8/10/2019

Pelajaran dari Fitnah Bangsa Mongol


Pelajaran dari Fitnah
Bangsa Mongol

Tujuh ratus tahun lalu, sebuah pasukan yang dipimpin oleh raja Mongol Mahmud Ghazan menyerang bumi Syām, menyebarkan kerusakan di bumi dan menyebabkan kepanikan. Setelah mengalahkan pasukan Muslim di pertempuran Wādī al-Khazandar, Ghazan meneruskan ke Dimashq.

Dia lantas menarik diri dari bumi Syām, namun itu tidak terjadi sebelum Muslim di bumi itu menghadapi ujian dahsyat yang menguji tawakkal mereka pada Allah dan keimanan mereka akan janji-Nya tentang pertolongan dan kemenangan saat pasukan Mongol merebut Dimashq dan mengepung bentengnya.

Berikut ini adalah kata-kata pilihan Shaykhul-Islām Ibnu Taimiyyah menceritakan kembali fitnah yang mencengkeram kaum Muslim dan menggetarkan jiwa mereka saat musuh merangsek semakin dekat ke Dimashq. Syaikh menggambarkan perbandingan antara pertempuran al-Ahzāb di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan fitnah Ghazan, menyuguhkan pelajaran bagi orang beriman yang akan tetap penting dan relevan sampai kubu īmān mengalahkan kubu kufur hingga tuntas.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah memulai dengan menyatakan pentingnya mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang menguji orang beriman sebelum kita, dan perlunya membandingkan situasi kita dengannya. "Sungguh, telah terjadi dalam fitnah ini - yang dengannya Allah menguji umat Muslim dengan invasi musuh yang berada di luar jangkauan Syarī'at Islam - mirip dengan apa yang terjadi dengan umat Muslim dan musuh mereka di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , Janji Allah dalam kitab-Nya dan dalam Sunnah Rasul-Nya meliputi generasi terakhir umat ini sebagaimana meliputi generasi awalnya. Allah menceritakan kisah umat-umat sebelum kita sebagai pelajaran, sehingga kita dapat membandingkan situasi kita dengan situasi mereka dan menilai umat terakhir berdasarkan umat pertama."

Syaikh kemudian melanjutkan dengan membagi manusia menjadi tiga kelompok sesuai dengan dukungan mereka kepada agama Allah. "Dan kelompok yang men- dapat pertolongan -  yang berdiri tegak di atas agama dan tidak dirugikan oleh orang-orang yang menentang atau meninggalkannya sampai Hari Kiamat -menjadi jelas, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: Satu kelompok berjuang menolong agama, yang lain mengabaikannya, dan satu lagi berada di luar Syarī'at Islam… UJIAN INI ADALAH SARANA PEMISAH DAN PEMBAGI DARI ALLAH, {Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang jujur itu karena kejujurannya, dan menyiksa orang munāfiq jika Dia menghendaki, atau menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang} [Al-Ahzāb: 24]."

Beliau kemudian menyebutkan beberapa āyāt tentang Perang Uhud untuk menggambarkan perbandingan antara sebab kekalahan di barisan kaum Muslim ketika Perang Uhud, dan sebab kekalahan di barisan kaum Muslim selama berlangsungnya invasi Mongol. Beliau berkata, "Allah berfirman, {Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antaramu pada hari bertemu dua pasukan itu, hanyalah mereka digelincirkan oleh syaitan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun} [Āli 'Imrān: 155]. Allah Ta’ala pun berfirman, {Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu, dan sesunguhnya Allah telah memaafkanmu. Dan Allah mempunyai karunia untuk orang orang yang beriman} [Āli 'Imrān: 152].

Allah pun berfirman, {Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badr), kamu berkata: "Darimana datangnya ini?" Katakanlah: "Itu dari dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu} [Āli 'Imrān: 165]. [Selama pertempuran,] Syaithān berteriak kepada manusia, 'Muhammad telah terbunuh.' Sehingga di antara mereka ada yang goyah dan melarikan diri, dan di antara mereka ada yang tetap teguh dan berjuang. Sehingga Allah berfirman, {Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur} [Āli 'Imrān: 144]. Dan hal ini serupa dengan kondisi kaum Muslimin ketika mereka mengalami kekalahan tahun lalu."

Beliau kemudian menyebutkan bahwa kekalahan kaum Muslimin di zamannya disebabkan oleh perbuatan dosa, niat yang buruk, bermegah-megahan, kesombongan, dll., dan kemudian berkata, "Hal itu merupakan kebijaksanaan Allah dan rahmat-Nya pada orang yang beriman bahwa Dia menguji mereka dengan cobaan yang telah Dia ujikan kepada mereka, sehingga Allah dapat memurnikan orang beriman dan mereka bisa kembali kepada Rabb mereka dengan  bertaubat…

Sebagaimana pertolongan Allah atas kaum muslimin pada hari Badr merupakan rahmat dan berkah, maka kekalahan mereka pada hari Uhud juga merupakan berkah dan rahmat bagi orang beriman, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 'Allah tidak menetapkan apapun bagi seorang mu`min kecuali hal itu baik. Dan ini bukan untuk siapapun kecuali mu`min. Jika ia menerima kebaikan maka ia bersyukur kepada Allah, itu baik baginya, dan jika ia diuji dengan kesulitan maka ia bersabar, dan itu baik baginya.'"

Ucapan Syaikhul-Islām di atas berlaku juga bagi umat hari ini. Dan karena besarnya rahmat Allah kepada umat Muslim, Ia menguji mereka dengan bencana yang beriringan untuk membangunkan mereka dari tidur mereka, memurnikan barisan mereka, dan membimbing mereka untuk bertaubat dari setiap dosa dan kembali kepada-Nya. Maka jika mereka bersabar atas bencana yang menimpa mereka, itu akan menjadi rahmat dan berkah, dengan izin Allah.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah lalu membagi manusia menjadi tiga kelompok berdasarkan keīmānan mereka dan mulai menguraikan sifat munāfiqīn. Menjadi hal yang sangat penting untuk mengenali munafqīn, karena mereka selalu menyembunyikan keburukan mereka dan membuat suara mereka terdengar paling lantang ketika fitnah muncul. Penting pula untuk   mengetahui ciri-ciri dan kebiasaan mereka seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an dan Sunnah karena banyak orang yang mungkin jatuh ke dalam beberapa sifat nifāq dimasa fitnah bahkan tanpa menyadarinya, dan dengan memahami sifat-sifat ini dapat membantu seseorang untuk melindungi dirinya dari meniru munāfiqīn dan mengikuti jalan rusak mereka, sebagaimana yang telah terjadi kepada banyak dari mereka yang murtad yang sebelumnya menapaki jalan ilmu dan jihād dan sekarang bahu-membahu bersama kaum sekuler di parlemen syirik dan faksi nasionalis mereka.

Syaikh menyatakan, "Dan manusia terbagi [dalam pertempuran kita] sebagaimana mereka terbagi di masa al-Khandaq (perang al-Ahzāb). Dan hal ini karena sejak Allah mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memuliakan nya dengan Hijrah serta pertolongan yang beliau peroleh, manusia telah terbagi menjadi tiga kelompok: Satu kelompok beriman, mereka beriman dalam dirinya secara lahiriah dan batiniah, satu kelompok tidak beriman, mereka menampakkan kekafiran dalam dirinya dengan jelas, dan kelompok munāfiqīn, mereka yang hanya menampakkan keimanan di luar, namun tidak di dalam hatinya."

Syaikh kemudian menggambarkan penyerupaan berbagai jenis sekte murtadd Bātinī yang ada di masa kini, seperti Kharamiyyah, Bātiniyyah, Qarāmitah, Ismā'īliyyah, dan Nusayriyyah. Beliau berkata, "Dan banyak dari munāfiqīn[1] zaman ini yang condong pada negara Tartar (Mongol) karena mereka tidak mewajibkan Syarī'at Islam atas mereka. Sebaliknya, mereka meninggalkannya dan itulah yang mereka anut. Beberapa di antara mereka melarikan diri dari Tartar bukan karena agama namun hanya karena sejarah kerusakan Tartar dalam hal duniawi, ketamakan mereka atas harta, dan pertumpahan darah yang tak terkendali serta perbudakan." Sayangnya, beberapa hal yang Ibnu Taimiyah sebutkan di sini dalam mendeskripsikan anggota sekte Bātinī juga terdapat pada banyak Muslim hari ini. Mereka melarikan diri dari kesempatan berjihād dan penegakkan Syarī'at karena takut atas dunia mereka. Namun, jika yang mereka takutkan adalah īmān mereka, mereka akan membela negeri Muslim melawan murtaddīn. Wallāhul-musta'ān.

[1] Perhatikan pensifatan nifāq (kemunafikan) oleh Ibnu Taymiyyah kepada sekte Bātinī ini hanyalah secara bahasa, karena mereka mengaku Islam, padahal realitasnya bertentangan. Beliau tidak bermaksud bahwa mereka dipandang sebagai munāfiqīn yang secara umum diperlakukan sebagai Muslim. Sebaliknya, sekte ini mempraktekkan kufur dan syirik secara terang-terangan, dan karenanya, sekte ini dihukumi sebagai murtaddin, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh dalam sejumlah karya terkenal beliau.

Syaikh kemudian menyebutkan salah satu sifat utama dari munāfiqīn: "Dan termasuk dalam bagian ini adalah berpaling dari jihād, hal itu adalah salah satu sifat para munāfiqīn. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa mati tanpa pernah berperang dan tanpa memiliki niat untuk berperang, maka ia mati pada salah satu cabang dari nifāq’ [HR. Muslim]."

Beliau kemudian membahas Sūrat at-Taubah, menyatakan, "Dan sūrat ini turun selama peperangan terakhir Nabi , Perang Tabūk di tahun ke-9 setelah Hijrah ketika Islam telah menjadi kuat dan menang. Di dalamnya Allah mengungkap kondisi munāfiqīn, menjelaskan mereka sebagai pengecut dan meninggalkan jihād, dan menjelaskan mereka sebagai orang yang enggan berinfaq di jalan Allah dan menjadi bakhil atas harta mereka."

Penting untuk dicatat bahwa penyingkapan Allah tentang sifat pengecut dan bakhil munāfiqīn melalui sūrat ini – disebut juga surat "al-Fādihah" (permaluan) sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu 'Abbās radhiallahu anhu - turun sehubungan dengan Perang Tabūk, yang merupakan jihād ofensif. Maka betapa lebih banyak label nifāq yang berlaku bagi mereka yang meninggalkan jihād hari ini ketika negeri kaum Muslimin diserang dari segala arah oleh musuh Allah dan dikuasai oleh hukum dan konstitusi syirik yang diterapkan dan dipaksakan oleh salibis dan 'boneka' mereka!

Seorang Muslim harus takut nama mereka dicatat dalam sejarah sebagai orang yang meninggalkan jihād di saat umat berada pada kondisi paling kritis, dan harus takut terhadap hari ketika mereka akan berdiri di hadapan Allah bersama seluruh makhluk-Nya untuk bersaksi atas perbuatan tecela dan memalukan itu. Tentu saja Dia yang mempermalukan dan menyingkap munāfiqīn di dunia ini karena meninggalkan jihād ofensif di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa alasan syar'i, juga mampu untuk mempermalukan dan menyingkap - dengan setara - orang-orang yang meninggalkan jihād defensif hari ini tanpa alasan yang syar'i.

Syaikhul-Islām kemudian menyatakan, "Maka, sebagian makna dari 'mu`min' dan 'munāfiq' telah jelas. Jadi jika seseorang membaca Sūrat al-Ahzāb dan mempelajari – dari apa  yang telah diriwayatkan dalam hadits, Tafsīr, Fiqih, dan Sīrah – gambaran situasi yang dijelaskan al-Qur'an, dan kemudian merenungkan peristiwa ini dengan jernih, ia akan melihat kebenaran dari apa yang telah kami sebutkan; bahwa manusia terbagi –pada peristiwa saat ini – ke dalam tiga kelompok sebagaimana mereka terbagi pada [peristiwa] masa lalu."

Dan begitu pula hari ini, manusia terbagi menjadi tiga kelompok berdasarkan pada penegakkan Daulah Islam dan kembalinya khilāfah 'alā minhāj an-Nubuwwah, yaitu: kelompok yang mendukung kebangkitan Khilāfah dan penerapan Syarī'at, kelompok yang menyatakan perang melawan Khilāfah dan Syarī'at, dan kelompok ketiga yang mengaku mendukung penegakkan Khilāfah dan penerapan Syarī'at namun tampak masih berpikir bahwa semua ini dapat terwujud dengan meninggalkan jihād, menyebarkan ketakutan, dan mengkritik mujāhidīn atas semua kekurangan yang nampak.

Syaikhul-Islām kemudian menceritakan kembali secara singkat kisah pertempuran al-Ahzāb dan menggambarkan situasi di Syām. Dia kemudian menyebutkan firman Allah {[Ingatlah] ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan [karena takut] dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan [bermacam-macam] prasangka. Disitulah orang-orang mu`min diuji dan digoncangkan dengan goncangan yang sangat} [Al-Ahzāb: 10-11], dan kemudian menyatakan, "Musuh datang dari kedua sisi dataran tinggi Syām…” Jadi penglihatan manusia tidak tetap karena ketakutan dan hati mereka menyesak sampai ke tenggorokan mereka karena beratnya ujian, terutama ketika tersebar berita bahwa pasukan Muslim pergi ke Mesir dan musuh mendekat ke Dimashq.

Manusia memiliki berbagai prasangka terhadap Allah. Ada yang berpikir bahwa tidak ada satu pun pasukan Syām yang akan mampu menghadapi mereka dan mereka [bangsa Mongol] benar-benar akan menghancurkan mereka dan mengepung mereka seperti bulan yang dikelilingi cahaya, dan ada juga yang berpikir bahwa mereka tidak bisa lebih lama lagi berada di bumi Syām dan ia tidak lagi menjadi negeri umat Islam, dan yang lain berpikir bahwa [bangsa Mongol] akan merebut [Syām] dan kemudian melanjutkan ke Mesir dan mengambilnya dan tidak akan ada yang mampu mencegah mereka sehingga ia berpikir untuk melarikan diri ke Yaman dan ke tempat lain, dan ada pula lainnya – berpikir sedikit lebih positif - berkata, 'Mereka akan menguasai [Syām] tahun ini sebagaimana mereka menguasainya pada tahun Hulagu ke-657 [Hijrī]. Kemudian akan keluar pasukan dari Mesir membebaskannya dari mereka sebagaimana mereka keluar di tahun itu." Dan inilah prasangka terbaik di antara mereka."

Sebagaimana penduduk Syām mulai berprasangka buruk ketika menghadapi fitnah Mongol, begitu pula banyak Muslim hari ini berprasangka buruk ketika menghadapi fitnah tawāghīt dan tentara salibis, bahkan menjadi murtad karena prasangka ini! Meskipun kebangkitan Khilāfah, penegakkan Syarī'at,  ekspansi wilayah Daulah Islam, dan pembantaian murtaddīn yang tak terhitung jumlahnya di tangan tentaranya, banyak dari faksi-faksi Suriah – termasuk yang menyebut kelompoknya "Islami" - terus bersikap seolah-olah Bashar takkan mungkin dikalahkan oleh sekelompok Muslim yang mempercayakan kemenangan kepada Allah semata. Faksi-faksi ini, bukannya meletakkan kepercayaan mereka kepada Allah dan berperang karena-Nya, malah berprasangka buruk terhadap Allah dan bergerak di atas prasangka negatif mereka dengan mengemis kepada tentara salibis untuk memasok mereka dengan senjata dan menetapkan zona tanpa-penerbangan. Sebagai imbalan atas dukungan tentara salibis dan thāghūt, faksi-faksi ini bekerja sama dengan kufār melawan muhājirīn dan ansār Daulah Islam.

Tawakkalnya faksi ini kepada kuffār telah merendahkan mereka untuk menerima negosiasi dengan rezim Nusayrī untuk "transisi damai" ke arah sebuah pemerintahan thāghūt baru. Ibnu Taimiyyah rahimahullah kemudian berkata, "Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, {Dan ketika segolongan di antara mereka berkata: "Hai penduduk Yatsrib, tidak ada tempat bagimu [di sini], maka kembalilah kamu [ke rumah]”} [Al-Ahzāb: 13]. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkemah dengan kaum Muslim di Gunung Sila' dan membuat parit di antara beliau dan musuh.

Sekelompok di antara munāfiqīn berkata, 'Tidak ada tempat bagimu untuk mengambil posisi di sini karena besarnya jumlah musuh, maka kembalilah ke Madīnah.' Dan dikatakan [yang maksudnya], 'Engkau tidak memiliki kemampuan untuk tetap berada pada agama Muhammad, maka kembalilah ke agama syirik.' Dan dikatakan [yang maksudnya], 'Engkau tidak memiliki kemampuan untuk berperang, maka pertimbangkanlah agar dapat berlindung di bawah kekuasaan mereka.' Dan begitu pula, ketika musuh ini datang, ada di antara munāfiqīn yang berkata, 'Daulah Islam tidak lagi berdiri kokoh, maka langkah yang tepat yang harus dilakukan adalah bergabung dengan Negara Tartar.' Dan beberapa orang mengatakan, 'Kita tidak bisa tinggal di bumi Syām lagi. Lebih baik kita pindah ke al-Hijāz dan Yaman atau ke Mesir.' Dan sebagian dari mereka berkata, 'Bahkan, kebaikan umum adalah dengan menyerah pada mereka dan menempatkan diri kita di bawah kekuasaan mereka sebagaimana orang-orang Iraq menyerah pada mereka.’ Tiga pernyataan tersebut diungkapkan selama peristiwa ini sebagaimana yang mereka ungkapkan selama peristiwa itu. Inilah yang dikatakan sekelompok munāfiqīn dan mereka yang hatinya berpenyakitkhususnya kepada penduduk Dimashq dan umumnya kepada penduduk Syām: Kalian tidak memiliki kemampuan untuk tetap tinggal di negeri ini.”

Pernyataan munāfiqīn ini pun diulangi di zaman kita oleh berbagai faksi-faksi shahwat murtad dan ideologinya. Mereka menanamkan keraguan akan kemampuan mujāhidīn menghadapi orang kafir, bahkan memperingatkan bahwa Mosul akan jatuh dan menasihati para wanita untuk meninggalkan kota.

Yang lainnya, sementara itu, terus bersikeras dengan manhaj "pragmatisme" mereka, mengklaim bukanlah "pragmatis" untuk mencoba memerangi kuffār secara langsung, dan Muslim harus menyembunyikan niat mereka untuk menerapkan Syarī'at dan harus ikut dalam demokrasi untuk memperoleh kekuasaan. Hal ini, tentu saja, tidak berbeda dengan pernyataan munāfiqīn yang disebutkan di atas, 'Kau tidak memiliki kemampuan untuk tetap berada pada agama Muhammad, maka kembalilah ke agama syirik.' Namun yang lainnya percaya bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk memerangi tentara salibis, sehingga mereka malah terpaksa mencari bantuan dan perlindungan dari salibis untuk melawan musuh lainnya, walaupun untuk itu mengharuskan kerja sama dengan salibis untuk melawan Muslim! Syaikhul-Islām lalu menggambarkan mereka yang tidak puas hanya dengan meninggalkan jihād dan mewajibkan diri mereka untuk menghalang-halangi orang lain dari berperang di jalan Allah.

Di zaman kita, bahkan sampai-sampai orang tua rela untuk melaporkan kepada pihak berwenang kāfir dan menangkap anak-anak mereka sendiri dan memenjarakan mereka selama puluhan tahun untuk menghentikan mereka dari bergabung dengan mujāhidīn. Dalam menggambarkan orang-orang yang menghalang-halangi orang lain dari jihād di jalan Allah, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, "Allah Ta’ala berfirman, {Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kamu dan orang-orang [munāfiq] yang berkata kepada saudara-saudaranya: ‘Datanglah kepada kami’} [Al-Ahzāb: 18]. Para ulama berkata, 'Di antara munāfiqīn [selama Perang al-Ahzāb] adalah mereka yang kembali dari parit dan pergi ke Madīnah. Jika ada yang datang kepada mereka, mereka akan berkata kepadanya, 'Celakalah kamu! Tinggallah di sini dan jangan keluar.' Dan mereka pun akan menulis surat bagi saudara-saudara mereka di dalam pasukan [Muslim], berisi, 'Kemarilah ke Madīnah, kami menunggumu,' sehingga dengan demikian mengecilkan hati mereka untuk berperang.'”

Syaikhul-Islām kemudian membahas sifat lain dari munāfiqīn yang disinggung dalam āyat {Dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam} [Al-Ahzāb: 19], yang menceritakan penghinaan keras mereka kepada mujāhidīn, termasuk menghina mereka dan menyatakan mereka gila atau tertipu. Beliau berkata, "Dan di masa itu mereka berkata, 'Kalian - dengan jumlah yang kecil dan lemah - ingin menghancurkan musuh. Sungguh, agamamu telah menipumu,' sebagaimana Allah Ta’ala firmankan, {[Ingatlah], ketika orang-orang munāfiq dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: "Mereka itu (kaum Muslim) tertipu oleh agamanya". Namun barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah – maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana} [Al-Anfāl: 49].

Dan di masa itu mereka berkata, 'Kalian gila dan bodoh. Kalian ingin menghancurkan diri kalian dan menghancurkan orang yang bersama kalian." Dan ketika itu mereka mengatakan perkataan lainnya yang keras dan menyakitkan." Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian menyebutkan firman Allah, {Mereka mengira golongan yang bersekutu itu belum pergi; dan jika golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanya-nanyakan [dari jauh] tentang beritamu} [Al-Ahzāb: 20].

Ini seperti mereka yang duduk-duduk dari jihād dan mengikuti kabar secara teratur agar tetap mengetahui perkembangan terkini tentang apa yang terjadi. Mereka berpikir bahwa diri mereka memiliki pengetahuan namun kenyataannya mereka seringkali sama bodohnya dengan Badui yang mengikuti berita mujāhidīn, di mana banyak dari mereka yang mengandalkan media kāfir tukang fitnah sebagai sumber informasi utama mereka tentang jihād.

Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian membahas makna jujur dalam pengakuan īmān oleh seseorang. Dia menyebutkan āyat, {Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang telah menepati janjinya [untuk gugur]} [Al-Ahzāb: 23], dan āyat, {Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang jujur} [Al-Hujurāt: 15]. Beliau lantas berkata, "Jadi Dia (Allah) membatasi īmān pada mu`minin mujāhid dan memberitahu bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur dalam berkata, 'Kami beriman.'"

Setelah sebelumnya menyebutkan ciri-ciri munāfiqīn, Syaikhul- Islām kemudian mengingatkan bahwa meskipun kejahatan mereka, mereka masih dapat diampuni jika bertaubat sebelum terlambat. Beliau berkata, "Adapun munāfiqīn, mereka berada di antara dua hal: Apakah Dia menghukum mereka atau Dia menerima taubat mereka. Inilah kondisi manusia terhadap al-Khandaq dan terhadap para penjajah ini. Juga, Allah Ta’ala menguji manusia dengan fitnah ini agar Dia memberi pahala kepada orang beriman atas kejujuran mereka – yaitu yang tetap teguh dan sabar dalam menolong Allah dan Rasul-Nya – dan menghukum munāfiqīn jika Dia berkehendak atau menerima taubat mereka."

Semoga Allah melindungi orang-orang beriman dari makar orang-orang munāfiq. Āmīn.


Source: DABIQ 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...