Aqidah Muslim
Berikut Penjelasannya
( 28 )
(Kumpulan Risalah Yang Memiliki Faidah)
Penyusun : Abu Sulaiman
Aman Abdurrahman
(28) Hukum
Menjadikan Undang-Undang Buatan Manusia Yang Bertentangan Dengan Islam Sebagai
Rujukan
Berhukum dengan undang-undang
yang bertentangan dengan Islam adalah kufur secara mutlak tanpa melihat isi
hatinya bila syari’at Islam digantikan, namun bila syari’at Islam masih
dijadikan rujukan hukum akan tetapi dalam masalah tertentu si hakim menyeleweng
dari putusan hukum yang semestinya, maka ini bisa kafir, bisa fasiq, dan bisa
dhalim tergantung i’tiqad, berikut rinciannya:
Allah subhabahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ
لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَفِرُونَ
“Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang kafir”
(Al Maidah: 44)
Dan sabda Rasulullah shalallaahu
‘alaihi wa sallam:
وَمَا
لَمْ تحكم أَئِمَّتِهِمْ بِكِتَابِ اللهِ وَ يَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ
إِلَّا جَعَلَ اللهُ بِأَسْهُم بَيْنَهُمْ
“Dan selagi pemimpin mereka tidak memutuskan perkara dengan kitab
suci Al Qur’an, dan mereka memilih-milih hukum yang diturunkan Allah, niscaya
Allah akan menjadikan kehancuran mereka pada diri mereka”
(Hadits hasan riwayat Ibnu Majaah)
Ketahuilah,
sesungguhnya berhukum dengan hukum selain Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam itu ada banyak macamnya, camkanlah
apa yang telah ditulis oleh Al Imam Muhammad
Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah
dalam
kitabnya Tahkimul Qawanin, beliau berkata:
“Sesungguhnya hakim yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah itu
adalah kafir, baik kekufuran i’tiqad yang mengeluarkan
dari agama (Islam), ataupun kekufuran amal yang tidak mengeluarkan
dari agama.
Adapun yang pertama yaitu Kekufuran I’tiqad, maka ini banyak
macamnya:
1) Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan
Allah itu mengingkari keberhakkan/kebenaran hukum Allah dan Rasul-nya.
2) Si hakim yang berhukum dengan hukum selain apa yang diturunkan
Allah itu tidak mengingkari bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah haq,
namun dia meyakini bahwa hukum selain Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam lebih baik, lebih sempurna, dan
lebih mencakup dari hukum beliau.
3) Dia tidak meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah dan
Rasul-Nya, namun dia meyakini bahwa hukum itu sama dengan dengan hukum-Nya.
4) Dia tidak meyakini keberadaan hukum si hakim yang menghukumi
dengan hukum selain apa yang diturunkan Allah itu sama dengan hukum Allah dan
Rasul-Nya, apalagi kalau sampai ia meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari
hukumnya, namun ia meyakini meyakini bolehnya berhukum dengan hukum yang menyelisihi
hukum Allah dan Rasul-Nya.
5) Dan yang paling besar dan paling dahsyat serta paling nampak
pembangkangan-pembangkangannya terhadap syari’at, paling nampak penolakannya
terhadap hukum-hukum syari’at, dan paling nampak penentangannya terhadap Allah dan
Rasul-Nya, dan paling nyata penyerupaannya terhadap mahkamah-mahkamah syari’at,
dari sisi persiapan, pengayaan, irsyad, ta’shil, tafri’, tasykil, tanwi’, penetapan hukum,
keharusan (iltizam), dan referensi-referensi serta sandaran. Sebagaimana mahkamah-mahkamah
syar’iyyah memiliki referensi-referensi yang menjadi sandaran, yaitu rujukan
seuanya adalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mahkamah-mahkamah ini juga
memiliki referensi/ rujukan, yaitu undang-undang (qanun) yang diambil
dari berbagai macam syari’at dan undang-undang yang banyak jumlahnya, seperti
undang-undang Prancis, undang-undang Amerika, undang-undang Inggris, dan undang-undang lainnya, serta dari aliran-aliran berbagai ahlul bid’ah
yang menisbatkan diri kepada syari’at ini dan yang lainnya.
6) Apa yang dijadikan hukum oleh para pemimpin suku dan kabilah di
kawasan pedalaman dan yang lainnya berupa dongeng-dongeng leluhur dan nenek
moyang mereka yang mereka namakan hukum adat (atau nama apa saja) yang diwariskan
secara turun-temurun mereka memutuskan hukum dengannya, dan mendorong orang
untuk berhukum kepadanya disaat ada persengketaan, karena merasa betah dengan
hukum-hukum jahiliyyah, dan berpaling serta enggan terhadap hukum Allah dan
Rasul-Nya, falaa haula walaa quwwata
illaa billaah.
Adapun bagian kedua, dari dua macam kekufuran hakim yang
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, yaitu yang tidak mengeluarkan
dari agama adalah:
Telah lalu bahwa
penafsiran Ibnu ‘Abbas radliyallahu
‘anhuma terhadap firman Allah ‘azza wa jalla “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang kafir” mencakup bagian itu, yaitu perkataan
beliau radliyallahu ‘anhuma: “kufrun duna kufrin” dan perkataannya, kufur yang dimaksud itu
bukan yang kalian yakini”.
Yaitu syahwat dan hawa nafsunya mendorong
dia untuk menghukumi dalam satu permasalahan bukan dengan hukum yang diturunkan
Allah, dengan disertai keyakinannya bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah
yang haq, dan pengakuannya atas dirinya dengan kesalahan serta menyalahi
petunjuk.
Ini meskipun
tidak mengeluarkan dia dari agama Islam, namun sesungguhnya itu merupakan maksiat yang paling
dahsyat dan lebih besar dari dosa-dosa besar, seperti zina, minum khamr,
mencuri, sumpah palsu, dan yang lainnya, karena maksiat yang
Allah namai dengan kekufuran lebih besar dari maksiat yang tidak dinamai dengan
kekufuran. [Tahkimul Qawanin: 13-21].
Anda bisa melihat
beliau rahimahullah menjelaskan dalam
empat macam pertama status yang berhubungan dengan zuhud (pengingkaran) si hakim yang berhukum dengan bukan hukum Allah
atas kebenaran (al haqqiyyah) hukum Allah dan Rasul-Nya, pengunggulan bukan
hukum Allah atas hukum Allah, pensejajaran hukum-Nya dengan yang lainnya, dan
pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, namun tatkala beliau menuturkan
nomor ke lima, beliau tidak menyebutkan quyud
(batasan-batasan)
tadi, karena yang ke lima itu sudah berupa undang-undang yang disusun
sedemikian rupa, berbeda dengan empat macam sebelumnya yang dimana si hakim itu
hanya berhukum kepada selain hukum Allah dalam permasalahan tertentu saja
sedangkan hukum Allah tetap sebagai rujukan dan hukum yang tetap berlaku, maka
penghukuman sebagai orang kafir yang murtad dari Islam itu harus diperhatikan
batasan-batasan empat di atas, namun bila dalam masalah ini tidak terdapat
salah satu batasan yang empat itu, maka statusnya tergolong pada kufrun duna kufrin. Adapun bila menjadikan hukum selain apa
yang diturunkan Allah itu sebagai qawanin
(undang-undang),
maka kekafiran/ kemurtaddannya itu tidak perlu adanya keyakinan-keyakinan empat
di atas.
Syaikh Muhammad berkata lagi: Dan adapun yang dikatakan
padanya kufrun duna kufrin, adalah bila dia
berhukum kepada selain Allah dengan masih ada keyakinan bahwa dia itu berbuat maksiat dan
bahwasanya hukum Allah itulah satu-satunya yang haq, terus perbuatan (berhukum)
ini hanyalah yang terjadi darinya sekali-dua kali saja, adapaun orang-orang
yang membuat undang-undang dengan rapi dan tersusun dengan sedemikian rupa,
maka dia itu kafir (murtad) meskipun mereka mengatakan “kami ini salah dan hukum Allah itu yang paling adil”. [Al Fatawa: 12/280, 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah]
Beliau berkata
lagi: Seandainya orang yang menjadikan undang-undang sebagai hukum berkata: “saya meyakini bahwa undang-undang ini bathil” maka (ucapan ini)
tidak ada pengaruhnya, bahkan perbuatannya itu merupakan penyingkiran akan
syari’at, sama halnya seandainya seseorang berkata: “saya menyembah berhala dan dia meyakini bahwa itu bathil”. [Al fatawa: 6/189, dinukil dari Raf’ulla’imah]
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin berkata: “Status
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah terbagi dua macam:
I. Hukum Allah dibatalkan/ digeser, agar
tempatnya diganti dengan hukum lain yang thaghuti, yaitu berhukum dengan
syari’at di antara manusia di hapus/ diralat dan digantikan dengan hukum lain
buatan manusia, seperti orang-orang yang menyingkirkan hukum-hukum syari’at
dalam muamalah antara manusia dan manggantikannya dengan undang-undang buatan
manusia, maka hal ini tidak diragukan lagi adalah istibdal (penukaran/ penggantian) syari’at Allah ‘azza wa
jalla dengan yang lainnya, dan ini merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari
agama (Islam), karena orang ini memposisikan dirinya pada kedudukan Sang
Pencipta, dia mensyari’atkan hukum yang tidak diizinkan Allah ‘azza wa jalla di
antara hamba-hamba Allah, bahkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah
‘azza wa jalla, serta dia menjadikannya sebagai hukum pemutus urusan di antara
manusia, sedangkan Allah ‘azza wa jalla telah menamakannya sebagai sekutu di
dalam firman-Nya:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَؤُا شَرَعُوا لَهُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا لَمْ
يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”
(Asy Syuraa: 21)
II. Hukum-hukum Allah ‘azza wa jalla tetap
dijalankan seperti biasanya, dan tetap sebagai pemutus dan sebagai rujukan/ acuan, namun ada
satu hakim dari hakim-hakim yang ada kemudian dia menetapkan hukum dengan
sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan hukum-hukum itu, yaitu dengan dia
berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, maka baginya ada tiga
keadaan:
1.
Menghukumi dengan apa yang menyelisihi syari’at Allah dengan berkeyakinan bahwa
hukum (yang ia tetapkan) itu lebih utama dari hukum Allah dan lebih bermanfaat
bagi hamba-hamba Allah, atau meyakini bahwa hukum itu sejajar dengan hukum
Allah ‘azza wa jalla, atau meyakini bahwa dia boleh berhukum dengan selain
hukum yang diturunkan Allah, maka ini adalah kekufuran yang dengannya si hakim
keluar dari agama (Islam) karena dia tidak ridla dengan hukum Allah ‘azza wa
jalla, dan dia tidak menjadikan Allah sebagai pemutus hukum di antara
hamba-hamba-Nya
2.
Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah dengan berkeyakinan bahwa hukum
Allah adalah yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya,
namun dia keluar dari ketentuan hukum itu, sedang dia merasa bahwa dia itu
beraksiat kepada Allah ‘azza wa jalla, dia hanya menginginkan berbuat aniaya
dan dhalim kepada si terhukum, karena sebab ada permusuhan di antara dia
dengannya, maka dia berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan Allah
bukan karena benci terhadap hukum Allah dan tidak pula istibdal tidak juga meyakini bahwa hukum yang dia tetapkan itu
lebih utama dari hukum Allah atau sejajar dengannya atau (tidak pula) meyakini bahwa
boleh memutuskan dengannya namun karena dia ingin merugikan si terhukum maka ia
menetapkan dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Pada keadaan
seperti ini kita tidak mengatakan bahwa si hakim itu kafir, namun kita katakan
sesungguhnya dia itu dhalim, aniaya dan lalim.
3.
Berhukum dengan apa yang tidak diturunkan Allah sedang dia meyakini bahwa hukum
adalah yang paling utama dan paling bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya dan
meyakini pula bahwa dia dengan penetapan hukumnya ini dia bermaksiat kepada
Allah ‘azza wa jalla, namun dia memutuskan karena mengikuti hawa nafsunya, untuk
kemashlahatan bagi dia atau si pengadu, maka perbuatan ini adalah kefasikan dan
keluar dari ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan terhadap tiga status
inilah firman Allah dalam tiga ayat itu ditafsirkan. Firman-nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang kafir” buat status yang pertama. Firman-Nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang yang zalim” buat status yang kedua. Firman-nya: “Barangsiapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka
mereka adalah orang-orang yang fasik” buat status yang ketiga. [Fikhul
Ibadat: 60-61 dan Al Qaul Al Mufid: 2/159-162]
Perhatikanlah! tentu anda bisa melihat bahwa bagian
pertama yang Syaikh Al-Utsaimin sebutkan sama dengan bagian kelima dan bahkan
yang keenam juga yang dituturkan oleh Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim. Adapun
bagian yang kedua poin pertama yang Syaikh Al utsaimin sebutkan adalah sama
dengan empat poin pertama yang Syaikh Muhammad sebutkan, dan adapun bagian
kedua poin kedua dan ketiga dari yang Syaikh Al Utsaimin sebutkan adalah sama
dengan bagian kedua dari macam kufur yang Syaikh Muhammad sebutkan di akhir,
yaitu kufrun duna kufrin.
Syaikh Muhammad Hamid Al
Faqiy rahimahullah berkata:
Dan seperti ini dan lebih buruk darinya (dari hukum yang dibuat oleh Jenggis
Khan yang sudah divonis kafir orang yang melakukannya, [Lihat
Fathul Madjid: 373]): orang yang menjadikan perkataan
orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum dalam
masalah darah (pembunuhan dan sejenisnya, pent) kemaluan (perzinahan, perkosaan
dan sejenisnya, pent) dan harta, dan dia mendahulukannya terhadap apa yang
sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat dalam Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus
bersikeras di atasnya dan tidak kembali mau berhukum dengan apa yang telah diturunkan
Allah, dan tidak bermanfaat baginya nama apapun
yang dengannya dia menamai dirinya dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan
apa saja dari amalan-amalan dzahir, baik shalat, saum, haji dan yang lainnya.
[Lihat Fathul Madjid: 373, catatan kakinya]
Maka
dalam masalah ini hendaklah kita hati-hati, janganlah terseret pemikiran yang
bertolak belakang, antara Khawarij yang merupakan anjing-anjing neraka Jahannam
dan pemikiran Murji’ah dahulu ataupun Neo Murji’ah yang berpakaian lebih menarik
pada masa kini yang berlabelkan nama yang indah dan berbaju dengan baju yang
menawan yang dhahirnya mencela pemikiran Murji’ah namun bathinnya sama dengan
mereka dan berbeda dengan Ahlussunnah. Semua mengaku Ahlussunnah, siapakah yang
sebenarnya...?? semua mengklaim pengikut salaf, namun siapa yang sebenarnya...??
Nas’alullahasaalama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar