8/25/2019

BANTAHAN SYUBHAT MASALAH JIHAD (5) - Ibnu Qudamah An Najdi


Syubhat Kelima:
Kita Harus Menahan Diri Tidak Berperang Dulu Karena Kaum Muslimin Masih Lemah Seperti Yang Terjadi Pada Fase Mekkah

Jawaban:
Apa pendapat mereka yang mengatakan lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyari‘atkannya jihad di Mekkah? Apakah itu merupakan ‘illah yang mempengaruhi disyari‘atkan atau tidaknya jihad? Ataukah itu merupakan hikmah dari hukum naskh dan tadarruj (pensyariatan setahap demi setahap)?

Agar permasalahan ini menjadi lebih jelas, kita kembali kepada masalah disyariatkannya jihad pada periode Mekkah dan periode Madinah, dan bahwa ayat pedang (At-Taubah: 5) telah menghapus semua hukum disyariatkannya jihad pada ayat-ayat yang turun sebelumnya.

Para ulama generasi salaf dan setelahnya menetapkan bahwa fase terakhir itu menjadi penghapus fase sebelumnya. Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala:

“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh: 109]

“Alloh jalla tsana’uhu menghapus berlakunya pemberian maaf dan membiarkan mereka dengan mewajibkan memerangi mereka sebagai ganti, sampai kalimat orang-orang kafir dan kaum mukminin sama (artinya mereka masuk Islam, penerj.), atau membayar jizyah dari tangan dalam keadaan hina.”

Kemudian ia menukil pendapat tentang hukum nasakh ini dari Ibnu ‘Abbas, Qotadah dan Robi‘ bin Anas. [Lihat Tafsir Thobari: (II/ 503-504)]

Al-Hafiz Ibnu Katsir di dalam tafsir firman Alloh ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh: 109] juga menukil pendapat terhapusnya ayat ini dari Ibnu ‘Abbas. Ia berkata, “Abul ‘Aliyah, Ar-Robi‘ bin Anas, Qotadah dan As-Suddi mengatakan bahwa ayat ini terhapus dengan ayat pedang, ini ditunjukkan juga oleh firman Alloh ta‘ala: “…sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Tafsîrul Qur’anil ‘Adzim (I/ 154)]

Ibnu ‘Athiyyah mengatakan dalam tafsirnya mengenai ayat pedang: “Ayat ini menghapus semua pemberian maaf dalam Al-Quran atau yang senada dengannya. Disebutkan bahwa ayat-ayat seperti ini berjumlah sekitar 114 ayat.” [Tafsir Ibnu ‘Athiyyah: VI/ 412]

Al-Qurthubi berkata mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala:
“Maka berilah maaf dan biarkanlah mereka sampai Alloh datangkan urusan-Nya.” [Al-Baqoroh: 109]

“Ayat ini mansûkh dengan firman Alloh ta‘ala: Dari Ibnu ‘Abbas, dikatakan:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ لَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ لَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْحِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَ هُمْ صَاغِرُونَ

(At-taubah: 29)

“Yang menghapus ayat ini adalah firman Alloh: “…faqtulul musyrikiina…” [At-taubah: 51] [Al-Jami‘ Li Ahkamil Qur’an: (II/ 71]

Beliau berkata juga mengenai tafsir firman Alloh ta‘ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَ الْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ

“Hai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka.” [At-Taubah: 73]

“Ayat ini menghapus semua ayat tentang pemberian maaf dan memberi ampun.” [ibid : (VIII/ 205)]

Ibnu Hazm berkata, “Larangan perang dihapus menjadi wajibnya perang.” [Al-Ihkam Fi Ushulil Ahkam (IV/ 82)]

Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah berkata, “…maka perintah-Nya agar mereka berperang menghapus perintah menahan diri…” [Al-Jawabus Shohih liman Baddala Dinal Masih: I/ 66)]

As-Suyûthî berkata:
“Firman Alloh ta‘ala: “…Faqtulul Musyrikiin haitsu wajadtumuuhum…” [At-Taubah: 5], ini adalah ayat pedang yang menghapus ayat-ayat tentang pemberian maaf, membiarkan, berpaling dan berdamai. Jumhur menjadikan keumuman ayat ini sebagai dalil untuk memerangi bangsa Turki dan Habasyah.” [Al-Iklil fî Istinbathit Tanzil: hal. 138]

Ia juga berkata, “Semua pemberian maaf, berpaling, membiarkan dan menahan diri terhadap orang kafir yang tercantum dalam Al-Qur’an telah terhapus dengan ayat pedang.” [At-Tahbir fî ‘Ilmit Tafsir: hal. 432]

Lebih dari satu orang ulama yang menukil adanya ijmâ‘ tentang pendapat yang menyatakan terhapusnya ayat-ayat tadi, di antaranya:

Ibnu Jarir berkata dalam tafsir firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…” [Al-Jatsiyah: 14]

“Ayat ini terhapus dengan perintah Alloh untuk memerangi orang-orang musyrik. Kami katakan terhapus lantaran adanya ijmâ‘ Ahlut Takwil yang menyatakan seperti itu.” [Tafsir Ath-Thobarî: 25/ 144, terbitan Darul Fikr, Beirut]

Al-Jashshosh berkata mengenai firman Alloh ta‘ala:

فَإِنِ اعْتَزَلُوكُمْ فَلَمْ يُقَاتِلُوكُمْ وَأَلْقَوْا إِلَيْكُمُ السَّلَمَ فَمَا جَعَلَ اللهُ لَكُمْ عَلَيْهِمْ سَبِيْلًا

“Maka jika mereka membiarkan kalian, tidak memerangi kalian dan mengemukakan perdamaian, maka kami tidak berikan jalan bagi kalian untuk (menawan dan membunuh mereka).” [An-Nisa’: 90]

“Dan kami tidak mengetahui seorang fuqoha pun yang melarang memerangi orang musyrik yang tidak memerangi kita, yang diperselisihkan adalah boleh tidaknya membiarkan mereka tidak diperangi, bukan larangannya; sebab semuanya sepakat larangan perang terhadap orang musyrik yang tidak memerangi kita telah terhapus.” [Ahkamul Qur’an (II/ 222)]

As-Syaukani berkata:
“Adapun memerangi orang-orang kafir, bertempur melawan orang-orang kafir dan mengajak mereka kepada Islam atau mereka membayar jizyah, atau diperangi, semua itu merupakan ajaran agama yang sudah sangat jelas. Adapun dalil-dalil yang berisi perintah membiarkan dan meninggalkan mereka jika mereka tidak memerangi, maka itu sudah mansukh (dihapus) menurut kesepakatan kaum Muslimin, dengan ayat yang mewajibkan untuk memerangi mereka dalam kondisi apapun jika memiliki kemampuan untuk memerangi mereka dan menyerbu ke negeri-negeri mereka.” [As-Sailul Jaror (IV/ 518-519)]

Shiddîq Hasan Khon juga menukil ijmâ‘ dengan lafadz yang sama dengan Asy-Syaukani, namun ia tidak menisbatkan perkatan itu kepadanya. [Lihat Ar-Roudhoh An-Naddiyyah (II/ 333)]

Jadi, yang benar, belum disyariatkannya jihad di fase Mekkah adalah karena adanya hikmah penghapusan hukum (nask), bukan merupakan ‘illah. Sebab ‘illah disyariatkannya jihad adalah meninggikan kalimat Alloh. Nash-nash syar‘i menunjukkan bahwa ‘illah memerangi orang-orang kafir adalah karena kekufuran orang kafir, sebagaimana firman Alloh ta‘ala:

فَإِذَا نْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ

“Jika telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka.”
[At-Taubah: 5]

Alloh ta‘ala juga berfirman:

وَ قَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَ يَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنْ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيْرٌ

“Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan agama itu seluruhnya menjadi milik Alloh. Jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Alloh Mahamelihat apa yang mereka kerjakan.”
[Al-Anfal: 39]

Alloh ta‘ala juga berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ لَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَ لَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ لَا يَدِيْنُونَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عِنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.”
[At-Taubah: 29]

Nash-nash ini –dan yang semisal— menjelaskan bahwa ORANG-ORANG KAFIR DIPERANGI KARENA KEKAFIRAN MEREKA. Ayat dan hadits-hadits yang ada menyatakan munculnya hukum perang disebabkan mereka KAFIR.

Al-Qurofî Rahimahulloh berkata, “Dzohir dari nash-nash yang ada menunjukkan bahwa munculnya hukum perang disebabkan ada kekafiran dan kesyirikan, dan munculnya suatu hukum lantaran suatu sifat itu menunjukkan bahwa sifat itulah yang menjadi ‘illah, sementara selain sifat itu bukan ‘illah.” [Adz-Dzakhiroh (III/ 387)]

Jadi, ‘illah yang menjadikan wajib tidaknya jihad bukan kuat atau lemahnya kaum muslimin sehingga dikatakan secara mutlak bahwasanya menahan diri dan membiarkan itu wajib ketika dalam kondisi lemah. Tetapi ‘illahnya tak lain karena adanya kekufuran serta agama yang bukan seluruhnya milik Alloh. Sehingga, perang menjadi wajib sampai tidak ada fitnah dan sampai agama semuanya menjadi milik Alloh.

Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin menjadi sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah tidak lain adalah sebuah ijtihad, bukan nash hadits Nabi. Oleh karena itu, bisa saja menambahkan hikmah dan sebab-sebab lain dari ijtihad seperti ini sesuai yang Alloh bukakan kepada para hamba-Nya.

Ibnu Katsir telah mengisyaratkan bahwa lemahnya kaum muslimin bukan merupakan satu-satunya sebab jihad tidak disyariatkan di Mekkah, ia berkata:

“Orang-orang beriman di awal-awal Islam di Mekkah diperintahkan untuk sholat dan zakat yang belum mencapai nishob. Mereka juga diperintah menyantuni orang fakir dari mereka. Mereka juga diperintahkan membiarkan dan memaafkan orang-orang musyrik, serta bersabar hingga tiba saatnya nanti. Padahal, mereka juga menahan amarah dan ingin sekali berperang agar bisa melampiaskan perasaannya terhadap musuh.

Kondisi saat itu belum tepat lantaran banyak sebab. Di antaranya adalah masih sedikitnya jumlah orang beriman dibandingkan jumlah musuh.
Sebab lainnya karena mereka berada di negeri mereka sendiri, yaitu Tanah Harom yang merupakan petak tanah termulia, sehingga saat itu belum ada perintah perang dulu sebagaimana dikatakan.

Oleh sebab itu, jihad belum diperintahkan kecuali setelah di Madinah, ketika mereka sudah memiliki basis kekuatan dan para pembela.” [Tafsirul Qur’anil ‘Azhim: I/ 526]

Ia juga mengisyaratkan sebab lain ketika menafsirkan firman Alloh ta‘ala: “Katakanlah kepada orang-orang beriman, hendaknya mereka memberi ampun kepada orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Alloh…” [Al-Jatsiyah: 14]

Ia berkata, “Artinya, hendaknya orang-orang beriman memaafkan dan bersabar menahan gangguan mereka. Ini berlaku di awal-awal Islam, mereka diperintahkan bersabar menghadapi gangguan orang-orang musyrik dan Ahli Kitab agar membuat mereka lunak. Tatkala mereka ternyata terus menerus menentang, Alloh mensyariatkan sikap tegas dan jihad. Demikianlah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA dan Qotadah.” [Ibid. (IV/ 150)]

Ia berkata lagi, “Jihad disyariatkan di saat yang paling tepat. Sebab ketika orang-orang Beriman masih di Mekkah, kaum musyrikin lebih banyak jumlahnya. Kalau Alloh perintahkan Kaum Muslimin memerangi kaum musyrikin yang ada padahal jumlah mereka tidak sampai sepersepuluh, tentu itu berat bagi mereka. Maka tatkala kedudukan mereka di Madinah kokoh dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada mereka dan merekapun berkumpul membela dan menolong beliau, mereka sudah punya negeri Islam dan tempat berlindung, Alloh pun mensyariatkan jihad melawan musuh.” [Ibid. (III/ 226)]

Ustadz Sayyid Quthb Rahimahullah memiliki pernyataan tentang masalah ini, beliau menambahkan bahwa dalam lemahnya Kaum Muslimin ada enam hikmah lain, secara ringkas beliau mengatakan:

“Bisa jadi fase Mekkah adalah fase tarbiyah dan I‘dad. Di antara tujuan tarbiyah adalah mendidik jiwa masyarakat Arab untuk bersabar menghadapi perkara yang biasanya mereka tidak sabar, seperti ketika mereka mendapat perlakuan zalim atau kezaliman itu menimpa orang yang mereka jadikan tempat perlindungan. Hal ini supaya kepribadian mereka terbebas darinya dan agar tidak kembali mengulangi tabiat seperti itu, demikian juga orang yang mereka pandang sebagai tumpuan hidup. Mungkin juga, karena dakwah secara damai lebih berbekas dan lebih bisa diterima pada lingkungan seperti Quraisy yang biasa bersikap arogan dan merasa mulia, dan mungkin saja kalau perang digunakan pada fase seperti ini hanya akan menambah penentangan.

Di antara hikmah lain, bisa jadi untuk menghindari munculnya peperangan dan pembunuhan di setiap rumah. Sebab saat itu belum ada sistem kekuasaan berupa undang-undang umum yang mengatur penyiksaan yang menimpa orang-orang beriman, tapi hanya diserahkan kepada pemimpin masing-masing, mereka berhak menyiksa dan mendidiknya.

Barangkali juga, karena Alloh tahu bahwa kebanyakan orang-orang yang menentang dan menyiksa Kaum Muslimin generasi pertama itu kelak bakal menjadi tentara Alloh yang ikhlas.

Barangkali juga, sifat kesatria Bangsa Arab biasanya ingin membalaskan dendam orang terzalimi yang menerima siksaan namun tidak bisa membalas, terlebih jika siksaan itu menimpa orang terpandang di kalangan mereka. Ibnud Daghonah misalnya, ia tidak rela membiarkan Abu Bakar hijrah dan keluar dari Mekkah, ia menganggap itu aib bagi bangsa Arab, maka ia mendampingi dan melindunginya.

Barangkali juga karena sedikit dan terbatasnya jumlah kaum Muslimin di Mekkah ketika itu. Maka dalam kondisi seperti ini, peperangan yang dipaksakan akan berujung kepada terbunuhnya kelompok muslim dan eksisnya kesyirikan.

Di saat yang sama, ketika itu belum ada tuntutan mendesak untuk mengabaikan semua pertimbangan ini. Sebab perkara yang pokok dalam dakwah ini berjalan dengan tepat dan terlaksana pada waktunya, dakwah tetap bisa dilaksanakan oleh Sang Dai, yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau sendiri dilindungi pedang-pedang Bani Hasyim, sehinga tidak ada tangan yang berani coba-coba mengusiknya kecuali terancam akan tertebas.” [Lihat Adz-Dzilal: (II/ 714-715)]

Sebelum ini, ustadz Sayyid Quthb sudah memberikan pengantar yang menyebutkan bahwa apa yang akan beliau ucapkan dalam masalah ini tak lain adalah ijtihad, bisa salah dan bisa benar. Dan bisa saja di balik semua itu ada hikmah-hikmah lain yang tidak diketahui selain Alloh, sikap seorang mukmin di hadapan tugas syariat dan hukum apapun yang sebabnya tidak Alloh terangkan secara rinci, pasti dan jelas, maka:

“…meskipun terlintas sebab dan ‘illah-‘illah dari hukum atau tugas syariat tertentu, ia harus menganggap semua yang terlintas itu sebatas kemungkinan saja. Janganlah ia memastikan –walau se-tsiqoh apapun ilmu ilmu dan perenungannya terhadap hukum-hukum Alloh—bahwa pendapatnya itulah hikmah yang dikehendaki Alloh secara nash, di balik itu tidak ada yang lain. Sikap tidak memastikan seperti ini termasuk adab yang wajib terhadap Alloh…” [Ibid. (II/ 713-714)]

Jadi, ini adalah masalah ijtihad. Tidak mungkin bisa dipastikan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah satusatunya sebab tidak disyariatkannya jihad di Mekkah. Artinya, di sana ada banyak hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk menemukan sebab-sebab mengapa perang dilarang di fase Mekkah. Lantas, mengapa kelemahan dianggap sebagai satu-satunya ‘illah yang menjadi poros ada tidaknya perintah menahan diri dan membiarkan? Perkataan bahwa lemahnya kaum muslimin adalah sebab tidak disyariatkannya jihad di fase Mekkah, sebenarnya adalah pembahasan mengenai hikmah dari pensyariatan secara bertahap (tadarruj), bukan mengenai ‘illah hukum.

Seperti perkataan Aisyah Radhiallahu ‘anha ketika menerangkan sebab ditundanya hukum-hukum diturunkan, di antaranya tadarruj dalam pengharaman khomer. Kita tahu bahwa tadinya khomer tidak haram, selanjutnya diharamkan ketika sholat saja dan terakhir diharamkan secara total. Hukum terakhir inilah yang menghapus semua hukum sebelumnya. Tidak diragukan lagi bahwa belum diharamkannya khomer pada awal mula Islam memiliki sebab-sebab, seperti dijelaskan pada perkataan Aisyah Radhiallahu ‘anha:
“Sesungguhnya yang pertama kali diturunkan adalah surat Mufashshol yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Hingga ketika manusia mau kembali kepada Islam, turunlah masalah halal haram. Seandainya pertama-tama langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer selamanya.’ Jika langsung diturunkan, ‘Kalian jangan berzina.’ Tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya…” [Diriwayatkan Bukhori (4993)]

Di sini, Aisyah Radhiallahu ‘anha menjelaskan bahwa sebab penundaan diturunkannya berbagai hukum –seperti diharamkannya khomer— adalah disebabkan manusia pada awal-awal kedatangan Islam belum siap menerimanya. Ini juga salah satu hikmah ilahiy dengan menunda turunnya hukum sampai jiwa mereka tenang dengan tauhid serta memahami surga dan neraka.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,
“Maka tatkala jiwa sudah tenang atas hal itu, barulah turun ayat-ayat hukum. Oleh karena itu, Aisyah Radhiallahu ‘anha berkata, ‘Seandainya pertama kali langsung turun; ‘Kalian jangan minum khomer’ tentu mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomer.’ Hal itu  disebabkan watak jiwa yang akan menolak meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan.” [Fathul Bari (IX/ 40)]
                    
Tetapi perlu dicatat, sebab yang disebutkan Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai ditundanya penurunan ayat-ayat hukum bukan berarti jika sebab itu kembali ada, hukum dari sebab itu akan sama dengan hukum yang berlaku pertama kali. Misalnya, jika hari ini ada orang Barat masuk Islam dan tadinya ia biasa minum khomer atau memiliki kebiasaan seperti kebiasaan orang Arab dahulu, atau lebih parah, maka tidak boleh kita terapkan syariat pengharaman khomer secara bertahap terhadapnya. Namun sejak hari pertama masuk Islam, ia diwajibkan mengamalkan perintah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yang paling akhir (pengharaman khomer secara total) meskipun dalam dirinya terdapat sebab yang sama dengan sebab diharamkannya khomer secara bertahap.

Jadi, ‘Aisyah tidak berbicara mengenai ‘illah diharamkannya khomer, zina atau hukum lainnya. Bahkan tidak berbicara tentang hikmah pensyariatan hukum tersebut. Beliau hanya berbicara mengenai hikmah mengapa turunnya hukum-hukum tersebut ditunda.

Demikian juga, dalam urusan jihad sah-sah saja mengatakan: Sesungguhnya lemahnya kaum muslimin di fase Mekkah adalah hikmah tidak disyariatkannya jihad di masa itu. Akan tetapi, itu bukan merupakan ‘illah yang menjadi poros wajib tidaknya jihad.

Sesungguhnya perkataan bahwa dalam kondisi lemah hukum kembali kepada hukum yang berlaku ketika fase Mekkah sama dengan meninggalkan I‘dad (persiapan) untuk perang. Sebab ketika itu kaum Muslimin tidak diperintahkan melakukan I‘dad. Perintah I‘dad baru turun ketika di Madinah, setelah disyariatkannya perang. Perkataan ini jelas tidak benar. Karena sudah jelas, di saat jihad tidak bisa dilakukan lantaran kondisi lemah maka harus dilakukan I‘dad, sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [Lihat Majmu‘ Fatawa (28/ 259)]


Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...