Syubhat Kelima:
Kita
Harus Menahan Diri Tidak Berperang Dulu Karena Kaum Muslimin Masih Lemah
Seperti Yang Terjadi Pada Fase Mekkah
Jawaban:
Apa pendapat mereka yang
mengatakan lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyari‘atkannya jihad di Mekkah?
Apakah itu merupakan ‘illah yang mempengaruhi disyari‘atkan atau tidaknya
jihad? Ataukah itu merupakan hikmah dari hukum naskh dan tadarruj
(pensyariatan setahap demi setahap)?
Agar permasalahan ini menjadi
lebih jelas, kita kembali kepada masalah disyariatkannya jihad pada periode
Mekkah dan periode Madinah, dan bahwa ayat pedang (At-Taubah: 5) telah
menghapus semua hukum disyariatkannya jihad pada ayat-ayat yang turun
sebelumnya.
Para ulama generasi salaf dan
setelahnya menetapkan bahwa fase terakhir itu menjadi penghapus fase
sebelumnya. Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata mengenai tafsir firman Alloh
ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan
biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh:
109]
“Alloh jalla tsana’uhu menghapus berlakunya pemberian
maaf dan membiarkan mereka dengan mewajibkan memerangi mereka sebagai ganti,
sampai kalimat orang-orang kafir dan kaum mukminin sama (artinya mereka masuk
Islam, penerj.), atau membayar jizyah dari tangan dalam keadaan hina.”
Kemudian ia menukil pendapat tentang hukum nasakh ini
dari Ibnu ‘Abbas, Qotadah dan Robi‘ bin Anas. [Lihat Tafsir
Thobari: (II/ 503-504)]
Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam tafsir firman Alloh
ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan
biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh:
109] juga
menukil pendapat terhapusnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata, “Abul ‘Aliyah,
Ar-Robi‘ bin Anas, Qotadah dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini terhapus
dengan ayat pedang, ini ditunjukkan juga oleh firman Alloh ta‘ala: “…sampai
Alloh datangkan urusan-Nya.” [Tafsîrul
Qur’anil ‘Adzim (I/ 154)]
Ibnu ‘Athiyyah
mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat pedang: “Ayat ini menghapus semua
pemberian maaf dalam Al-Quran atau yang senada dengannya. Disebutkan bahwa ayat-ayat
seperti ini berjumlah sekitar 114 ayat.” [Tafsir
Ibnu ‘Athiyyah: VI/ 412]
Al-Qurthubi berkata mengenai tafsir firman Alloh
ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka
sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh: 109]
“Ayat ini mansûkh dengan firman Alloh ta‘ala: Dari
Ibnu ‘Abbas, dikatakan:
قَاتِلُوا
الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ لَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ لَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْحِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَ
هُمْ صَاغِرُونَ
(At-taubah:
29)
“Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh:
“…faqtulul musyrikiina…” [At-taubah: 51] [Al-Jami‘
Li Ahkamil Qur’an: (II/ 71]
Beliau berkata juga mengenai tafsir firman Alloh
ta‘ala:
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ
عَلَيْهِمْ
“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang
kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka.” [At-Taubah:
73]
“Ayat ini menghapus semua ayat tentang pemberian maaf
dan memberi ampun.” [ibid :
(VIII/ 205)]
Ibnu Hazm berkata,
“Larangan perang dihapus menjadi wajibnya perang.” [Al-Ihkam Fi
Ushulil Ahkam (IV/ 82)]
Syaikhul Islâm
Ibnu Taimiyah berkata, “…maka perintah-Nya agar mereka berperang menghapus
perintah menahan diri…” [Al-Jawabus
Shohih liman Baddala Dinal Masih: I/ 66)]
As-Suyûthî
berkata:
“Firman Alloh ta‘ala: “…Faqtulul
Musyrikiin haitsu wajadtumuuhum…” [At-Taubah: 5], ini adalah ayat pedang yang
menghapus ayat-ayat tentang pemberian maaf, membiarkan, berpaling dan berdamai.
Jumhur menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi bangsa Turki
dan Habasyah.” [Al-Iklil fî Istinbathit Tanzil:
hal. 138]
Ia juga berkata, “Semua
pemberian maaf, berpaling, membiarkan dan menahan diri terhadap orang kafir
yang tercantum dalam Al-Qur’an telah terhapus dengan ayat pedang.” [At-Tahbir
fî ‘Ilmit Tafsir: hal. 432]
Lebih dari satu orang ulama
yang menukil adanya ijmâ‘ tentang pendapat yang menyatakan terhapusnya
ayat-ayat tadi, di antaranya:
Ibnu Jarir
berkata dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang
beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak
mengharapkan hari-hari Alloh…” [Al-Jatsiyah:
14]
“Ayat ini terhapus dengan
perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan terhapus
lantaran adanya ijmâ‘ Ahlut Takwil yang menyatakan seperti itu.” [Tafsir
Ath-Thobarî: 25/ 144, terbitan Darul Fikr, Beirut]
Al-Jashshosh
berkata mengenai firman Alloh ta‘ala:
فَإِنِ
اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا
جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلًا
“Maka jika
mereka membiarkan kalian, tidak memerangi kalian dan mengemukakan perdamaian,
maka kami tidak berikan jalan bagi kalian untuk (menawan dan membunuh mereka).”
[An-Nisa’: 90]
“Dan kami tidak mengetahui
seorang fuqoha pun yang melarang memerangi orang musyrik yang tidak memerangi kita,
yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya membiarkan mereka tidak diperangi,
bukan larangannya; sebab semuanya sepakat larangan perang terhadap orang musyrik
yang tidak memerangi kita telah terhapus.” [Ahkamul
Qur’an (II/ 222)]
As-Syaukani berkata:
“Adapun memerangi orang-orang
kafir, bertempur melawan orang-orang kafir dan mengajak mereka kepada Islam
atau mereka membayar jizyah, atau diperangi, semua itu merupakan ajaran agama
yang sudah sangat jelas. Adapun dalil-dalil yang berisi perintah membiarkan dan
meninggalkan mereka jika mereka tidak memerangi, maka itu sudah mansukh
(dihapus) menurut kesepakatan kaum Muslimin, dengan ayat yang mewajibkan untuk memerangi
mereka dalam kondisi apapun jika memiliki kemampuan untuk memerangi mereka dan
menyerbu ke negeri-negeri mereka.” [As-Sailul
Jaror (IV/ 518-519)]
Shiddîq Hasan
Khon juga menukil ijmâ‘ dengan lafadz yang sama dengan Asy-Syaukani, namun ia
tidak menisbatkan perkatan itu kepadanya. [Lihat Ar-Roudhoh
An-Naddiyyah (II/ 333)]
Jadi, yang benar, belum
disyariatkannya jihad di fase Mekkah adalah karena adanya hikmah penghapusan
hukum (nask), bukan merupakan ‘illah. Sebab ‘illah disyariatkannya jihad adalah
meninggikan kalimat Alloh. Nash-nash syar‘i menunjukkan bahwa ‘illah memerangi
orang-orang kafir adalah karena kekufuran orang kafir, sebagaimana firman Alloh
ta‘ala:
فَإِذَا نْسَلَخَ
الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ
“Jika telah habis bulan-bulan
haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka.”
[At-Taubah:
5]
Alloh
ta‘ala juga berfirman:
وَ قَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَ يَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنْ
انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيْرٌ
“Dan perangilah mereka sampai
tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti,
maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
[Al-Anfal:
39]
Alloh
ta‘ala juga berfirman:
قَاتِلُوا
الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ لَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ لَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ لَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ
مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عِنْ يَدٍ وَهُمْ
صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang
tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang
Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama
Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar
jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
[At-Taubah:
29]
Nash-nash ini –dan yang
semisal— menjelaskan bahwa ORANG-ORANG KAFIR DIPERANGI KARENA
KEKAFIRAN MEREKA.
Ayat dan hadits-hadits yang ada menyatakan munculnya hukum perang disebabkan
mereka KAFIR.
Al-Qurofî Rahimahulloh
berkata, “Dzohir dari nash-nash yang ada menunjukkan bahwa munculnya hukum
perang disebabkan ada kekafiran dan kesyirikan, dan munculnya suatu hukum
lantaran suatu sifat itu menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi ‘illah,
sementara selain sifat itu bukan ‘illah.” [Adz-Dzakhiroh
(III/ 387)]
Jadi, ‘illah yang menjadikan
wajib tidaknya jihad bukan kuat atau lemahnya kaum muslimin sehingga dikatakan
secara mutlak bahwasanya menahan diri dan membiarkan itu wajib ketika dalam
kondisi lemah. Tetapi ‘illahnya tak lain karena adanya kekufuran serta agama
yang bukan seluruhnya milik Alloh. Sehingga, perang menjadi wajib sampai
tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya menjadi milik Alloh.
Perkataan bahwa lemahnya kaum
muslimin menjadi sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah tidak lain adalah sebuah
ijtihad, bukan nash hadits Nabi. Oleh karena itu, bisa saja menambahkan hikmah
dan sebab-sebab lain dari ijtihad seperti ini sesuai yang Alloh bukakan kepada
para hamba-Nya.
Ibnu Katsir telah
mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin bukan merupakan satu-satunya sebab
jihad tidak disyariatkan di Mekkah, ia berkata:
“Orang-orang
beriman di awal-awal Islam di Mekkah diperintahkan untuk sholat dan zakat yang
belum mencapai nishob. Mereka juga diperintah menyantuni orang fakir dari
mereka. Mereka juga diperintahkan membiarkan dan memaafkan orang-orang musyrik,
serta bersabar hingga tiba saatnya nanti. Padahal, mereka juga menahan amarah
dan ingin sekali berperang agar bisa melampiaskan perasaannya terhadap musuh.
Kondisi saat
itu belum tepat lantaran banyak sebab. Di antaranya adalah masih sedikitnya jumlah
orang beriman dibandingkan jumlah musuh.
Sebab lainnya karena mereka
berada di negeri mereka sendiri, yaitu Tanah Harom yang merupakan petak tanah termulia,
sehingga saat itu belum ada perintah perang dulu sebagaimana dikatakan.
Oleh sebab
itu, jihad belum diperintahkan kecuali setelah di Madinah, ketika mereka sudah
memiliki basis kekuatan dan para pembela.” [Tafsirul
Qur’anil ‘Azhim: I/ 526]
Ia juga
mengisyaratkan sebab lain ketika menafsirkan firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah
kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang
yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…” [Al-Jatsiyah:
14]
Ia berkata,
“Artinya, hendaknya orang-orang beriman memaafkan dan bersabar menahan gangguan
mereka. Ini berlaku di awal-awal Islam, mereka diperintahkan bersabar menghadapi
gangguan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab agar membuat mereka lunak. Tatkala
mereka ternyata terus menerus menentang, Alloh mensyariatkan sikap tegas dan jihad.
Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA dan Qotadah.” [Ibid.
(IV/ 150)]
Ia berkata
lagi, “Jihad disyariatkan di saat yang paling tepat. Sebab ketika orang-orang
Beriman masih di Mekkah, kaum musyrikin lebih banyak jumlahnya. Kalau Alloh perintahkan
Kaum Muslimin memerangi kaum musyrikin yang ada padahal jumlah mereka tidak
sampai sepersepuluh, tentu itu berat bagi mereka. Maka tatkala kedudukan mereka
di Madinah kokoh dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada
mereka dan merekapun berkumpul membela dan menolong beliau, mereka sudah punya negeri
Islam dan tempat berlindung, Alloh pun mensyariatkan jihad melawan musuh.” [Ibid.
(III/ 226)]
Ustadz Sayyid Quthb
Rahimahullah memiliki pernyataan tentang masalah ini, beliau menambahkan bahwa
dalam lemahnya Kaum Muslimin ada enam hikmah lain, secara ringkas beliau
mengatakan:
“Bisa jadi fase Mekkah adalah
fase tarbiyah dan I‘dad. Di antara tujuan tarbiyah adalah mendidik jiwa
masyarakat Arab untuk bersabar menghadapi perkara yang biasanya mereka tidak
sabar, seperti ketika mereka mendapat perlakuan zalim atau kezaliman itu
menimpa orang yang mereka jadikan tempat perlindungan. Hal ini supaya kepribadian
mereka terbebas darinya dan agar tidak kembali mengulangi tabiat seperti itu,
demikian juga orang yang mereka pandang sebagai tumpuan hidup. Mungkin juga,
karena dakwah secara damai lebih berbekas dan lebih bisa diterima pada
lingkungan seperti Quraisy yang biasa bersikap arogan dan merasa mulia, dan
mungkin saja kalau perang digunakan pada fase seperti ini hanya akan menambah
penentangan.
Di antara hikmah lain, bisa
jadi untuk menghindari munculnya peperangan dan pembunuhan di setiap rumah.
Sebab saat itu belum ada sistem kekuasaan berupa undang-undang umum yang
mengatur penyiksaan yang menimpa orang-orang beriman, tapi hanya diserahkan
kepada pemimpin masing-masing, mereka berhak menyiksa dan mendidiknya.
Barangkali juga, karena Alloh
tahu bahwa kebanyakan orang-orang yang menentang dan menyiksa Kaum Muslimin
generasi pertama itu kelak bakal menjadi tentara Alloh yang ikhlas.
Barangkali juga, sifat
kesatria Bangsa Arab biasanya ingin membalaskan dendam orang terzalimi yang menerima
siksaan namun tidak bisa membalas, terlebih jika siksaan itu menimpa orang
terpandang di kalangan mereka. Ibnud Daghonah misalnya, ia tidak rela membiarkan
Abu Bakar hijrah dan keluar dari Mekkah, ia menganggap itu aib bagi bangsa
Arab, maka ia mendampingi dan melindunginya.
Barangkali juga karena
sedikit dan terbatasnya jumlah kaum Muslimin di Mekkah ketika itu. Maka dalam kondisi
seperti ini, peperangan yang dipaksakan akan berujung kepada terbunuhnya
kelompok muslim dan eksisnya kesyirikan.
Di saat yang sama, ketika itu
belum ada tuntutan mendesak untuk mengabaikan semua pertimbangan ini. Sebab
perkara yang pokok dalam dakwah ini berjalan dengan tepat dan terlaksana pada
waktunya, dakwah tetap bisa dilaksanakan oleh Sang Dai, yaitu Nabi Shollallohu
‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sendiri dilindungi pedang-pedang Bani
Hasyim, sehinga tidak ada tangan yang berani coba-coba mengusiknya kecuali terancam
akan tertebas.” [Lihat Adz-Dzilal: (II/ 714-715)]
Sebelum ini, ustadz Sayyid
Quthb sudah memberikan pengantar yang menyebutkan bahwa apa yang akan beliau ucapkan
dalam masalah ini tak lain adalah ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Dan bisa
saja di balik semua itu ada hikmah-hikmah lain yang tidak diketahui selain
Alloh, sikap seorang mukmin di hadapan tugas syariat dan hukum apapun yang sebabnya
tidak Alloh terangkan secara rinci, pasti dan jelas, maka:
“…meskipun terlintas sebab
dan ‘illah-‘illah dari hukum atau tugas syariat tertentu, ia harus menganggap
semua yang terlintas itu sebatas kemungkinan saja. Janganlah ia memastikan
–walau se-tsiqoh apapun ilmu ilmu dan perenungannya terhadap hukum-hukum
Alloh—bahwa pendapatnya itulah hikmah yang dikehendaki Alloh secara nash, di
balik itu tidak ada yang lain. Sikap tidak memastikan seperti ini termasuk adab
yang wajib terhadap Alloh…” [Ibid. (II/
713-714)]
Jadi, ini adalah masalah
ijtihad. Tidak mungkin bisa dipastikan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah
satusatunya sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah. Artinya, di sana ada
banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk menemukan sebab-sebab mengapa perang
dilarang di fase Mekkah. Lantas, mengapa kelemahan dianggap sebagai
satu-satunya ‘illah yang menjadi poros ada tidaknya perintah menahan diri dan
membiarkan? Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak
disyariatkannya jihad di fase Mekkah, sebenarnya adalah pembahasan mengenai
hikmah dari pensyariatan secara bertahap (tadarruj), bukan mengenai ‘illah
hukum.
Seperti perkataan Aisyah Radhiallahu
‘anha ketika menerangkan sebab ditundanya hukum-hukum diturunkan, di antaranya tadarruj
dalam pengharaman khomer. Kita tahu bahwa tadinya khomer tidak haram,
selanjutnya diharamkan ketika sholat saja dan terakhir diharamkan secara total.
Hukum terakhir inilah yang menghapus semua hukum sebelumnya. Tidak diragukan
lagi bahwa belum diharamkannya khomer pada awal mula Islam memiliki sebab-sebab,
seperti dijelaskan pada perkataan Aisyah Radhiallahu ‘anha:
“Sesungguhnya yang pertama
kali diturunkan adalah surat Mufashshol yang di dalamnya disebutkan tentang
surga dan neraka. Hingga ketika manusia mau kembali kepada Islam, turunlah
masalah halal haram. Seandainya pertama-tama langsung turun; ‘Kalian jangan
minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan
khomer selamanya.’ Jika langsung diturunkan, ‘Kalian jangan berzina.’ Tentu
mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya…” [Diriwayatkan
Bukhori (4993)]
Di sini, Aisyah Radhiallahu
‘anha menjelaskan bahwa sebab penundaan diturunkannya berbagai hukum –seperti
diharamkannya khomer— adalah disebabkan manusia pada awal-awal kedatangan Islam
belum siap menerimanya. Ini juga salah satu hikmah ilahiy dengan menunda
turunnya hukum sampai jiwa mereka tenang dengan tauhid serta memahami surga dan
neraka.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata,
“Maka tatkala jiwa sudah
tenang atas hal itu, barulah turun ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, Aisyah Radhiallahu
‘anha berkata, ‘Seandainya pertama kali langsung turun; ‘Kalian jangan minum
khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer.’
Hal itu disebabkan watak jiwa yang akan
menolak meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.” [Fathul
Bari (IX/ 40)]
Tetapi perlu dicatat, sebab
yang disebutkan Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai ditundanya penurunan ayat-ayat hukum
bukan berarti jika sebab itu kembali ada, hukum dari sebab itu akan sama dengan
hukum yang berlaku pertama kali. Misalnya, jika hari ini ada orang Barat masuk
Islam dan tadinya ia biasa minum khomer atau memiliki kebiasaan seperti
kebiasaan orang Arab dahulu, atau lebih parah, maka tidak boleh kita terapkan
syariat pengharaman khomer secara bertahap terhadapnya. Namun sejak hari
pertama masuk Islam, ia diwajibkan mengamalkan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi
wa Sallam yang paling akhir (pengharaman khomer secara total) meskipun dalam
dirinya terdapat sebab yang sama dengan sebab diharamkannya khomer secara
bertahap.
Jadi, ‘Aisyah tidak berbicara
mengenai ‘illah diharamkannya khomer, zina atau hukum lainnya. Bahkan tidak
berbicara tentang hikmah pensyariatan hukum tersebut. Beliau hanya berbicara
mengenai hikmah mengapa turunnya hukum-hukum tersebut ditunda.
Demikian juga, dalam urusan
jihad sah-sah saja mengatakan: Sesungguhnya lemahnya kaum muslimin di fase Mekkah
adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad di masa itu. Akan tetapi, itu bukan
merupakan ‘illah yang menjadi poros wajib tidaknya jihad.
Sesungguhnya perkataan bahwa
dalam kondisi lemah hukum kembali kepada hukum yang berlaku ketika fase Mekkah
sama dengan meninggalkan I‘dad (persiapan) untuk perang. Sebab ketika itu kaum
Muslimin tidak diperintahkan melakukan I‘dad. Perintah I‘dad baru turun ketika
di Madinah, setelah disyariatkannya perang. Perkataan ini jelas tidak benar.
Karena sudah jelas, di saat jihad tidak bisa dilakukan lantaran kondisi lemah
maka harus dilakukan I‘dad, sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[Lihat Majmu‘ Fatawa (28/ 259)]
Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil
Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar