AMONGST
THE BELIEVERS ARE MEN:
ABU
JUNAYDAH
Al - Almani
Abu Junaydah, orangtuanya berasal dari Maroko, dan ia
tumbuh di negara salib Jerman. Seperti kebanyakan pemuda lainnya dari keluarga
imigran, dia agak jauh dari agama-Nya meskipun ayah dan ibunya adalah Muslim
yang religius. Dan meskipun kehidupan di Darul-kufur menyebabkan banyak Pemuda Muslim
meninggalkan shalat, tapi tidak untuk Abu Junaydah. Tidak peduli apapun yang ia
hadapi dalam hidupnya, ia tidak akan pernah meninggalkan Shalat.
Ketika ia masih kecil, ayahnya membantunya menghafal
beberapa juz Qur’an dan mengajaknya pergi bersama ke masjid. Yang kemudian ia
sadari banyaknya mangfaat dari kedisiplian itu Ketiak ia tumbuh dewasa, dimana
ia telah belajar banyak dari kitab Allah pada masa itu. Dan Allah menuntun
siapa saja yang Dia kehendaki dan Dia menunjukkan Rahmat-Nya atas Abu Junaydah,
membimbingnya untuk serius beramal pada usia delapan belas tahun. Dia mulai mempelajari
agamanya dengan usahanya sendiri serta menjauhkan diri dari semua pengaruh yang
buruk. Dia juga menikah lebih awal untuk melindungi dirinya dari perangkap
zina. Tak lama setelah pernikahannya, Allah menganugerahkan dia dengan seorang
Putri, yang ia beri nama Junaydah. kesedihan atas peristiwa yang terjadi di
Syam dan kejahatan yang dilakukan terhadap Ahlus-Sunnah membuatnya memutuskan untuk
berhijrah dan mengambil bagian dalam jihad tersebut.
Pada tahun “2013,” ia pergi ke Syam dan bergabung dengan fraksi
“Junūd ash-Sham,” yang dipimpin oleh Muslim pembohong yang menyimpang
ash-Shīshānī. Setelah kedatanngannya, Abu Junaydah sangat bahagia karena telah
tiba di tanah jihad, tapi dengan cepat dia dapat menemukan bahwa tidak setiap
“Mujahid” dan tidak setiap faksi “Jihad” memiliki manhaj yang lurus. Dia dan
mujāhidīn lainnya dilarang mengucapkan takfir kepada taghut Erdogan dan
tawāghīt lain dari Turki dengan alasan “maslahah.” mereka juga dilarang untuk mengucapkan
takfir kepada “Tentara Pembebasan Suriah” (FSA). Ia juga menyaksikan sendiri
bagaimana Negara Islam dikecam dengan sangat keras. Ada juga banyak situasi
dimana hukum Allah dilanggar oleh faksi-faksi lokal; dan orang-orang disana
juga tidak dihukumi dengan syari’at. Dalam salah satu contoh kasus ini
misalnya, orang yang menghina Allah (ta’ala) tidak menerima hukuman atas
kejahatannya ini.
Ketika masuk ke Junūd ash-Sham, ia direkomendasikan oleh sahabatnya
Abu Luqman al-Almani dan Abu Hafs al-Almani sepupu Abu Junaydah, untuk
melaksanakan jihad melawan melawan tawāghīt dan sekutu mereka dimanapun mereka
berada. Tapi kebersamaan Abu Luqman dan Abu Hafsh dengan Junūd ash-Sham
tidaklah lama, karena mereka dengan cepat mengetahui korupsi manhaj dan
penyimpangan fraksi ini yang kemudian membulatkan tekad mereka untuk bergabung
dengan Jama’ah. Mereka berdua berbai’at kepada Amirul Mukminin Abu Bakr
al-Husayni al-Baghdadi (hafidhahullāh) dan bergabung denganNegara Islam.
Pada hari pengkhianatan Sahawat, Abu Luqman dan Abu Hafs ditangkap
oleh FSA dan dipenjarakan bersama dengan ratusan Muhajirin lainnya. Tetapi
mereka menipu penculik mereka hingga mereka melepaskannya. Hal ini menuntun
mereka untuk menemui Abu Junaydah lagi yang telah meninggalkan Junūd ash-Sham
dan bergabung dengan jabhah Jawlānī sesaat sebelum pengkhianatan Sahawat. Yang
mana disana Dia bekerja di Departemen media untuk jabhah Jawlānī ini.
Dikarenakan oleh Abu Sulaiman, sang pembohong dari
Australia, Abu Junaydah memiliki beberapa kesalahpahaman tentang Negara Islam,
tapi hatinya tetap merindukan untuk bergabung dengan Jama’ah dan berada di
barisannya karena seluruh dunia telah berkumpul melawannya baik dari segi
militer, politik, ekonomi, dan bahkan di ranah media. Ia juga mulai menangkap banyaknya
kontradiksi dalam setiap klaim Abu Sulaiman al Australia dan rekan Sahawatnya
terhadap Negara Islam. Selain itu, Abu Hafsh - yang terjebak di Halab setelah
dibebaskan dari penjara Sahawat - secara teratur menyarankan Abu Junaydah untuk
bergabung dengan Negara Islam.
Dan Allah menuntun siapa yang Dia kehendaki. Abu Junaydah
mendengarkan dan membandingkan pidato dari orang pikun yang menyimpang
adz-Dhawāhirī dengan pidato dari mantan menteri perang Negara Islam, Syekh Abu
Hamzah al-Muhajir rahimahullah. Dia mendengarkan pidato mereka tentang Negara Islam
agar dapat menyimpulkan sendiri perbedaan pendapat tentang masalah negara Islam
dan al-Qa’idah. Dengan cepat ia menyadari bahwa kepemimpinan baru al-Qāi’dah
sesungguhnya adalah kebohongan kepada umat. Dengan demikian, ia memutuskan untuk
meninggalkan Kafar Hamrah dengan sepupunya Abu Hafsh untuk bergabung dengan
Negara Islam.
Setelah ia tiba di negara islam, ia segera pergi untuk
Ribat, dan mengambil bagian dalam pertempuran melawan pengkhianat sahawāt.
mereka membuka jalan mundur ke I’zaz dan kemudian al-Bab Bersama dengan tentara
lain dari Negara Islam. Setelah tiba di al-Bab, Abu Junaydah pergi bersama
sepupunya ke ar-Raqqah untuk membawa keluarganya kembali ke Syam, sebagaimana
beberapa ikhwan lainnya telah mengirim istri dan anak mereka menjauhi bahaya
dari sahawāt selama kekacauan yang mengikuti Peluncuran konspirasi Sahawat.
Tak lama setelah itu, Abu Junaydah ditugaskan dengan
banyak proyek dakwah tapi dia selalu ingin kembali ke medan pertempuran. Ia
merindukan sepupunya dan ingin bersamanya lagi. Abu Hafsh telah mengambil
bagian dalam pertempuran dekat Sirrīn melawan sahawāt dari Liwa Thuwwār
ar-Raqqah, yang dipimpin oleh mantan pemimpin jabhah Jawlānī Abu ‘Isa
ar-Raqqah. Dia juga berpartisipasi dalam pertempuran melawan sahawāt di
al-Khayr yang dipimpin oleh pemimpin jabhah Jawlānī Abu mariyah al-Harari. Dia
dibunuh secara khianat pada musim panas “2014” oleh “tentara” Harari ketika
mengendarai mobil di al-Khayr, salah satu kota yang telah dibebaskan. Semoga
Allah menerima dia.
Abu Junaydah sangat sedih, tapi ia tetap berkomitmen
untuk bekerja dan mencoba untuk menjelaskan kepada kerabat dan keluarganya bahwa
Abu Hafsh telah memberikan darahnya untuk penegakan Khilafah dan itu adalah
keinginan terbesar dari mereka berdua dan inilah alasan untuk membawa
keluarganya berhijrah ke Islam Negara. Atas karunia Allah, adiknya mengikuti
keteladanannya sebagaimana ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi di negara
yang memerangi Islam, kaum Muslimin, dan Khilafah.
Meskipun ia bekerja di bagian dakwah dan juga memiliki
dua istri serta anak-anak yang harus ia perhatikan, ia juga telah berpartisipasi
dalam banyak pertempuran melawan orang-orang murtad. Dia mengambil bagian dalam
pertempuran di ‘Ayn al-Islām, Tadmur, dan Mari’, hingga akhirnya ia mencapai
apa yang ia rindukan sejak lama, Syahadah. pesawat tentara salib datang memberi
bantuan kepada sahawāt di Halab -sekutu Qa’idah di Sham- dan menembak tepat di
posisi di mana ia melakukan Ribat di pinggiran Mari’. Dia pun meninggal
seketika, pada hari-hari yang paling diberkahi di setiap tahun, pada sepuluh
hari pertama di bulan Zulhijah.
Nabi shallalallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah
daripada hari-hari ini, yaitu : Sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah”. Mereka
bertanya : “Ya Rasulullah, tidak juga jihad fie sabilillah?”. Beliau menjawab :
“Tidak juga jihad fie sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan
jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan sesuatu apapun” [HR Al-Bukhari
dari Ibnu ‘Abbas]. Hadits ini adalah hadits yang ia pilih saat menceritakan saudaranya
ketika dalam perjalanan ke Mari‘, Semoga Allah menyatukan dia dan sepupunya di
surga dan mengizinkan kita untuk mengikuti mereka.
Semoga Allah menjaga keluarganya dan melindungi
anak-anaknya di bawah naungan Khilafah, sehingga mereka hanya hidup dengan
Tauhid dan mereka menjadi salah satu di antara barisan Nabi Isa ‘alaihis salam ketika
ia turun untuk memimpin tentara Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar