BANTAHAN TERHADAP
SYUBHAT-SYUBHAT YANG MENJADI
AJANG PERDEBATAN
SEPUTAR MASALAH JIHAD
Syubhat Pertama:
Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad kecuali bersama Khalifah…”
(Umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan serangan
musuh sebelum adanya khalifah !!)
Jawaban:
Ini adalah syubhat yang diwahyukan syetan
kepada para mukhodziluun (para pelemah semangat) yang menghalangi orang
untuk berjihad jihad di zaman kita sekarang ini.
Alloh
ta‘ala berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا
لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ
إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُۖ
فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ ١١٢ وَلِتَصۡغَىٰٓ إِلَيۡهِ أَفِۡٔدَةُ ٱلَّذِينَ
لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ وَلِيَرۡضَوۡهُ وَلِيَقۡتَرِفُواْ مَا هُم
مُّقۡتَرِفُونَ ١١٣
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh dari manusia dan jin yang sebagian
mewahyukan kepada yang lain perkataan yang indah untuk menipu, dan seandainya
tuhanmu mau, mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka dengan apa
yang mereka buat-buat. Dan agar hati orang-orang yang tidak beriman kepada
akhirat itu mendengarnya, dan agar mereka mengerjakan apa yang mereka
kerjakan.”
[Al-An‘am: 112-113]
Kemudian syubhat ini dinukil orang lain karena prasangka baiknya
terhadap mereka.
Bantahan terhadap syubhat ini ditinjau
dari beberapa sisi:
Pertama: Tidak ada
dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membenarkan pensyaratan seperti ini.
Yang ada, semua nash syar‘i yang memerintahkan jihad fî sabilillah –yang
sedemikian banyak— tercantum secara mutlak tanpa adanya ikatan waktu, tempat
atau sifat tertentu, seperti syarat yang disebutkan dalam syubhat ini..!
Kedua:
Tidak adanya satu pun shahabat atau ulama terpercaya –generasi terdahulu maupun
belakangan—yang mengatakan pernyataan baru dan “asing” ini. Artinya, perkataan
ini adalah perkara baru yang masuk ke dalam khazanah fikih Islam yang tidak
menyisakan satu penyimpangan atau kejadian kecuali membahasnya.
Ketiga:
Pengikatan dan pensyaratan ini mengandung konsekwensi tidak diamalkannya ribuan
Nash Syar‘i yang menganjurkan dan memerintahkan berjihad. Kesannya syarat ini
begitu penting, padahal ternyata tidak tercantum –baik secara isyarat atau
hanya sekilas— dalam satu nash syar‘i pun; tidak juga dalam perkataan satu pun
dari ulama terpercaya, padahal penjelasan dari agama Islam ini sudah sempurna.
Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan perkara yang bisa
mendekatkan kita ke surga atau menjauhkan kita dari neraka kecuali telah menerangkannya
kepada umat.
Sebagaimana firman Alloh ta‘ala:
اَلْيَوْمَ
أَكْمَلتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نَعْمَتِي وَ رَضِيْتُ
لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا
“Hari
ini telah kusempurnakan agama kalian dan Kulengkapi nikmat-Ku terhadap kalian,
dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.”
[Al-Maidah:
3]
Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak
kutinggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kalian kepada Alloh kecuali telah
kuperintahkan. Dan tidak kutinggalkan satu perkarapun yang menjauhkan kalian
dari Alloh dan mendekatkan kalian kepada neraka kecuali sudah kularang kalian
darinya.”
Para shahabat mengatakan, “Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan masalah seekor burung yang mengepakkan
kedua sayapnya di langit kecuali telah menerangkan ilmunya kepada kami.”
Jika agama telah sempurna, dan Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkara pun yang mendekatkan
kita kepada Alloh kecuali telah menerangkannya, sampai burung yang terbang di
langit saja beliau sudah terangkan ilmunya kepada umatnya, lantas di mana
penjelasan dan penyebutan ikatan dan syarat yang nampaknya begitu penting
ini..?!
Kami tidak bisa mengatakan apapun selain
meyakini dengan pasti bahwa syarat ini rusak dan bathil, pensyaratan ini adalah
perkataan baru dan masuk ke dalam fikih Islam.
Di dalam sebuah hadits shohih dari Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Bukhori dan
lain-lain—beliau bersabda, “Mengapa orang-orang tersebut mensyaratkan syarat
yang tidak ada dalam Kitab Alloh? Barangsiapa yang mensyaratkan syarat yang
tidak ada dalam Kitabullôh, maka tidak benar. Meskipun syarat itu seratus kali.
Syarat Alloh tetaplah lebih benar dan lebih kukuh.”
Keempat:
Nash-nash syar‘i menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwasanya jihad akan terus
berlanjut di setiap zaman hingga hari kiamat, sama saja apakah kaum muslimin memiliki
khalifah atau pimpinan pusat atau tidak. Di antara nash tersebut:
Sabda Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا
تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتْيْ يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ, إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan
selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka
menang hingga hari kiamat.”
[Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafadz
ini (156), (1923), Ahmad (III/ 345), Ibnu Hibbân (6780—ihsan) dan Ibnul Jârûd
di dalam Al-Muntaqô (1031) dari hadits Jabir bin Abdillah]
Di dalam
hadits Jabir bin Samuroh disebutkan:
“Senantiasa agama ini tegak, berperang di atasnya satu kelompok
dari umatku sampai (menjelang) hari kiamat.”
[Muslim (1922)]
Di dalam
hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan:
“AKAN SELALU ADA SATU KELOMPOK DARI UMATKU YANG BERPERANG DI
ATAS PERINTAH ALLOH, MEREKA KALAHKAN MUSUH MEREKA, MEREKA TIDAK TERPENGARUH
DENGAN ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA HINGGA (MENJELANG) DATANG KEPADA MEREKA
HARI KIAMAT DAN MEREKA TETAP SEPERTI ITU.”
[Dikeluarkan Muslim (1924)]
Di dalam
hadits ‘Imron bin Hushoin disebutkan:
“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di
atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka sampai kelompok
terakhir dari mereka memerangi Al-Masih Dajjal.”
[Dikeluarkan Ahmad (IV/ 437) dan Abu
Dawud (2484)]
Di dalam
hadits Mu‘awiyah bin Abi Sufyan:
“Akan selalu ada satu kelompok dari kaum muslimin yang berperang
di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka hingga
(menjelang) hari kiamat.”
[Muslim (1037) Kitabul Imâroh hadits
nomor 175]
Dan dari
Salamah bin Nufail ia berkata:
“Aku duduk di
sisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ada seseorang yang berkata,
“Wahai Rosululloh, manusia tidak lagi mengurus kuda dan telah meletakkan
senjata, mereka mengatakan: “Tidak ada lagi jihad, perang sudah usai.” Maka
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan wajahnya dan bersabda, “Mereka
dusta, sekarang, sekarang tiba waktu perang; dan akan senantiasa ada sekelompok
dari umatku yang berperang di atas kebenaran; Alloh akan simpangkan hati suatu
kaum dan Dia memberi rezeki kelompok tadi dari kaum tersebut hingga (menjelang)
tiba hari kiamat dan sampai datang janji Alloh.”
[An-Nasa’i di dalam Sunan-nya
(VI/ 214-215)]
Dan dari
Nawwas bin Sam‘an berkata,
“Usai Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menaklukkan (Mekkah), aku mendatangi beliau dan kukatakan:
‘Wahai Rosululloh, kuda telah dilepas dan senjata telah diletakkan, sungguh
perang sudah usai dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi peperangan.’ Maka Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka dusta,
sekarang datang waktu perang, sekarang datang waktu perang. Sesungguhnya Alloh
Jalla wa ‘Ala akan menyimpangkan hati suatu kaum kemudian mereka perangi kaum
tersebut dan Alloh beri mereka rezeki dari kaum tersebut sampai tiba ketetapan
Alloh kepadanya, dan pusat negeri kaum mukminin adalah Syam.”
[Dikeluarkan Ibnu Hibban (7307)-ihsan]
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
mengkhabarkan bahwa akan selalu ada satu kelompok dari umatnya yang berperang di
jalan Alloh dan itu tidak akan terputus hingga akhir zaman.
Dan dengan makna ini, banyak para ‘Aimmah
mengartikan hadits ini; di antaranya adalah Abu Dawud yang berkata dalam
Sunan-nya: Bab Fi Dawamil Jihad (Bab: akan terus berlangsungnya jihad.) [Sunan
Abu Dawud (III/11)]
Kemudian
ia menyebutkan hadits ‘Imron bin Hushoin tadi. Demikian juga dengan Ibnul
Jarud: Bab Dawamul Jihad ila Yaumil Qiyamah (Bab: akan terus berlangsungnya
jihad hingga hari kiamat) [Al-Muntaqo, hal.
257] kemudian ia sebutkan hadits Jabir ini.
Imam
Al-Khothobi berkata:
“Di sini
terdapat keterangan bahwa jihad tidak akan pernah terputus. Dan jika sudah
menjadi perkara yang logis apabila para pemimpin itu tidak akan semuanya
sepakat menjadi adil, maka hadits ini menunjukka bahwa jihad melawan orang-orang
kafir bersama pemimpin yang jahatpun adalah wajib seperti wajibnya dengan
pemimpin yang adil.” [Ma‘alimus Sunan edisi
terbitan dengan catatan kaki Sunan Abu Dawud, III/ 11]
An-Nawawi
berkata,
“Hadits
ini mengandung mukjizat yang jelas, bahwa karakter (senantiasa berperang) ini
akan selalu ada –segala puji bagi Alloh ta‘ala—sejak zaman Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam hingga sekarang. Dan akan selalu ada sampai datang ketetapan
Alloh yang disebutkan dalam hadits itu.” [Syarah
Shohih Muslim, VII/ 77]
Di dalam hadits shohih juga disebutkan: “Kuda
akan tetap tertambat kebaikan pada ubun-ubunnya hingga (menjelang) hari
kiamat.” [Dikeluarkan
Bukhori dengan lafadz ini (2850), (2852) dan Muslim (1873) dari hadits Urwah
bin Al-Ja‘d. Pada bab ini terdapat juga hadits dari Ibnu Umar, Anas dan lainnya]
Al-Hafizh
berkata dalam syarah hadits ini:
“Di dalamnya
juga terdapat kabar gembira akan langgengnya Islam serta pemeluknya hingga hari
kiamat, sebab di antara konsekwensi logis langgengnya jihad adalah langgengnya mujahidin
sedangkan para mujahidin itu adalah kaum muslimin. Hadits ini mirip dengan
hadits lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas
kebenaran…” [Fathul Bârî,
VI/ 56]
Sementara itu, Syaikh Sulaiman bin Abdulloh
An-Najdi menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa tho’ifah manshuroh tersebut
tidak selalunya berada di Syam. Di antara dalil yang beliau gunakan adalah
terputusnya jihad di daerah tersebut sejak beberapa lama, beliau mengatakan
mengenai penduduk Syam: “Lagipula, sejak beberapa lama mereka tidak memerangi
siapapun dari orang-orang kafir, huru-hara dan peperangan justeru terjadi
antara mereka sendiri. Atas dasar ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam dalam hadits: “Mereka ada di Baitul Muqoddas” dan perkataan Mu‘adz:
“Mereka ada di Syam” maksudnya adalah mereka berada di sana pada sebagian kurun
waktu tapi tidak seluruhnya. Fakta yang ada juga mengindikasikan pendapat kami
ini.” [Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarhi
Kitâbit Tauhîd (hal. 381)]
Intinya, akan selalu ada dari umat Islam
ini yang menjadi kelompok perang (Tho’ifah Muqotilah) yang berada di atas kebenaran
meskipun jumlah mereka sedikit, hingga datang ketetapan Alloh yang tercantum
dalam hadits tadi.
Maka sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam:
“Akan selalu ada satu kelompok…”
Dan:
“Lan yabroha…” (akan selalu ada…)
…menunjukkan
adanya keberlangsungan yang terus menerus akan keberadaan kelompok yang
berperang di jalan Alloh pada setiap zaman hingga menjelang hari kiamat. Jihad mereka
tidak akan berhenti karena munculnya satu penyebab berupa tidak adanya kholifah
yang memimpin umat Islam seperti yang kita alami di zaman sekarang.
Kemudian, kelompok yang berjihad di jalan
Alloh –yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang sudah kami sebutkan tadi—jumlahnya
(menurut tinjauan bahasa dan syar‘i) adalah satu orang atau lebih, sebagaimana
firman Alloh ta‘ala:
إِنْ
نَّعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا
مُجْرِمِيْنَ
“Jika Kami memberi maaf satu kelompok dari kalian, Kami adzab
satu kelompok lagi dikarenakan mereka adalah kaum yang jahat.”
[At-Taubah: 66]
Al-Qurthubi
berkata di dalam Tafsir-nya: “Dikisahkan ada tiga orang: dua orang
berolok-olok, dan satu orang hanya ikut tertawa, maka yang dimaafkan adalah
yang tertawa dan tidak berkata-kata.”
Alloh
ta‘ala berfirman:
فَقَاتِلْ
فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ
عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا وَ اللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَ
أَشَدُّ تَنْكِيْلًا
“Maka
berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan
kobarkanlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan
keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.”
[An-Nisa’: 84]
Dari ayat ini serta yang lain, para ulama
menyimpulkan bahwa jihad itu bisa saja dilakukan oleh satu orang dari kaum
muslimin. Dan bahwa keengganan umat dari jihad fi sabilillah tidak boleh
menggoyahkan satu orang ini dari bangkit dan terus berjalan di atas jalan
jihad.
Al-Qurthubi
berkata di dalam Tafsir-nya (V/ 293):
“Az-Zujaj berkata: Alloh ta‘ala
memerintahkan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad meski ia hanya
sendirian, sebab Alloh telah jamin kemenangan untuk beliau.
Ibnu
‘Athiyyah berkata: “Ini adalah dzahir lafadz, namun tidak ada satu pemberitaan
pun yang menyebutkan bahwa peperangan itu diwajibkan kepada Rosululloh saja
tanpa umat yang lain dalam suatu kurun waktu. Dengan demikian maknanya –Wallohu
A‘lam—ini adalah perintah kepada beliau secara lafadz dan permisalan pada
setiap satu orang secara khusus. Artinya, engkau wahai Muhammad dan setiap yang
hanya satu orang dari umatmu maka perintah inilah yang berlaku atasnya: “Maka
berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri…” [An-Nisa’:
84]
Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tetap berjihad walaupun
ia sendirian.[105]
105 Jihad, baik dilalukan sendirian
atau bersama orang banyak, harus diperhatikan hasil akhirnya: maslahat atau
mafsadah. Jika maslahatnya lebih besar daripada madhorotnya, jihad harus tetap
dilaksanakan –dengan barakah Alloh—walaupun hanya satu orang, saat itu ia tidak
perlu menoleh kepada komentar-komentar orang-orang bathil dan para
‘provokator’. Namun, jika ternyata mafsadahnya lebih besar daripada
mashlahatnya, maka saat itu haruslah sabar, rileks dan menunggu sampai mafsadah
dan penghalang tersebut hilang dari jalan. Artinya, jihad disyari‘atkan untuk
tujuan lain, bukan sekedar jihad itu sendiri (yaitu untuk idzhârud Dîn/
memenangkan agama Islam, penerj.) sedangkan
mafsadah dan mashlahat haruslah diukur dengan kaidah-kaidah dan
timbangan-timbangan syar‘i, bukan dengan yang lain.
Di
antara dalil lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Alloh,
aku benar-benar akan perangi mereka sampai hilang batang leherku.”
[Sebagai kiasan dari kematian]
Demikian
juga dengan perkataan Abu Bakar ketika memerangi orang-orang murtad: “Jika
tangan kananku tidak sejalan denganku, aku akan perangi mereka dengan tangan kiriku.”
Pertanyaannya
sekarang: Jika jihad boleh dijalankan meskipun hanya oleh satu kelompok yang
hanya terdiri dari satu orang, lantas di manakah khalifah dari kelompok yang hanya
beranggotakan satu orang ini, lebih-lebih kalau adanya khalifah menjadi syarat
sah jihad...?
Jika dikatakan: Sabda Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam: “Akan senantiasa ada…” ini tidak menunjukkan jihad akan terus
berlangsung sepanjang zaman. Artinya, sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
ini tidak boleh kita pakai di waktu tidak adanya khalifah…
Pernyataan
ini bisa dijawab sebagai berikut:
Kata-kata: “Akan senantiasa ada…”
mengandung arti terus berlangsungnya jihad di setiap zaman, baik ditinjau dari
sisi bahasa maupun fakta sejarah, sebagaimana kami jelaskan dari perkataan para
ulama tadi. Maka jika kita berada di suatu zaman tertentu yang kita tidak
mengetahui adanya tempat dan aktifitas jihad dari tho’ifah muqotilah, bukan berarti
kelompok tersebut tidak ada. Ketidak tahuan terhadap sesuatu merupakan indikasi
adanya kekurangan, bukan ketidak adaan sesuatu tersebut.
Kemudian, kalau kita terima –untuk
sekedar mendebat dan menerima alasan mereka—bahwa sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam “Akan selalu ada…” tidak selalunya menunjukkan terus berlangsungnya
jihad oleh Thoifah Muqotilah di putaran zaman atau di setiap zaman, tapi tidak mungkin
kita bisa terima bahwa jihad kelompok ini akan hilang dan berhenti selama
seratus tahun sejak tidak adanya khalifah seperti yang kita alami sekarang.
Di antara dalil yang lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam:
“Sesungguhnya Hijroh Tidak Akan Terputus Selama Ada Jihad.”
Dalam riwayat
lain:
“HIJROH TIDAK AKAN TERPUTUS SELAMA MUSUH
MASIH DIPERANGI.”
[Dikeluarkan
Ahmad dan yang lain, As-Silsilah Ash-Shohihah: 1674]
Di waktu yang sama, ada riwayat shohih
dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:“Hijroh
tidak akan terputus sampai taubat terputus. Dan taubat tidak akan terputus
sampai matahari terbit dari barat.” [Dikeluarkan
Ahmad dan Abu Dawud, Shohihul Jami‘: 7469]
Mafhum109
serta manthuq110 dari hadits ini menunjukkan pendapat yang menyatakan
putusnya jihad, mau tidak mau harus mengatakan hijroh juga terputus; sedangkan mengatakan
hijroh putus, otomatis harus mengatakan taubat terputus, padahal –berdasarkan
ijma‘— taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.
Berarti, orang yang mengatakan jihad
terputus di masa vakumnya khalifah –seperti di zaman kita ini—mau tidak mau
harus mengatakan putusnya taubat; dan tak diragukan lagi ini adalah perkataan
batil dan rusak karena ia menyelisihi nash, logika dan ijmak.
Dalil lain
adalah firman Alloh ta‘ala:
إِنَّ
اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ
لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ
وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِيْ التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْزِيْلِ وَ الْقُرْآنِ وَ
مَنْ أَوْفَى بَعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِى
بَايَعْتُمْ بِهِ وَ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa
dan harta mereka dengan bahwasanya mereka memperolah surga, mereka
berperang di jalan Alloh lalu mereka membunuh atau terbunuh;
sebagai janji yang mesti dipenuhi untuknya dan benar di dalam Taurat, Injil dan
Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji-Nya selain Alloh? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang engkau adakan itu. Dan itulah kemenangan
yang besar.”
[At-Taubah: 111]
Ini adalah akad jual beli yang sudah
selesai dan tidak perlu dibatalkan dalam waktu-waktu tertentu. Alloh ta‘ala
membeli dari para hamba-Nya jiwa dan harta mereka dengan memberikan kepada
mereka surga sebagai balasan dari jihad fi sabilillah. Akad pembelian ini
berlaku atas seluruh kaum mukminin kapan pun mereka hidup, di zaman mana pun mereka
hidup, baik di zaman adanya khalifah atau tidak ada…tidak ada yang ingin
tertinggal dari akad jual beli ini atau tidak merasa ridho dengannya selain
orang yang lebih memilih keluar total dari komunitas kaum mukminin.
Orang yang mengatakan tidak ada jihad
tanpa khalifah, mau tidak mau ia harus menghentikan akad jual beli yang berlangsung
antara seorang hamba dengan Robbnya ketika khalifah tersebut tidak ada, padahal
masa vakum ini barangkali akan memakan waktu ratusan tahun…maka, silahkan
difikirkan kembali!!
Dalil
yang lain adalah sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“Siapa terbunuh membela hartanya maka ia syahid. Siapa terbunuh
membela darahnya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela agamanya maka ia
syahid. Dan siapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid.”
[Dikeluarkan Ahmad dan yang lain. Shohihul
Jami’, 6445]
Nabi
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,
“Barangsiapa terbunuh karena melawan kedzaliman yang menimpa
dirinya, maka ia syahid.”
[Dikeluarkan An-Nasa’i dan yang lain. Shohihul
Jami‘ (6447)]
Maka, apakah akan kita katakan bahwa
mereka ini disebut orang-orang yang mati syahid kalau terbunuh ketika ada
khalifah, sedangkan jika terbunuh karena membela agama dan melawan kezaliman
terhadap dirinya ketika masa kevakuman khalifah maka perlawanan mereka bathil
dan mereka bukanlah orang-orang yang mati syahid..?!!
Kelima: Bahwasanya Abu
Bashir dan beberapa shahabat yang bergabung dengannya –yang terkena imbas dari
butir-butir perjanjian Hudaibiyah sehingga mereka tidak bisa bergabung dengan
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di Madinah— menyergap kafilah-kafilah dagang
dan memerangi kaum musyrikin tanpa seizin dan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam. Di saat yang sama, beliau tidak mengingkari jihad yang mereka
lakukan hanya lantaran mereka berjihad tanpa seizin imam yang ketika itu
dijabat oleh beliau sendiri, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Bukhori
meriwayatkan di dalam Shohih-nya:
“Kemudian
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah. Datanglah Abu Bashir,
lelaki dari Quraisy yang masuk Islam ketika itu. Maka kaum Quraisy mengutus dua
orang untuk menyusulnya, mereka mengatakan, “Mana janji yang kau sepakati
dengan kami?” akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan
Abu Bashir kepada kedua orang utusan Quraisy tersebut. Keduanya pun keluar dan
membawanya sampai di Dzul Hulaifah. Mereka kemudian singgah sebentar untuk
memakan kurma. Kemudian, Abu Bashir mengatakan kepada salah seorang dari
mereka: “Demi Alloh, aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan.” Maka yang
seorang lagi menghunusnya seraya berkomentar, “Benar, demi Alloh ini memang
pedang bagus. Aku sudah mencobanya, aku sudah mencobanya.” Abu Bashir berkata,
“Coba saya ingin melihat.” Ia pun memberikan pedang itu kepada Abu Bashir.
Begitu pedang diberikan kepada Abu Bashir, ia langsung menebas utusan Quraisy
itu sampai mati, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke Madinah.
Sesampai di sana ia masuk ke dalam masjid dengan berlari terengah-engah.
Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tampaknya ia
ketakutan.” Ketika orang itu menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ia
mengatakan, “Demi Alloh dia telah bunuh temanku, dan aku benar-benar hendak
dibunuhnya.” Tak lama kemudian datanglah Abu Bashir, ia mengatakan: “Wahai Nabi
Alloh, demi Alloh, Alloh telah penuhi janjimu, engkau telah kembalikan aku
kepada mereka kemudian Alloh selamatkan aku dari mereka.” Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tsakalithu Ummuhu, Abu Bashir adalah penyulut
peperangan jika ia bersama para lelaki.”, ketika Abu Bashîr mendengar sabda beliau
ini, ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada Quraisy. Akhirnya
Abu Bashir keluar hingga sampai di Saiful Bahr. Dan di kalangan kaum Quraisy
ada yang melarikan diri (dari Mekkah), di antaranya adalah Abu Jandal bin
Suhail, ia bergabung dengan Abu Bashir, setelah itu tidak ada seorang quraisy pun
yang keluar dan masuk Islam kecuali bergabung dengan Abu Bashir, sampai mereka
bergabung menjadi satu kelompok. Demi Alloh, tidaklah mereka mendengar ada satu
unta yang milik Quraisy yang berangkat menuju Syam kecuali mereka cegat, lalu
mereka serang dan mereka ambil hartanya. Akhirnya kaum quraisy mengirim utusan
kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memohon dengan sangat dengan nama
Alloh agar dikasihani orang yang dikirim, maka barangsiapa yang datang kepada
beliau, dia aman. Akhirnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus agar Abu
Bashir dan kawan-kawannya datang kepada beliau.” [Shohih
Bukhori (2581)]
Pertanyaannya sekarang: “Jika para
shahabat saja boleh berperang di zaman adanya Imam tertinggi, Muhammad Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam, tanpa seizin dan perintahnya – dikarenakan kondisi dan butir
perjanjian Hudaibiyah—maka bagaimana perang di jalan Alloh di masa vakum dari
khalifah tidak boleh, padahal kevakuman itu bisa jadi disebabkan karena kondisi
terpaksa seperti saat ini?!
Keenam: Banyak para
shahabat dan tabi‘in yang melewati masa perang tanpa adanya khalifah, seperti
Zubair bin ‘Awwam, Mu‘awiyah, Amru bin Al-‘Ash, Al-Husain bin ‘Ali, Abdulloh
bin Zubair dan para shahabat yang lain– ridhwanulloh ‘alaihim ajma‘in—.
Juga seperti yang terjadi pada waktu
perang Mu’tah, di mana para shahabat mengangkat Kholid sebagai pemimpin mereka
ketika para komandan mereka terbunuh dan ketika itu pemimpin tertinggi tidak
ada di antara mereka –yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam—Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallampun ridho dengan apa yang mereka lakukan ini.
Demikian juga dinasti Bani Umayyah dan
‘Abbasiyah serta ‘Utsmaniyah. Mereka melewati masa perang dan jihad sebelum
tegaknya Negara dan Kekhilafahan, serta sebelum pengangkatan Pimpinan Umum kaum
muslimin, sementara tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari perang yang
mereka lakukan lantaran mereka melakukannya tanpa adanya Khalifah atau sebelum
Pengangkatan Imam umum atas kaum muslimin.
Masa yang paling terkenal adalah tiga
tahun sejak tahun 656 H –saat itu, pasukan Tartar membunuh khalifah ‘Abbasiyah,
Al-Mu‘tashim, di Baghdad—hingga tahun 659 H, di tahun inilah khalifah pertama
di Mesir dibai‘at. [Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/
231)] Meskipun kala itu sedang vakum dari khalifah, kaum muslimin
tetap terjun ke medan pertempuran paling membanggakan kaum muslimin sampai hari
ini, yaitu pertempuran ‘Ain Jalut melawan Tartar tahun 658 H. Ini terjadi di
saat masih adanya sekian banyak ulama, seperti ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam dan
lain-lain. Namun tidak ada seorangpun yang mengatakan, ‘Bagaimana kita berjihad
padahal kita tidak punya khalifah?’
Bahkan komandan kaum muslimin dalam
perang ini (Saifuddin Quthz) mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir
setelah Putra ustadznya diturunkan dari Kesultanan karena dianggap masih kecil,
para qodhi dan para ulama merestuinya dan kemudian membaiat Quthz sebagai
sultan. Ibnu Katsir bahkan menganggap tindakan Quthz ini merupakan nikmat Alloh
atas kaum muslimin, sebab melalui dia lah Alloh luluh lantakkan persenjataan
Tartar [Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/
216)]
Demikian juga dengan jihad dan peperangan
yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh melawan orang-orang
kafir Tartar dan orang-orang Zindiq Bathiniyah, di zaman ketika tidak ada imam,
di waktu para penguasa lari dari beban tanggung jawab terhadap bangsa dan
negerinya..!!
Ibnu Taimiyah menganggap
kelompok-kelompok perang di zaman tersebut termasuk Thô’ifah Manshuroh, beliau mengatakan:
“Adapun
kelompok-kelompok yang ada di Syam, Mesir dan lain-lain, maka sekarang ini
merekalah orang-orang yang berperang membela Islam dan merekalah manusia yang paling
berhak masuk ke dalam katagori Tho’ifah Manshuroh.” [Majmu‘
Fatawa (28/ 531)]
Demikian juga jihad dan perang Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah melawan orang-orang musyrik para
penyembah kuburan dan sebagainya, tanpa adanya khalifah, tanpa izin dan
perintah darinya, dan para ulama Jazirah Arab menyetujuinya –semoga Alloh
ta‘ala merahmati mereka semua—dan tidak mengingkarinya yang berperang tanpa
adanya khalifah dan imam.
Ketujuh: Hadits ‘Ubadah
bin Shomit: “Kami berbaiat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Di antara yang
beliau ambil sumpah dari kami adalah: hendaknya kami berbaiat untuk mendengar
dan taat, baik suka maupun tidak suka, ketika mudah maupun sulit ketidak adilan
yang menimpa kami, dan hendaknya kami tidak merampas kepemimpinan dari
pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang nyata,
kamu memiliki keterangan dari sisi Alloh tentangnya.”
[Muttafaq
‘Alaih, ini adalah lafadz Muslim]
Ini adalah khalifah atau imam ketika ia
kufur dan gugur kepemimpinannya, dan wajib melawannya, memerangi dan menurunkannya
serta mengganti dengan imam yang adil. Dan ini adalah wajib berdasarkan ijma‘
sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar. [Shohîh
Muslim bi Syarhin Nawawi juz 12 hal. 229 dan Fathul
Bari juz 13 hal. 7,8, 123]
Apakah akan kita katakan: Kita tidak akan
keluar melawan penguasa kafir sebab tidak ada imam? Dari mana kita akan memperoleh
imam sementara ia telah kufur dan wajib dilawan? Ataukah kita tunggu imam yang
tidak ada dan kita biarkan kaum muslimin dihantam fitnah kekufuran dan kerusakan?
Apakah ini patut diucapkan seorang Muslim? Sesungguhnya hadits tadi berisi
penjelasan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk memerangi pemimpin dan
memberontaknya apabila ia kufur.
Maka kami tanyakan kepada orang-orang
yang melontarkan syubhat ini: Bagaimana kaum muslimin akan berperang dalam
kondisi seperti ini padahal tidak ada imam? Jawaban syar‘inya adalah hendaknya
mereka melakukan seperti yang dilakukan shahabat pada waktu perang Mu’tah, yaitu
mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.
Kedelapan: Perkataan ini
mengakibatkan munculnya celaan dan keragu-raguan terhadap sah tidaknya jihad
yang dilakukan harokah-harokah jihad hari ini, yang telah sungguh-sungguh bangkit
melakukan perlawanan di hadapan para Taghut yang lalim demi tegaknya Khilafah
Rasyidah serta memulai kembali babak baru kehidupan Islami di semua lapisan dan
tingkatan.
Menyedihkan sekali, itulah yang kami
terima dari orang-orang yang melontarkan pendapat batil ini. Tidak ada jihad
yang tegak di jengkal bumi manapun kecuali mereka bersegera –sebelum musuh dari
para thoghut yang kafir— melesakkan “panah” berupa tuduhan, sikap antipati dan memunculkan
keraguan terhadap keabsahan jihad tersebut, keabsahan loyalitas dan ketulusan
para mujahidin..!!
Kesembilan: Perkataan ini
sebenarnya tidak akan dilontarkan selain oleh musuh umat Islam yang jahat dan
melampaui batas, yaitu para penjajah dan yang semisal, yang bekerja untuk bisa
semakin menancapkan kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di tanah air Umat Islam
guna menimpakan siksaan, kehinaan dan kerendahan terhadap negeri dan rakyatnya.
Hal itu terbukti dengan dihalanginya kaum
muslimin untuk bangkit melaksanakan kewajiban jihad yang dipikulkan di pundak
mereka, dan dihalanginya mereka untuk membersihkan tanah air dari najis dan
serangan musuh.
Musuh yang kafir tidak menginginkan dari
Anda lebih dari itu, lebih dari menghentikan umat, melemahkan serta mencegah
agar jangan sampai bangkit kembali untuk melaksanakan kewajiban jihad
melawannya. Jihad, yang musuh-musuh Islam tidak takut dari umat Islam selain
itu!!
Kesepuluh: Syubhat ini
sebenarnya adalah pokok akidah kaum Syi‘ah.
Sebagaimana
disebutkan dalam Kitab Aqidah Thohawiyah: “Hajji dan jihad akan terus berjalan
bersama pemimpin kaum muslimin..”
Pen-Syarah berkata: “Syaikh Rahimahulloh
mengisyaratkan bantahan terhadap kelompok Rafidhah yang mengatakan, ‘Tidak ada
Jihad Fi Sabilillah sampai datangnya keridhoan keluarga Muhammad dan sampai
Penyeru dari langit memanggil: Ikutilah dia!’ Batilnya perkataan ini terlalu
jelas untuk dibuktikan dengan dalil.” [Syarah ‘Aqidah
Thohawiyah, terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H
hal. 437]
Di saat Syi‘ah menyelisihi aqidah mereka
sendiri dengan diawalinya Revolusi Khumaini –yang itu merupakan bukti rusaknya
keyakinan yang tertulis di buku-buku mereka—, kaum Syi‘ah merasa dalam
kesulitan besar lantaran terikat oleh teori-teori dibuat-buat yang tidak bisa
dibuktikan baik oleh dalil maupun logika, yang akhirnya memaksa mereka membuat
pemikiran baru untuk mengeluarkan mereka dari dilema dan kesulitan ini.
Akhirnya mereka tampil di hadapan kaumnya dengan mengusung jargon pemikiran “Kepemimpinan
Orang Fakih (wilayatul faqih)”, di mana seorang fakih diberi kelayakan dan
tugas seorang imam yang nantinya dari sanalah gelora jihad dan perang akan dikumandangkan..!
Anehnya, syubhat ini menggelayuti orang
yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah. Kemunculan syubhat-syubhat
seperti ini adalah sunnah qodariyyah yang berlangsung dan akan terus
berlangsung selama masih ada kelompok yang berjihad dan melaksanakan perintah
Alloh –dan kelompok ini akan selalu eksist sampai turunnya ‘Isâ ‘Alaihis Salam—.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Akan selalu ada satu kelompok dari ummatku yang melaksanakan
perintah Alloh, tidak terpengaruh oleh orang yang melemahkan atau menyelisihi
mereka sampai datang ketetapan Alloh dan mereka menang atas manusia.” [Muttafaq
Alaih]
Alloh
ta‘ala berfirman:
يُجَاهِدُونَ
فِي سَبِيلِ اللهِ وَ لَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ
“…mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang
yang suka mencela…”
[Al-Ma’idah: 54]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
memberi kabar gembira kepada mujahidin dengan kemenangan dan bahwa orang-orang
yang melemahkan dan menyelisihi itu tidak akan mempengaruhi mereka, semua itu
tak lain adalah fitnah
(ujian)
untuk menyaring barisan.
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar