Keutamaan Ribath
Di Jalan Allah
Perintah Allah untuk
Melaksanakan Ribath
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan
tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada
Allah agar kamu beruntung”
[
Ali Imran: 200].
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma) berkata, “{Wahai
orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu} dalam beribadah kepada Allah, {dan kuatkanlah
kesabaranmu} terhadap musuhmusuh Allah, {dan tetaplah bersiap-siaga} di jalan
Allah”. [Tafsir Ibnu Al-Mundzir].
Abu Ubaidah bin al-Jarrah menulis surat kepada
Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhuma) mengadukan tentang pertempuran melawan
Romawi dan kekhawatiran terhadap mereka, maka Umar menjawab surat itu dengan menulis,
“Amma ba’du, sesungguhnya tidak ada kesulitan yang menimpa seorang hamba,
kecuali Allah akan memberikan kemudahan baginya setelah itu, dan tidaklah satu kesulitan
akan mengalahkan dua kemudahan, dan Allah juga telah berfirman di dalam
kitab-Nya; {Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (ribath di perbatasan negerimu) {dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Muwaththa` Imam Malik]
Al-Hasan Al-Bashri (rahimahullah) menafsirkan
ayat di atas dengan mengatakan; “Dia memerintahkan mereka agar bersabar di atas
dien mereka, dan tidak meninggalkannya dan tidak meninggalkannya karena
kesulitan, kemewahan, kenikmatan, atau musibah. Dia memerintahkan mereka untuk menguatkan
kesabaran terhadap orang-orang kafir dan untuk melakukan Ribath terhadap musyrikīn.”
[Tafsir ath-Thabari].
Zaid bin Aslam (rahimahullah) berkata; “Bersabarlah
kalian di atas jihad, kuatkanlah kesabaran kalian terhadap para musuh kalian,
dan lakukanlah ribath terhadap para musuh kalian” [Tafsir Ath-Thabari].
Qatadah (rahimahullah) berkata; “Maknanya adalah,
bersabarlah engkau di dalam ketaatan kepada Allah, kuatkanlah kesabaranmu
terhadap orang-orang yang sesat, dan lakukanlah ribath di jalan Allah { dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung}.” [Tafsir Ath-Thabari]
Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi (rahimahullah) berkata;
“{dan lakukanlah ribath} terhadap musuh-Ku dan musuh kalian hingga mereka
meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam agama kalian”. [Tafsir
Ath-Thabari].
Ayat di atas merupakan perintah untuk
melaksanakan sebuah perintah yang dikenal dengan ribath yaitu berjaga-jaga di
garis perbatasan, ini merupakan penafsiran Umar dan Ibnu Abbas dari kalangan shahabat
(radhiyallahu anhum) dan Hasan Al-Bashri, Qatadah, Zaid bin Aslam dan Muhammad bin
Ka’ab dari kalangan tabi’in (rahimahumullah).
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dari Abu Hurairah (radhiyallahu anhu), bahwasanya Rasulullah
(shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Maukah kalian aku tunjukkan sebuah
amalan yang dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan menaikkan
derajat kalian? Menyempurnakan wudhu di saat-saat yang tidak disukai (seperti
air yang dingin atau ketika luka ringan), memperbanyak langkah menuju masjid
(untuk shalat), dan menunggu shalat setelah shalat, dan itulah ribath,” hadits
ini mirip dengan hadits yang menjelaskan bahwa jihad adalah mencurahkan
kemampuan diri dalam ketaatan kepada Allah, hijrah adalah meninggalkan apa yang
dibenci oleh Allah, dan Islam adalah berkata yang baik dan memberi makan
orang-orang miskin[2]. Ini bukan berarti pembatasan makna ribath dengan
menunggu shalat, tidak juga dengan makna seperti yang ditafsirkan oleh para
ulama seperti di atas. Karena itulah, Ath-Thabary (rahimahullah) mengatakan,
setelah mengutip Hadit Abu Hurairah (radhiyallahu anhu) di dalam Tafsirnya;
“Firman-Nya {dan lakukanlah ribath} artinya lakukanlah ribath di jalan Allah
terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu dari kalangan ahlu-syirki. Menurutku,
makna ribath secara bahasa berasal dari kata irtibath (mengikat) kuda dalam
persiapan menghadapi musuh sebagaimana musuh mengikat kuda-kuda untuk
menghadapi mereka. Kata ribath ini kemudian digunakan untuk menyebut setiap
orang yang berada di garis perbatasan (tsughur) melindungi orang-orang yang ada
di belakang mereka – yang berada di tempat antara dirinya dan diri mereka –
dari para musuh yang menginginkan keburukan atas mereka, dan musuh memiliki
kuda-kuda yang telah terikat, atau mereka berdiri di atas kaki-kaki mereka jika
mereka tidak memiliki binatang tunggangan. Kita mengatakan bahwa makna {dan
lakukanlah ribath} adalah ‘lakukanlah ribath terhadap musuhmu dan musuh-musuh agamamu’
karena makna ini adalah makna yang telah difahami dari kata ribath, dan sebuah kata
semestinya digunakan dengan makna yang sudah diketahui secara umum sebagaimana
digunakan oleh orang-orang, bukan dengan makna yang samar, kecuali jika ada
dalil yang menunjukkan bahwa kata tersebut ditujukan kepada makna lain, baik
itu ayat dari Al-Quran, hadits dari Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam),
atau ijma’ dari para ulama tafsir”.
Ibnu Qutaibah (rahimahullah) juga berkata;
“{dan lakukanlah ribath} di jalan Allah. Makna asalnya secara bahasa adalah
murabathah (ribath) adalah mengikat; di mana orang tersebut mengikat kudanya, dan
kemudian salah seorang dari mereka mengikat kuda mereka di garis depan
perbatasan (tsughur). Setiap mereka menyiapkan kuda untuk rekannya. Sehingga
keberadaan mereka di garis perbatasan disebut ribath”. [Gharib Al-Quran].
Banyak orang juga tidak membedakan antara ribath
(mempertahankan garis perbatasan) dan hirasah (tugas jaga). Seseorang
mungkin disebut murabith (orang yang ribath) walau dia tidak hirasah, seperti seorang
murabit yang berada di perbatasan yang tidur, makan, berlatih, berbincang, membaca
atau shalat, baik sebelum atau sesudah gilirannya hirasah. Dia mungkin juga
menjadi seorang murabith walau di sana dia memasak dan bersih-bersih untuk para
murabith lainnya, sambil tetap menunggu dan siaga untuk mempertahankan
perbatasan jika ada orang-orang kafir menyerang, bahkan walau dia belum pernah
mendapat giliran hirasah, karena pelayanannya
dibutuhkan oleh orang lain selama di ribath, seperti yang diperintahkan oleh amirnya.
Dia seorang Murabith bahkan jika gilirannya untuk hirāsah tidak kunjung datang, tidak juga
datang untuk waktu yang sangat lama, atau tidak pernah datang sama sekali,
selama dia tulus berkomitmen untuk melakukan hal itu jika gilirannya memang
datang. Dia adalah seorang Murabithun (bentuk jamak dari murabith) bahkan jika pos
perbatasan yang dia jaga dalam keadaan tenang, meskipun balasan untuk menjaga
pos yang berbahaya adalah lebih besar. Dan hirāsah adalah tingkatan mulia dari Jihad yang diberikan kepadanya
oleh Allah (Swt) selama dia melakukan Ribath dan itu menjadi wajib atasnya jika
amirnya memerintahkan hal itu padanya.
Rasulullah (sallallahu 'alaihi wa
sallam) bersabda, "Dua mata tidak akan
pernah disentuh oleh api Neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah,
dan mata yang terjaga karena berjaga di jalan Allah” [Hasan: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibnu 'Abbas].
Alangkah mulia balasan sebuah mata yang terjaga karena menjaga kaum muslimin!
Kemuliaan satu hari di dalam ribat
Rasulullah (shallallahu alaihi wa
sallam) bersabda; “Satu hari ribath di jalan Allah adalah lebih baik dari pada
dunia dan seisinya, tempat cambuk salah seorang dari kalian di surga lebih baik
dari dunia dan seisinya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl
bin Sa’ad].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa
sallam) bersabda; “Ribat sehari semalam lebih baik
daripada puasa & shalat malam sebulan penuh, jika dia meninggal maka
amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang pernah dia amalkan, mengalir
pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur). [Diriwayatkan olehMuslim dari
Salman].
Rasulullah (shallallahu alaihi wa
sallam) bersabda; “Satu hari ribat di jalan Allah adalah lebih baik dari seribu
hari dihabiskan untuk selain itu”. [Hadits Hasan; diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
dan An-Nasa`i dari Utsman bin Affan].
Abu Hurairah (radhiyallahu anhu)
berkata; “Satu hari ribath di jalan Allah lebih aku cintai dari pada shalat
malam pada malam Lailatul Qadar di salah satu dari dua masjid; Masjid al-Haram
dan Masjid Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) [Sunan Sa’id bin Manshur].
Hal yang bisa membantu kita
memahami mengapa pahala Ribath sangat besar adalah apabila kita merenungkan bahwa
orang yang beribadah kepada Allah - termasuk para ulama - tidak akan mampu
melakukan amal ibadah mereka jika tidak karena para murābitīn yang menjaga pos perbatasan. Jika para murābitīn meninggalkan posisi mereka, meninggalkan mereka tanpa
perlindungan, semua kota Muslim, kota, dan desa-desa akan berada di bawah
ancaman untuk diserang dan digeledah orang-orang kafir. Dengan demikian, para
ulama mengatakan bahwa Murabitun mendapatkan pahala dari semua Muslim yang ada
di belakangnya yang beribadah kepada Allah, karena dengan Ribathnya itu
memungkinkan mereka untuk fokus dalam ibadah mereka kepada Allah, sebagaimana
seorang Muslim yang peduli kepada keluarga Mujahid selama ketidakhadirannya, dia
akan mendapat pahala jihad seorang Mujahid. Rasulullah (sallallahu 'alaihi wa
sallam) bersabda, "Dan barangsiapa yang mengurus keluarga orang yang
berperang di jalan Allah dengan baik maka sungguh ia telah ikut berperang."
[HR al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Zayd Khālid].
Kaum Salaf Dan Empat
Puluh Hari Ribath
Salah seorang Anshar datang kepada
Umar bin Khaththab (radhiyallahu anhu), Umar bertanya kepadanya; “Dari mana
saja engkau?” dia menjawab; “Dari melakukan ribat”, Umar bertanya lagi; “Berapa
hari engkau melakukan ribat?” dia menjawab; “Tiga puluh hari”. Umar berkata
kepadanya; “Kenapa engkau tidak melengkapinya dengan melakukannya selama empat
puluh hari?”. [Mushannaf Abdir Razzaq].
Anak Ibnu Umar (radhiyallahu
anhum) melakukan ribath selama 30 hari, lalu dia pulang, maka Ibnu Umar berkata
kepadanya; “Aku tekankan engkau sebaiknya kembali dan melakukan ribath sepuluh malam
lagi hingga genap menjadi empat puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah]. Abu
Hurairah (radhiyallahu anhu) berkata; “Ribat yang sempurna adalah selama empat
puluh hari” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah].
Berdasarkan atsar ini dan
lainnya, ketika Imam Ahmad (rahimahullah) ditanya; “Berapa lamakah waktu
terbaik untuk ribat?” Dia menjawab; “Empat puluh hari”. Ishaq bin Rahawaih
berkata; “Ini sebagaimana yang dia katakan”. [Masa`il al-Imam Ahmad wa Ishaq
ibn Rahawaih]. Atsar-atsar ini menunjukkan bahwa ketika seseorang hendak
melakukan ribath, maka yang terbaik baginya (dan bukan hal yang wajib) untuk
melakukannya setidaknya empat puluh hari atau lebih, sebelum dia kembali ke
tempatnya untuk beristirahat. Ini adalah ribath menurut manhaj kaum salaf.
Kemuliaan Meninggal Di Saat Ribath
Rasulullah (shallallahu alaihi wa
sallam) bersabda; “Semua orang yang meninggal maka amalnya akan terhenti di
saat dia meninggal, kecuali murabith, amalnya akan terus berkembang hingga hari
kiamat, dan dia aman dari fitnah kubur”. [Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud
dan At-Tirmidzi dari Fadalah bin Ubaid].
Hadits Nabi (shallallahu alaihi
wa sallam) yang diriwayatkan oleh Muslim dari Salman al-Farisi (radhiyallahu
anhu) di atas telah menyebutkan; “jika
dia (murabith) meninggal maka amalannya senantiasa mengalir sebagaimana yang
pernah dia amalkan, mengalir pula rizkinya & terbebas dari fitnah (kubur)”.
Kematian ini adalah kematian yang paling mulia dan pahala ini
telah dijamin bagi seorang Murabitun yang meninggal di saat Ribath, bahkan jika
kematiannya adalah karena penyakit, usia, atau kecelakaan. Berapa banyak lagi
kemuliaan apabila kematiannya adalah kesyahidan yang disebabkan oleh serangan
udara dari tentara salib dan sekutu murtad mereka?
Pahala seseorang yang tetap
mengalir walau orang tersebut telah meninggal, telah disebutkan di dalam hadits
yang lain. “Apabila bani Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali dari
tiga hal; Sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang
mendoakannya”. [Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah]. Pahala dari sedekahnya,
ilmu, dan anaknya senantiasa mengalir selama sedekah itu masih ada, ilmu itu
masih bermanfaat dan anak itu masih berdoa untuk orang tuanya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits ini secara langsung dan dalam hadits lainnya secara
tersirat, sedangkan pahala orang yang gugur ketika ribath, dia akan terus
berkembang dengan sendirinya tanpa ada hubungan dengan kondisi lain, dan ini
hanya bagi murabith! Pahala ini tidak disebutkan bagi orang yang mati syahid
dalam pertempuran, tetapi bagi seorang murabith yang sedang menjalankan tugas
ribathnya yang mungkin saja meninggal karena faktor usia atau ketika sedang
tidur untuk istirahat! Maka alangkah mulia kematian ini?! Dan berapa banyak
dorongan bagi seseorang untuk senantiasa berdoa agar mendapkan kematian paling
mulia – syahadah - di saat sedang ribat!
Ribath Dan Jihad
Terbaik
Ibnu Abbas (radhiyallahu anhuma)
berkata; bahwasanya Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda; “Permulaan
urusan ini adalah kenabian dan rahmat, kemudian datang kekhalifahan dan rahmat,
kemudian akan datang kerajaan dan rahmat, kemudian akan datang imarah dan
rahmat, lalu setelah itu akan saling menggigit satu sama lain terhadap dunia
sebagaimana keledai yang menggigit. Maka lakukanlah jihad, dan sesungguhya
sebaik-baik jihad kalian adalah ribath, dan sebaik-sebaik ribath kalian adalah
di ‘Asqalan”. [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad hasan]. ‘Asqalan
adalah nama kota di Palestina.
Hadits yang serupa juga
diriwayatkan dengan sedikit perbedaan dalam redaksi kalimatnya (dengan
penambahan dan pengurangan), baik itu sabda dari Nabi
(shallallahu alaihi wa sallam) ataukah dari perkataan beberapa shahabat
(radhiyallahu anhum). [Lihat Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim].
Wallahu a’lam. Dalam riwayat lain juga ditunjukkan bahwa ribath menjadi jihad
yang terbaik setelah masa-masa penguasa muslim yang penyayang dari kalangan
para khalifah, yaitu pada masa raja-raja muslim tiran, masa mereka adalah sebelum
masa para pemerintah thaghut murtad ini, yang mana era ini akan berakhir dengan
bangkitnya era khilafah, wallahu a’lam.
Imam Ahmad (rahimahullah) berkata, “Dalam
pandanganku, tidak ada yang menyamai pahala jihad dan ribat. Ribath
mempertahankan kaum muslimin dan keluarga mereka. Ini menguatkan orang-orang yang
ada di pos perbatasan dan orang-orang yang di medan pertempuran. Karena itu,
ribat adalah akar dan cabang dari jihad. Jihad lebih baik dari ribath karena
kesulitan dan kelelahannya… ribath yang terbaik adalah yang paling sengit”.
[Al-Mughni].
Dengan demikian, jika tidak ada kebutuhan
untuk menambah jumlah murābitīn
(yang hanya dapat ditentukan oleh Imam), seseorang sebaiknya tidak lebih
memilih pertempuran dari pada Ribath karena ketidaksabaran atau asumsi pribadi,
dan seseorang melakukan Ribath pada umumnya dan kembali untuk itu setelah
bertempur, sehingga berperang dalam medan pertempuran adalah lebih baik karena
mengandung bahaya dan kesulitan. Jika tidak, seseorang harus tahu bahwa berjuang
dalam pertempuran untuk menghindari Ribath adalah tidak tepat bagi seorang Mujahid
sejati untuk sekedar dipertimbangkan. Hal ini dapat mencapai tingkat dosa besar
jika dia diperlukan untuk ribat tapi dia enggan atau tidak mematuhi perintah
pemimpin. Semakin banyak pikiran seperti ini maka akan semakin berbahaya ketika
semua pos perbatasan merupakan prioritas para tentara salib dan murtad dalam
usaha mereka merebut tanah Khilafah?
Petunjuk dan Rahmat
Allah atas Para Murabithun
Sufyan bin Uyainah (rahimahullah) berkata;
“Jika engkau melihat orang-orang berselisih, maka berpeganglah kepada para
mujahidin dan orang-orang yang berada di garis perbatasan (ahlu tsughur) karena
Allah berfirman; {Dan orang-orang yang berjihad di jalan Kami, sungguh Kami
pasti akan memberi mereka petunjuk kepada jalan Kami} [al-Ankabut: 69]” [Tafsir
Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al-Qurthubi].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim
(rahimahumallah) juga menyandarkan perkataan ini kepada Al-Auza’I, Ibnu
Al-Mubarak, Imam Ahmad dan lainnya (rahimahumullah) [Majmu’ al-Fatawa; Madariju
As-Salikin]. Setelah mengutip perkataan Ibnul-Mubarak dan Imam Ahmad ini,
Syaikhul-Islām Ibnu Taimiyah mengatakan,
"Secara umum, tinggal di perbatasan, melakukan Ribath, dan membiasakan
diri dengan Ribath adalah sesuatu yang berat. Pos perbatasan (tsughur) dihuni
oleh Muslim terbaik dalam ilmu dan amal. Itu adalah tanah terbaik untuk membangun
ritual Islam, realitas Iman, dan amar ma’ruf nahyi munkar. Setiap orang yang
ingin mendedikasikan dirinya untuk beribadah kepada Allah, mengabdikan dirinya
kepada-Nya, dan mencapai zuhud, ibadah, dan kesadaran terbaik, maka para ulama akan
mengarahkannya ke pos perbatasan "[Jami 'al-Masa'il].
Al-Mundziri (rahimahullah) memberikan judul
di dalam kitabnya “At-Targhib wa At-Tarhib” dengan “At-Targhib (dorongan) Bagi
Orang Yang Berperang Dan Murabith Untuk Memperbanyak Amal Shalih Seperti
Shalat, Puasa, Dzikir Dan Lain Sebagainya”, dia kemudian membawakan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri (radhiyallahu
anhu) di mana Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam) bersabda;
“Barangsiapa
yang berpuasa satu hari di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan wajahnya
dari api neraka sejauh tujuh puluh tahun”. Dia kemudian juga membawakan
hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa amal shalih yang dilakukan di saat jihad
akan dilipat gandakan pahalanya. Dia kemudian berkata; “Dan yang jelas, seorang
murabith juga fi sabilillah, sehingga pahala amal shalih yang dikerjakannya
juga dilipat gandakan sebagaimana amal shalih seorang mujahid dilipat
gandakan”. Kesempatan untuk beramal shalih bagi murabith juga lebih banyak
dibanding seorang yang sedang berperang, dia mungkin bisa shalat, puasa,
membaca, mengajar, dan lain sebagainya dengan mudah, sedangkan orang yang
sedang berperang tersibukkan oleh ganasnya peperangan, bahkan dalam beberapa keadaan
hal ini bisa menggugurkan kewajiban berpuasa dan membolehkan mereka untuk
menunda pelaksanaan shalat wajib.
Pada ayat yang disebutkan di atas
(Al-Ankabut: 69) menunjukkan bahwa seseorang yang mencari ilmu ketika sedang
ribat maka dia akan diberkahi dengan petunjuk Allah terhadap si hamba. Seorang
murabith dapat menghafal al-Quran dan mempelajari tafsirnya, menghafal hadits
dan mempelajari maknanya. Dia juga dapat mempelajari tauhid, iman, adab, zuhud,
fiqh, sirah dan lain sebagainya… dan ketika dia berdoa kepada Allah agar dia
diberi kemampuan untuk mempraktekkan apa yang telah dia pelajari, maka dia akan
dapati bahwa do’anya dikabulkan dan petunjuk yang dia inginkan diberikan.
Ribathnya – insya Allah – akan menjaga ilmunya bersemayam di dalam hati dan
pengaruhnya akan dirasakan di lisan dan anggota badan. Begitu juga
hadits-hadits lain yang bahwa ribathnya juga akan memperbanyak keberkahan pada
amal ibadah lainnya yang dia kerjakan di saat berada di pos perbatasan
(tsughur).
Ribath Dan Jalan
Menuju kesyahidan
Sejak kebangkitan jihad lebih dari tiga puluh
tahun lalu, pemimpin Mujahid telah menyatakan bahwa jihad itu – pada tingkatan
pribadi - terdiri dari langkah panjang menuju Syahadah (kesyahidan). Hal pertama
yang dilakukan adalah melakukan Hijrah ke tanah jihad (sekarang, Darul-Islām),
kemudian memberikan bai’at, berjanji setia yang mengharuskan ketaatan (sam'u wa
thā'ah) kepada Amir (sekarang, Khalifah) dan
berkomitmen terhadap Jama'ah (sekarang, Khilafah), kemudian berlatih (i'dad)
untuk tujuan jihad, lalu bersabar menghabiskan bulan-bulan Ribath, menjalani
tugas jaga (hirāsah) yang tak
terhitung jumlah jamnya, kemudian berperang (qital) di medan pertempuran dan membunuh
(qatl) siapa saja yang dapat dia bunuh dari kalangan musuh kafir, dan akhirnya
mencapai Syahadah. Jalur ini didasarkan pada teks-teks dari Qur'an dan Sunnah
yang menghubungkan amal ini satu sama lain, dari pengalaman yang diperoleh dengan
menghidupkan jihad dari hari ke hari, dan memperhatikan para Syuhada dan
kafilah mereka.
Tentu saja, selalu ada pengecualian, seperti
seorang Muhajir yang mencapai syahadah selama di kamp pelatihan atau Murabitun
yang meraihnya pada hari pertama ribat. Tapi ini adalah peta jalan setiap
Mujahid yang harus difahami demi untuk memaksimalkan buah dari jihad itu. Jika
tidak, bagaimana kita bisa mengharapkan seseorang untuk bersabar di medan
perang yang menakutkan sementara dia tidak mampu bertahan menghadapi kesulitan
Ribat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar