Ikhwān dan Legislatif
Hubungan terlarang Ikhwān dengan parlemen
adalah sifat yang paling terkenal dari kelompok ini dalam tiga puluh tahun
terakhir. Namun, ini bukan tradisi baru bagi kelompok karena "Mursyid
'ām" pertamanya, Hasan al-Bannā, menominasikan dirinya sendiri untuk
parlemen Mesir sebanyak dua kali selama pemerintahan tāghūt Farouk I - di tahun
"1942" dan "1944" - sebagaimana didokumentasikan oleh
wartawan Ikhwānī Jābir Rizq dalam bukunya "Hasan al-Bannā bi Aqlām
Talāmidhatihī wa Mu'āsirīh."
Al-Bannā juga berusaha untuk membenarkan
partisipasinya dan para pengikutnya dalam pemilihan parlemen di dalam sebuah
artikel berjudul "Mengapa Ikhwān Mengambil Bagian dalam Pemilihan
Parlemen?" di jurnal resmi Ikhwānī. Sejak itu, Ikhwān telah berpartisipasi
dalam berbagai pemilu badan legislatif di beberapa negara, meminta untuk diri
mereka sendiri hak Allah untuk membuat hukum Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, {Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan selain
Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?}
[Asy-Syūrā: 21].
Ikhwān secara licik "membenarkan"
kekufuran seperti itu dengan dalih memerintahkan kepada yang baik dan mencegah dari
yang munkar, sebagaimana al-Bannā menulis sebuah artikel pada tahun
"1938M" berjudul "Penghancuran Bar Adalah Sebuah Insiden Yang
Memerlukan Refleksi Serius" dimana ia berkata, 'Melarang alkohol adalah
hak-hak imām… Dengan demikian, kita melihat bahwa Islam adalah agama organisasi.
Ia menjadikan merubah kemunkaran sebagai hak imām… Pemerintah di zaman kita
memiliki peran imām. Ia bertanggung jawab untuk melarang semua kemunkaran. Jika
ia tidak melakukannya, maka wajib atas perwakilan dari masyarakat untuk membuat
mosi tidak percaya kepada pemerintah. Jika perwakilan tidak memenuhi tanggung
jawab mereka, maka wajib atas bangsa untuk tidak memberikan mereka kepercayaan
mereka dan beralih memilih perwakilan lainnya. Jika perwakilan Muslim berkumpul
di bawah kubah parlemen, maka memungkinkan untuk mengakhiri semua kemunkaran
melalui kekuatan hukum dan kekuasaan dari sistem" [Majalah An- Nadhīr].
Bukannya menyeru kepada kewajiban jihād
melawan kelompok-kelompok yang menolak dengan kekuatan untuk mentaati kewajiban
Syarī'at yang jelas, seperti haramnya alkohol dan pengumpulan zakāt, Ikhwān
malah menyeru umat Muslim untuk melakukan kemurtadan dengan memilih individu
untuk mewakili mereka dalam parlemen sebagai pembuat hukum selain Allah!
Ikhwan dan Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah agama yang memberikan kekuasaan tertinggi
kepada manusia bukan Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalamnya, hak untuk membuat
hukum didistribusikan di antara manusia sehingga mereka dengan demikian
menentukan apa hukum yang cocok untuk diterapkan di negeri itu. Jika mayoritas
memutuskan sodomi diperbolehkan, maka ia disahkan meskipun itu bertentangan
dengan Syarī'at Allah. Dan jika mayoritas memutuskan untuk melarang sodomi, maka
ia dibuat ilegal, bukan karena itu adalah hukum Allah, tetapi karena kekuasaan
tertinggi ada di tangan manusia, di atas dan di luar kekuasaan Allah! Betapa
keji agama yang mana semua anggotanya menganggap mereka "Tuhan"
selain Allah! Namun, Ikhwān bersikeras bahwa ini adalah agama mereka dan
menyebarkannya atas nama Islam! {"Kamu tidak menyembah selain Allah
kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.
Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui"} [Yūsuf: 40].
"Ulama" Ikhwānī al-Qardāwī
berkata, "Gerakan Islam harus selalu berada di barisan kebebasan
berpolitik yang diwakili oleh demokrasi sejati" [Awlawiyyāt al-Harakah
al-Islāmiyyah].
"Mursyid 'ām" keempat Muhammad
Hāmid Abun-Nasr pernah ditanya, "Sebagian orang menuduh Ikhwān menjadi musuh
demokrasi dan memusuhi pluralisme politik. Apakah tanggapan Anda mengenai
tuduhan ini?" Dia menjawab, "Siapa pun yang mengatakan seperti itu
maka ia tidak mengenal Ikhwān. Dia hanya menuduh tanpa ilmu. Kami mendukung
semua makna dan dimensi yang lengkap dan komprehensif dari demokrasi. Kami
tidak melawan pluralisme partai. Orang-oranglah yang memiliki hak untuk menilai
semua ideologi dan individu" [Majalah Al-'Ālam].
"Ideolog" Ikhwānī Farīd
'Abdil-Khāliq berkata, "Islam tidak menentang pembentukan partai politik
dan tidak menentang demokrasi. Bahkan, inti dari demokrasi berasal dari jantung
Islam" [Majalah Al-Musawwir].
"Mursyid 'ām" keenam Ma'mūn
al-Hudaybī berkata, "Ikhwānul Muslimīn mendukung demokrasi yang
sebenarnya" [Majalah Al-Musawwir].
'Abdul-Mun'im 'Abdul-Futūh - anggota Kantor
Eksekutif Ikhwān - berkata, "Kami menganggap semua rezim yang diangkat
bertentangan dengan kehendak masyarakat adalah rezim yang tidak sah. Kami tidak
akan mengakui legitimasi konstitusional mereka sampai mereka diangkat melalui
kotak suara pemilu. Kami menghormati setiap rezim yang datang melalui pemilihan
kotak suara bahkan walaupun tidak mengangkat slogan Islam. Kami akan terus
menentang setiap rezim yang tidak konstitusional yang tidak mewakili kehendak rakyat
atau yang datang menentang kehendak rakyat. Kami akan terus menentangnya,
tetapi itu tidak akan pernah melalui jalan oposisi militer" [Wawancara Al-Jazīrah].
Ikhwan dan Pemerintahan Konstitusional
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, {Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang
mengaku dirinya telah beriman pada apa yang diturunkan kepadamu dan pada apa
yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thāghūt, padahal mereka
telah diperintah mengingkari thāghūt itu; dan Syaitan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauhjauhnya} [An-Nisā': 60]
Konstitusi dari berbagai pemerintah murtad
yang mengaku Muslim adalah kekuasaan hukum yang menandingi Syarī'at Allah.
Jadi, mereka adalah tawāghīt yang harus dibenci, diingkari, dan diperangi. Wajib
untuk menyatakan takfīr kepada orang-orang yang berhukum dengan dan membela
konstitusi itu. Namun, para pemimpin Ikhwān malah menyatakan rasa hormat mereka
yang mendalam kepada hukum konstitusi demokrasi! Al-Bannā berkata, "Jika
si pengamat melihat dasar dari pemerintahan konstitusional, ia akan melihat
bahwa secara keseluruhan ia menjaga segala bentuk kebebasan individu,
musyawarah, kekuasaan di tangan masyarakat, tanggung jawab penguasa di hadapan
masyarakat, pengadilan penguasa atas perbuatannya, dan penetapan batas kekuasaan
untuk setiap badan otoritas. Bagi si pengamat, prinsip-prinsip itu semuanya jelas
sesuai dengan ajaran dan sistem Islam dalam metode pemerintahan. Karena alasan ini, Ikhwānul
Muslimīn percaya bahwa sistem pemerintahan konstitusional adalah sistem
pemerintahan di dunia yang paling dekat dengan Islam. Ikhwānul Muslimīn tidak
mendahulukan sistem lain atasnya" [Mabādi' wa Ushūl fī Mu'tamarāt
Khāssah].
Pemimpin tinggi Ikhwānī 'Isām al-'Aryān berkata,
"Ikhwān menganggap pemerintahan konstitusional adalah yang paling dekat dengan
pemerintahan Islam. Mereka tidak lebih mendahulukan sistem lain atasnya, terutama
karena ditekankan oleh pernyataan konferensi kelima oleh Hasan al-Bannā… Mengapa
sebagian orang bersikeras bahwa Islam adalah musuh demokrasi? Ini adalah tuduhan
palsu. Kami adalah yang pertama menyeru kepada demokrasi dan melaksanakannya.
Kami akan membelanya sampai mati"
[Majalah Liwā’ al-Islām]. Ikhwān tidak hanya mengagumi konstitusi tāghūt yang
ada, tapi bahkan menulis milik mereka sendiri untuk Mesir di tahun "1952."
Itu disetujui oleh partai "Komisi Dasar" dan mencakup yang berikut
ini:
·
Pasal 11: Sebelum para anggota
DPR memangku jabatan mereka, mereka harus berjanji di depan publik di aula pertemuan
mereka bahwa mereka akan tulus kepada Allah, kemudian bangsa, untuk mematuhi
hukum konstitusi baik dalam teks maupun ruhnya.
·
Pasal 17: Tidak diperbolehkan
untuk meminta pertanggungjawaban anggota DPR atas apa yang mereka tawarkan berupa
ide dan opini di dalam sidang.
·
Pasal 18: Tdak diperbolehkan
selama pertemuan sidang untuk menangkap anggota dewan tanpa izin dari dewan.
·
Pasal 19: Tidak diperbolehkan
untuk mengeluarkan anggota dewan kecuali dengan keputusan mayoritas anggota
dewan.
·
Pasal 26: Sebelum presiden
negara memegang kekuasaannya ia harus berjanji sebagai berikut di depan dewan,
"Aku bersumpah demi Allah Yang Mahakuasa untuk menghormati teks dan ruh konstitusi."
·
Pasal 77: Manusia terlahir
merdeka dan setara dalam hal kehormatan, hak, dan kebebasan mereka, tanpa
pembedaan berdasarkan asal, bahasa, agama, atau warna. Mereka harus
memperlakukan satu sama lain dengan semangat persaudaraan.
·
Pasal 78: Setiap individu
memiliki hak hidup, kebebasan, dan kesetaraan di hadapan hukum dan hak untuk
tinggal dengan rasa aman dan nyaman.
·
Pasal 88: Setiap individu
memiliki hak kebebasan dalam pemikiran, keyakinan, dan agama.
·
Pasal 89: Setiap individu
memiliki hak kebebasan berpendapat dan berekspresi.
·
Pasal 90: Setiap individu
memiliki hak untuk berkumpul dan membentuk organisasi damai.
Pasal-pasal ini secara terang-terangan
menyerukan untuk pelaksanaan dan pemeliharaan berbagai prinsip yang mana negara
sekuler modern didirikan di atasnya. Bagaimana mungkin partai ini dinyatakan memiliki
hubungan dengan Islam kecuali sebagaimana Musailimah al-Kadzdzāb memiliki
hubungan dengannya.
source: DABIQ 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar