan kerusakan di bumi
dan menyebabkan kepanikan. Setelah mengalahkan pasukan Muslim di pertempuran
Wādī al-Khazandar, Ghazan meneruskan ke Dimashq.
Dia lantas menarik diri dari bumi Syām, namun itu tidak
terjadi sebelum Muslim di bumi itu menghadapi ujian dahsyat yang menguji
tawakkal mereka pada Allah dan keimanan mereka akan janji-Nya tentang
pertolongan dan kemenangan saat pasukan Mongol merebut Dimashq dan mengepung
bentengnya.
Berikut ini adalah kata-kata pilihan Shaykhul-Islām Ibnu
Taimiyyah menceritakan kembali fitnah yang mencengkeram kaum Muslim dan menggetarkan
jiwa mereka saat musuh merangsek semakin dekat ke Dimashq. Syaikh menggambarkan
perbandingan antara pertempuran al-Ahzāb di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan fitnah Ghazan, menyuguhkan pelajaran bagi orang beriman yang akan
tetap penting dan relevan sampai kubu īmān mengalahkan kubu kufur hingga
tuntas.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah memulai dengan menyatakan pentingnya mengambil pelajaran
dari berbagai peristiwa yang menguji orang beriman sebelum kita, dan perlunya
membandingkan situasi kita dengannya. "Sungguh, telah terjadi dalam fitnah
ini - yang dengannya Allah menguji umat Muslim dengan invasi musuh yang berada
di luar jangkauan Syarī'at Islam - mirip dengan apa yang terjadi dengan umat
Muslim dan musuh mereka di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Janji Allah dalam kitab-Nya dan dalam Sunnah Rasul-Nya meliputi generasi
terakhir umat ini sebagaimana meliputi generasi awalnya. Allah menceritakan
kisah umat-umat sebelum kita sebagai pelajaran, sehingga kita dapat membandingkan
situasi kita dengan situasi mereka dan menilai umat terakhir berdasarkan umat
pertama."
Syaikh kemudian melanjutkan dengan membagi manusia
menjadi tiga kelompok sesuai dengan dukungan mereka kepada agama Allah.
"Dan kelompok yang men- dapat pertolongan
- yang berdiri tegak di atas agama dan
tidak dirugikan oleh orang-orang yang menentang atau meninggalkannya sampai
Hari Kiamat -menjadi jelas, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: Satu
kelompok berjuang menolong agama, yang lain mengabaikannya, dan satu lagi
berada di luar Syarī'at Islam… UJIAN INI ADALAH SARANA PEMISAH DAN PEMBAGI DARI
ALLAH, {Supaya Allah memberikan
balasan kepada orang-orang yang jujur itu karena kejujurannya, dan menyiksa
orang munāfiq jika Dia menghendaki, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [Al-Ahzāb: 24]."
Beliau kemudian menyebutkan beberapa āyāt
tentang Perang Uhud untuk menggambarkan perbandingan antara sebab kekalahan di
barisan kaum Muslim ketika Perang Uhud, dan sebab kekalahan di barisan kaum
Muslim selama berlangsungnya invasi Mongol. Beliau berkata, "Allah
berfirman, {Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari
bertemu dua pasukan itu, hanyalah mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan
sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat dan sesungguhnya Allah telah
memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun} [Āli 'Imrān: 155]. Allah Ta’ala pun
berfirman, {Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika
kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih
dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan
kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan
diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan
kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkanmu.
Dan Allah mempunyai karunia untuk orang orang yang beriman} [Āli 'Imrān: 152].
Allah pun berfirman, {Dan mengapa ketika
kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan
kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr), kamu
berkata: "Darimana datangnya ini?" Katakanlah: "Itu dari dirimu
sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu} [Āli 'Imrān:
165]. [Selama pertempuran,] Syaithān berteriak kepada manusia, 'Muhammad telah
terbunuh.' Sehingga di antara mereka ada yang goyah dan melarikan diri, dan di
antara mereka ada yang tetap teguh dan berjuang. Sehingga Allah berfirman,
{Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu
berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur} [Āli 'Imrān: 144]. Dan hal
ini serupa dengan kondisi kaum Muslimin ketika mereka mengalami kekalahan tahun
lalu."
Beliau kemudian menyebutkan bahwa kekalahan
kaum Muslimin di zamannya disebabkan oleh perbuatan dosa, niat yang buruk,
bermegah-megahan, kesombongan, dll., dan kemudian berkata, "Hal itu
merupakan kebijaksanaan Allah dan rahmat-Nya pada orang yang beriman bahwa Dia
menguji mereka dengan cobaan yang telah Dia ujikan kepada mereka, sehingga
Allah dapat memurnikan orang beriman dan mereka bisa kembali kepada Rabb mereka
dengan bertaubat…
Sebagaimana pertolongan Allah atas kaum
muslimin pada hari Badr merupakan rahmat dan berkah, maka kekalahan mereka pada
hari Uhud juga merupakan berkah dan rahmat bagi orang beriman, karena
sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Allah tidak menetapkan apapun bagi seorang mu`min
kecuali hal itu baik. Dan ini bukan untuk siapapun kecuali mu`min. Jika ia menerima
kebaikan maka ia bersyukur kepada Allah, itu baik baginya, dan jika ia diuji
dengan kesulitan maka ia bersabar, dan itu baik baginya.'"
Ucapan Syaikhul-Islām di atas berlaku juga
bagi umat hari ini. Dan karena besarnya rahmat Allah kepada umat Muslim, Ia
menguji mereka dengan bencana yang beriringan untuk membangunkan mereka dari
tidur mereka, memurnikan barisan mereka, dan membimbing mereka untuk bertaubat
dari setiap dosa dan kembali kepada-Nya. Maka jika mereka bersabar atas bencana
yang menimpa mereka, itu akan menjadi rahmat dan berkah, dengan izin Allah.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah
lalu membagi manusia menjadi tiga kelompok berdasarkan keīmānan
mereka dan mulai menguraikan sifat munāfiqīn. Menjadi hal yang sangat penting untuk
mengenali munafqīn, karena mereka selalu menyembunyikan keburukan mereka dan
membuat suara mereka terdengar paling lantang ketika fitnah muncul. Penting
pula untuk mengetahui ciri-ciri dan
kebiasaan mereka seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan Sunnah karena
banyak orang yang mungkin jatuh ke dalam beberapa sifat nifāq dimasa fitnah
bahkan tanpa menyadarinya, dan dengan memahami sifat-sifat ini dapat membantu
seseorang untuk melindungi dirinya dari meniru munāfiqīn dan mengikuti jalan
rusak mereka, sebagaimana yang telah terjadi kepada banyak dari mereka yang murtad
yang sebelumnya menapaki jalan ilmu dan jihād dan sekarang bahu-membahu bersama
kaum sekuler di parlemen syirik dan faksi nasionalis mereka.
Syaikh menyatakan, "Dan manusia
terbagi [dalam pertempuran kita] sebagaimana mereka terbagi di masa al-Khandaq
(perang al-Ahzāb). Dan hal ini karena sejak Allah mengutus Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan memuliakan nya dengan Hijrah serta
pertolongan yang beliau peroleh, manusia telah terbagi menjadi tiga kelompok: Satu
kelompok beriman, mereka beriman dalam dirinya secara lahiriah dan batiniah,
satu kelompok tidak beriman, mereka menampakkan kekafiran dalam dirinya dengan
jelas, dan kelompok munāfiqīn, mereka yang hanya menampakkan keimanan di luar,
namun tidak di dalam hatinya."
Syaikh kemudian menggambarkan penyerupaan berbagai
jenis sekte murtadd Bātinī yang ada di masa kini, seperti Kharamiyyah,
Bātiniyyah, Qarāmitah, Ismā'īliyyah, dan Nusayriyyah. Beliau berkata, "Dan
banyak dari munāfiqīn[1] zaman ini yang condong pada negara Tartar
(Mongol) karena mereka tidak mewajibkan Syarī'at Islam atas mereka. Sebaliknya,
mereka meninggalkannya dan itulah yang mereka anut. Beberapa di antara mereka
melarikan diri dari Tartar bukan karena agama namun hanya karena sejarah kerusakan
Tartar dalam hal duniawi, ketamakan mereka atas harta, dan pertumpahan darah
yang tak terkendali serta perbudakan." Sayangnya, beberapa hal yang Ibnu
Taimiyah sebutkan di sini dalam mendeskripsikan anggota sekte Bātinī juga
terdapat pada banyak Muslim hari ini. Mereka melarikan diri dari kesempatan
berjihād dan penegakkan Syarī'at karena takut atas dunia mereka. Namun, jika
yang mereka takutkan adalah īmān mereka, mereka akan membela negeri Muslim
melawan murtaddīn. Wallāhul-musta'ān.
[1] Perhatikan pensifatan nifāq
(kemunafikan) oleh Ibnu Taymiyyah kepada sekte Bātinī ini hanyalah secara
bahasa, karena mereka mengaku Islam, padahal realitasnya bertentangan. Beliau
tidak bermaksud bahwa mereka dipandang sebagai munāfiqīn yang secara umum
diperlakukan sebagai Muslim. Sebaliknya, sekte ini mempraktekkan kufur dan
syirik secara terang-terangan, dan karenanya, sekte ini dihukumi sebagai
murtaddin, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh dalam sejumlah karya
terkenal beliau.
Syaikh kemudian menyebutkan salah satu sifat utama dari munāfiqīn:
"Dan termasuk dalam bagian ini adalah berpaling dari jihād, hal itu adalah
salah satu sifat para munāfiqīn. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Barang siapa mati tanpa pernah berperang
dan tanpa memiliki niat untuk berperang, maka ia mati pada salah satu cabang
dari nifāq’ [HR. Muslim]."
Beliau kemudian membahas Sūrat at-Taubah,
menyatakan, "Dan sūrat ini turun selama peperangan terakhir Nabi , Perang Tabūk di tahun ke-9 setelah Hijrah ketika Islam telah
menjadi kuat dan menang. Di dalamnya Allah mengungkap kondisi munāfiqīn, menjelaskan
mereka sebagai pengecut dan meninggalkan jihād, dan menjelaskan mereka sebagai
orang yang enggan berinfaq di jalan Allah dan menjadi bakhil atas harta
mereka."
Penting untuk dicatat bahwa penyingkapan
Allah tentang sifat pengecut dan bakhil munāfiqīn melalui sūrat ini – disebut juga
surat "al-Fādihah" (permaluan) sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu
'Abbās radhiallahu anhu - turun sehubungan dengan Perang Tabūk, yang
merupakan jihād ofensif. Maka betapa lebih banyak label nifāq yang berlaku bagi
mereka yang meninggalkan jihād hari ini ketika negeri kaum Muslimin diserang
dari segala arah oleh musuh Allah dan dikuasai oleh hukum dan konstitusi syirik
yang diterapkan dan dipaksakan oleh salibis dan 'boneka' mereka!
Seorang Muslim harus takut nama mereka
dicatat dalam sejarah sebagai orang yang meninggalkan jihād di saat umat berada
pada kondisi paling kritis, dan harus takut terhadap hari ketika mereka akan
berdiri di hadapan Allah bersama seluruh makhluk-Nya untuk bersaksi atas
perbuatan tecela dan memalukan itu. Tentu saja Dia yang mempermalukan dan
menyingkap munāfiqīn di dunia ini karena meninggalkan jihād ofensif di zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa alasan syar'i, juga mampu untuk mempermalukan dan menyingkap
- dengan setara - orang-orang yang meninggalkan jihād defensif hari ini tanpa
alasan yang syar'i.
Syaikhul-Islām kemudian menyatakan,
"Maka, sebagian makna dari 'mu`min' dan 'munāfiq' telah jelas. Jadi jika
seseorang membaca Sūrat al-Ahzāb dan mempelajari – dari apa yang telah diriwayatkan dalam hadits, Tafsīr,
Fiqih, dan Sīrah – gambaran situasi yang dijelaskan al-Qur'an, dan kemudian
merenungkan peristiwa ini dengan jernih, ia akan melihat kebenaran dari apa
yang telah kami sebutkan; bahwa manusia terbagi –pada peristiwa saat ini – ke
dalam tiga kelompok sebagaimana mereka terbagi pada [peristiwa] masa
lalu."
Dan begitu pula hari ini, manusia terbagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan pada penegakkan Daulah Islam dan kembalinya
khilāfah 'alā minhāj an-Nubuwwah, yaitu: kelompok yang mendukung kebangkitan Khilāfah
dan penerapan Syarī'at, kelompok yang menyatakan perang melawan Khilāfah dan
Syarī'at, dan kelompok ketiga yang mengaku mendukung penegakkan Khilāfah dan penerapan
Syarī'at namun tampak masih berpikir bahwa semua ini dapat terwujud dengan
meninggalkan jihād, menyebarkan ketakutan, dan mengkritik mujāhidīn atas semua kekurangan
yang nampak.
Syaikhul-Islām kemudian menceritakan kembali
secara singkat kisah pertempuran al-Ahzāb dan menggambarkan situasi di Syām.
Dia kemudian menyebutkan firman Allah {[Ingatlah] ketika mereka datang kepadamu
dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan [karena takut]
dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap
Allah dengan [bermacam-macam] prasangka. Disitulah orang-orang mu`min diuji dan
digoncangkan dengan goncangan yang sangat} [Al-Ahzāb: 10-11], dan kemudian menyatakan,
"Musuh datang dari kedua sisi dataran tinggi Syām…” Jadi penglihatan
manusia tidak tetap karena ketakutan dan hati mereka menyesak sampai ke
tenggorokan mereka karena beratnya ujian, terutama ketika tersebar berita bahwa
pasukan Muslim pergi ke Mesir dan musuh mendekat ke Dimashq.
Manusia memiliki berbagai prasangka terhadap
Allah. Ada yang berpikir bahwa tidak ada satu pun pasukan Syām yang akan mampu
menghadapi mereka dan mereka [bangsa Mongol] benar-benar akan menghancurkan
mereka dan mengepung mereka seperti bulan yang dikelilingi cahaya, dan ada juga
yang berpikir bahwa mereka tidak bisa lebih lama lagi berada di bumi Syām dan
ia tidak lagi menjadi negeri umat Islam, dan yang lain berpikir bahwa [bangsa
Mongol] akan merebut [Syām] dan kemudian melanjutkan ke Mesir dan mengambilnya dan
tidak akan ada yang mampu mencegah mereka sehingga ia berpikir untuk melarikan
diri ke Yaman dan ke tempat lain, dan ada pula lainnya – berpikir sedikit lebih
positif - berkata, 'Mereka akan menguasai [Syām] tahun ini sebagaimana mereka
menguasainya pada tahun Hulagu ke-657 [Hijrī]. Kemudian akan keluar pasukan
dari Mesir membebaskannya dari mereka sebagaimana mereka keluar di tahun itu."
Dan inilah prasangka terbaik di antara mereka."
Sebagaimana penduduk Syām mulai
berprasangka buruk ketika menghadapi fitnah Mongol, begitu pula banyak Muslim
hari ini berprasangka buruk ketika menghadapi fitnah tawāghīt dan tentara
salibis, bahkan menjadi murtad karena prasangka ini! Meskipun kebangkitan
Khilāfah, penegakkan Syarī'at, ekspansi
wilayah Daulah Islam, dan pembantaian murtaddīn yang tak terhitung jumlahnya di
tangan tentaranya, banyak dari faksi-faksi Suriah – termasuk yang menyebut
kelompoknya "Islami" - terus bersikap seolah-olah Bashar takkan
mungkin dikalahkan oleh sekelompok Muslim yang mempercayakan kemenangan kepada
Allah semata. Faksi-faksi ini, bukannya meletakkan kepercayaan mereka kepada Allah
dan berperang karena-Nya, malah berprasangka buruk terhadap Allah dan bergerak
di atas prasangka negatif mereka dengan mengemis kepada tentara salibis untuk
memasok mereka dengan senjata dan menetapkan zona tanpa-penerbangan. Sebagai
imbalan atas dukungan tentara salibis dan thāghūt, faksi-faksi ini bekerja sama
dengan kufār melawan muhājirīn dan ansār Daulah Islam.
Tawakkalnya faksi ini kepada kuffār telah
merendahkan mereka untuk menerima negosiasi dengan rezim Nusayrī untuk
"transisi damai" ke arah sebuah pemerintahan thāghūt baru. Ibnu
Taimiyyah rahimahullah kemudian berkata, "Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman, {Dan ketika segolongan di antara
mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib, tidak ada tempat bagimu [di sini],
maka kembalilah kamu [ke rumah]”} [Al-Ahzāb: 13]. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkemah dengan kaum Muslim di Gunung Sila'
dan membuat parit di antara beliau dan musuh.
Sekelompok di antara munāfiqīn berkata,
'Tidak ada tempat bagimu untuk mengambil posisi di sini karena besarnya jumlah musuh,
maka kembalilah ke Madīnah.' Dan dikatakan [yang maksudnya], 'Engkau tidak
memiliki kemampuan untuk tetap berada pada agama Muhammad, maka kembalilah ke
agama syirik.' Dan dikatakan [yang maksudnya], 'Engkau tidak memiliki kemampuan
untuk berperang, maka pertimbangkanlah agar dapat berlindung di bawah kekuasaan
mereka.' Dan begitu pula, ketika musuh ini datang, ada di antara munāfiqīn yang
berkata, 'Daulah Islam tidak lagi berdiri kokoh, maka langkah yang tepat yang
harus dilakukan adalah bergabung dengan Negara Tartar.' Dan beberapa orang
mengatakan, 'Kita tidak bisa tinggal di bumi Syām lagi. Lebih baik kita pindah
ke al-Hijāz dan Yaman atau ke Mesir.' Dan sebagian dari mereka berkata,
'Bahkan, kebaikan umum adalah dengan menyerah pada mereka dan menempatkan diri
kita di bawah kekuasaan mereka sebagaimana orang-orang Iraq menyerah pada
mereka.’ Tiga pernyataan tersebut diungkapkan selama peristiwa ini sebagaimana
yang mereka ungkapkan selama peristiwa itu. Inilah yang dikatakan sekelompok munāfiqīn
dan mereka yang hatinya berpenyakitkhususnya kepada penduduk Dimashq dan
umumnya kepada penduduk Syām: Kalian tidak memiliki kemampuan untuk tetap
tinggal di negeri ini.”
Pernyataan munāfiqīn ini pun diulangi di
zaman kita oleh berbagai faksi-faksi shahwat murtad dan ideologinya. Mereka
menanamkan keraguan akan kemampuan mujāhidīn menghadapi orang kafir, bahkan
memperingatkan bahwa Mosul akan jatuh dan menasihati para wanita untuk
meninggalkan kota.
Yang lainnya, sementara itu, terus
bersikeras dengan manhaj "pragmatisme" mereka, mengklaim bukanlah "pragmatis"
untuk mencoba memerangi kuffār secara langsung, dan Muslim harus menyembunyikan
niat mereka untuk menerapkan Syarī'at dan harus ikut dalam demokrasi untuk
memperoleh kekuasaan. Hal ini, tentu saja, tidak berbeda dengan pernyataan munāfiqīn
yang disebutkan di atas, 'Kau tidak memiliki kemampuan untuk tetap berada pada agama
Muhammad, maka kembalilah ke agama syirik.' Namun yang lainnya percaya bahwa
mereka tidak memiliki kemampuan untuk memerangi tentara salibis, sehingga
mereka malah terpaksa mencari bantuan dan perlindungan dari salibis untuk
melawan musuh lainnya, walaupun untuk itu mengharuskan kerja sama dengan
salibis untuk melawan Muslim! Syaikhul-Islām lalu menggambarkan mereka yang tidak
puas hanya dengan meninggalkan jihād dan mewajibkan diri mereka untuk
menghalang-halangi orang lain dari berperang di jalan Allah.
Di zaman kita, bahkan sampai-sampai orang
tua rela untuk melaporkan kepada pihak berwenang kāfir dan menangkap anak-anak
mereka sendiri dan memenjarakan mereka selama puluhan tahun untuk menghentikan mereka
dari bergabung dengan mujāhidīn. Dalam menggambarkan orang-orang yang
menghalang-halangi orang lain dari jihād di jalan Allah, Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan, "Allah Ta’ala berfirman, {Sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang [munāfiq]
yang berkata kepada saudara-saudaranya: ‘Datanglah kepada kami’} [Al-Ahzāb:
18]. Para ulama berkata, 'Di antara munāfiqīn [selama Perang al-Ahzāb] adalah
mereka yang kembali dari parit dan pergi ke Madīnah. Jika ada yang datang
kepada mereka, mereka akan berkata kepadanya, 'Celakalah kamu! Tinggallah di sini
dan jangan keluar.' Dan mereka pun akan menulis surat bagi saudara-saudara
mereka di dalam pasukan [Muslim], berisi, 'Kemarilah ke Madīnah, kami
menunggumu,' sehingga dengan demikian mengecilkan hati mereka untuk
berperang.'”
Syaikhul-Islām kemudian membahas sifat lain
dari munāfiqīn yang disinggung dalam āyat {Dan apabila ketakutan telah hilang,
mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam} [Al-Ahzāb: 19], yang menceritakan
penghinaan keras mereka kepada mujāhidīn, termasuk menghina mereka dan
menyatakan mereka gila atau tertipu. Beliau berkata, "Dan di masa itu
mereka berkata, 'Kalian - dengan jumlah yang kecil dan lemah - ingin
menghancurkan musuh. Sungguh, agamamu telah menipumu,' sebagaimana Allah Ta’ala firmankan, {[Ingatlah], ketika orang-orang munāfiq dan
orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (kaum
Muslim) tertipu oleh agamanya". Namun barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah – maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana} [Al-Anfāl: 49].
Dan di masa itu mereka berkata, 'Kalian
gila dan bodoh. Kalian ingin menghancurkan diri kalian dan menghancurkan orang
yang bersama kalian." Dan ketika itu mereka mengatakan perkataan lainnya yang
keras dan menyakitkan." Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian menyebutkan
firman Allah, {Mereka mengira golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika
golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan
[dari jauh] tentang beritamu} [Al-Ahzāb: 20].
Ini seperti mereka yang duduk-duduk dari
jihād dan mengikuti kabar secara teratur agar tetap mengetahui perkembangan
terkini tentang apa yang terjadi. Mereka berpikir bahwa diri mereka memiliki
pengetahuan namun kenyataannya mereka seringkali sama bodohnya dengan Badui
yang mengikuti berita mujāhidīn, di mana banyak dari mereka yang mengandalkan
media kāfir tukang fitnah sebagai sumber informasi utama mereka tentang jihād.
Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian membahas makna
jujur dalam pengakuan īmān oleh seseorang. Dia menyebutkan āyat, {Di antara
orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang telah menepati janjinya
[untuk gugur]} [Al-Ahzāb: 23], dan āyat, {Sesungguhnya orang-orang yang beriman
itu hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan
Allah. Mereka itulah orang-orang yang jujur} [Al-Hujurāt: 15]. Beliau lantas
berkata, "Jadi Dia (Allah) membatasi īmān pada mu`minin mujāhid dan memberitahu
bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur dalam berkata, 'Kami beriman.'"
Setelah sebelumnya menyebutkan ciri-ciri
munāfiqīn, Syaikhul- Islām kemudian mengingatkan bahwa meskipun kejahatan
mereka, mereka masih dapat diampuni jika bertaubat sebelum terlambat. Beliau
berkata, "Adapun munāfiqīn, mereka berada di antara dua hal: Apakah Dia
menghukum mereka atau Dia menerima taubat mereka. Inilah kondisi manusia
terhadap al-Khandaq dan terhadap para penjajah ini. Juga, Allah Ta’ala menguji manusia dengan fitnah ini agar Dia memberi pahala kepada
orang beriman atas kejujuran mereka – yaitu yang tetap teguh dan sabar dalam menolong
Allah dan Rasul-Nya – dan menghukum munāfiqīn jika Dia berkehendak atau
menerima taubat mereka."
Semoga Allah melindungi orang-orang beriman
dari makar orang-orang munāfiq. Āmīn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar