SYARIAT JAMAAH
DALAM JIHAD
Oleh : Abdurrahman Bin Abdul Khaliq
DALAM JIHAD
Oleh : Abdurrahman Bin Abdul Khaliq
Pengantar
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam, penguasa atas
semua makhluk yang ada di langit dan di bumi. Hanya kepada Allah kita beribadah
dan hanya kepada Allah kita meminta pertolongan. Aku bersaksi tidak ada Ilah
kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusannya. Semoga rahmat Allah
diberikan kepadanya, sahabatnya, dan para pengíkutnya hingga hari Kiamat.
Bisa kita saksikan kondisi umat Islam hari ini, setelah mereka ditinggal
oleh induknya seorang diri, setelah runtuhnya Daulah Utsmaniyah, setelah kaum
muslimin berabad-abad lamanya menguasai dua pertiga bumi ini. Tiba-tiba
kekuasaan itu hilang begitu saja, orang kafir dan musuh-musuh Allah mulal
bersatu-padu untuk memerangi kaum muslimin sampai akar-akarnya, hingga mereka
bak buih yang tak berguna, tak punya taring di hadapan musuh musuhnya, mereka
lupa bila pendahulunya pernah menjadi superpower dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُوشِكُ
أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الْأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ
عَلَى قَصْعَتِهَا. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ,
قَالَ: أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ
تُنْزَعُ الْمَهَابَةِ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيُجْعَلُ فَي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ.
قَالُوا وَمَا الْوَهْنُ؟
قَالَ: حُبُّ
الْحُيَاةِ وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“HAMPIR-HAMPIR DATANG WAKTUNYA KALIAN
DIKEROYOK OLEH SEMUA BANGSA DARI BERBAGAI PENJURU, SEBAGAIMANA MEREKA
MENGEROYOK HIDANGAN MEREKA. KAMI (SAHABAT) BERTANYA. “WAHAI RASULULLAH, APAKAH
KARENA WAKTU ITU JUMLAH KAMI SEDIKIT?” BELIAU MENJAWAB, “KALIAN KETIKA ITU
BANYAK, AKAN TETAPI KALIAN SEPERTI BUIH BANJIR. DICABUT RASA TAKUT DARI HATI
MUSUH-MUSUH KALIAN DAN DIJADIKAN DALAM HATI KALIAN WAHN.” MEREKA (SAHABAT)
BERTANYA, “APAKAH WAHN ITU?” BELIAU MENJAWAB, “CINTA HIDUP DAN BENCI MATI.”
(HR. Ahmad dan Abu Daud)
Lalu, muncullah benih-benih kecil kaum muslimin yang mulai sadar
akan realita yang ada, sehingga berdirilah jamaah jamaah dan harokah-harokah
jihad yang ingin mengembalikan kekuasaan Islam dan menjadikan kalimat Allah
yang paling tinggi. Mereka menyadari, bahwa kekuasaan tidak akan bisa kembali, kecuali
dengan adanya jamaah, adanya aturan, saling bantu membantu antar kaum Muslimin,
menyatukan langkah mereka, karena Allah ta’ala sendiri memerintahkan demikian:
إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يقُاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ
مَّرْصُوصٌ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti
suatu bangunan yang tersusun kokoh.”
Allah ta’ala
juga berfirman:
وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ
بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ
“Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf mencegah dan yang mungkar.”
(At-Taubah [9]: 71)
Mereka yang
Salah Paham
Yang sangat disayangkan hari ini, ketika banyak umat Islam berusaha
menyatukan langkah dalam rangka menahan arus penjajahan dengan berjihad, amar makruf
nahi munkar atau amal lainnya. Tiba-tiba ada sekelompok umat Islam yang
keikhlasannya terpengaruh oleh propaganda musuh-musuh Allah, sehingga bukannya
mendukung kaum muslimin yang berupaya terbebas dari cengkraman musuhnya, tapi
malah menuding mereka dengan sebutan-sebutan yang tidak Iayak diberikan kepada sesama
muslim, mengeluarkan fatwa-fatwa menyesatkan, bahkan cenderung menggembosi dan
menyalahkan amal kebaikan mereka, dakwah dan jihad yang dilakukan oleh umat Islam
hari ini.
Mereka menyebarkan isu bahwa jamaah atau harokah tidak pernah ada
di zaman Nabi, atau zaman setelahnya. Mereka mengeluarkan fatwa sesat bahwa
jihad untuk mengusir musuh-musuh Allah di muka bumi ini tidak bisa dikatakan
sah, kecuali setelah ada amirul mukminin yang ditaati oleh semua kaum muslimin.
Mereka salah dalam menilai, bahwa adanya jamaah-jamaah dan
harokah-harokah jihad hari ini hanya akan memecah belah umat dan menimbulkan
sikap Hizbiyyah (fanatik).
Dan mereka mengira, bahwa arti jamaah yang benar hanyalah jamaah kaum
muslimin yang berada di bawah amirul mukminin.
Kesalahpahaman dan syubhat-syubhat itu muncul dan menyebar di
kalangan kaum muslimin. Sikap mereka pun bermacam-macam ketika mengetahui
syubhat-syubhat tersebut, dan yang disayangkan banyak umat Islam yang akhirnya terpengaruh,
sehingga bisa jadi sikapnya berubah total: yang semula memberikan loyalitas,
tapi setelah itu menjadikan kawan kawannya sebagai musuh dan menunduhnya telah
membawanya pada kesesatan.
Maka, buku ini
akan menjawab semua tuduhan tersebut.
Solo, Maret 2007
MEDIA ISLAMIKA
Mencerdaskan – Mencerahkan
MEDIA ISLAMIKA
Mencerdaskan – Mencerahkan
*************
Definisi AI-Jamaah
AI-Jamaah yaitu bila segolongan manusia berkumpul
atas kesepakatan tertentu, dan paling sedikit dua orang, sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam :
مَنْ
يَتَصَدَّقْ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّي مَعَهُ
“BARANGSIAPA YANG MAU MENDAPATKAN PAHALA
BERJAMAAH MAKA AKAN SHOLAT BERSAMANYA.”
(HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)
At-Tashadduq yaitu mendapatkan pahala berjamaah
dengan bergabung dalam kewajiban shalat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam :
صَلَاةُ
الْجَمَاعَةِ تَعْدِلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat jamaah melebihi pahala
shalat sunnah dengan dua puluh tujuh derajat.”
(Muttafaqqun ‘alaihi)
Hadits tersebut menunjukan bahwa dua orang termasuk jamaah. Nabí
shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah shalat hanya dengan satu orang shahabat
saja. Sehingga semua perilaku Nabí berupa perbuatan atau perkataan, telah
menunjukkan bahwa dua orang termasuk jamaah.
Adapun batasannya, tidak ada batasannya. Bisa jadi sampai ribuan
jumlahnya atau bahkan Iebih dan itu, dan mereka masuk dalam satu jamaah. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
يَدُ
اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
“Tangan Allah bersama Al-Jamaah.”
(HR. Tirmidzi dan telah dishahîhkan
oleh Al-Albani)
Maka, bisa dikatakan jamaah kaum muslimin bagi setiap mereka yang
berkumpul di bawah satu pemimpin pada satu waktu. Nabí shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada Huzhaifah bin Al-Yaman
dalam hadits Al-Fitan yang matannya panjang:
اَلْزِمْ
جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ
“Ikutilah Jamaah Kaum Muslimin Dan Pemimpin Mereka.”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Arti luzum (mengikuti) di sini bukan dalam keyakinan dan dinnya,
akan tetapi mengikuti dalam jihad dan amalnya. Karena seperti inilah arti luzum
sebagaimana dalam hadits:
أَلَا
مَنْ وَلِيَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرَآهُ يَأْتِي شَيْأً مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
فَلْيَكْرَهْ مَا يَأْتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ وَلَا يْنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ
“Ketahuilah! Barangsiapa yang
berada di bawah seorang pemimpin, lalu dia melihatnya bermaksiat kepada Allah
maka hendaknya dia hanya membenci kemaksiatan tersebut, dan sama sekali tidak
melepaskan ketaatan darinya.”
(HR. Muslim)
Demikian
dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,:
وَإِذَا
رَأَيْتَهُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْأً تُكْرِهُونَهُ, فَاكْرِهُوا عِمَلَهُ وَلَا
تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Dan bila kalian melihat sesuatu
yang dibenci dari pemimpin kalian maka bencilah amal perbuatan tersebut dan
janganlah melepas tanganmu dari ketaatan padanya. “ (HR. Muslim)
Juga hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ
كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْأً فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ
مِنَ النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا فَمَاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang membenci suatu
hal dari pemimpinnya maka hendaknya bersabar atasnya. Karena tidaklah seseorang
itu keluar dari kekuasaannya satu hasta saja lalu dia mati dalam keadaan
tersebut, kecuali dia mati dalam kondisi mirip kematian jahiliyah.”
(HR. Muslim)
Semua hadits tersebut menjelaskan bahwa maksud dan mengikuti
Al-Jamaah adalah kewajiban taat kepada imam untuk keluar dalam jihad fi
sabilillah, mengambil zakat, dan kepentingan lainnya yang erat kaitannya dengan
posisi imam.
Maksud dalam kajian ini, adanya keterangan bahwa Al-Jamaah adalah
dua orang atau Iebih, dan bahwa setiap AI-Jamaah yang berkumpul di atas sebuah
kesepakatan, harus ada pemimpin yang ditaati oleh semua pihak. Contoh dalam
jamaah shalat, semua makmum harus mengikuti imamnya. Demikian dalam safar musti
ada pemimpinnya. dalam harokah jihad, dan bahkan semua jamaah apa pun.
Maka setiap jamaah yang telah berkumpul di atas sebuah kesepakatan
tertentu dalam masalah din atau dunia, tidak akan dibenarkan, kecuali bila
adanya pemimpin yang ditaati.
Syariat dan Hukum Berjamaah
Setiap kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali harus dengan
berjamaah maka hukum berjamaah menjadi sebuah kewajiban. Sebagaimana kaidah
usul menyebutkan:
مَالَا
يَتِمُّ الْوَجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Sebuah kewajiban yang tidak akan
sempurna, kecuali dengan suatu hal maka hal tersebut menjadi Wajib.
Berjamaah diwajibkan dalam peperangan karena tidak ada peperangan
yang dapat melumpuhkan musuh dan memberikan kemenangan pada kaum muslimin,
kecuali dengan adanya sebuah jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, dan juga
tegaknya umat Islam tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya seorang imam.
Karenanya, mengangkat seorang imam adalah sebuah kewajiban. Demikian dengan
banyaknya kemungkaran yang tidak mungkin dimLsnahkan kecuali bila adanya sebuah
jamaah, maka jamaah ketika itu menjadi sesuatu yang wajib.
Demikian dengan kewajiban-kewajiban yang sifatnya wajib kifayah
(yang diwajibkan pada sebagian kaum musllimin), seperti didirikannya shalat
jamaah, pembangunan masjid, memandikan dan mengkafani mayat, menguburkan mayat,
pengajaran ilmu, menyebarkan dakwah, dan kewajiban-kewajibannya lainnya yang telah
Allah wajibkan kepada para hamba-Nya.
Maka, sebagaimana kaidah usul tersebut, “Bila sebuah kewajiban
tidak akan sempurna, kecuali dengan urusan tertentu maka urusan tersebut
menjadi wajib,” yang pada kenyataanya iqamatuddin, menolak makar-makar musuh Islam dan melindungi kehormatan kaum
muslimin tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya seorang imam maka
mengangkat seorang imam untuk semua itu menjadi sebuah kewajiban.
Hal ini telah menjadi kesepakatan kaum muslimin, sebagaimana
kesepakatannya para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai
khalifah setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, untuk menggantikan peran
beliau dalam iqamatuddin, mengatur urusan kaum muslimin, dan menjadikan kalimat
Allah yang paling tinggi, sebaliknya kalimat orang kafir menjadi hina. Lalu kaum
muslimin dan satu generasi ke generasi berikutnya hidup di bawah sebuah kepemimpinan
seorang khalìfah. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا وَإِذَا
حَكَمۡتُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحۡكُمُواْ بِٱلۡعَدۡلِۚ
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan Hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.”
(An-Nisâ’ [4]: 58)
Al-Amanah dalam ayat ini yaitu tanggung jawab kepemimpinan. Maka
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati dan di
lehernya tidak ada Baiat maka dia mati menyerupai Mati Jahiliyah.”
(HR. Muslim)
Ringkasnya, bahwa kepemimpinan secara umum diwajibkan kepada kaum
muslimin, dan seorang muslim tidak dibenarkan tinggal satu malam pun tanpa
mengikuti seorang imam yang menunjukinya pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, kalau tidak
maka mereka berdosa. Dan tidak diragukan lagi bahwa berjamaah dalam shalat
merupakan sebuah kewajiban: sebagian berpendapat wajib kifayah dan sebagian
berpendapat wajib ‘ain, sebagaimana pendapat ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Tapi kedua pendapat sepakat bahwa jamaah diharuskan ada untuk
shalat, kalau tidak ada sama sekali maka menyelisihi kebenaran dan telah
melalaikan shalat sehingga semua kaum muslimin berdosa.
Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah sebuah kewajiban, dan
tidak akan menjadi baik kecuali di bawah seorang pemimpin yang mampu
mengendalikan kelompoknya. Maka mengangkat seorang pemimpin dalam jihad adalah
sebuah kewajiban yang tidak ada keraguan di dalamnya. Dan tidak boleh umat ini berjihad
dengan banyaknya perpecahan dan perselisihan karena tidak ada pemimpin dan
peraturan. Sebab, hal ini dapat menimbulkan kegagalan dan kekalahan bagi umat,
sebagaimana logika akal yang sehat.
Dan termasuk dan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dan para khalifah setelahnya, adalah adanya pengangkatan pemimpin dalam rangka ibadah
haji, kepadanya manusia akan bertanya dan mengembalikan semua masalalah. Haji
adalah sebuah ibadah yang tidak sah, kecuali dengan adanya seorang pemimpin, sebagaimana
zakat merupakan ibadah yang tidak sah, kecuali dengan diberikannya kepada
seorang pemimpin dan dibagikannya sesuai dengan peraturan darinya.
Sebagaimana firman
Allah ta’ala:
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”
(At-Taubah : 103)
Lalu Rasulullah , diperintahkan mengurusi zakat tersebut. Para
khalifah setelahnya pun telah mengangkat seseorang untuk mengurusi zakat di
setiap negerinya yang diambil dan orang orang kaya, lalu diberikannya kepada orang-orang
miskin.
Sebagaimana perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada
Mu’adz ketika mengutusnya ke Yaman, “Engkau akan datang kepada kaum Ahli Kitab.
Maka hendaknya yang pertama kali engkau ajarkan adalah agar mereka hanya mengesakan
Allah semata. Bila mereka mengikutimu maka beritahukan kepada mereka bahwa
Allah telah mewajibkan shalat lima kali dalam satu hari satu malam. Bila mereka
mengikutimu juga dalam hal itu maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan
zakat yang diambil dan orang-orang yang kaya di antara mereka lalu diberikan
kepada orang-orang fakir. ..“ (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikian juga dalam jihad, tidak diragukan agi adanya kewajiban
berjamaah, dan tidak ada jihad tanpa seorang pemimpin atau imam. Dan tidak ada
jamaah, kecuali dengan adanya ketaatan dan seorang imam. Allah ta’ala
berfirman:
إِنَّمَا
ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَإِذَا كَانُواْ
مَعَهُۥ عَلَىٰٓ أَمۡرٖ جَامِعٖ لَّمۡ يَذۡهَبُواْ حَتَّىٰ يَسۡتَٔۡذِنُوهُۚ
“Sesungguhnya yang sebenar-benar
orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila
mereka berada bersama-sama Rosulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan
pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izín
kepadanya.”
(An-Nûr [24]: 62)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika seorang muslim bersama Rasulullah dalam amal bersama, seperti jihad. Ketika itu
tidak dibolehkan baginya meninggalkan Rasulullah, dan posisinya dalam pasukan,
kecuali setelah izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun bila
pergi dengan sembunyi-sembunyi tanpa adanya izin maka dia telah keluar dan
ketaatan sehingga menjadikan Allah murka kepadanya. Allah ta’ala berfirman:
قَدۡ يَعۡلَمُ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمۡ لِوَاذٗاۚ فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ
أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah mengetahui
orang-orang yang berangsur-angsur pergi diantara kamu dengan berlindung (kepada
kawannya) maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nûr [24]: 63)
Kesimpulannya, sesungguhnya Islam adalah undang-undang yang
bersifat jama’i, yang segala sesuatunya dibangun di atas jamaah, baik dalam
kehidupan secara umum dan juga dalam ibadah tertentu, seperti shalat, shiyam,
zakat, haji, dan jihad, demikian juga dengan safar. Bahkan, dalam segala permasalahannya,
sebagaimana yang diperbuat para khalifah dengan menetapkan seorang pemimpin,
seperti pemimpin pasar, pabrik, dan yang lainnya.
Kewajiban Seorang Imam Telah diketahui dalam pembahasan
sebelumnya, bahwa jamaah merupakan sebuah kewajiban di setiap amalan yang akan diperbuat
dan diamalkan agar lebih sempurna, baik dalam urusan din atau urusan dunia. Dan
tidak dikatakan benar shalat seseorang, zakat, haji, shaum juga jihad, kecuali
dengan adanya jamaah, peraturan, dan seorang imam yang ditaati. Tidak dibolehkan
dalam sebuah negeri Islam; dalam kota atau daerah tertentu, kecuali harus ada
seorang pemimpin yang ditaati dan yang dijadikan rujukan bila terjadi sebuah
perselisihan. Seperti inilah yang telah dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, sahabatnya, dan khalifah setelahnya.
Adapun dalam pembahasan ini. akan disebutkan tugas dan kewajiban
yang telah Allah berikan kepada seorang pemimpin. Yang tentunya teramat banyak
tugas dan kewajiban yang harus dia pegang, yang mencakup penjagaan terhadap
kemaslahatan din dan kemaslahatan dunia. Yang termasuk dari kewajiban khalifah
secara umum adalah menegakkan syariat Allah di muka bumi ini, menegakkan hukum
sebagaimana yang telah Allah turunkan. Di antaranya: mendirikan shalat,
mengambil zakat, dan diberikannya kepada orang-orang miskin, amar makruf nahi munkar,
jihad melawan musuh-musuh Allah baik dengan senjata atau lisan, dan dengan
bukti dan keterangan, menyiapkan tempat tinggal yang baik untuk perkembangan
generasi kaum muslimin, mengajari dan mendidik mereka. memutuskan perkara di
antara manusia dengan adil, mengusir para pemberontak yang zhalim, mengembalikan
hak orang-orang yang terzhalimi, menjaga kebutuhan dan kehidupan manusia, dan
membagi-bagikan rezeki umat dengan adil.
Tentunya tanggung jawab seorang pemimpin merupakan amanah yang
mulia dan menjadi sebuah beban yang berat di pundaknya. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّهَا
أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ
أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَى الَّذِيْ عَلَيْهِ فِيْهَا
“Sesungguhnya kepemimpinan adalah
sebuah amanat, dan sesungguhnya di akhirat kelak akan menjadi sebuah kehinaan dan
penyesalan, kecuali yang telah mengambilnya sesuai dengan haknya lalu
menunaikan kewajiban-kewajiban di dalamnya.”
(HR. Muslim)
Tapi ironisnya, banyak dan manusia yang menganggap
bahwa kepemimpinan adalah jarahan sehingga bisa mendapatkan kedudukan di
pandangan manusia, bahkan bisa bertindak sesuka hatinya terhadap harta, darah,
dan kehormatan mereka. Padahal tidak demikian menurut aturan Allah ta’ala.
Kepemimpinan secara umum telah Allah jadikan sebagai beban dan khidmat kepada
umat sehingga seorang imam adalah seorang yang paling berat bebannya dan besar
tanggung jawabnya dibandingkan dengan yang lainnya. Karenanya, orang-orang shalih
terdahulu takut, bahkan lari menjauh dan posisi sebuah jabatan.
Jadi, sebenarnya Islam memandang tanggung jawab kepemimpinan
adalah tanggung jawab yang teramat besar di sisi Allah ta’ala. Allah berfìrman:
ٱلَّذِينَ
إِن مَّكَّنَّٰهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ
وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ
“(Yaitu) orang-orang
yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka
mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari
perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj
[22]: 41)
Perintah Allah yang Fardhu Kifayah Menuju Kepada
Semua Umat Dalam bahasan yang telah lalu, dijelaskan bahwa seorang imam
mempunyai kewajiban yang besar dan tanggung jawab yang banyak. Maka dia dan
para pembantunya harus melaksanakan kewajiban tersebut dengan amanah. Dan perlu
dicatat, bahwa seorang pemimpin muslim yang meremehkannya maka terkena dosa,
lalu dengannya dosa dan peremehan ini tidak hanya dipikul oleh pemimpin
tersebut, tapi semua umat Islam karena kewajiban kifayah bila tidak terlaksana
maka dosanya dipikul semua umat Islam.
Bila sebuah negeri Islam dirampas, tapi seorang
imam tidak mampu membebaskannya maka kaum muslimin wajib bersegera membebaskan
dan melindungi din, kehormatan, dan din mereka. Demikian juga apabila seorang
pemimpin kaum muslimin meremehkan pelaksanaan shalat: tidak diadakannya imam
shalat bagi manusia, tidak membangunkan masjid, dan tidak menunjuk muadzin maka
penduduk negeri tersebut wajib secara syar’i menggantikan kewajiban tersebut
karena diremehkan oleh pemimpin. Juga dengan amalan fardhu kifayah lainnya:
memandikan dan mengkafani mayat, mengajarkan Al Qur’an, dan amar makruf nahi
munkar. Bila seorang imam meremehkan salah satu dan kewajiban tersebut maka
umat tidak ada alasan untuk menganggap rendah imam tersebut, tapi mestinya
mereka saling bekerja sama dalam melaksanakan kewajiban tersebut. Karena bila
tidak maka semuanya terkena dosa.
Alasan dalam hal in bahwa perintah Allah untuk
memenuhi sebuah kewajiban menjadi perintah pada semua manusia, dan Allah tidak
mensyaratkan pelaksanaan kewajiban tersebut adanya izin dan seorang imam, bah
kan seandainya seorang imam meninggalkan sebagian kewajiban dia berdosa, dan
semua manusia tidak boleh menaatinya. Lalu, bagaimana bila seorang imam atau
hakim melarang manusia dan shalat Jum’at dan menutup masjid-masjid, apakah bisa
menjadi alasan mereka meninggalkan shalat Jum’at? Tidak diragukan lagi, hal
demikian tidak bisa dijadikan sebagai alasan meninggalkan shalat Jum’at, bahkan
mereka berdosa bila menaatinya. Padahal Rasululah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا طَاعَةَ
لَبَشَرٍ فِي مَعْصِيَةَ اللهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِيْ الْمَعْرُوفِ
“Tidak Ada Ketaatan Bagi Manusia
Dalam Melaksanakan Maksiat kepada Allah,
Sesungguhnya TAAT Itu Dalam KEBAIKAN.”
(HR. Ahmad dan Hakim)
Sama halnya bila seorang imam atau pemimpin melarang manusia
melaksanakan kewajiban amar makruf nahi munkar, sesungguhnya manusia tidak bisa
diterima alasannya di sisi Allah bila meninggalkan semua kewajiban ini. Dan
mereka harus menyelisihi imam yang zhalim tersebut karena telah menentang perintah
Allah, harus melakukan amar makruf nahi munkar, dan harus menjauhi ketaatan darinya—karena
taat kepadanya ketika itu berarti maksiat kepada Allah—padahal tidak ada
ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah.
Demikian juga apabila kehormatan kaum muslimin terancam, dan harta
mereka diambil oleh musuh-musuhnya, tapi sikap seorang imam mendiamkan keadaan
tersebut sehingga menjadikannya berdosa dan zhalim. Maka manusia ketika itu tidak
boleh menaati dan tidak boleh mendiamkan keadaan tersebut, tapi mereka harus
mengusir musuh dan menjaga kehormatan, harta, dan din mereka.
Dengan keterangan di atas, jelaslah bahwa manusia secara umum
terkena perintah syar’i, baik berupa kewajiban ‘ain atau kewajiban kifayah.
Tidak bisa dijadikan sebuah alasan untuk meninggalkan perintah Allah bila
seorang imam meninggalkan banyak kewajiban. Bahkan, seandainya seorang muslim
lemah lembut terhadap seorang penguasa zhalim yang meremehkan syariat Allah,
dan diam dengan semua kezhalimannya maka dengan sikap tersebut, dia berdosa dan
terancam adzab-Nya di hari kiamat. Allah ta’ala berfirman:
وَبَرَزُواْ
لِلَّهِ جَمِيعٗا فَقَالَ ٱلضُّعَفَٰٓؤُاْ لِلَّذِينَ ٱسۡتَكۡبَرُوٓاْ إِنَّا
كُنَّا لَكُمۡ تَبَعٗا فَهَلۡ أَنتُم مُّغۡنُونَ عَنَّا مِنۡ عَذَابِ ٱللَّهِ مِن
شَيۡءٖۚ قَالُواْ لَوۡ هَدَىٰنَا ٱللَّهُ لَهَدَيۡنَٰكُمۡۖ سَوَآءٌ عَلَيۡنَآ
أَجَزِعۡنَآ أَمۡ صَبَرۡنَا مَا لَنَا مِن مَّحِيصٖ
“Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap
ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang
yang sombong. “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu maka dapatkah
kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walau pun) sedikit saja”. Mereka
menjawab. “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat
memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh ataukah bersabar.
Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” (Ibrâhîm [14]:
21)
Peran dan
Keutamaan Jamaah untuk Kaum Muslimin
Saya katakan, seandainya mereka yang mengatakan fatwa keharaman
jamaah dan harokah, atau berkumpul dalam mengurusi amal kebaikan tertentu, mau
melihat pada banyak manfaat dan akibat yang baik dan adanya harokah-harokah
atau perkumpulan kaum muslimin tertentu di bumi barat maupun di timur, dan
mereka lepas dan hawa nafsu fanatisme juga pandangannya mau melihat dunia
Islam, tentu tidak akan mengeluarkan fatwa yang demikian buruk dan menyesatkan itu.
Maka mengingkari kelebihan jamaah dan harokah Islam untuk kaum
muslimin tidak akan dilakukan, kecuali oleh orang yang memiliki sifat negatif
yang pernah saya sebutkan sebelumnya. Karena adanya kebangkitan umat Islam yang
kita saksikan hari ini merupakan akibat dan adanya kesungguhan jihadnya
harokah-harokah Islam yang telah bahu-membahu membentengi dakwah Islam, dan
memikul kewajiban jihad dengan harta, lisan, dan jiwa raga.
Maka atas sebab apakah munculnya kemenangan yang diraih umat Islam
Afghanistan yang telah mengusir kekuatan dahsyat di muka bumi ini, kecuali
disebabkan oleh hasil dari usaha harokah jihad hari ini—tentunya setelah
kehendak Allah, yang telah berusaha maksimal berkorban dalam jihad di jalan Allah
ta’ala dengan jiwa dan harta mereka.
Keberhasilan dan kemenangan akan diraih oleh para Mujahidin
setelah adanya jamaah, adanya seorang amir atau pemimpin, aturan dan strategi
politik yang syar’i serta mengetahui kondisi yang dialami saat itu.
Apakah setiap kita akan bangga hari ini bila menyaksikan seorang
pemuda muslim yang pulang dari negeri barat—Amerika dan Eropa—yang telah
mempersenjatai dirinya dengan ilmu keduniaan (materi), dan menguasai lebih
banyak ilmu syariat dan din daripada mereka yang keluar dari universitas Islam
di pusat negeri Islam, bahkan lebih banyak ilmunya dan mereka yang kita didik.
Apakah kita akan terus bangga dengan para pemuda yang kembali dari negeri
kafìr, dan telah bergaul dengan banyak bencana kerusakan dan kemungkaran. Maka
saya tanyakan kepada yang berfatwa tanpa ilmu tersebut, bukankah para pemuda
tersebut merupakan hasil dari sebuah usaha jamaah dan harokah dakwah yang
terdapat di dalamnya seorang pemimpin, peraturan dan strategi ke depan?
Mari kita saksikan dunia Islam hari ini, tidaklah media umum yang
resmi memberitakan pada kebanyakan negeri Islam, kecuali untuk merusak generasi
dan melalaikan din ini. Lihat dan awasilah di lingkungan sekitar kalian,
tidaklah engkau dapatkan seorang pemuda yang berpegang teguh dengan dinnya dan
mengikuti sunnah Nabi-Nya, serta berlepas dan semua kebatilan, kecuali karena
peran jamaah dan harokah Islam.
Dan ironisnya saya katakan, bahwa yayasan keagamaan milik
pemerintah di banyak negeri Islam tidak pernah meluluskan—kebanyakan, kecuali
manusia yang telah goyah akidahnya dan rusak perilakunya, yang telah menjual
din untuk dunianya, mereka adalah seburuk-buruk manusia yang diciptakan.
Seandainya urusan Allah dan din-Nya ini tidak segera datang untuk
generasi ini maka tidak akan tersisa dalam din ini walau hanya akar yang hidup,
tidak pula ilmu yang bercahaya. Akan tetapi, Allah telah memilih di setiap
zamannya sebuah generasi yang membela dinnya dan tidak takut celaan siapa pun.
Mereka yang telah Allah pilih tidak lepas dari usaha dan jerih
payah yang dilakukan oleh jamaah-jamaah dakwah di setiap tempat dan setiap
jengkal bumi Islam. Dengan izin Allah, mereka adalah seperti generasi yang
telah disebutkan dalam Al-Qur’an, yang Allah ta’ala akan memberikan janji
kemenangan kepada mereka. Allah ta’ala berfìrman:
وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن
يَنصُرُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar
Mahakuat lagi Mahaperkasa.”
(AI-Hajj [22]: 40)
Source:
Penulis : ABDURRAHMAN BIN ABDUL KHALIQ
HARAKAH JIHAD
HARAKAH JIHAD
IBNU
TAIMIYAH
KARENA HARAKAH ITU SUNNAH BUKAN BID’AH
KARENA HARAKAH ITU SUNNAH BUKAN BID’AH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar