8/24/2019

JENIS-JENIS JIHAD - Ibnu Qudamah An Najdi


JENIS JIHAD, SYARAT-SYARATNYA
DAN PERSIAPAN (I’DAD)
KE ARAH SANA
 Oleh : Ibnu Qudamah An Najdi

Jihad ada dua macam:
Jihad Tholab (Ofensive) dan jihad Difa‘ (Defensive)

Jihad tholab, yaitu Mencari dan memerangi musuh di negerinya.

Sedangkan Jihad difa‘ yaitu Memerangi musuh yang menyerang kaum mukminin terlebih dahulu.

[Lihat Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah milik Ibnu Taimiyah, tahqîq Al-Faqi, cetakan Dârul Makrifah hal. 309]

Dalil-dalil Jihad Tholab:

Firman Alloh Ta‘ala:

فَإِذا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُدُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ وَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“…Maka bunuhlah orang-orang musyrik di mana saja kalian temui mereka, tawanlah mereka, kepunglah mereka dan intailah mereka dari tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, maka lepaskanlah mereka. Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [At-Taubah: 5]

Alloh Ta‘ala juga berfirman:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْأَخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُوْنَ

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang Alloh dan rosul-Nya haramkan dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Alloh; Islam), yaitu orang-orang yang diberi kitab sampai mereka membayar jizyah dengan tangan sementara mereka dalam keadaan tunduk.” [At-Taubah: 29]

Di sini, Alloh yang Mahabenar memerintahkan memerangi, mengintai dan mengepung mereka. Ayat-ayat ini termasuk ayat-ayat muhkam yang turun di akhir-akhir dan tidak termanshukh.

Di atas fase inilah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan, demikian juga dengan para shahabat yang menyertai beliau dan orang-orang sepeninggalnya, sampai Alloh ta‘ala taklukkan belahan bumi bagian timur dan barat bagi mereka.

Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّيْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالَى

“Aku diperintahkan agar memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang haq) selain Alloh dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat dan menunaikan zakat. Jika mereka melaksanakannya, terlindungilah darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka kepada Alloh ta‘ala.” [Muttafaq Alaih dari Ibnu Umar]

Dalam hadits Buroidah riwayat Muslim disebutkan: Bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila mengangkat seorang komandan pasukan atau sariyah, beliau memberi wasiat khusus kepadanya agar bertakwa kepada Alloh, dan mewasiatkan kebaikan kepada kaum muslimin yang menyertainya. Kemudian beliau bersabda, “Berperanglah dengan nama Alloh, perangilah siapa saja yang kafir kepada Alloh, berperanglah dan jangan melakukan ghulul, jangan mengkhianati janji, jangan mencincang dan jangan membunuh orang tua. Dan jika kamu berjumpa dengan orang kafir, ajaklah mereka kepada tiga hal:…dst.” (Al-Hadits)

Ini adalah nash-nash yang jelas dan gamblang mengenai keberangkatan dalam memerangi musuh dan merencanakan penyerbuan ke negeri mereka. Inilah yang disebut jihad tholabi.


Adapun Jihad Difa‘i, dalilnya adalah:

Firman Alloh ta‘ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ

“Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan musuh dalam keadaan perang maka janganlah kalian lari ke belakang.”
[Al-Anfal: 15]

Dan firman Alloh ta‘ala:

وَقَاتِلُوا فِيْ سبِيْلِ اللهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُونَكُمْ

“Dan berperanglah di jalan Alloh melawan orang yang memerangi kalian.”
[Al-Baqoroh: 190]

Dan firman Alloh ta‘ala:

فَمَنْ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

“Maka barangsiapa memusuhi kalian, lawanlah dengan permusuhan yang sama seperti ia memusuhi kalian.”
[Al-Baqoroh: 194]

Perang di sini adalah melawan serangan musuh yang menyerang terlebih dahulu.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Adapun Jihad Defensif, adalah perlawanan terbesar terhadap serangan ke arah kehormatan dan agama, hukumnya adalah wajib berdasarkan ijmak. Ketika kaum agresor datang untuk merusak agama dan dunia, maka tidak ada yang lebih wajib setelah iman selain melawannya. Tidak lagi disyaratkan satu syaratpun di sana, namun melawan semampunya.” [Al-Ikhtiyarot Al-Fiqhiyyah milik Ibnu Taimiyyah hal. 309]

Dari keterangan tadi, Anda bisa melihat bahwa siapa yang mengingkari kalau jihad ofensive itu termasuk bagian dari ajaran Islam –seperti orang-orang yang mengatakan Islam tidak berperang selain membela diri dan menolak kezaliman saja— berarti ia mendustakan ayat-ayat dan hadits-hadits seperti di atas. Sementara Alloh ta‘ala berfirman:

وَمَا يَجْحَدُ بِئَايَاتِنَا إِلَّا الْكَافِرُونَ

“Tidaklah menentang ayat-ayat Kami selain orang-orang kafir.”
[Al-‘Ankabut: 47]

Siapa yang dengan “gegabah” mentakwil-takwilkan jihad tholab yang dilakukan para Salafus Sholeh dengan mengatakan itu adalah perang melawan kezaliman, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang jauh. Kalau ia sudah mengerti nash-nash syar‘i atau menguasai ilmunya, berarti ia telah berpaling darinya dan sembarangan dalam mentakwilkannya.

Jihad Adalah Fardhu Kifayah
dan berubah menjadi Fardhu ‘Ain
Dalam Beberapa Kondisi

Ibnu Qudamah berkata:
“Makna fardhu kifayah adalah jika tidak cukup dilaksanakan sebagian orang maka semuanya berdosa, dan jika sudah cukup dilaksanakan sebagian orang maka gugurlah dosa dari yang lain. Perintah itu pertama kali ditujukan kepada semua kaum muslimin sebagai sebuah kewajiban yang fardhu ‘ain, kemudian di akhir-akhirnya terjadi perbedaan; sebab fardhu kifayah itu gugur dengan dilakukannya oleh sebagian orang, sementara fardhu ain tidak gugur dari siapapun meski yang lain telah melaksanakan.”

Ibnu Qudamah berkata juga mengenai dalil jihad hukumnya fardhu kifayah:
“Dalil kami adalah firman Alloh ta‘ala:

لَا يَسْتَوِى الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ غَيْرُ أُولِى الضَّرَّرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيْلِ اللهِ بَأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِيْنَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِيْنَ دَرَجَةً وَكُلًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللهُ الْمُجَاهِدِيْنَ عَلَى الْقَاعِدِيْنَ أَجْرً عِظِيْمًا

“Tidaklah sama antara orang yang duduk dari kalangan kaum mukminin yang tidak beruzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Alloh dengan harta dan nyawa mereka. Alloh lebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan nyawa mereka atas orang-orang yang duduk satu derajat. Dan masing-masing Alloh janjikan dengan pahala yang baik...”
[An-Nisa’: 95]

Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berperang tidak berdosa ketika sudah ada orang lain yang berjihad.

Alloh ta‘ala juga berfirman:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّيْنِ

“Tidak seharusnya kaum mukminin semuanya pergi berperang, mengapa tidak ada dari masing-masing golongan satu kelompok yang pergi untuk memahami (agama)…”
[At-Taubah: 122]


Dikarenakan juga, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengutus sariyah-sariyah sementara beliau serta segenap shahabatnya tidak berangkat.”

Ibnu Qudamah berkata lagi:
“Dan jihad berubah menjadi fardhu ‘ain dalam tiga kondisi:

Pertama: ketika dua pasukan bertemu dan dua barisan berhadapan, maka haram bagi siapa yang turut serta di dalamnya untuk melarikan diri, kondisi seperti itu jihad hukumnya fardhu ain, berdasarkan firman Alloh ta‘ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيْتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا الله كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ  وَأَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

“Hai orang-orang beriman, jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah dan ingatlah Alloh banyak-banyak agar kalian beruntung. Dan taatilah Alloh dan rosul-Nya dan jangan saling bertengkar sehingga kalian gagal dan hilang kekuatan kalian. Dan bersabarlah, sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar.”[Al-Anfal: 45-46]

Dan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ وَمَنْ يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلَّا مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بَغَضَبٍ مِّنَ اللهِ

“Hai orang-orang beriman, jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang. Dan barangsiapa pada hari itu mundur ke belakang menghindari mereka, kecuali orang yang berbelok untuk taktik perang atau bergabung dengan kelompok lain, maka ia kembali dengan kemarahan dari Alloh.” [Al-Anfal: 15-16]

Kedua: Apabila orang-orang kafir datang menduduki sebuah negeri, maka fardhu ain bagi penduduknya memerangi dan mengusir mereka.

Ketiga: Jika imam memerintahkan untuk perang kepada satu kaum (istinfar), maka wajib bagi mereka untuk berangkat perang bersamanya.
Berdasarkan firman Alloh ta‘ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ أَرَضِيْتُمْ بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْأَخِرَةِ

“Hai orang-orang beriman, mengapakah jika dikatakan kepada kalian, berperanglah di jalan Alloh, kalian merasa berat (condong) kepada dunia? …satu ayat dan setelahnya.”
(At-Taubah: 38)

Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda,

وَ إِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا

“Jika kalian diminta berperang, berperanglah.”
[Al-Mughnî was Syarhul Kabîr (X/ 365/ 366)]

Dalil kondisi kedua adalah sama dengan dalil kondisi pertama, [“…jika kalian bertemu dengan satu pasukan perang maka tetap teguhlah…”] dan [“…jika kalian berjumpa dengan orang-orang kafir dalam ketika perang, maka janganlah kalian mundur ke belakang…”] sebab datangnya orang-orang kafir di sebuah negeri kaum muslimin sama kedudukannya dengan bertemunya dua pasukan dan dua barisan.


Syarat-Syarat Wajibnya Jihad

Syarat-syarat wajibnya jihad adalah seperti yang disebutkan Ibnu Qudamah:

Syarat Wajib Jihad Ada Tujuh: Islam, Baligh, Berakal, Merdeka, Lelaki,Selamat dari marabahaya serta adanya Biaya.”
[Al-Mughnî was Syarhul Kabîr (X hal. 366)]

Ketujuh syarat ini ditambah dengan izin dari kedua orang tua dan orang yang berhutang kepada orang yang dihutangi. Hal ini disebutkan juga oleh Ibnu Qudamah. [Juz X hal. 381-384]

Inilah sembilan syarat wajibnya jihad yang fardhu kifayah.

Jika kondisi berubah menjadi fardhu ‘ain, sebagian dari ketujuh syarat ini tidak berlaku dan hanya tersisa lima syarat saja, yaitu: Islam, baligh, berakal, lelaki –tidak menurut mereka yang menganggap ini bukan termasuk syarat—dan selamat dari dhoror (bahaya yang menjadi udzur). Tidak disyaratkan adanya biaya jika musuh sudah menduduki negeri-negeri, atau –menurut salah satu pendapat— jika jarak musuh tidak sampai jarak qoshor.


Apakah Maksud I‘dad Imani (Persiapan Iman) ?

Maksudnya, ada dua jenis I‘dad: I‘dad Materi dan I‘dad Iman. Tidak boleh mencukupkan diri pada salah satu bentuk I‘dad saja.

Adapun I‘dad materi: adalah yang diisyaratkan dalam ayat surat Al-Anfal, Alloh ta‘ala berfirman:

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَّااسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلُمُوْنَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْشَيْءٍ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan yang kalian mampu dan dari kuda yang tertambat, supaya kalian menggentarkan musuh Alloh dan musuh kalian serta musuh selain mereka; kalian tidak mengetahui mereka namun kami mengetahuinya. Dan apa saja yang kalian infakkan di jalan Alloh…dst.”
(Al-Anfal: 60).

Terdapat sebuah riwayat marfu‘ yang menafsirkan makna ayat ini, riwayat tersebut menutup setiap tempat untuk mentakwiltakwilkan atau membawanya kepada makna selain yang dimaksud sebenarnya:

Muslim meriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir ia berkata: “Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam membaca ayat ini kemudian bersabda,

“Ketahuilah, kekuatan itu adalah melempar.” Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali.

Berdasarkan riwayat ini, maka tidak boleh membawa makna ayat ini kepada arti I‘dad imani dan tarbiyah.

Adapun I‘dad materi sendiri mencakup persiapan pasukan, senjata dan harta.

Ayat di atas menyebutkan senjata dan harta secara jelas, dan menyebutkan personal secara tersirat. Sudah ada perintah untuk menyiapkan personal dalam ayat-ayat lain, seperti firman Alloh ta‘ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِ

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang…”
[Al-Anfal: 65]

Dan firman Alloh ta‘ala:

فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَسَى اللهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاللهُ أَشَدُّ بَأْسًا وَأَشَدُّ تَنْكِيْلًا

“Maka berperanglah di jalan Alloh, kamu tidak dibebani selain dirimu sendiri dan bakarlah semangat orang beriman (untuk berperang), semoga Alloh menghentikan keganasan orang-orang kafir..”
[An-Nisa’: 84]

Dan seperti firman Alloh ta‘ala:

يَا أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُونُوا أَنْصَارَ اللهِ ...

“Hai orang-orang beriman, jadilah kalian penolong-penolong (pasukan-pasukan) Alloh...”
[An-Nisâ: 84]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Jika jihad tidak bisa dilakukan karena masih dalam kondisi lemah, maka wajib melakukan persiapan (I‘dad) dengan menyiapkan kekuatan dan tali kuda yang tertambat.” [Majmu‘ Fatawa juz 28 hal. 259]

Alloh menjadikan i‘dad ini sebagai bukti kejujuran iman dan pembeda antara orang yang benar-benar beriman dengan orang munafik, seperti di dalam firman-Nya:

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لَأَعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرَهَ اللهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيْلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِيْنَ (46) لَوْ خَرَجُوا فِيْكُمْ مَّازَادُوكُمْ إِلَّا خَبَالًا وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ وَفِيْكُمْ سَمَّاعُوْنَ لَهُمْ ....

“Seandainya mereka ingin keluar (berperang) pasti mereka akan mengadakan persiapan untuk itu, akan tetapi Alloh tidak suka keberangkatan mereka dan dikatakan: Duduklah kalian bersama orang-orang yang duduk. Kalaulah mereka keluar beserta kalian, tidaklah mereka menambah selain kekacauan dan mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisan kalian untuk menimbulkan fitnah di antara kalian sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
[At-Taubah: 46-47]

Di sini, Alloh SWT menerangkan, mempersiapkan kekuatan yang tidak dilakukan oleh kaum munafikin merupakan sebuah penghinaan yang bersifat qodariyah dari Alloh ta‘ala. Di sisi lain ini adalah rahmat dari Alloh ta‘ala terhadap kaum mukminin yang jujur, sebab kalau toh kaum munafikin ikut berangkat bersama mereka, maka hanya akan mendatangkan kerusakan dan fitnah, terlebih lagi sebagian kaum mukminin ada yang berprasangka baik terhadap mereka, “…sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka”, sehingga dari sini akan muncul kerusakan besar. Ini kaitannya dengan I‘dad materi.

Adapun I‘dad Imani (baca: tarbiyah), juga satu hal yang tidak bisa diabaikan. I‘dad ini sangat bercabang seiring dengan banyaknya cabang keimanan, baik yang lahir maupun yang batin, secara ilmu maupun amal. I‘dad ini memiliki pengaruh langsung terhadap datangnya kemenangan maupun kekalahan yang bersifat qodariyah. Yang penting, di sana ada beberapa hal yang harus diingat-ingat terkait dengan I‘dad, yaitu:

- Ayat I‘dad yang tercantum dalam surat Al-Anfal (ayat 60) tidak boleh dibawa kepada makna tarbiyah. Sebab sudah ada riwayat secara marfu‘ yang menafsirkannya, yang mematahkan pentakwilan maknanya. Tarbiyah memiliki dalil lain. Yang lebih buruk lagi adalah yang membatasi I‘dad hanya kepada I‘dad iman saja tanpa memperdulikan I‘dad materi, sikap seperti ini telah mendustakan ayat-ayat Alloh.

- Jangan sampai tarbiyah menjadi perantara untuk duduk dari jihad. Khususnya jihad yang hukumnya fardhu ‘ain.

Inilah beberapa hal-hal terpenting yang harus diingat-ingat kiatannya dengan tarbiyah.

Source:
Judul Asli
Kasyful Litsam ‘An Dzirwati Sanamil Islam
Penulis
Asy-Syaikh Ibnu Qudamah An-Najdi
Judul Terjemahan
Jawaban seputar Masalah-Masalah Fikih Jihad
Alih Bahasa
Abu Jandl Al-Muhajir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...