Syubhat Kedua:
Tidak
Ada Jihad Sebelum Menuntut Ilmu.
Jawaban:
Jika mereka yang melontarkan
ucapan ini –yaitu wajib menuntut ilmu sebelum berjihad— maksudnya adalah ilmu syar‘i
yang fardhu ‘ain, maka kami katakan: ilmu seperti ini bisa diperoleh dalam
tempo sangat singkat dan tidak diharuskan bagi semua orang untuk mengerti
dalil-dalil syar‘inya secara terperinci.
Ini seperti dinukil Ibnu
Hajar dari Al-Qurthubi ia berkata,
“Inilah yang dipegangi para
a’immah ahli fatwa dan para ulama salaf sebelumnya. Sebagian mereka berhujjah dengan
perkataan mengenai prinsip fithroh yang sudah dibahas dan berdasarkan riwayat
mutawatir dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian para shahabat bahwa
mereka menghukumi orang pedalaman Badui yang masuk Islam sebagai orang Muslim
yang sebelumnya adalah penyembah berhala. Para shahabat menerima ikrar dua
kalimat syahadat dari kaum Badui tersebut disertai kesiapan untuk melaksanakan
hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.” [Fathul
Bârî (XIII/ 352)]
Namun jika yang mereka maksud
adalah ilmu syar‘i yang fardhu kifayah dan seorang muslim tidak bisa berjihad
sampai memperoleh ilmu syar‘i dalam kadar tertentu, maka ini keliru dari dua
sisi:
Sisi pertama: Ia menjadikan sesuatu yang
fardhu kifayah sebagai fardhu ain. Ini juga mengakibatkan hilangnya
mashlahat-mashlahat kaum muslimin dengan sikap berpangku tangan mereka dari berjihad
dengan dalih menuntut ilmu terlebih dahulu, padahal Alloh ta‘ala melarang hal
ini dengan firman-Nya:
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَّةً فَلَولَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَ لِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak selayaknya kaum
mukminin semuanya pergi berperang. Mengapa tidak ada satu kelompok dari
golongan yang memahami agama dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar
mereka waspada.”
[At-Taubah:
122]
Seperti Anda lihat, dalam
ayat ini Alloh ta‘ala membagi manusia kepada orang yang bertafaqquh dan yang
tidak, sebagaimana termaktub dalam firman Alloh ta‘ala:
فَسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada
orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
[An-Nahl:
43 dan Al-Anbiya’: 7]
Sedangkan orang Alim yang bertafaqquh itu
diperintahkan mengajari manusia, baik dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka,
atau memulai dia yang memulai menerangkan kebenaran jika mereka tidak bertanya,
sebagaimana firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang
agar mereka waspada.” [At-Taubah: 122]
Juga
firman Alloh ta‘ala:
“Katakanlah, kemarilah aku
bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…” [Al-An‘am:
151]
Demikian juga orang awam yang
bukan mutafaqqih, ia diperintahkan untuk bertanya kepada orang alim mengenai perkara
agama yang tidak ia ketahui sebagaimana dalam ayat surat An-Nahl tadi.
Jika orang alim melihat orang
awam mengerjakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan kemudian ia juga tidak
bertanya, maka orang alim itu harus segera memberikan nasehat dan pengajaran,
sesuai firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar
mereka waspada.” [At-Taubah: 122]
Juga
firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang
diharamkan robb kalian atas kalian…”
Sisi kedua: Ia menjadikan sesuatu yang
bukan syarat dalam jihad sebagai syarat. Sesungguhnya orang yang mewajibkan
manusia menuntut ilmu sebelum berjihad, kita mesti menanyakan dulu: Apa dalil perkataan
Anda ini, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah?
Di sini, kami sendiri akan coba menjawabnya, kami katakan:
Perkataan Anda ini tidak berlandaskan satu dalil pun, Rosululloh Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa mengadakan
perkara baru dalam urusan kita yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” [Muttafaq
‘Alaih]
Oleh karena itu, perkataan
orang yang mengatakan perkataan ini adalah kebid‘ahan dalam agama yang tertolak
dan tidak diterima.
Kemudian, kita juga mesti
bertanya kepadanya: Apa dalil perkataan Anda ini dari sirah Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam atau sirah para Salafus Sholih dari kalangan para shahabat
serta orang-orang setelahnya? Apakah mereka mengharuskan setiap muslim untuk
mencari ilmu sebelum berjihad? Dan apakah mereka mengujikan ilmu tersebut kepada
pasukan perang?
Padahal dulu para shahabat
yang menyertai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah
tahun 6 H ada 1400 orang, pada waktu Fathu Makkah tahun 8 H ada 10.000
shahabat. Tak sampai sebulan kemudian setelah Fathu Makkah, Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam berangkat menuju Hunain bersama 12.000 orang; 10.000 orang di
antaranya yang menyertai beliau memasuki Mekkah, 2.000 sisanya adalah
orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Makkah.
Lantas, kapan orang-orang itu
belajar sementara mereka telah keluar menuju perang Hunain dan keislaman mereka
belum lewat satu bulan? Apakah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan
kepada mereka: Kalian adalah orang-orang yang baru masuk Islam, maka jangan
berperang bersama saya sampai kalian belajar ilmu terlebih dahulu? Ternyata,
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengijinkan mereka berjihad bersama
beliau, justeru pada saat peperangan itulah mereka bisa belajar dan Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada mereka apa yang wajib bagi mereka. Ini
sebagaimana disebutkan Abu Waqid Al-Laitsi RA ia berkata,
“Kami
berangkat bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain ketika
kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam). Ketika itu kaum
musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah dan menggantungkan
senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzatu Anwath. Kemudian kami
melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk
kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Mendengar itu,
Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allohu Akbar, sungguh itu adalah
tradisi, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan
sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlah sesembahan-sembahan
buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh
kalian adalah kaum yang bodoh.” [Al-A‘rof: 138] kalian benar-benar akan mengikuti
tradisi orang-orang sebelum kalian.” [HR. Tirmizi]
Dari penjelasan tadi, Anda
mengetahui bahwa ilmu bukan merupakan syarat wajibnya jihad, bahkan kalau
seseorang memiliki kekurangan dalam mencari ilmu yang wajib ‘ain sekalipun,
kekurangan dia ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap berjihad.
Syarat wajibnya jihad adalah
seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah, ia berkata,
“Dan Syarat Wajibnya Jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal,
merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.”
[Al-Mughni was Syarhil
Kabir juz X hal. 366]
Ini ditambah lagi syarat
adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang, masih menurut
Ibnu Qudamah. [Juz X hal. 381-384]
Inilah sembilan syarat
wajibnya jihad fardhu kifayah. Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah
sebagian sembilan syarat ini dan tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh,
berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara
bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri, atau
musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor –menurut salah satu
pendapat.
Sebagaimana yang bisa dilihat
– bagi siapa yang ingin mencari kebenaran, tidak sombong dan tidak keras
kepala— bahwa ilmu syar‘i tidak masuk ke dalam syarat-syarat yang telah
disebutkan tadi. Dan ini bukan hanya Ibnu Qudamah yang mengatakan. Saya tidak
temukan dalam kitab fikih mana pun –sejauh yang saya telaah— yang mensyaratkan syarat
ini.
Dalam hal ini cukuplah bagi
Anda sebuah hadits riwayat Bukhori Rahimahullah dari Al-Barro’ RA ia berkata:
Datang seorang
lelaki yang menghunus besinya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ia
berkata: “Wahai
Rosululloh, aku berperang ataukah masuk Islam dulu?” beliau bersabda, “Masuk Islamlah kemudian
berperang.” Maka
iapun masuk Islam, kemudian berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia beramal sedikit dan diberi pahala banyak.”
[HR. Muslim]
Yang semisal adalah hadits:
“Pulanglah, aku tidak akan minta tolong kepada orang musyrik.” Konon, orang
musyrik ini kemudian masuk Islam dan ikut berperang yaitu pada perang Badar. [HR.
Muslim dari Aisyah]
Sebagaimana Anda lihat, Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan seorangpun dari dua orang musyrik ini untuk
pergi mempelajari agamanya sebelum mengijinkan berperang kepadanya, tetapi
beliau mencukupkan dengan iman yang mujmal (global).
Seandainya ilmu adalah syarat
wajibnya jihad, tentu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan
orang ini berperang bersama beliau sebelum menuntut ilmu. Dari sini Anda tahu
bahwa ilmu bukanlah syarat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh, maka syarat itu
batil meskipun seratus syarat.” [HR. Bukhori]
Dengan demikian, kini Anda
mengerti bahwa perkataan ini –wajibnya mencari ilmu sebelum jihad—adalah
perkataan bathil dan mengakibatkan terhentinya jihad yang menurut kami adalah
fardhu ain atas sebagian besar kaum muslimin hari ini. Saya berharap perkataan
batil ini tidak menjadi pembenaran bagi sebagian orang untuk duduk dari jihad.
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar