8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (2) - Ibnu Qudamah An Najdi


Syubhat Kedua:
Tidak Ada Jihad Sebelum Menuntut Ilmu.

Jawaban:

Jika mereka yang melontarkan ucapan ini –yaitu wajib menuntut ilmu sebelum berjihad— maksudnya adalah ilmu syar‘i yang fardhu ‘ain, maka kami katakan: ilmu seperti ini bisa diperoleh dalam tempo sangat singkat dan tidak diharuskan bagi semua orang untuk mengerti dalil-dalil syar‘inya secara terperinci.

Ini seperti dinukil Ibnu Hajar dari Al-Qurthubi ia berkata,
“Inilah yang dipegangi para a’immah ahli fatwa dan para ulama salaf sebelumnya. Sebagian mereka berhujjah dengan perkataan mengenai prinsip fithroh yang sudah dibahas dan berdasarkan riwayat mutawatir dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian para shahabat bahwa mereka menghukumi orang pedalaman Badui yang masuk Islam sebagai orang Muslim yang sebelumnya adalah penyembah berhala. Para shahabat menerima ikrar dua kalimat syahadat dari kaum Badui tersebut disertai kesiapan untuk melaksanakan hukum-hukum Islam tanpa harus mempelajari dalil-dalil.” [Fathul Bârî (XIII/ 352)]

Namun jika yang mereka maksud adalah ilmu syar‘i yang fardhu kifayah dan seorang muslim tidak bisa berjihad sampai memperoleh ilmu syar‘i dalam kadar tertentu, maka ini keliru dari dua sisi:

Sisi pertama: Ia menjadikan sesuatu yang fardhu kifayah sebagai fardhu ain. Ini juga mengakibatkan hilangnya mashlahat-mashlahat kaum muslimin dengan sikap berpangku tangan mereka dari berjihad dengan dalih menuntut ilmu terlebih dahulu, padahal Alloh ta‘ala melarang hal ini dengan firman-Nya:

وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَّةً فَلَولَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَ لِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

“Dan tidak selayaknya kaum mukminin semuanya pergi berperang. Mengapa tidak ada satu kelompok dari golongan yang memahami agama dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.”
[At-Taubah: 122]

Seperti Anda lihat, dalam ayat ini Alloh ta‘ala membagi manusia kepada orang yang bertafaqquh dan yang tidak, sebagaimana termaktub dalam firman Alloh ta‘ala:

فَسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.”
[An-Nahl: 43 dan Al-Anbiya’: 7]

Sedangkan orang Alim yang bertafaqquh itu diperintahkan mengajari manusia, baik dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, atau memulai dia yang memulai menerangkan kebenaran jika mereka tidak bertanya, sebagaimana firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.” [At-Taubah: 122]

Juga firman Alloh ta‘ala:

Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…” [Al-An‘am: 151]

Demikian juga orang awam yang bukan mutafaqqih, ia diperintahkan untuk bertanya kepada orang alim mengenai perkara agama yang tidak ia ketahui sebagaimana dalam ayat surat An-Nahl tadi.

Jika orang alim melihat orang awam mengerjakan sesuatu atas dasar ketidaktahuan kemudian ia juga tidak bertanya, maka orang alim itu harus segera memberikan nasehat dan pengajaran, sesuai firman Alloh ta‘ala: “..dan agar mengingatkan kaumnya ketika pulang agar mereka waspada.” [At-Taubah: 122]

Juga firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah, kemarilah aku bacakan kepada kalian apa yang diharamkan robb kalian atas kalian…”

Sisi kedua: Ia menjadikan sesuatu yang bukan syarat dalam jihad sebagai syarat. Sesungguhnya orang yang mewajibkan manusia menuntut ilmu sebelum berjihad, kita mesti menanyakan dulu: Apa dalil perkataan Anda ini, baik dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah?

Di sini, kami sendiri akan coba menjawabnya, kami katakan: Perkataan Anda ini tidak berlandaskan satu dalil pun, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Barangsiapa mengadakan perkara baru dalam urusan kita yang bukan termasuk darinya, maka ia tertolak.” [Muttafaq ‘Alaih]

Oleh karena itu, perkataan orang yang mengatakan perkataan ini adalah kebid‘ahan dalam agama yang tertolak dan tidak diterima.

Kemudian, kita juga mesti bertanya kepadanya: Apa dalil perkataan Anda ini dari sirah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atau sirah para Salafus Sholih dari kalangan para shahabat serta orang-orang setelahnya? Apakah mereka mengharuskan setiap muslim untuk mencari ilmu sebelum berjihad? Dan apakah mereka mengujikan ilmu tersebut kepada pasukan perang?

Padahal dulu para shahabat yang menyertai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada waktu perjanjian Hudaibiyah tahun 6 H ada 1400 orang, pada waktu Fathu Makkah tahun 8 H ada 10.000 shahabat. Tak sampai sebulan kemudian setelah Fathu Makkah, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berangkat menuju Hunain bersama 12.000 orang; 10.000 orang di antaranya yang menyertai beliau memasuki Mekkah, 2.000 sisanya adalah orang-orang yang masuk Islam saat Fathu Makkah.

Lantas, kapan orang-orang itu belajar sementara mereka telah keluar menuju perang Hunain dan keislaman mereka belum lewat satu bulan? Apakah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada mereka: Kalian adalah orang-orang yang baru masuk Islam, maka jangan berperang bersama saya sampai kalian belajar ilmu terlebih dahulu? Ternyata, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengijinkan mereka berjihad bersama beliau, justeru pada saat peperangan itulah mereka bisa belajar dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menunjukkan kepada mereka apa yang wajib bagi mereka. Ini sebagaimana disebutkan Abu Waqid Al-Laitsi RA ia berkata,

“Kami berangkat bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menuju Hunain ketika kami baru saja keluar dari kekufuran (baru masuk Islam). Ketika itu kaum musyrikin memiliki pohon Sidroh yang mereka beribadah dan menggantungkan senjata-senjata mereka di sana, namanya adalah Dzatu Anwath. Kemudian kami melewati pohon tersebut, maka kami katakan: “Wahai Rosululloh, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.” Mendengar itu,
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allohu Akbar, sungguh itu adalah tradisi, demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian telah katakan sebagaimana perkataan Bani Israil kepada Musa: “Jadikanlah sesembahan-sembahan buat kami sebagaimana mereka juga punya sesembahan. Musa berkata, “Sungguh kalian adalah kaum yang bodoh.” [Al-A‘rof: 138] kalian benar-benar akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian.” [HR. Tirmizi]

Dari penjelasan tadi, Anda mengetahui bahwa ilmu bukan merupakan syarat wajibnya jihad, bahkan kalau seseorang memiliki kekurangan dalam mencari ilmu yang wajib ‘ain sekalipun, kekurangan dia ini tidak menjadi penghalang baginya untuk tetap berjihad.

Syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah, ia berkata,
“Dan Syarat Wajibnya Jihad ada tujuh: Islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, selamat dari marabahaya dan adanya biaya.”
[Al-Mughni was Syarhil Kabir juz X hal. 366]

Ini ditambah lagi syarat adanya izin dari kedua orang tua dan orang berhutang kepada yang, masih menurut Ibnu Qudamah. [Juz X hal. 381-384]

Inilah sembilan syarat wajibnya jihad fardhu kifayah. Adapun jika jihad menjadi fardhu ain, gugurlah sebagian sembilan syarat ini dan tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, laki-laki –kecuali mereka yang tidak mensyaratkannya—selamat dari mara bahaya. Tidak disyaratkan adanya nafkah jika musuh telah memasuki negeri, atau musuh tersebut berada tidak sampai pada jarak qoshor –menurut salah satu pendapat.

Sebagaimana yang bisa dilihat – bagi siapa yang ingin mencari kebenaran, tidak sombong dan tidak keras kepala— bahwa ilmu syar‘i tidak masuk ke dalam syarat-syarat yang telah disebutkan tadi. Dan ini bukan hanya Ibnu Qudamah yang mengatakan. Saya tidak temukan dalam kitab fikih mana pun –sejauh yang saya telaah— yang mensyaratkan syarat ini.

Dalam hal ini cukuplah bagi Anda sebuah hadits riwayat Bukhori Rahimahullah dari Al-Barro’ RA ia berkata:
Datang seorang lelaki yang menghunus besinya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ia berkata: “Wahai Rosululloh, aku berperang ataukah masuk Islam dulu?” beliau bersabda, “Masuk Islamlah kemudian berperang.” Maka iapun masuk Islam, kemudian berperang sampai terbunuh. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ia beramal sedikit dan diberi pahala banyak.” [HR. Muslim]

Yang semisal adalah hadits: “Pulanglah, aku tidak akan minta tolong kepada orang musyrik.” Konon, orang musyrik ini kemudian masuk Islam dan ikut berperang yaitu pada perang Badar. [HR. Muslim dari Aisyah]

Sebagaimana Anda lihat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan seorangpun dari dua orang musyrik ini untuk pergi mempelajari agamanya sebelum mengijinkan berperang kepadanya, tetapi beliau mencukupkan dengan iman yang mujmal (global).

Seandainya ilmu adalah syarat wajibnya jihad, tentu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengizinkan orang ini berperang bersama beliau sebelum menuntut ilmu. Dari sini Anda tahu bahwa ilmu bukanlah syarat, Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Barangsiapa membuat syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh, maka syarat itu batil meskipun seratus syarat.” [HR. Bukhori]

Dengan demikian, kini Anda mengerti bahwa perkataan ini –wajibnya mencari ilmu sebelum jihad—adalah perkataan bathil dan mengakibatkan terhentinya jihad yang menurut kami adalah fardhu ain atas sebagian besar kaum muslimin hari ini. Saya berharap perkataan batil ini tidak menjadi pembenaran bagi sebagian orang untuk duduk dari jihad.


Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...