8/01/2019

Sebagian Dari Kebiasaan Ahli Kitab Dan Orang-Orang Ajam - Ibnu Taimiyah


Sebagian Dari Kebiasaan
AHLI KITAB dan ORANG-ORANG AJAM
Yang Dilakukan Umat Ini
Oleh : Ibnu Taimiyah

Saya singgung sebagian kebiasaan ahli kitab dan orang-orang Ajam yang telah menimpa umat ini. Agar seorang muslim yang lurus dapat menghindari penyimpangan dan jalan yang lurus, menuju jalan mereka yang dimurkai ataupun mereka yang tersesat.

1.     Hasad

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ فَٱعۡفُواْ وَٱصۡفَحُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦٓۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ

“Sebagian besar ahli kítab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.”
(Al-Baqarah : 109)

Allah mengecam orang-orang Yahudi karena kedengkian mereka terhadap ilmu dan hidayah yang diberikan kepada orang-orang mukmin.

Sebagian orang-orang berilmu dan selain mereka juga terkena musibah semacam hasad, terhadap orang yang diberi petunjuk melalui ilmu yang berguna, atau amal shalih. Itu tabiat tercela. Dalam konteks ini, ia termasuk akhlak kaum yang dimurkai.


2.     Menyembunyikan Ilmu dan Bersikap Kikir

Terhadapnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


لِّكَيۡلَا تَأۡسَوۡاْ عَلَىٰ مَا فَاتَكُمۡ وَلَا تَفۡرَحُواْ بِمَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخۡتَالٖ فَخُورٍ ٢٣ ٱلَّذِينَ يَبۡخَلُونَ وَيَأۡمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلۡبُخۡلِۗ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَنِيُّ ٱلۡحَمِيدُ ٢٤

“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir.”
(Al-Hadid : 23-24)

وَيَكۡتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَأَعۡتَدۡنَا لِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٗا مُّهِينٗا

“Dan menyembunyikan keutamaan yang telah Allah berikan kepada mereka.”
(An-Nisa’ : 37)

Allah menggambarkan mereka sebagai kaum yang kikir, yaitu kikir dalam soal ilmu dan harta, meskipun alur ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksudkari adalah kikir dalam ilmu. Oleh sebab itu,  Allah juga menggambarkan mereka dalam banyak ayat sebagai kaum yang menyembunyikan ilmu. Seperti dalam firman-Nya:

وَإِذۡ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَتُبَيِّنُنَّهُۥ لِلنَّاسِ وَلَا تَكۡتُمُونَهُۥ فَنَبَذُوهُ وَرَآءَ ظُهُورِهِمۡ وَٱشۡتَرَوۡاْ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلٗاۖ فَبِئۡسَ مَا يَشۡتَرُونَ ١٨٧

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dan orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,” 
(Ali Imran : 187)

Juga firman-Nya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ ١٥٩ إِلَّا ٱلَّذِينَ تَابُواْ وَأَصۡلَحُواْ وَبَيَّنُواْ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَتُوبُ عَلَيۡهِمۡ وَأَنَا ٱلتَّوَّابُ ٱلرَّحِيمُ ١٦٠

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Qur’an, mereka itu dila’nati Allah dan dila’nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela’nati.
Kecuali mereka yang telah taubat.“
(Al-Baqarah : 159 - 160)

Juga firman-Nya:

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَشۡتَرُونَ بِهِۦ ثَمَنٗا قَلِيلًا أُوْلَٰٓئِكَ مَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ إِلَّا ٱلنَّارَ وَلَا يُكَلِّمُهُمُ ٱللَّهُ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ١٧٤

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Al-Qur’an dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api..”
(Al-Baqarah : 174)

Dan juga firman-Nya:

وَإِذَا لَقُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ إِلَىٰ شَيَٰطِينِهِمۡ قَالُوٓاْ إِنَّا مَعَكُمۡ إِنَّمَا نَحۡنُ مُسۡتَهۡزِءُونَ

“Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: Kami telah beriman. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”.
(Al-Baqarah : 14)

Allah mensifati bahwa mereka dengan kata-kata “yang dimurkai” itu karena mereka mempunyai kesukaan menyembunyikan ilmu; terkadang karena kikir, terkadang untuk mencari dunia sebagai gantinya, terkadang juga karena takut kalau yang mereka kemukakan, akan berbalik menghujat mereka sendiri. Hal ini telah menimpa sebagian golongan ahli ilmu. Mereka kadang-kadang menyembunyikannya karena kikir atau karena takut kalau orang lain ikut memperoleh keutamaannya. Terkadang pula dikarenakan mengejar kedudukan ataupun harta. Ia khawatir, kalau ilmu tersebut ditampakkan, akan mengurangi kedudukan sosial mereka atau akan berkurang nilai hartanya. Kadangkala terjadi, ia berlainan pendapat dengan orang lain. Atau bersengketa dengan satu kelompok yang berbeda pendapat dengannya. Lalu ia menyembunyikan ilmu yang mengandung hujjah bagi lawannya itu. Meski ia sendiri tak yakin kalau lawannya itu salah.

OIeh sebab itu, Abdurrahman bin Mahdi dan ulama lainnya menyatakan: “Para Ahli ilmu itu menulis setiap hujjah yang menguatkan atau melemahkan mereka. Sedangkan pengikut hawa nafsu hanya menulis hujjah yang menguatkan buat mereka.” Maksud di sini bukanlah menjabarkan hal-hal yang wajib dan sunnah. Namun tujuannya adalah untuk mengingatkan inti persoalan yang dapat dipahami oleh orang berakal, agar bermanfaat bagìnya.


3.     Mengenal Kebenaran Namun Tidak Menerapkannya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ نُؤۡمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيۡنَا وَيَكۡفُرُونَ بِمَا وَرَآءَهُۥ وَهُوَ ٱلۡحَقُّ مُصَدِّقٗا لِّمَا مَعَهُمۡۗ قُلۡ فَلِمَ تَقۡتُلُونَ أَنۢبِيَآءَ ٱللَّهِ مِن قَبۡلُ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ ٩١

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al-Qur’an yang diturunkan Allah”. Mereka berkata: “Kamí hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedang Al-Qur’an itu (Kitab) yang hak.”
(AI-Baqarah: 91)

Setelah sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَمَّا جَآءَهُمۡ كِتَٰبٞ مِّنۡ عِندِ ٱللَّهِ مُصَدِّقٞ لِّمَا مَعَهُمۡ وَكَانُواْ مِن قَبۡلُ يَسۡتَفۡتِحُونَ عَلَى ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَلَمَّا جَآءَهُم مَّا عَرَفُواْ كَفَرُواْ بِهِۦۚ فَلَعۡنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ ٨٩

“Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, lain mereka ingkar kepadanya. Maka la’nat AIlah-Iah atas orang-orang yang ingkar itu”
(Al-Baqarah : 89)

Allah menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai kaum yang mengenal kebenaran sebelum lahirnya nabi yang menyampaikan dan mengajak kepada kebenaran itu. Tatkala nabi pembawa kebenaran itu datang dan ternyata bukan dari golongan mereka, maka menghinakannya dan tak mau tunduk kepadanya. Karena mereka tidak menerima kebenaran selain dan golongan mereka sendiri, di samping mereka tidak mau mengikuti apa yang menjadi tuntutan keyakinan mereka.

Inilah yang menimpa banyak orang yang fanatik terhadap golongan tertentu dalam soal ilmu, atau dien. Baik dari kalangan ahli fiqih, ahli tashawwuf dan lain-lain, atau fanatik terhadap pemimpin agama yang dianggap agung menurut keyakinan mereka, selain Nabi. Sesungguhnya mereka tidak mau menerima ajaran dien, baik soal fiqih ataupun riwayat, kecuali dari golongan mereka. Sementara mereka juga tak paham dengan apa yang dituntut oleh golongannya. Sedangkan dien Islam mengharuskan kita mengikuti yang hak secara mutlak; baik itu soal fiqih ataupun periwayatan, tanpa mengkhususkan orang atau golongan tertentu; selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

 
4.     Penyelewengan Dalil-dalil


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menggambarkan kaum yang dimurkai:

لَيَّۢا بِأَلۡسِنَتِهِمۡ وَطَعۡنٗا فِي ٱلدِّينِۚ

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merobah perkataan dari tempat-tempatnya.” (An-Nisaa : 46)

Allah ta’ala juga menyebutkan sifat-sifat mereka :

وَإِنَّ مِنۡهُمۡ لَفَرِيقٗا يَلۡوُۥنَ أَلۡسِنَتَهُم بِٱلۡكِتَٰبِ لِتَحۡسَبُوهُ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَمَا هُوَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lídahnya membaca Al-Qur’an, supaya kamu menyangka apa yang dibacanya itu sebagian dan Al-Qur’an, padahal ia bukan dari Al-Qur’an.” (Ali Imran : 78)

Penyelewengan itu sering ditafsirkan dengan penyelewengan nash Al-Qur‘an dan Hadits (Tahriif At-Tanziil), terkadang juga penyelewengan pengertiannya (Tahriif At-Ta’wiil). Adapun penyelewengan dalam pengertiannya, amatlah banyak. Ia telah dilakukan oleh beberapa golongan umat ini.” Sedangkan penyelewengan nash Al-Qur’an dan Hadits, banyak juga dilakukan manusia. Mereka memanipulasi lafazh-lafazh hadits Rasul, dengan cara meriwayatkan hadits-hadits munkar (hadits lemah yang menyelisihi hadits shahih). Namun demikian, ahli hadits dapat membantahnya. Sebagian di antara mereka bahkan lebih jauh lagi sampai kepada menyelewengkan (lafazh ayat). Meski hal itu tak mungkin mereka lakukan. Sebagaimana sebagian mereka membaca ayat berikut:

(وَكَلّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيمًا) (dengan di-fathahkan huruf “haa” pada lafazh ‘Allah’, sehingga lafazh Allah itu menjadi objek). Adapun kelancangan sebagian mereka terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan memberi kesan seolah-olah itu dari Allah, adalah seperti halnya perbuatan para pemalsu hadits-hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Atau menjadikan dalih-dalih tersebut sebagai hujjah dalam dien, padahal tidaklah demikian.

Inilah salah satu contoh akhlak orang-orang Yahudi. Kecaman terhadap karakter ini banyak terdapat dalam nash-nash, bagi siapa yang mendalami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian ia memandang lewat celah cahaya keimanan, tentang realita yang terjadi di tengah umat.


5.     Sikap Ghuluww (Melampaui Batas)


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَٰٓأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ وَلَا تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّۚ إِنَّمَا ٱلۡمَسِيحُ عِيسَى ٱبۡنُ مَرۡيَمَ رَسُولُ ٱللَّهِ وَكَلِمَتُهُۥٓ أَلۡقَىٰهَآ إِلَىٰ مَرۡيَمَ وَرُوحٞ مِّنۡهُۖ

“Wahai ahlil kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam dienmu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya.” (An-Nisaa’ : 171)

لَقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَۖ

Juga pada ayat lain: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: ”Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putera Maryam.” (Al Maaídah: 72). Dan banyak lagi di tempat-tempat lain.

Kemudian, sikap ghuluw terhadap para nabi dan orang shalih; telah merambat ke berbagai golongan dan kalangan ahli ibadah kaum tasawwuf yang sesat. Bahkan banyak di antaranya yang telah dirasuki pemahaman hulul (bahwa Allah di mana-mana) dan wihdatul wujud (manunggaling kawula gusti). Yang pemahaman itu Iebih bobrok dibanding dengan pendapat kaum Nashrani, atau setara atau sedikit di bawahnya.



6.     Patuh dan Tunduk
Kepada Orang yang Mereka Agung-agungkan


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ٱتَّخَذُوٓاْ أَحۡبَارَهُمۡ وَرُهۡبَٰنَهُمۡ أَرۡبَابٗا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلۡمَسِيحَ ٱبۡنَ مَرۡيَمَ

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,
dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam.”
(At-Taubah : 31)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsìrkan ayat itu di hadapan Adiyy bin Hatim bahwa mereka itu “menghalalkan yang haram, lalu dìtaati; dan mengharamkan yang halal, lalu juga dituruti. Itulah yang dimaksud menyembah mereka.”

Banyak di antara para pengikut ahli ibadah tersebut yang patuh kepada orang-orang yang mereka muliakan dalam setiap perintah mereka. Meski perintah itu mengandung penghalalan sesuatu yang diharamkan dan pengharaman sesuatu yang dihalalkan.


7.     Rahbaniyah (Kependetaan)

Yang dimaksud dengan Rahbaniyyah ialah tidak beristri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَرَهۡبَانِيَّةً ٱبۡتَدَعُوهَا مَا كَتَبۡنَٰهَا عَلَيۡهِمۡ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ رِضۡوَٰنِ ٱللَّهِ

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah...”
(Al-Hadiid : 27)

Sebagian golongan kaum muslimin ada juga yang mengada-adakan rahbaniyyah tersebut. Dan hanya Allah-lah yang Maha Mengetahuinya.


8.     Menjadikan Kuburan-kuburan Sebagai
Masjid (Tempat Peribadatan)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىٰٓ أَمۡرِهِمۡ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيۡهِم مَّسۡجِدٗا

“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.
(Al-Kahfi :21)

Sesungguhnya orang-orang yang sesat -bahkan juga mereka yang dimurkai-, membangun masjid-masjid di atas kuburan para nabi dan orang-orang shalih. Tidak hanya sekali saja, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya untuk melakukan itu. Sampai-sampai ketika beliau hendak meninggal duniapun belíau berwasiat tentang hal ini “-Ayah dan ibuku menjadi tebusannya-“. Namun kemudian, banyak dari kalangan umat ini yang telah terjerumus ke dalam perbuatan seperti itu.

Di antara contohnya hadits Abu Hurairah Radhíallahu‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Mereka telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi sebagai masjid (tempat beribadah).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Demikian juga hadits Aisyah dan Abdullah bin Abbas, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mendekati kematiannya menutupi wajahnya dengan ujung pakaiannya. Tatkala wajahnya telah tertutupi semuanya beliau bersabda: “Semoga laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka telah menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” Aisyah berkata: Rasulullah  mengingatkan, bahwa demikian jugalah yang akan dilakukan sebagian kaum muslimin.” [HR. Al Bukhari dan Muslim]. Hadits-hadits yang senada dengan itu masih banyak lagi. Barangsiapa yang ingin menelaah hadits-hadits lainnya, silakan membaca buku bernilai tinggi: ‘Tahdzirus Saajid Minit Tikhaadzil Quburi Masaajid” tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddien Al-Albani -Rahimahullah-.


9.     Dasar Pijakan Agama Kaum Yang Sesat
Adalah Dengan Membangkitkan Nafsu Hewani

Kaum yang sesat itu, pada umumnya ibadah mereka yang kita dapati, hanya dapat tegak lewat suara-suara yang merdu (nyanyian) dan lukisan-lukisan indah. Tak ada yang mereka perhatikan dan ajaran dien mereka lebih daripada memerdukan suara. Kemudian kita dapati, bahwa dengan kegemaran mendengarkan kemerduan itu, mereka terkena kebiasaan mendengar sya'ir-sya'ir, lukisan-lukisan dan suara-suara merdu, untuk menenangkan hati dan kondisi jiwa.

Padahal perbuatan itu adalah mirip dengan sebagian cara-cara orang-orang yang sesat (Nashrani).


10.     Masing-masing Golongan Menyalahkan
Golongan yang Lain


Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَقَالَتِ ٱلۡيَهُودُ لَيۡسَتِ ٱلنَّصَٰرَىٰ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَىٰ لَيۡسَتِ ٱلۡيَهُودُ عَلَىٰ شَيۡءٖ وَهُمۡ يَتۡلُونَ ٱلۡكِتَٰبَۗ

"Dan orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak punya suatu pegangan" dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan".
(Al-Baqarah : 113)

Allah menerangkan, bahwa masing-masing dari dua umat itu, mengingkari keyakinan yang lainnya. Kita akan dapati, para ahli fikih melihat para ahli tashawwuf dan ahli ibadah, hanya dengan sebelah mata. Dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang bodoh lagi sesat, sebagai orang yang tidak mengakui ilmu dan petunjuk yang ada pada mereka. Sebaliknya, kita saksikan para ahli tasawwuf dan orang yang merasa zuhud memandang dengan sebelah mata kepada syari'at dan ilmu. Bahkan mereka berpandangan, bahwa orang yang berpegang padanya berarti telah putus hubungannya dengan Allah. Para penganutnya tak memiliki sesuatu yang berguna di sisi Allah sedikitpun.

Yang benar, bahwa Apapun yang tercantum dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam soal apapun adalah Benar Adanya.
Dan segala yang menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah dari pihak manapun adalah Batil Adanya.

Adapun menyerupai bangsa Persia dan Romawi telah nampak pula di kalangan umat ini Terlihat adanya pengaruh-pengaruh budaya Romawi yang merasuk, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Demikian juga pengaruh-pengaruh budaya Persia dalam ucapan dan perbuatan. Dan hal tersebut dapat diketahui secara jelas bagi orang yang mengerti dien dan seluk beluknya. Maksudnya di sini, bukan menjabarkan hal-hal yang terjadi di tengah umat, berupa perkara-perkara yang meniru-niru gaya mereka yang dimurkai atau mereka yang sesat, yang sebagian di antaranya terampuni pelakunya; mungkin karena ijtihad yang keliru, atau karena terhapus kebajikan-kebajikannya, dan lain-lain. Tujuannya semata-mata ingin menjelaskan kepentingan dan kebutuhan seorang hamba terhadap jalan yang lurus. Dengan itu, terkuak tabir ma’rifah bagi kita tentang penyelewengan yang harus dihindari.


Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan
Ash-Shiratul Mustaqim, Dan
Hubungan Masing-masing Di Antaranya

Arti Ash-Shiratul Mustaqim adalah: Berbagai perkara batin yang ada di dalam hati: berupa keyakinan, kehendak dan lain-lain. Dan berbagai perkara lahir; berupa ucapan, perbuatan, kadangkala berupa ibadah, kadangkala juga berupa kebiasaan; seperti makan, minum, berpakaian, menikah, bertempat tinggal, berkumpul, berpisah, bermukim, bepergian, berkendaraan dan lain-Iain.

Perkara-perkara lahir maupun batin ini, antara keduanya –dan itu pasti- ada keterkaitan. Sesungguhnya, perasaan dan kondisi yang tercipta dalam hati pasti akan terwujud dalam bentuk lahir. Demikian juga yang tercipta secara lahir berupa seluruh perbuatan, pasti menciptakan kondisi dan perasaan dalam hati.

Allah telah mengutus hamba dan Nabi-Nya Muhammad  membawa hikmah/ kebijakan, yaitu sunnahnya. Itulah syari’at dan manhaj yang disyari’atkan kepadanya.



Beberapa Sebab yang Melatarbelakangi
Dìwajibkannya Membedakan Diri Dari Mereka
Dalam Gaya Hidup


Di antara bentuk hikmah/kebijakan tersebut adalah dengan disyarì’at-kannya kepada beliau ucapan dan perbuatan yang menciptakan garis pemisah antara orang-orang Islam dengan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat. Beliau diperintah untuk menyelisihi mereka dalam perilaku lahiriah, meskipun kerusakannya tak nampak oleh kebanyakan manusia (yakni kerusakan dan menyamakan diri dengan mereka).

Hal itu didasari Beberapa Hal, di antaranya ialah:

1) Menyamakan diri dengan mereka dalam bentuk lahiriah akan membentuk persesuaian dan kesamaan sosok antara dua hal yang serupa, yang pada gilirannya akan menggiring kepada kesamaan perilaku dan perbuatan. ini hal yang realistis. Orang yang mengenakan pakaian ulama misalnya, akan mendapati dalam dirinya semacam rasa kebersamaan dengan mereka. Orang yang mengenakan pakaian pasukan perang/ tentara misalnya, akan mendapati dalam dirinya semacam penyerupaan sikap dengan mereka. Sehingga kegemarannya akan mengarah ke sana. Kecuali kalau ada yang menjadi penghalangnya.

2) Menyelisihi perilaku lahir mereka berarti, membuat garis pemisah dan pembeda yang menyebabkan terputusnya hal-hal yang dapat menyebabkan murka (Allah) atau menjadikannya sesat. Kemudian mengarahkan mereka yang diberi petunjuk dan dirìdhai. Terbuktilah apa yang telah Allah putuskan, berupa adanya perwalian antara tentara-Nya yang beruntung dengan musuh-musuh-Nya yang merugi. Setiap kali hati itu lebih sempurna hidupnya dan lebih mengenal Islam, yang betul-betul Islam -yang saya maksud bukan sekedar label lahir saja, atau sekedar keyakinan turun temurun secara umum maka kecenderungan jiwanya untuk menyelisihi orang-orang Yahudi dan Nasrani secara lahir maupun batinpun’ menjadi semakin sempurna. Keengganannya meniru gaya hidup mereka yang terdapat pada sebagian kaum musliminpun semakin kuat.

3) Menyamakan diri dengan mereka dalam perilaku lahirnya, akan membawa interaksì dzahir, sehingga garis pemisah yang nampak antara orang-orang yang diridhai dan diberi petunjuk dengan orang-orang yang dimurkai dan sesat akan hilang. Dan, banyak lagi hikmah-hikmah Iainnya.

Semua itu, jika perilaku lahiriyah mereka hanya sebatas perkara yang mubah saja bila dihindari, tetapi kalau perilaku itu adalah hal-hal yang menyebabkan kekufuran mereka, maka menirunya juga menjadi salah satu cabang kekufuran. Menyamakan diri dengan mereka, berarti menyamakan diri dalam kekufuran dan kemaksiatan mereka. ini adalah kaidah, yang harus dimengerti. Wallahu A’lam.


Source:
JuduI Asli:
IQTIDHA' SHIRATHIL MUSTAQIM
MUKHALAFATA ASHHABIL JAHIM
Penulis : Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah
Di Tahqiq oleh: Khalid bin Abdul Lathif As-Sab'ul Alamiy
Edisi Indonesia;
JALAN ISLAM VERSUS JALAN SETAN
Penerjemah : ABU FUDHAIL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...