8/01/2019

SYARIAT JAMAAH DALAM JIHAD, Oleh Abdurrahman Bin Abdul Khaliq

SYARIAT JAMAAH
DALAM JIHAD
Oleh : Abdurrahman Bin Abdul Khaliq

Pengantar

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam, penguasa atas semua makhluk yang ada di langit dan di bumi. Hanya kepada Allah kita beribadah dan hanya kepada Allah kita meminta pertolongan. Aku bersaksi tidak ada Ilah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusannya. Semoga rahmat Allah diberikan kepadanya, sahabatnya, dan para pengíkutnya hingga hari Kiamat.

Bisa kita saksikan kondisi umat Islam hari ini, setelah mereka ditinggal oleh induknya seorang diri, setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah, setelah kaum muslimin berabad-abad lamanya menguasai dua pertiga bumi ini. Tiba-tiba kekuasaan itu hilang begitu saja, orang kafir dan musuh-musuh Allah mulal bersatu-padu untuk memerangi kaum muslimin sampai akar-akarnya, hingga mereka bak buih yang tak berguna, tak punya taring di hadapan musuh musuhnya, mereka lupa bila pendahulunya pernah menjadi superpower dunia.

Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الْأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ عَلَى قَصْعَتِهَا. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ, قَالَ: أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ تُنْزَعُ الْمَهَابَةِ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيُجْعَلُ فَي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ. قَالُوا وَمَا الْوَهْنُ؟
 قَالَ: حُبُّ الْحُيَاةِ وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

HAMPIR-HAMPIR DATANG WAKTUNYA KALIAN DIKEROYOK OLEH SEMUA BANGSA DARI BERBAGAI PENJURU, SEBAGAIMANA MEREKA MENGEROYOK HIDANGAN MEREKA. KAMI (SAHABAT) BERTANYA. “WAHAI RASULULLAH, APAKAH KARENA WAKTU ITU JUMLAH KAMI SEDIKIT?” BELIAU MENJAWAB, “KALIAN KETIKA ITU BANYAK, AKAN TETAPI KALIAN SEPERTI BUIH BANJIR. DICABUT RASA TAKUT DARI HATI MUSUH-MUSUH KALIAN DAN DIJADIKAN DALAM HATI KALIAN WAHN.” MEREKA (SAHABAT) BERTANYA, “APAKAH WAHN ITU?” BELIAU MENJAWAB, “CINTA HIDUP DAN BENCI MATI.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud)

Lalu, muncullah benih-benih kecil kaum muslimin yang mulai sadar akan realita yang ada, sehingga berdirilah jamaah jamaah dan harokah-harokah jihad yang ingin mengembalikan kekuasaan Islam dan menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi. Mereka menyadari, bahwa kekuasaan tidak akan bisa kembali, kecuali dengan adanya jamaah, adanya aturan, saling bantu membantu antar kaum Muslimin, menyatukan langkah mereka, karena Allah ta’ala sendiri memerintahkan demikian:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يقُاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَّرْصُوصٌ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.”

Allah ta’ala juga berfirman:

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf mencegah dan yang mungkar.” (At-Taubah [9]: 71)


Mereka yang Salah Paham

Yang sangat disayangkan hari ini, ketika banyak umat Islam berusaha menyatukan langkah dalam rangka menahan arus penjajahan dengan berjihad, amar makruf nahi munkar atau amal lainnya. Tiba-tiba ada sekelompok umat Islam yang keikhlasannya terpengaruh oleh propaganda musuh-musuh Allah, sehingga bukannya mendukung kaum muslimin yang berupaya terbebas dari cengkraman musuhnya, tapi malah menuding mereka dengan sebutan-sebutan yang tidak Iayak diberikan kepada sesama muslim, mengeluarkan fatwa-fatwa menyesatkan, bahkan cenderung menggembosi dan menyalahkan amal kebaikan mereka, dakwah dan jihad yang dilakukan oleh umat Islam hari ini.

Mereka menyebarkan isu bahwa jamaah atau harokah tidak pernah ada di zaman Nabi, atau zaman setelahnya. Mereka mengeluarkan fatwa sesat bahwa jihad untuk mengusir musuh-musuh Allah di muka bumi ini tidak bisa dikatakan sah, kecuali setelah ada amirul mukminin yang ditaati oleh semua kaum muslimin.

Mereka salah dalam menilai, bahwa adanya jamaah-jamaah dan harokah-harokah jihad hari ini hanya akan memecah belah umat dan menimbulkan sikap Hizbiyyah (fanatik).

Dan mereka mengira, bahwa arti jamaah yang benar hanyalah jamaah kaum muslimin yang berada di bawah amirul mukminin.

Kesalahpahaman dan syubhat-syubhat itu muncul dan menyebar di kalangan kaum muslimin. Sikap mereka pun bermacam-macam ketika mengetahui syubhat-syubhat tersebut, dan yang disayangkan banyak umat Islam yang akhirnya terpengaruh, sehingga bisa jadi sikapnya berubah total: yang semula memberikan loyalitas, tapi setelah itu menjadikan kawan kawannya sebagai musuh dan menunduhnya telah membawanya pada kesesatan.

Maka, buku ini akan menjawab semua tuduhan tersebut.

Solo, Maret 2007
MEDIA ISLAMIKA
Mencerdaskan – Mencerahkan
*************


Definisi AI-Jamaah

AI-Jamaah yaitu bila segolongan manusia berkumpul atas kesepakatan tertentu, dan paling sedikit dua orang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

مَنْ يَتَصَدَّقْ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ

BARANGSIAPA YANG MAU MENDAPATKAN PAHALA BERJAMAAH MAKA AKAN SHOLAT BERSAMANYA.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

At-Tashadduq yaitu mendapatkan pahala berjamaah dengan bergabung dalam kewajiban shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat jamaah melebihi pahala shalat sunnah dengan dua puluh tujuh derajat.”
(Muttafaqqun ‘alaihi)

Hadits tersebut menunjukan bahwa dua orang termasuk jamaah. Nabí shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah shalat hanya dengan satu orang shahabat saja. Sehingga semua perilaku Nabí berupa perbuatan atau perkataan, telah menunjukkan bahwa dua orang termasuk jamaah.

Adapun batasannya, tidak ada batasannya. Bisa jadi sampai ribuan jumlahnya atau bahkan Iebih dan itu, dan mereka masuk  dalam satu jamaah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ

Tangan Allah bersama Al-Jamaah.”
(HR. Tirmidzi dan telah dishahîhkan oleh Al-Albani)

Maka, bisa dikatakan jamaah kaum muslimin bagi setiap mereka yang berkumpul di bawah satu pemimpin pada satu waktu. Nabí shallallahu ‘alaihi wasallam  berkata kepada Huzhaifah bin Al-Yaman dalam hadits Al-Fitan yang matannya panjang:

اَلْزِمْ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ

Ikutilah Jamaah Kaum Muslimin Dan Pemimpin Mereka.”
(Muttafaqun ‘alaihi)

Arti luzum (mengikuti) di sini bukan dalam keyakinan dan dinnya, akan tetapi mengikuti dalam jihad dan amalnya. Karena seperti inilah arti luzum sebagaimana dalam hadits:

أَلَا مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْأً مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلَا يْنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

Ketahuilah! Barangsiapa yang berada di bawah seorang pemimpin, lalu dia melihatnya bermaksiat kepada Allah maka hendaknya dia hanya membenci kemaksiatan tersebut, dan sama sekali tidak melepaskan ketaatan darinya.”
(HR. Muslim)

Demikian dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,:

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْأً تُكْرِهُونَهُ, فَاكْرِهُوا عِمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Dan bila kalian melihat sesuatu yang dibenci dari pemimpin kalian maka bencilah amal perbuatan tersebut dan janganlah melepas tanganmu dari ketaatan padanya. “ (HR. Muslim)

Juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْأً فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang membenci suatu hal dari pemimpinnya maka hendaknya bersabar atasnya. Karena tidaklah seseorang itu keluar dari kekuasaannya satu hasta saja lalu dia mati dalam keadaan tersebut, kecuali dia mati dalam kondisi mirip kematian jahiliyah.”
(HR. Muslim)

Semua hadits tersebut menjelaskan bahwa maksud dan mengikuti Al-Jamaah adalah kewajiban taat kepada imam untuk keluar dalam jihad fi sabilillah, mengambil zakat, dan kepentingan lainnya yang erat kaitannya dengan posisi imam.

Maksud dalam kajian ini, adanya keterangan bahwa Al-Jamaah adalah dua orang atau Iebih, dan bahwa setiap AI-Jamaah yang berkumpul di atas sebuah kesepakatan, harus ada pemimpin yang ditaati oleh semua pihak. Contoh dalam jamaah shalat, semua makmum harus mengikuti imamnya. Demikian dalam safar musti ada pemimpinnya. dalam harokah jihad, dan bahkan semua jamaah apa pun.

Maka setiap jamaah yang telah berkumpul di atas sebuah kesepakatan tertentu dalam masalah din atau dunia, tidak akan dibenarkan, kecuali bila adanya pemimpin yang ditaati.


Syariat dan Hukum Berjamaah

Setiap kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali harus dengan berjamaah maka hukum berjamaah menjadi sebuah kewajiban. Sebagaimana kaidah usul menyebutkan:

مَالَا يَتِمُّ الْوَجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sebuah kewajiban yang tidak akan sempurna, kecuali dengan suatu hal maka hal tersebut menjadi Wajib.

Berjamaah diwajibkan dalam peperangan karena tidak ada peperangan yang dapat melumpuhkan musuh dan memberikan kemenangan pada kaum muslimin, kecuali dengan adanya sebuah jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, dan juga tegaknya umat Islam tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya seorang imam. Karenanya, mengangkat seorang imam adalah sebuah kewajiban. Demikian dengan banyaknya kemungkaran yang tidak mungkin dimLsnahkan kecuali bila adanya sebuah jamaah, maka jamaah ketika itu menjadi sesuatu yang wajib.

Demikian dengan kewajiban-kewajiban yang sifatnya wajib kifayah (yang diwajibkan pada sebagian kaum musllimin), seperti didirikannya shalat jamaah, pembangunan masjid, memandikan dan mengkafani mayat, menguburkan mayat, pengajaran ilmu, menyebarkan dakwah, dan kewajiban-kewajibannya lainnya yang telah Allah wajibkan kepada para hamba-Nya.

Maka, sebagaimana kaidah usul tersebut, “Bila sebuah kewajiban tidak akan sempurna, kecuali dengan urusan tertentu maka urusan tersebut menjadi wajib,” yang pada kenyataanya iqamatuddin, menolak makar-makar musuh Islam dan melindungi kehormatan kaum muslimin tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya seorang imam maka mengangkat seorang imam untuk semua itu menjadi sebuah kewajiban.

Hal ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana kesepakatannya para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai khalifah setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk menggantikan peran beliau dalam iqamatuddin, mengatur urusan kaum muslimin, dan menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi, sebaliknya kalimat orang kafir menjadi hina. Lalu kaum muslimin dan satu generasi ke generasi berikutnya hidup di bawah sebuah kepemimpinan seorang khalìfah. Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan Hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(An-Nisâ’ [4]: 58)

Al-Amanah dalam ayat ini yaitu tanggung jawab kepemimpinan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada Baiat maka dia mati menyerupai Mati Jahiliyah.”
(HR. Muslim)

Ringkasnya, bahwa kepemimpinan secara umum diwajibkan kepada kaum muslimin, dan seorang muslim tidak dibenarkan tinggal satu malam pun tanpa mengikuti seorang imam yang menunjukinya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau tidak maka mereka berdosa. Dan tidak diragukan lagi bahwa berjamaah dalam shalat merupakan sebuah kewajiban: sebagian berpendapat wajib kifayah dan sebagian berpendapat wajib ‘ain, sebagaimana pendapat ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.

Tapi kedua pendapat sepakat bahwa jamaah diharuskan ada untuk shalat, kalau tidak ada sama sekali maka menyelisihi kebenaran dan telah melalaikan shalat sehingga semua kaum muslimin berdosa.

Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah sebuah kewajiban, dan tidak akan menjadi baik kecuali di bawah seorang pemimpin yang mampu mengendalikan kelompoknya. Maka mengangkat seorang pemimpin dalam jihad adalah sebuah kewajiban yang tidak ada keraguan di dalamnya. Dan tidak boleh umat ini berjihad dengan banyaknya perpecahan dan perselisihan karena tidak ada pemimpin dan peraturan. Sebab, hal ini dapat menimbulkan kegagalan dan kekalahan bagi umat, sebagaimana logika akal yang sehat.

Dan termasuk dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para khalifah setelahnya, adalah adanya pengangkatan pemimpin dalam rangka ibadah haji, kepadanya manusia akan bertanya dan mengembalikan semua masalalah. Haji adalah sebuah ibadah yang tidak sah, kecuali dengan adanya seorang pemimpin, sebagaimana zakat merupakan ibadah yang tidak sah, kecuali dengan diberikannya kepada seorang pemimpin dan dibagikannya sesuai dengan peraturan darinya.

Sebagaimana firman Allah ta’ala:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(At-Taubah : 103)

Lalu Rasulullah , diperintahkan mengurusi zakat tersebut. Para khalifah setelahnya pun telah mengangkat seseorang untuk mengurusi zakat di setiap negerinya yang diambil dan orang orang kaya, lalu diberikannya kepada orang-orang miskin.

Sebagaimana perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman, “Engkau akan datang kepada kaum Ahli Kitab. Maka hendaknya yang pertama kali engkau ajarkan adalah agar mereka hanya mengesakan Allah semata. Bila mereka mengikutimu maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima kali dalam satu hari satu malam. Bila mereka mengikutimu juga dalam hal itu maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan zakat yang diambil dan orang-orang yang kaya di antara mereka lalu diberikan kepada orang-orang fakir. ..“ (Muttafaqun ‘alaihi)

Demikian juga dalam jihad, tidak diragukan agi adanya kewajiban berjamaah, dan tidak ada jihad tanpa seorang pemimpin atau imam. Dan tidak ada jamaah, kecuali dengan adanya ketaatan dan seorang imam. Allah ta’ala berfirman:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَإِذَا كَانُواْ مَعَهُۥ عَلَىٰٓ أَمۡرٖ جَامِعٖ لَّمۡ يَذۡهَبُواْ حَتَّىٰ يَسۡتَ‍ٔۡذِنُوهُۚ

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rosulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izín kepadanya.”
(An-Nûr [24]: 62)

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika seorang muslim bersama Rasulullah  dalam amal bersama, seperti jihad. Ketika itu tidak dibolehkan baginya meninggalkan Rasulullah, dan posisinya dalam pasukan, kecuali setelah izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun bila pergi dengan sembunyi-sembunyi tanpa adanya izin maka dia telah keluar dan ketaatan sehingga menjadikan Allah murka kepadanya. Allah ta’ala berfirman:

قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi diantara kamu dengan berlindung (kepada kawannya) maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nûr [24]: 63)

Kesimpulannya, sesungguhnya Islam adalah undang-undang yang bersifat jama’i, yang segala sesuatunya dibangun di atas jamaah, baik dalam kehidupan secara umum dan juga dalam ibadah tertentu, seperti shalat, shiyam, zakat, haji, dan jihad, demikian juga dengan safar. Bahkan, dalam segala permasalahannya, sebagaimana yang diperbuat para khalifah dengan menetapkan seorang pemimpin, seperti pemimpin pasar, pabrik, dan yang lainnya.

Kewajiban Seorang Imam Telah diketahui dalam pembahasan sebelumnya, bahwa jamaah merupakan sebuah kewajiban di setiap amalan yang akan diperbuat dan diamalkan agar lebih sempurna, baik dalam urusan din atau urusan dunia. Dan tidak dikatakan benar shalat seseorang, zakat, haji, shaum juga jihad, kecuali dengan adanya jamaah, peraturan, dan seorang imam yang ditaati. Tidak dibolehkan dalam sebuah negeri Islam; dalam kota atau daerah tertentu, kecuali harus ada seorang pemimpin yang ditaati dan yang dijadikan rujukan bila terjadi sebuah perselisihan.  Seperti  inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabatnya, dan khalifah setelahnya.

Adapun dalam pembahasan ini. akan disebutkan tugas dan kewajiban yang telah Allah berikan kepada seorang pemimpin. Yang tentunya teramat banyak tugas dan kewajiban yang harus dia pegang, yang mencakup penjagaan terhadap kemaslahatan din dan kemaslahatan dunia. Yang termasuk dari kewajiban khalifah secara umum adalah menegakkan syariat Allah di muka bumi ini, menegakkan hukum sebagaimana yang telah Allah turunkan. Di antaranya: mendirikan shalat, mengambil zakat, dan diberikannya kepada orang-orang miskin, amar makruf nahi munkar, jihad melawan musuh-musuh Allah baik dengan senjata atau lisan, dan dengan bukti dan keterangan, menyiapkan tempat tinggal yang baik untuk perkembangan generasi kaum muslimin, mengajari dan mendidik mereka. memutuskan perkara di antara manusia dengan adil, mengusir para pemberontak yang zhalim, mengembalikan hak orang-orang yang terzhalimi, menjaga kebutuhan dan kehidupan manusia, dan membagi-bagikan rezeki umat dengan adil.

Tentunya tanggung jawab seorang pemimpin merupakan amanah yang mulia dan menjadi sebuah beban yang berat di pundaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَا

Sesungguhnya kepemimpinan adalah sebuah amanat, dan sesungguhnya di akhirat kelak akan menjadi sebuah kehinaan dan penyesalan, kecuali yang telah mengambilnya sesuai dengan haknya lalu menunaikan kewajiban-kewajiban di dalamnya.”
(HR. Muslim)

Tapi ironisnya, banyak dan manusia yang menganggap bahwa kepemimpinan adalah jarahan sehingga bisa mendapatkan kedudukan di pandangan manusia, bahkan bisa bertindak sesuka hatinya terhadap harta, darah, dan kehormatan mereka. Padahal tidak demikian menurut aturan Allah ta’ala. Kepemimpinan secara umum telah Allah jadikan sebagai beban dan khidmat kepada umat sehingga seorang imam adalah seorang yang paling berat bebannya dan besar tanggung jawabnya dibandingkan dengan yang lainnya. Karenanya, orang-orang shalih terdahulu takut, bahkan lari menjauh dan posisi sebuah jabatan.

Jadi, sebenarnya Islam memandang tanggung jawab kepemimpinan adalah tanggung jawab yang teramat besar di sisi Allah ta’ala. Allah berfìrman:

ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj [22]: 41)

Perintah Allah yang Fardhu Kifayah Menuju Kepada Semua Umat Dalam bahasan yang telah lalu, dijelaskan bahwa seorang imam mempunyai kewajiban yang besar dan tanggung jawab yang banyak. Maka dia dan para pembantunya harus melaksanakan kewajiban tersebut dengan amanah. Dan perlu dicatat, bahwa seorang pemimpin muslim yang meremehkannya maka terkena dosa, lalu dengannya dosa dan peremehan ini tidak hanya dipikul oleh pemimpin tersebut, tapi semua umat Islam karena kewajiban kifayah bila tidak terlaksana maka dosanya dipikul semua umat Islam.

Bila sebuah negeri Islam dirampas, tapi seorang imam tidak mampu membebaskannya maka kaum muslimin wajib bersegera membebaskan dan melindungi din, kehormatan, dan din mereka. Demikian juga apabila seorang pemimpin kaum muslimin meremehkan pelaksanaan shalat: tidak diadakannya imam shalat bagi manusia, tidak membangunkan masjid, dan tidak menunjuk muadzin maka penduduk negeri tersebut wajib secara syar’i menggantikan kewajiban tersebut karena diremehkan oleh pemimpin. Juga dengan amalan fardhu kifayah lainnya: memandikan dan mengkafani mayat, mengajarkan Al Qur’an, dan amar makruf nahi munkar. Bila seorang imam meremehkan salah satu dan kewajiban tersebut maka umat tidak ada alasan untuk menganggap rendah imam tersebut, tapi mestinya mereka saling bekerja sama dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Karena bila tidak maka semuanya terkena dosa.

Alasan dalam hal in bahwa perintah Allah untuk memenuhi sebuah kewajiban menjadi perintah pada semua manusia, dan Allah tidak mensyaratkan pelaksanaan kewajiban tersebut adanya izin dan seorang imam, bah kan seandainya seorang imam meninggalkan sebagian kewajiban dia berdosa, dan semua manusia tidak boleh menaatinya. Lalu, bagaimana bila seorang imam atau hakim melarang manusia dan shalat Jum’at dan menutup masjid-masjid, apakah bisa menjadi alasan mereka meninggalkan shalat Jum’at? Tidak diragukan lagi, hal demikian tidak bisa dijadikan sebagai alasan meninggalkan shalat Jum’at, bahkan mereka berdosa bila menaatinya. Padahal Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا طَاعَةَ لَبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةَ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوفِ

Tidak Ada Ketaatan Bagi Manusia Dalam Melaksanakan Maksiat kepada Allah,
Sesungguhnya TAAT Itu Dalam KEBAIKAN.”
(HR. Ahmad dan Hakim)

Sama halnya bila seorang imam atau pemimpin melarang manusia melaksanakan kewajiban amar makruf nahi munkar, sesungguhnya manusia tidak bisa diterima alasannya di sisi Allah bila meninggalkan semua kewajiban ini. Dan mereka harus menyelisihi imam yang zhalim tersebut karena telah menentang perintah Allah, harus melakukan amar makruf nahi munkar, dan harus menjauhi ketaatan darinya—karena taat kepadanya ketika itu berarti maksiat kepada Allah—padahal tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah.

Demikian juga apabila kehormatan kaum muslimin terancam, dan harta mereka diambil oleh musuh-musuhnya, tapi sikap seorang imam mendiamkan keadaan tersebut sehingga menjadikannya berdosa dan zhalim. Maka manusia ketika itu tidak boleh menaati dan tidak boleh mendiamkan keadaan tersebut, tapi mereka harus mengusir musuh dan menjaga kehormatan, harta, dan din mereka.

Dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa manusia secara umum terkena perintah syar’i, baik berupa kewajiban ‘ain atau kewajiban kifayah. Tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk meninggalkan perintah Allah bila seorang imam meninggalkan banyak kewajiban. Bahkan, seandainya seorang muslim lemah lembut terhadap seorang penguasa zhalim yang meremehkan syariat Allah, dan diam dengan semua kezhalimannya maka dengan sikap tersebut, dia berdosa dan terancam adzab-Nya di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman:

وَبَرَزُواْ لِلَّهِ جَمِيعٗا فَقَالَ ٱلضُّعَفَٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَكۡبَرُوٓاْ إِنَّا كُنَّا لَكُمۡ تَبَعٗا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا مِنۡ عَذَابِ ٱللَّهِ مِن شَيۡءٖۚ قَالُواْ لَوۡ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ لَهَدَيۡنَٰكُمۡۖ سَوَآءٌ عَلَيۡنَآ أَجَزِعۡنَآ أَمۡ صَبَرۡنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٖ

“Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong. “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walau pun) sedikit saja”. Mereka menjawab. “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” (Ibrâhîm [14]: 21)


Peran dan Keutamaan Jamaah untuk Kaum Muslimin

Saya katakan, seandainya mereka yang mengatakan fatwa keharaman jamaah dan harokah, atau berkumpul dalam mengurusi amal kebaikan tertentu, mau melihat pada banyak manfaat dan akibat yang baik dan adanya harokah-harokah atau perkumpulan kaum muslimin tertentu di bumi barat maupun di timur, dan mereka lepas dan hawa nafsu fanatisme juga pandangannya mau melihat dunia Islam, tentu tidak akan mengeluarkan fatwa yang demikian buruk dan menyesatkan itu.

Maka mengingkari kelebihan jamaah dan harokah Islam untuk kaum muslimin tidak akan dilakukan, kecuali oleh orang yang memiliki sifat negatif yang pernah saya sebutkan sebelumnya. Karena adanya kebangkitan umat Islam yang kita saksikan hari ini merupakan akibat dan adanya kesungguhan jihadnya harokah-harokah Islam yang telah bahu-membahu membentengi dakwah Islam, dan memikul kewajiban jihad dengan harta, lisan, dan jiwa raga.

Maka atas sebab apakah munculnya kemenangan yang diraih umat Islam Afghanistan yang telah mengusir kekuatan dahsyat di muka bumi ini, kecuali disebabkan oleh hasil dari usaha harokah jihad hari ini—tentunya setelah kehendak Allah, yang telah berusaha maksimal berkorban dalam jihad di jalan Allah ta’ala dengan jiwa dan harta mereka.

Keberhasilan dan kemenangan akan diraih oleh para Mujahidin setelah adanya jamaah, adanya seorang amir atau pemimpin, aturan dan strategi politik yang syar’i serta mengetahui kondisi yang dialami saat itu.

Apakah setiap kita akan bangga hari ini bila menyaksikan seorang pemuda muslim yang pulang dari negeri barat—Amerika dan Eropa—yang telah mempersenjatai dirinya dengan ilmu keduniaan (materi), dan menguasai lebih banyak ilmu syariat dan din daripada mereka yang keluar dari universitas Islam di pusat negeri Islam, bahkan lebih banyak ilmunya dan mereka yang kita didik. Apakah kita akan terus bangga dengan para pemuda yang kembali dari negeri kafìr, dan telah bergaul dengan banyak bencana kerusakan dan kemungkaran. Maka saya tanyakan kepada yang berfatwa tanpa ilmu tersebut, bukankah para pemuda tersebut merupakan hasil dari sebuah usaha jamaah dan harokah dakwah yang terdapat di dalamnya seorang pemimpin, peraturan dan strategi ke depan?

Mari kita saksikan dunia Islam hari ini, tidaklah media umum yang resmi memberitakan pada kebanyakan negeri Islam, kecuali untuk merusak generasi dan melalaikan din ini. Lihat dan awasilah di lingkungan sekitar kalian, tidaklah engkau dapatkan seorang pemuda yang berpegang teguh dengan dinnya dan mengikuti sunnah Nabi-Nya, serta berlepas dan semua kebatilan, kecuali karena peran jamaah dan harokah Islam.

Dan ironisnya saya katakan, bahwa yayasan keagamaan milik pemerintah di banyak negeri Islam tidak pernah meluluskan—kebanyakan, kecuali manusia yang telah goyah akidahnya dan rusak perilakunya, yang telah menjual din untuk dunianya, mereka adalah seburuk-buruk manusia yang diciptakan.

Seandainya urusan Allah dan din-Nya ini tidak segera datang untuk generasi ini maka tidak akan tersisa dalam din ini walau hanya akar yang hidup, tidak pula ilmu yang bercahaya. Akan tetapi, Allah telah memilih di setiap zamannya sebuah generasi yang membela dinnya dan tidak takut celaan siapa pun.

Mereka yang telah Allah pilih tidak lepas dari usaha dan jerih payah yang dilakukan oleh jamaah-jamaah dakwah di setiap tempat dan setiap jengkal bumi Islam. Dengan izin Allah, mereka adalah seperti generasi yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yang Allah ta’ala akan memberikan janji kemenangan kepada mereka. Allah ta’ala berfìrman:

وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.”
(AI-Hajj [22]: 40)




Source:
Penulis : ABDURRAHMAN BIN ABDUL KHALIQ
HARAKAH JIHAD
IBNU TAIMIYAH
KARENA HARAKAH ITU SUNNAH BUKAN BID’AH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...