8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (1) - Ibnu Qudamah An Najdi


BANTAHAN TERHADAP
SYUBHAT-SYUBHAT YANG MENJADI
AJANG PERDEBATAN
SEPUTAR MASALAH JIHAD

Syubhat Pertama:
Mereka mengatakan, “Tidak ada jihad kecuali bersama Khalifah…”
(Umat ini tidak boleh berjihad dan melawan kezaliman dan serangan musuh sebelum adanya khalifah !!)

Jawaban:
Ini adalah syubhat yang diwahyukan syetan kepada para mukhodziluun (para pelemah semangat) yang menghalangi orang untuk berjihad jihad di zaman kita sekarang ini.

Alloh ta‘ala berfirman:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوّٗا شَيَٰطِينَ ٱلۡإِنسِ وَٱلۡجِنِّ يُوحِي بَعۡضُهُمۡ إِلَىٰ بَعۡضٖ زُخۡرُفَ ٱلۡقَوۡلِ غُرُورٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُۖ فَذَرۡهُمۡ وَمَا يَفۡتَرُونَ ١١٢ وَلِتَصۡغَىٰٓ إِلَيۡهِ أَفۡ‍ِٔدَةُ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِٱلۡأٓخِرَةِ وَلِيَرۡضَوۡهُ وَلِيَقۡتَرِفُواْ مَا هُم مُّقۡتَرِفُونَ ١١٣

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi musuh dari manusia dan jin yang sebagian mewahyukan kepada yang lain perkataan yang indah untuk menipu, dan seandainya tuhanmu mau, mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buat. Dan agar hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu mendengarnya, dan agar mereka mengerjakan apa yang mereka kerjakan.”
[Al-An‘am: 112-113]

Kemudian syubhat ini dinukil orang lain karena prasangka baiknya terhadap mereka.

Bantahan terhadap syubhat ini ditinjau dari beberapa sisi:

Pertama: Tidak ada dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang membenarkan pensyaratan seperti ini. Yang ada, semua nash syar‘i yang memerintahkan jihad fî sabilillah –yang sedemikian banyak— tercantum secara mutlak tanpa adanya ikatan waktu, tempat atau sifat tertentu, seperti syarat yang disebutkan dalam syubhat ini..!

Kedua: Tidak adanya satu pun shahabat atau ulama terpercaya –generasi terdahulu maupun belakangan—yang mengatakan pernyataan baru dan “asing” ini. Artinya, perkataan ini adalah perkara baru yang masuk ke dalam khazanah fikih Islam yang tidak menyisakan satu penyimpangan atau kejadian kecuali membahasnya.

Ketiga: Pengikatan dan pensyaratan ini mengandung konsekwensi tidak diamalkannya ribuan Nash Syar‘i yang menganjurkan dan memerintahkan berjihad. Kesannya syarat ini begitu penting, padahal ternyata tidak tercantum –baik secara isyarat atau hanya sekilas— dalam satu nash syar‘i pun; tidak juga dalam perkataan satu pun dari ulama terpercaya, padahal penjelasan dari agama Islam ini sudah sempurna. Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan perkara yang bisa mendekatkan kita ke surga atau menjauhkan kita dari neraka kecuali telah menerangkannya kepada umat.

Sebagaimana firman Alloh ta‘ala:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نَعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا

“Hari ini telah kusempurnakan agama kalian dan Kulengkapi nikmat-Ku terhadap kalian, dan Aku ridho Islam sebagai agama kalian.”
[Al-Maidah: 3]

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

“Tidak kutinggalkan satu perkarapun yang mendekatkan kalian kepada Alloh kecuali telah kuperintahkan. Dan tidak kutinggalkan satu perkarapun yang menjauhkan kalian dari Alloh dan mendekatkan kalian kepada neraka kecuali sudah kularang kalian darinya.”

Para shahabat mengatakan, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan masalah seekor burung yang mengepakkan kedua sayapnya di langit kecuali telah menerangkan ilmunya kepada kami.”

Jika agama telah sempurna, dan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak meninggalkan satu perkara pun yang mendekatkan kita kepada Alloh kecuali telah menerangkannya, sampai burung yang terbang di langit saja beliau sudah terangkan ilmunya kepada umatnya, lantas di mana penjelasan dan penyebutan ikatan dan syarat yang nampaknya begitu penting ini..?!

Kami tidak bisa mengatakan apapun selain meyakini dengan pasti bahwa syarat ini rusak dan bathil, pensyaratan ini adalah perkataan baru dan masuk ke dalam fikih Islam.

Di dalam sebuah hadits shohih dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam –seperti dalam Shohih Bukhori dan lain-lain—beliau bersabda, “Mengapa orang-orang tersebut mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitab Alloh? Barangsiapa yang mensyaratkan syarat yang tidak ada dalam Kitabullôh, maka tidak benar. Meskipun syarat itu seratus kali. Syarat Alloh tetaplah lebih benar dan lebih kukuh.”


Keempat: Nash-nash syar‘i menunjukkan dengan jelas dan pasti bahwasanya jihad akan terus berlanjut di setiap zaman hingga hari kiamat, sama saja apakah kaum muslimin memiliki khalifah atau pimpinan pusat atau tidak. Di antara nash tersebut:

Sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتْيْ يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ, إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang hingga hari kiamat.”

[Dikeluarkan oleh Muslim dengan lafadz ini (156), (1923), Ahmad (III/ 345), Ibnu Hibbân (6780—ihsan) dan Ibnul Jârûd di dalam Al-Muntaqô (1031) dari hadits Jabir bin Abdillah]

Di dalam hadits Jabir bin Samuroh disebutkan:

“Senantiasa agama ini tegak, berperang di atasnya satu kelompok dari umatku sampai (menjelang) hari kiamat.”
[Muslim (1922)]

Di dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan:

“AKAN SELALU ADA SATU KELOMPOK DARI UMATKU YANG BERPERANG DI ATAS PERINTAH ALLOH, MEREKA KALAHKAN MUSUH MEREKA, MEREKA TIDAK TERPENGARUH DENGAN ORANG YANG MENYELISIHI MEREKA HINGGA (MENJELANG) DATANG KEPADA MEREKA HARI KIAMAT DAN MEREKA TETAP SEPERTI ITU.”
[Dikeluarkan Muslim (1924)]

Di dalam hadits ‘Imron bin Hushoin disebutkan:

“Akan selalu ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka sampai kelompok terakhir dari mereka memerangi Al-Masih Dajjal.”
[Dikeluarkan Ahmad (IV/ 437) dan Abu Dawud (2484)]

Di dalam hadits Mu‘awiyah bin Abi Sufyan:

“Akan selalu ada satu kelompok dari kaum muslimin yang berperang di atas kebenaran, mereka menang atas orang yang memusuhi mereka hingga (menjelang) hari kiamat.”
[Muslim (1037) Kitabul Imâroh hadits nomor 175]

Dan dari Salamah bin Nufail ia berkata:
“Aku duduk di sisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lalu ada seseorang yang berkata, “Wahai Rosululloh, manusia tidak lagi mengurus kuda dan telah meletakkan senjata, mereka mengatakan: “Tidak ada lagi jihad, perang sudah usai.” Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghadapkan wajahnya dan bersabda, “Mereka dusta, sekarang, sekarang tiba waktu perang; dan akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran; Alloh akan simpangkan hati suatu kaum dan Dia memberi rezeki kelompok tadi dari kaum tersebut hingga (menjelang) tiba hari kiamat dan sampai datang janji Alloh.” [An-Nasa’i di dalam Sunan-nya (VI/ 214-215)]

Dan dari Nawwas bin Sam‘an berkata,

“Usai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menaklukkan (Mekkah), aku mendatangi beliau dan kukatakan: ‘Wahai Rosululloh, kuda telah dilepas dan senjata telah diletakkan, sungguh perang sudah usai dan mereka mengatakan: Tidak ada lagi peperangan.’ Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Mereka dusta, sekarang datang waktu perang, sekarang datang waktu perang. Sesungguhnya Alloh Jalla wa ‘Ala akan menyimpangkan hati suatu kaum kemudian mereka perangi kaum tersebut dan Alloh beri mereka rezeki dari kaum tersebut sampai tiba ketetapan Alloh kepadanya, dan pusat negeri kaum mukminin adalah Syam.” [Dikeluarkan Ibnu Hibban (7307)-ihsan]

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengkhabarkan bahwa akan selalu ada satu kelompok dari umatnya yang berperang di jalan Alloh dan itu tidak akan terputus hingga akhir zaman.

Dan dengan makna ini, banyak para ‘Aimmah mengartikan hadits ini; di antaranya adalah Abu Dawud yang berkata dalam Sunan-nya: Bab Fi Dawamil Jihad (Bab: akan terus berlangsungnya jihad.) [Sunan Abu Dawud (III/11)]
Kemudian ia menyebutkan hadits ‘Imron bin Hushoin tadi. Demikian juga dengan Ibnul Jarud: Bab Dawamul Jihad ila Yaumil Qiyamah (Bab: akan terus berlangsungnya jihad hingga hari kiamat) [Al-Muntaqo, hal. 257] kemudian ia sebutkan hadits Jabir ini.

Imam Al-Khothobi berkata:
“Di sini terdapat keterangan bahwa jihad tidak akan pernah terputus. Dan jika sudah menjadi perkara yang logis apabila para pemimpin itu tidak akan semuanya sepakat menjadi adil, maka hadits ini menunjukka bahwa jihad melawan orang-orang kafir bersama pemimpin yang jahatpun adalah wajib seperti wajibnya dengan pemimpin yang adil.” [Ma‘alimus Sunan edisi terbitan dengan catatan kaki Sunan Abu Dawud, III/ 11]

An-Nawawi berkata,
Hadits ini mengandung mukjizat yang jelas, bahwa karakter (senantiasa berperang) ini akan selalu ada –segala puji bagi Alloh ta‘ala—sejak zaman Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hingga sekarang. Dan akan selalu ada sampai datang ketetapan Alloh yang disebutkan dalam hadits itu.” [Syarah Shohih Muslim, VII/ 77]

Di dalam hadits shohih juga disebutkan: “Kuda akan tetap tertambat kebaikan pada ubun-ubunnya hingga (menjelang) hari kiamat.” [Dikeluarkan Bukhori dengan lafadz ini (2850), (2852) dan Muslim (1873) dari hadits Urwah bin Al-Ja‘d. Pada bab ini terdapat juga hadits dari Ibnu Umar, Anas dan lainnya]

Al-Hafizh berkata dalam syarah hadits ini:
“Di dalamnya juga terdapat kabar gembira akan langgengnya Islam serta pemeluknya hingga hari kiamat, sebab di antara konsekwensi logis langgengnya jihad adalah langgengnya mujahidin sedangkan para mujahidin itu adalah kaum muslimin. Hadits ini mirip dengan hadits lain: “Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang berperang di atas kebenaran…” [Fathul Bârî, VI/ 56]

Sementara itu, Syaikh Sulaiman bin Abdulloh An-Najdi menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa tho’ifah manshuroh tersebut tidak selalunya berada di Syam. Di antara dalil yang beliau gunakan adalah terputusnya jihad di daerah tersebut sejak beberapa lama, beliau mengatakan mengenai penduduk Syam: “Lagipula, sejak beberapa lama mereka tidak memerangi siapapun dari orang-orang kafir, huru-hara dan peperangan justeru terjadi antara mereka sendiri. Atas dasar ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadits: “Mereka ada di Baitul Muqoddas” dan perkataan Mu‘adz: “Mereka ada di Syam” maksudnya adalah mereka berada di sana pada sebagian kurun waktu tapi tidak seluruhnya. Fakta yang ada juga mengindikasikan pendapat kami ini.” [Taisîrul ‘Azîzil Hamîd fî Syarhi Kitâbit Tauhîd (hal. 381)]

Intinya, akan selalu ada dari umat Islam ini yang menjadi kelompok perang (Tho’ifah Muqotilah) yang berada di atas kebenaran meskipun jumlah mereka sedikit, hingga datang ketetapan Alloh yang tercantum dalam hadits tadi.

Maka sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“Akan selalu ada satu kelompok…”
Dan:
“Lan yabroha…” (akan selalu ada…)

…menunjukkan adanya keberlangsungan yang terus menerus akan keberadaan kelompok yang berperang di jalan Alloh pada setiap zaman hingga menjelang hari kiamat. Jihad mereka tidak akan berhenti karena munculnya satu penyebab berupa tidak adanya kholifah yang memimpin umat Islam seperti yang kita alami di zaman sekarang.

Kemudian, kelompok yang berjihad di jalan Alloh –yang disebutkan di dalam hadits-hadits yang sudah kami sebutkan tadi—jumlahnya (menurut tinjauan bahasa dan syar‘i) adalah satu orang atau lebih, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:

إِنْ نَّعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِيْنَ

“Jika Kami memberi maaf satu kelompok dari kalian, Kami adzab satu kelompok lagi dikarenakan mereka adalah kaum yang jahat.”
[At-Taubah: 66]

Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya: “Dikisahkan ada tiga orang: dua orang berolok-olok, dan satu orang hanya ikut tertawa, maka yang dimaafkan adalah yang tertawa dan tidak berkata-kata.”

Alloh ta‘ala berfirman:

فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا وَ اللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَ أَشَدُّ تَنْكِيْلًا

“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan kobarkanlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir. Dan Alloh itu lebih keras kekuatan dan siksa-Nya.” [An-Nisa’: 84]

Dari ayat ini serta yang lain, para ulama menyimpulkan bahwa jihad itu bisa saja dilakukan oleh satu orang dari kaum muslimin. Dan bahwa keengganan umat dari jihad fi sabilillah tidak boleh menggoyahkan satu orang ini dari bangkit dan terus berjalan di atas jalan jihad.

Al-Qurthubi berkata di dalam Tafsir-nya (V/ 293):
“Az-Zujaj berkata: Alloh ta‘ala memerintahkan rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk berjihad meski ia hanya sendirian, sebab Alloh telah jamin kemenangan untuk beliau.

Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Ini adalah dzahir lafadz, namun tidak ada satu pemberitaan pun yang menyebutkan bahwa peperangan itu diwajibkan kepada Rosululloh saja tanpa umat yang lain dalam suatu kurun waktu. Dengan demikian maknanya –Wallohu A‘lam—ini adalah perintah kepada beliau secara lafadz dan permisalan pada setiap satu orang secara khusus. Artinya, engkau wahai Muhammad dan setiap yang hanya satu orang dari umatmu maka perintah inilah yang berlaku atasnya: “Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri…” [An-Nisa’: 84]

Oleh karena itu, hendaknya setiap mukmin tetap berjihad walaupun ia sendirian.[105]

105 Jihad, baik dilalukan sendirian atau bersama orang banyak, harus diperhatikan hasil akhirnya: maslahat atau mafsadah. Jika maslahatnya lebih besar daripada madhorotnya, jihad harus tetap dilaksanakan –dengan barakah Alloh—walaupun hanya satu orang, saat itu ia tidak perlu menoleh kepada komentar-komentar orang-orang bathil dan para ‘provokator’. Namun, jika ternyata mafsadahnya lebih besar daripada mashlahatnya, maka saat itu haruslah sabar, rileks dan menunggu sampai mafsadah dan penghalang tersebut hilang dari jalan. Artinya, jihad disyari‘atkan untuk tujuan lain, bukan sekedar jihad itu sendiri (yaitu untuk idzhârud Dîn/ memenangkan agama Islam,  penerj.) sedangkan mafsadah dan mashlahat haruslah diukur dengan kaidah-kaidah dan timbangan-timbangan syar‘i, bukan dengan yang lain.

Di antara dalil lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Demi Alloh, aku benar-benar akan perangi mereka sampai hilang batang leherku.” [Sebagai kiasan dari kematian]

Demikian juga dengan perkataan Abu Bakar ketika memerangi orang-orang murtad: “Jika tangan kananku tidak sejalan denganku, aku akan perangi mereka dengan tangan kiriku.”

Pertanyaannya sekarang: Jika jihad boleh dijalankan meskipun hanya oleh satu kelompok yang hanya terdiri dari satu orang, lantas di manakah khalifah dari kelompok yang hanya beranggotakan satu orang ini, lebih-lebih kalau adanya khalifah menjadi syarat sah jihad...?

Jika dikatakan: Sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan senantiasa ada…” ini tidak menunjukkan jihad akan terus berlangsung sepanjang zaman. Artinya, sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ini tidak boleh kita pakai di waktu tidak adanya khalifah…

Pernyataan ini bisa dijawab sebagai berikut:

Kata-kata: “Akan senantiasa ada…” mengandung arti terus berlangsungnya jihad di setiap zaman, baik ditinjau dari sisi bahasa maupun fakta sejarah, sebagaimana kami jelaskan dari perkataan para ulama tadi. Maka jika kita berada di suatu zaman tertentu yang kita tidak mengetahui adanya tempat dan aktifitas jihad dari tho’ifah muqotilah, bukan berarti kelompok tersebut tidak ada. Ketidak tahuan terhadap sesuatu merupakan indikasi adanya kekurangan, bukan ketidak adaan sesuatu tersebut.

Kemudian, kalau kita terima –untuk sekedar mendebat dan menerima alasan mereka—bahwa sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam “Akan selalu ada…” tidak selalunya menunjukkan terus berlangsungnya jihad oleh Thoifah Muqotilah di putaran zaman atau di setiap zaman, tapi tidak mungkin kita bisa terima bahwa jihad kelompok ini akan hilang dan berhenti selama seratus tahun sejak tidak adanya khalifah seperti yang kita alami sekarang.

Di antara dalil yang lain adalah sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Hijroh Tidak Akan Terputus Selama Ada Jihad.”

Dalam riwayat lain:
“HIJROH TIDAK AKAN TERPUTUS SELAMA MUSUH MASIH DIPERANGI.”
[Dikeluarkan Ahmad dan yang lain, As-Silsilah Ash-Shohihah: 1674]

Di waktu yang sama, ada riwayat shohih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:“Hijroh tidak akan terputus sampai taubat terputus. Dan taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.” [Dikeluarkan Ahmad dan Abu Dawud, Shohihul Jami‘: 7469]

Mafhum109 serta manthuq110 dari hadits ini menunjukkan pendapat yang menyatakan putusnya jihad, mau tidak mau harus mengatakan hijroh juga terputus; sedangkan mengatakan hijroh putus, otomatis harus mengatakan taubat terputus, padahal –berdasarkan ijma‘— taubat tidak akan terputus sampai matahari terbit dari barat.

Berarti, orang yang mengatakan jihad terputus di masa vakumnya khalifah –seperti di zaman kita ini—mau tidak mau harus mengatakan putusnya taubat; dan tak diragukan lagi ini adalah perkataan batil dan rusak karena ia menyelisihi nash, logika dan ijmak.

Dalil lain adalah firman Alloh ta‘ala:

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِيْ التَّوْرَاةِ وَ الْإِنْزِيْلِ وَ الْقُرْآنِ وَ مَنْ أَوْفَى بَعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِى بَايَعْتُمْ بِهِ وَ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang beriman jiwa dan harta mereka dengan bahwasanya mereka memperolah surga, mereka berperang di jalan Alloh lalu mereka membunuh atau terbunuh; sebagai janji yang mesti dipenuhi untuknya dan benar di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janji-Nya selain Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang engkau adakan itu. Dan itulah kemenangan yang besar.”
[At-Taubah: 111]

Ini adalah akad jual beli yang sudah selesai dan tidak perlu dibatalkan dalam waktu-waktu tertentu. Alloh ta‘ala membeli dari para hamba-Nya jiwa dan harta mereka dengan memberikan kepada mereka surga sebagai balasan dari jihad fi sabilillah. Akad pembelian ini berlaku atas seluruh kaum mukminin kapan pun mereka hidup, di zaman mana pun mereka hidup, baik di zaman adanya khalifah atau tidak ada…tidak ada yang ingin tertinggal dari akad jual beli ini atau tidak merasa ridho dengannya selain orang yang lebih memilih keluar total dari komunitas kaum mukminin.

Orang yang mengatakan tidak ada jihad tanpa khalifah, mau tidak mau ia harus menghentikan akad jual beli yang berlangsung antara seorang hamba dengan Robbnya ketika khalifah tersebut tidak ada, padahal masa vakum ini barangkali akan memakan waktu ratusan tahun…maka, silahkan difikirkan kembali!!

Dalil yang lain adalah sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

“Siapa terbunuh membela hartanya maka ia syahid. Siapa terbunuh membela darahnya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela agamanya maka ia syahid. Dan siapa terbunuh membela keluarganya, maka ia syahid.”
[Dikeluarkan Ahmad dan yang lain. Shohihul Jami’, 6445]

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,

“Barangsiapa terbunuh karena melawan kedzaliman yang menimpa dirinya, maka ia syahid.”
[Dikeluarkan An-Nasa’i dan yang lain. Shohihul Jami‘ (6447)]

Maka, apakah akan kita katakan bahwa mereka ini disebut orang-orang yang mati syahid kalau terbunuh ketika ada khalifah, sedangkan jika terbunuh karena membela agama dan melawan kezaliman terhadap dirinya ketika masa kevakuman khalifah maka perlawanan mereka bathil dan mereka bukanlah orang-orang yang mati syahid..?!!

Kelima: Bahwasanya Abu Bashir dan beberapa shahabat yang bergabung dengannya –yang terkena imbas dari butir-butir perjanjian Hudaibiyah sehingga mereka tidak bisa bergabung dengan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam di Madinah— menyergap kafilah-kafilah dagang dan memerangi kaum musyrikin tanpa seizin dan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Di saat yang sama, beliau tidak mengingkari jihad yang mereka lakukan hanya lantaran mereka berjihad tanpa seizin imam yang ketika itu dijabat oleh beliau sendiri, Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Bukhori meriwayatkan di dalam Shohih-nya:

“Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pulang ke Madinah. Datanglah Abu Bashir, lelaki dari Quraisy yang masuk Islam ketika itu. Maka kaum Quraisy mengutus dua orang untuk menyusulnya, mereka mengatakan, “Mana janji yang kau sepakati dengan kami?” akhirnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengembalikan Abu Bashir kepada kedua orang utusan Quraisy tersebut. Keduanya pun keluar dan membawanya sampai di Dzul Hulaifah. Mereka kemudian singgah sebentar untuk memakan kurma. Kemudian, Abu Bashir mengatakan kepada salah seorang dari mereka: “Demi Alloh, aku melihat pedangmu ini bagus wahai Fulan.” Maka yang seorang lagi menghunusnya seraya berkomentar, “Benar, demi Alloh ini memang pedang bagus. Aku sudah mencobanya, aku sudah mencobanya.” Abu Bashir berkata, “Coba saya ingin melihat.” Ia pun memberikan pedang itu kepada Abu Bashir. Begitu pedang diberikan kepada Abu Bashir, ia langsung menebas utusan Quraisy itu sampai mati, sedangkan yang seorang lagi melarikan diri ke Madinah. Sesampai di sana ia masuk ke dalam masjid dengan berlari terengah-engah. Melihat itu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tampaknya ia ketakutan.” Ketika orang itu menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ia mengatakan, “Demi Alloh dia telah bunuh temanku, dan aku benar-benar hendak dibunuhnya.” Tak lama kemudian datanglah Abu Bashir, ia mengatakan: “Wahai Nabi Alloh, demi Alloh, Alloh telah penuhi janjimu, engkau telah kembalikan aku kepada mereka kemudian Alloh selamatkan aku dari mereka.” Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tsakalithu Ummuhu, Abu Bashir adalah penyulut peperangan jika ia bersama para lelaki.”, ketika Abu Bashîr mendengar sabda beliau ini, ia mengerti bahwa beliau akan mengembalikannya kepada Quraisy. Akhirnya Abu Bashir keluar hingga sampai di Saiful Bahr. Dan di kalangan kaum Quraisy ada yang melarikan diri (dari Mekkah), di antaranya adalah Abu Jandal bin Suhail, ia bergabung dengan Abu Bashir, setelah itu tidak ada seorang quraisy pun yang keluar dan masuk Islam kecuali bergabung dengan Abu Bashir, sampai mereka bergabung menjadi satu kelompok. Demi Alloh, tidaklah mereka mendengar ada satu unta yang milik Quraisy yang berangkat menuju Syam kecuali mereka cegat, lalu mereka serang dan mereka ambil hartanya. Akhirnya kaum quraisy mengirim utusan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memohon dengan sangat dengan nama Alloh agar dikasihani orang yang dikirim, maka barangsiapa yang datang kepada beliau, dia aman. Akhirnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengutus agar Abu Bashir dan kawan-kawannya datang kepada beliau.” [Shohih Bukhori (2581)]

Pertanyaannya sekarang: “Jika para shahabat saja boleh berperang di zaman adanya Imam tertinggi, Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, tanpa seizin dan perintahnya – dikarenakan kondisi dan butir perjanjian Hudaibiyah—maka bagaimana perang di jalan Alloh di masa vakum dari khalifah tidak boleh, padahal kevakuman itu bisa jadi disebabkan karena kondisi terpaksa seperti saat ini?!

Keenam: Banyak para shahabat dan tabi‘in yang melewati masa perang tanpa adanya khalifah, seperti Zubair bin ‘Awwam, Mu‘awiyah, Amru bin Al-‘Ash, Al-Husain bin ‘Ali, Abdulloh bin Zubair dan para shahabat yang lain– ridhwanulloh ‘alaihim ajma‘in—.

Juga seperti yang terjadi pada waktu perang Mu’tah, di mana para shahabat mengangkat Kholid sebagai pemimpin mereka ketika para komandan mereka terbunuh dan ketika itu pemimpin tertinggi tidak ada di antara mereka –yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam—Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallampun ridho dengan apa yang mereka lakukan ini.

Demikian juga dinasti Bani Umayyah dan ‘Abbasiyah serta ‘Utsmaniyah. Mereka melewati masa perang dan jihad sebelum tegaknya Negara dan Kekhilafahan, serta sebelum pengangkatan Pimpinan Umum kaum muslimin, sementara tidak ada seorang ulama pun yang mengingkari perang yang mereka lakukan lantaran mereka melakukannya tanpa adanya Khalifah atau sebelum Pengangkatan Imam umum atas kaum muslimin.

Masa yang paling terkenal adalah tiga tahun sejak tahun 656 H –saat itu, pasukan Tartar membunuh khalifah ‘Abbasiyah, Al-Mu‘tashim, di Baghdad—hingga tahun 659 H, di tahun inilah khalifah pertama di Mesir dibai‘at. [Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/ 231)] Meskipun kala itu sedang vakum dari khalifah, kaum muslimin tetap terjun ke medan pertempuran paling membanggakan kaum muslimin sampai hari ini, yaitu pertempuran ‘Ain Jalut melawan Tartar tahun 658 H. Ini terjadi di saat masih adanya sekian banyak ulama, seperti ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam dan lain-lain. Namun tidak ada seorangpun yang mengatakan, ‘Bagaimana kita berjihad padahal kita tidak punya khalifah?’

Bahkan komandan kaum muslimin dalam perang ini (Saifuddin Quthz) mengangkat dirinya sendiri sebagai sultan Mesir setelah Putra ustadznya diturunkan dari Kesultanan karena dianggap masih kecil, para qodhi dan para ulama merestuinya dan kemudian membaiat Quthz sebagai sultan. Ibnu Katsir bahkan menganggap tindakan Quthz ini merupakan nikmat Alloh atas kaum muslimin, sebab melalui dia lah Alloh luluh lantakkan persenjataan Tartar [Al-Bidayah wan Nihayah (XIII/ 216)]

Demikian juga dengan jihad dan peperangan yang dilakukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahulloh melawan orang-orang kafir Tartar dan orang-orang Zindiq Bathiniyah, di zaman ketika tidak ada imam, di waktu para penguasa lari dari beban tanggung jawab terhadap bangsa dan negerinya..!!

Ibnu Taimiyah menganggap kelompok-kelompok perang di zaman tersebut termasuk Thô’ifah Manshuroh, beliau mengatakan:

“Adapun kelompok-kelompok yang ada di Syam, Mesir dan lain-lain, maka sekarang ini merekalah orang-orang yang berperang membela Islam dan merekalah manusia yang paling berhak masuk ke dalam katagori Tho’ifah Manshuroh.” [Majmu‘ Fatawa (28/ 531)]

Demikian juga jihad dan perang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah melawan orang-orang musyrik para penyembah kuburan dan sebagainya, tanpa adanya khalifah, tanpa izin dan perintah darinya, dan para ulama Jazirah Arab menyetujuinya –semoga Alloh ta‘ala merahmati mereka semua—dan tidak mengingkarinya yang berperang tanpa adanya khalifah dan imam.


Ketujuh: Hadits ‘Ubadah bin Shomit: “Kami berbaiat kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.

Di antara yang beliau ambil sumpah dari kami adalah: hendaknya kami berbaiat untuk mendengar dan taat, baik suka maupun tidak suka, ketika mudah maupun sulit ketidak adilan yang menimpa kami, dan hendaknya kami tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya. Beliau bersabda, “Kecuali apabila engkau melihat kekufuran yang nyata, kamu memiliki keterangan dari sisi Alloh tentangnya.”
[Muttafaq ‘Alaih, ini adalah lafadz Muslim]

Ini adalah khalifah atau imam ketika ia kufur dan gugur kepemimpinannya, dan wajib melawannya, memerangi dan menurunkannya serta mengganti dengan imam yang adil. Dan ini adalah wajib berdasarkan ijma‘ sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi dan Ibnu Hajar. [Shohîh Muslim bi Syarhin Nawawi juz 12 hal. 229 dan Fathul Bari juz 13 hal. 7,8, 123]

Apakah akan kita katakan: Kita tidak akan keluar melawan penguasa kafir sebab tidak ada imam? Dari mana kita akan memperoleh imam sementara ia telah kufur dan wajib dilawan? Ataukah kita tunggu imam yang tidak ada dan kita biarkan kaum muslimin dihantam fitnah kekufuran dan kerusakan? Apakah ini patut diucapkan seorang Muslim? Sesungguhnya hadits tadi berisi penjelasan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk memerangi pemimpin dan memberontaknya apabila ia kufur.

Maka kami tanyakan kepada orang-orang yang melontarkan syubhat ini: Bagaimana kaum muslimin akan berperang dalam kondisi seperti ini padahal tidak ada imam? Jawaban syar‘inya adalah hendaknya mereka melakukan seperti yang dilakukan shahabat pada waktu perang Mu’tah, yaitu mengangkat salah seorang sebagai pemimpin.


Kedelapan: Perkataan ini mengakibatkan munculnya celaan dan keragu-raguan terhadap sah tidaknya jihad yang dilakukan harokah-harokah jihad hari ini, yang telah sungguh-sungguh bangkit melakukan perlawanan di hadapan para Taghut yang lalim demi tegaknya Khilafah Rasyidah serta memulai kembali babak baru kehidupan Islami di semua lapisan dan tingkatan.

Menyedihkan sekali, itulah yang kami terima dari orang-orang yang melontarkan pendapat batil ini. Tidak ada jihad yang tegak di jengkal bumi manapun kecuali mereka bersegera –sebelum musuh dari para thoghut yang kafir— melesakkan “panah” berupa tuduhan, sikap antipati dan memunculkan keraguan terhadap keabsahan jihad tersebut, keabsahan loyalitas dan ketulusan para mujahidin..!!


Kesembilan: Perkataan ini sebenarnya tidak akan dilontarkan selain oleh musuh umat Islam yang jahat dan melampaui batas, yaitu para penjajah dan yang semisal, yang bekerja untuk bisa semakin menancapkan kuku kekuasaan dan kepemimpinannya di tanah air Umat Islam guna menimpakan siksaan, kehinaan dan kerendahan terhadap negeri dan rakyatnya.

Hal itu terbukti dengan dihalanginya kaum muslimin untuk bangkit melaksanakan kewajiban jihad yang dipikulkan di pundak mereka, dan dihalanginya mereka untuk membersihkan tanah air dari najis dan serangan musuh.

Musuh yang kafir tidak menginginkan dari Anda lebih dari itu, lebih dari menghentikan umat, melemahkan serta mencegah agar jangan sampai bangkit kembali untuk melaksanakan kewajiban jihad melawannya. Jihad, yang musuh-musuh Islam tidak takut dari umat Islam selain itu!!


Kesepuluh: Syubhat ini sebenarnya adalah pokok akidah kaum Syi‘ah.

Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Aqidah Thohawiyah: “Hajji dan jihad akan terus berjalan bersama pemimpin kaum muslimin..”

Pen-Syarah berkata: “Syaikh Rahimahulloh mengisyaratkan bantahan terhadap kelompok Rafidhah yang mengatakan, ‘Tidak ada Jihad Fi Sabilillah sampai datangnya keridhoan keluarga Muhammad dan sampai Penyeru dari langit memanggil: Ikutilah dia!’ Batilnya perkataan ini terlalu jelas untuk dibuktikan dengan dalil.” [Syarah ‘Aqidah Thohawiyah, terbitan Al-Maktab Al-Islami 1403 H hal. 437]

Di saat Syi‘ah menyelisihi aqidah mereka sendiri dengan diawalinya Revolusi Khumaini –yang itu merupakan bukti rusaknya keyakinan yang tertulis di buku-buku mereka—, kaum Syi‘ah merasa dalam kesulitan besar lantaran terikat oleh teori-teori dibuat-buat yang tidak bisa dibuktikan baik oleh dalil maupun logika, yang akhirnya memaksa mereka membuat pemikiran baru untuk mengeluarkan mereka dari dilema dan kesulitan ini. Akhirnya mereka tampil di hadapan kaumnya dengan mengusung jargon pemikiran “Kepemimpinan Orang Fakih (wilayatul faqih)”, di mana seorang fakih diberi kelayakan dan tugas seorang imam yang nantinya dari sanalah gelora jihad dan perang akan dikumandangkan..!

Anehnya, syubhat ini menggelayuti orang yang menisbatkan dirinya kepada Ahlus Sunnah. Kemunculan syubhat-syubhat seperti ini adalah sunnah qodariyyah yang berlangsung dan akan terus berlangsung selama masih ada kelompok yang berjihad dan melaksanakan perintah Alloh –dan kelompok ini akan selalu eksist sampai turunnya ‘Isâ ‘Alaihis Salam—.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Akan selalu ada satu kelompok dari ummatku yang melaksanakan perintah Alloh, tidak terpengaruh oleh orang yang melemahkan atau menyelisihi mereka sampai datang ketetapan Alloh dan mereka menang atas manusia.” [Muttafaq Alaih]

Alloh ta‘ala berfirman:

يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَ لَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَآئِمٍ

“…mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut celaan orang yang suka mencela…”
[Al-Ma’idah: 54]

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memberi kabar gembira kepada mujahidin dengan kemenangan dan bahwa orang-orang yang melemahkan dan menyelisihi itu tidak akan mempengaruhi mereka, semua itu tak lain adalah fitnah
(ujian) untuk menyaring barisan.

Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...