Jenis-jenis Dosa
Yang Harus Dimintakan Ampunan (Taubat)
Oleh : Ibnu Qayyim AI-Jauziyah
Seorang hamba tidak berhak mendapat
sebutan “Orang yang bertaubat” kecuali setelah dia membebaskan diri dari
perkara-perkara yang harus dimintakan ampunan, yang jenisnya ada dua belas,
seperti yang disebutkan di dalam Kitab Allah, yang semuanya merupakan
jenis-jenis perkara yang diharamkan, yaitu: Kufur, syirik, nifaq, fusuk, kedúrhakaan,
dosa, pelanggaran, kekejian, kemungkaran, aniaya, mengeluarkan perkataan
terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu dan mengikuti selain jalan orang-orang
Mukmin.
Dua belas jenis ini merupakan
poros dari berbagai macam perkara yang diharamkan Allah. Pada diri seseorang
ada beberapa perkara dan jenis-jenis ini, dalam jumlah yang lebih banyak atau
lebih sedikit, atau hanya ada satu saja, dan bisa jadi dia mengetahuinya atau
bisa jadi dia tidak mengetahuinya. Sementara at-taubatun-nashuh ialah
membebaskan diri dari perkara-perkara ini, melindungi diri dari was-was diri
agar tidak terseret kepadanya. Tapi yang bisa membebaskan diri darinya ialah orang
yang mengetahuinya. Saya perlu menguraikan masing-masing jenis dan
cabang-cabangnya, agar ada kejelasan batasan dan hakikatnya.
Uraian ini termasuk uraian yang
paling banyak manfaatnya dan keseluruhan kandungan buku ini, dan setiap hamba
sangat membutuhkannya.
1. K u f u r
Kufur ada dua macam: Kufur Besar dan
Kufur Kecil.
Kufur besar mengakibatkan
kekekalan di dalam neraka, sedangkan kufur kecil layak mendapatkan ancaman
siksa dan tidak mengakibatkan kekekalan di dalam neraka, seperti yang
disebutkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yaitu mencela nasab,
meratapi orang yang meninggal dunia, menyetubuhi istri pada duburnya,
mendatangi dukun dan peramal, yang semuanya disebut dengan istilah kufur, atau
seperti firman Allah, “Dan barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa
yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kufur” (Al-Maidah: 44)
Menurut Ibnu Abbas dan Thawus,
ini merupakan kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama. Tapi siapa
yang melakukannya layak mendapat sebutan kufur, tidak seperti kufur kepada
Allah dan hari akhirat.” Atha’ menyebutnya kufur tidak seperti kufur yang semestinya,
zhalim tidak seperti zhalim yang semestinya, fusuk tidak seperti fusuk yang
semestinya.
Ada yang mena’wili ayat ini
sebagai berikut: Tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,
karena mengingkarinya. Ada pula yang mena’wilinya sebagai berikut: Tidak
memutuskan perkara menurut semua ketetapan yang diturunkan Allah. Ada pula yang
mena’wilnya sebagai berikut: Memutuskan perkara secara sengaja dan bukan karena
tidak tahu dan bukan kesalahan ta’wil, menurut ketetapan yang bertentangan
dengan nash. Ada pula yang menganggapnya sebagai kufur yang mengeluarkan pelakunya
dari agama.
Pendapat yang benar, memutuskan perkara tidak
menurut apa yang diturunkan Allah bisa berarti Dua Jenis Kufur, kecil
dan besar, tergantung dari keadaan pelakunya. Siapa yang meyakini keharusan
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, namun dia menyimpang darinya
karena durhaka, sementara dia juga mengakui bahwa dia layak mendapat hukuman,
maka ini disebut kufur kecil. Jika dia yakin bahwa itu merupakan hukum Allah,
namun dia yakin bahwa penerapannya tidak wajib dan boleh memilih yang lain,
maka ini disebut kufur besar.
Kufur Besar ada Lima
Macam:
Takdzib, Istikbar, I’radh, Syakk, Nifaq.
Kufur Takdzib ialah keyakinan terhadap
kedustaan para rasul. Tapi yang termasuk jenis ini jarang terjadi di kalangan
orang-orang kafir.
Kufur Istikbar atau iba’ ialah
seperti kufurnya iblis. Dia tidak mengingkari adanya perintah Allah, namun dia
tidak patuh karena rasa takabur di dalam dirinya. Yang termasuk jenis ini
adalah kufurnya orang yang mengakui kebenaran para rasul, namun dia tidak mau
mengikutinya karena rasa takabur, ini adalah kufurnya musuh-musuh para rasul,
seperti kufurnya Fir’aun dan para pengikutnya dan kufurnya Abu Thalib.
Kufur i’radh artinya berpaling dari Rasul
dengan pendengaran atau hatinya, tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan,
tidak menolong dan tidak pula memusuhinya serta tidak peduli terhadap apa yang
dibawanya, seperti kata seseorang dan Bani Abdi Yalail kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam, “Demi Allah, aku akan mengatakan satu kalimat kepadamu, jika
engkau benar, maka engkau Iebih mulia untuk kutolak, dan jika engkau dusta, maka
engkau lebih hina daripada aku harus berbicara denganmu.”
Kufur Syakk artinya tidak pernah memiliki
kemantapan hati untuk membenarkan atau mendustakan rasul, tapi selalu ada
keragu-raguan dalam dirinya. Keragu-raguan ini akan terus membayang jika dia
tidak mau melihat bukti-bukti kebenaran Rasululullah, tidak mau mendengar dan
tidak mau memperhatikannya. Padahal kejelasan bukti ini seperti kejelasan
matahari pada siang hari.
Kufur Nifaq artinya memperlihatkan iman
dengan Iisannya, namun memendam pendustaan di dalam hatinya. Ini merupakan
nifaq yang paling besar, dan di bagian mendatang akan diuraikan macam-macamnya.
2. S
y i r i k
Syirik ada Dua macam: Besar
dan Kecil. Syirik besar tidak akan diampuni Allah kecuali dengan taubat,
yaitu membuat tandingan bagi Allah, pelakunya mencintai tandingan ini seperti
cintanya kepada Allah. Ini merupakan syirik seperti syiriknya orang-orang
musyrik yang menyamakan sesembahannya dengan Allah Rabbul ‘alamin. Sementara
mereka tetap mengakui bahwa hanya Allah semata yang menciptakan segala sesuatu,
penguasa dan rajanya, sementara sesembahan mereka tidak mampu mencipta, memberi
rezki, menghidupkan dan mematikan. Penyamaan ini hanya dalam kecintaan,
pengagungan dan penyembahañ, seperti keadaan mayoritas orang-orang musyrik di
mana pun jua, atau bahkan setiap orang musyrik. Mereka mencintai, mengagungkan,
memuja dan membela sesembahannya selain Allah itu, dan bahkan mereka lebih mencintainya
daripada cinta mereka kepada Allah. Mereka lebih marah jika sesembahannya
dicaci daripada kemarahan mereka jika Allah dicaci. Begitulah keadaan para
penyembah berhala, yang menjadikan bebatuan, pepohonan atau benda mati apa pun
sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Allah berfirman tentang para pendahulu
orang-orang musyrik,
“Dan, orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
(Az-Zumar: 3.)
Mereka merasa yakin di dalam hati
bahwa sesembahan-sesembahaan itu akan memberi syafaat (pertolongan) kepada
mereka di sisi Allah. Maka Allah menyanggah anggapan mereka ini, bahwa semua
syafaat ada di Tangan Allah. Tak seorang pun bisa memberi syafaat di sisi-Nya
kecuali setelah mendapat izin Allah untuk memberikan syafaat, yang perkataan dan
perbuatannya diridhai, dan mereka ini adalah ahli tauhid. Syafaat yang
ditetapkan Allah dan Rasul-Nya adalah syafaat yang keluar dari izin-Nya. Di
antara kebodohan orang musyrik ialah keyakinannya bahwa siapa yang dijadikannya
sebagai penolong atau pemberi syafaat, bisa memberi syafaat dan manfaat
kepadanya di sisi Allah, seperti Iazimnya pertolongan yang diberikan para
pemimpin dan penguasa terhadap rakyatnya. Mereka tidak sadar bahwa siapa pun
tidak akan bisa memberi syafaat di sisi Allah kecuali yang mendapat izin-Nya.
Sementara tak seorangpun yang diberi izin oleh Allah kecuali yang perbuatan dan
perkataannya diridhai Allah.
Sedangkan syirik kecil seperti
sedikit riya’, mencari muka di hadapan manusia, bersumpah dengan selain Allah,
perkataan seseorang kepada orang lain, “Menurut kehendak Allah dan kehendakmu”,
atau perkataannya, “Ini berasal dari Allah dari darimu”, atau perkataannya,
“Aku bergantung kepada Allah dan juga kepadamu”, atau perkataannya, “Kalau
bukan dirimu, tentu hal ini tidak akan terjadi”. Tapi perkataan seperti ini
bisa berubah menjadi syirik besar, tergantung kepada siapa yang mengatakannya
dan apa tujuannya.
Macam-macam
syirik ini banyak sekali dan hampir tak terhitung banyaknya, yang tidak cukup
bila disebutkan satu-persatu di sini.
3. N i f a q
Nifaq merupakan penyakit yang
tersembunyi di dalam batin, yang bisa memenuhi seluruh batin dan hatinya,
sementara dia tidak menyadarinya, sebab hal ini tidak bisa diketahui orang
lain. Nifaq ini tersembunyi karena keadaannya yang samar-samar. Dia mengira nifaq
itu bagus, tapi ternyata merusak.
Nifaq ada Dua macam: Besar dan Kecil.
Nifaq yang besar mengakibatkan kekekalan di dalam neraka dan berada di lapisan
paling bawah.
Gambarannya, orang munafik
menampakkan iman kepada Allah, para malaikat, kitab, para rasul dan hari akhirat
di hadapan orang-orang Muslim, padahal di dalam batinnya dia tidak memiliki
iman itu. Dia tidak beriman bahwa Allah menurunkan wahyu kepada manusia yang
dijadikan-Nya sebagai rasul, yang memberi petunjuk, peringatan dan ancaman.
Allah telah menyibak tabir
orang-orang munafik dan mengungkap rahasia mereka di dalam Al-Qur’an. Perkara
mereka dijelaskan di hadapan orang lain, agar menjadi peringatan. Di awal surat
Al-Baqarah disebutkan Tiga Macam Golongan Manusia yang ada di
dunia ini, yaitu: Orang orang Mukmin, orang-orang kafir dan orang-orang
munafik. 4 (Empat) ayat tentang orang-orang Mukmìn, 2 (dua) ayat tentang orang-orang
Kafir dan 13 (Tiga belas) ayat tentang orang-orang Munafik. Ayat tentang mereka
lebih banyak jumlahnya, karena jumlah mereka yang cukup banyak dan cobaan yang
mereka akibatkan lebih menyeluruh serta Iebih membahayakan Islam dan para
pemeluknya. Cukup berat cobaan yang harus ditanggung Islam, karena mereka
menisbatkan diri kepada Islam, menunjukkan loyalitas kepada Islam, padahal
hakikatnya mereka adalah Musuh Islam.
Demi Allah, berapa banyak orang
yang seakan membela Islam, padahal sebenarnya dia menghancurkan Islam. Berapa
banyak orang yang membangun fondasi benteng, padahal sebenarnya dia merusaknya.
Islam dan para pemeluknya senantiasa dalam intaian bahaya karena keberadaan
mereka.
Inilah gambaran keadaan mereka
yang disebutkan secara berurutan dalam surat AI-Baqarah, dari ayat 8 hingga
ayat 20:
Ayat 8: Mereka mengenakan pakaian iman,
sedang di dalam hatinya ada perasaan sesal dan merugi, dusta dan pengingkaran.
Lidah mereka Iidah orang yang pasrah, sedang batin mereka lebih dekat dengan
orang-orang kafir.
Ayat 9: Modal mereka adalah tipuan dan
makar. Barang dagangan mereka kedustaan dan pengkhianatán. Mereka mempunyai
logika agar tetap eksis, yaitu memperlihatkan keridhaan kepada kedua belah
pihak, sehingga mereka tetap merasa aman.
Ayat 10: Penyakit syubhat dan syahwat
menyusup ke dalam hati mereka lalu merusaknya. Maksud yang buruk menguasai
kehendak mereka dan niat mereka rusak, lalu menyeret mereka kepada kebinasaan
yang tidak bisa diobati oleh dokter.
Ayat 11 & 12: Siapa yang bejana imannya
disusupi keragu-raguan mereka, maka imannya akan tercabik-cabik, siapa yang
pendengarannya dipengaruhi syubhat kesamar-samaran mereka, maka keyakinan di
dalam hatinya akan hilañg, karena kerusakan mereka di muka bumi amat banyak,
namun mereka tidak mau mengakuinya.
Ayat 13: Seseorang yang berpegang kepada
Al-Kitab dan As-Sunnah dalam pandangan mereka adalah orang yang berpegang
kepada benda mati, dianggap kurang beres akalnya. Orang yang melaksanakan nash menurut
pandangan mereka seperti keledai yang membawa kitab suci. Dagangan pedagang
wahyu menurut pandangan mereka tidak laku dan mereka tidak mau menerimanya.
Orang yang mengikuti Rasul menurut pandangan mereka termasuk orang-orang bodoh,
dan mereka akan mengejeknya.
Ayat 14: Masing-masing di antara mereka
mempunyai dua wajah. Wajah saat berhadapan dengan orang-orang Mukmin, dan satu
wajah lagi saat mereka berkumpul dengan rekan-rekan segolongannya. Mereka juga
mempunyai dua lidah, satu Iidah dipergunakan jika bersama orang-orang Muslim,
dan satu lidah lagi dipergunakan untuk menerjemahkan rahasia yang terpendam di
dalam hati mereka.
Ayat 15 : Mereka berpaling dan Al-Kitab
dan As-Sunnah, karena hendak mengolok-olok dan mengejek orang-orang yang
berpegang kepada keduanya.
Ayat 16: Mereka keluar mencari
perniagaan yang sia-sia di tengah lautan kegelapan, sambil naik perahu keragueraguan
dan berlayat di tengah gelombang hayalan yang tidak pasti. Perahu mereka pun
terombang-ambing dihembus badai hingga mereka pun terhempas dalam kebinasaan.
Ayat 17: Api iman menyala di dekat
mereka sehingga dengan cahayanya mereka bisa melihat tempat-tempat yang
berdasarkan petunjuk dan tempat yang menyesatkan. Tapi kemudian cahayanya padam
dan tinggal setitik api yang kadang menyala dan kadang tidak, sehingga mereka tersiksa
dengan keadaan. itu, kemudian mereka sama sekali tidak bisa melihat.
Ayat 18: Pendengaran, penglihatan dan
Iidah mereka sudah tertutup kerak, sehingga mereka tidak bisa mendengar seruan
iman, tidak bisa melihat hakikat AI-Qur’an dan tidak bisa mengatakan kebenaran.
Ayat 19: Hujan wahyu turun kepada
mereka, yang di dalamnya terhadap kehidupan bagi hati dan ruh. Tapi yang mereka
dengar dari hujan itu hanya suara petir peringatan, ancaman dan kewajiban yang
dibebankan kepada mereka setiap pagi dan petang. Maka mereka menyumbatkan jan
ke lubang telinga mereka dan mereka pun Iari.
Ayat 20: Dalam hujan lebat itu
mereka tidak bisa melihat hanya dengan mengandalkan kilat yang menyambar, dan
pendengaran mereka tidak mampu mendengar petir janji, perintah dan larangan.
Mereka pun berdiri dalam keadaan bingung di hamparan tanah yang kering kerontang.
Masih banyak sifat orang-orang
munafik lainnya dan penggambar an tentang diri mereka yang disebutkan dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah.
4. Fusuk dan Kedurhakaan
Fusuk disebutkan dalam dua macam
dalam Al-Qur’an: Fusuk yang disebutkan sendirian, dan fusuk yang dikaitkan dengan
kedurhakaan. Yang disebutkan sendirian ada dua macam: Fusuk kufur yang mengeluarkan
pelakunya dari Islam, dan fusuk yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Fusuk
Kufur seperti firman Allah,
“Dan, adapun orang-orang yang fasik,
maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya,
mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.”
(As-Sajdah: 20).
Sedangkan
fusuk yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam seperti firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman,
jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti.”
(Al-Hujurat: 6).
Ayat ini turun berkenaan dengan
Al-Walid bin Uqbah bin Abu Mu’aith yang memanipulasi berita.
Fusuk yang dikaitkan dengan
kedurhakaan ialah melakukan apa yang dilarang Allah. Kedurhakaan di sini
artinya mendurhakai perintah. Penggunaan lafazh fusuk lebih tertuju kepada
pelaksanaan apa yang dilarang, sedangkan kedurhakaan lebih tertuju kepada
menyalahi dan melanggar perintah. Namun melakukan apa yang dilarang jugá bisa
berarti kedurhakaan jika kata ini disebutkan sendirian. Jika disertakan dengan
kata yang lain, maka pengertiannya seperti di atas.
Fusuk keyakinan ialah seperti
fusuknya ahli bid’ah. Mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya hari akhirat,
mengharamkan apa yang diharamkan Allah, melaksanakan apa yang diwajibkan Allah,
tetapi mereka meniadakan sekian banyak ketetapan Allah dan Rasul-Nya, entah
karena kebodohan, ta’wil atau taqlid kepada guru, lalu mereka menetapkan sesuatu
yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Taubat dan fusuk ialah dengan
menetapkan bagi dirinya seperti yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, tanpa
merubah atau pun mengganti.
5. Dosa dan Pelanggaran
Dosa dan pelanggaran merupakan
pasangan, seperti firman-Nya, “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa
dan pelanggaran.” (Al-Maidah: 2).
Jika masing-masing dipisahkan,
maka yang satu mencakup yang lainnya, sebab setiap dosa merupakan pelanggaran
dan setiap pelanggaran adalah dosa, sebab keduanya berarti melaksanakan apa
yang dilarang Allah dan meninggalkan apa yang diperintahkan-Nya, atau dengan
kata lain merupakan pelanggaran terhadap perintah dan Iarangan-Nya, dan setiap
pelanggaran adalah dosa. Tetapi jika keduanya dipasangkan, maka masing-masing
bisa berdiri sendiri, tergantung kaitan dan sifatnya.
Dosa ialah sesuatu yang diharamkan dari
segi jenisnya, seperti dusta, zina, minum khamr dan lain-Iainnya. Sedangkan Pelanggaran
ialah sesuatu yang diharamkan dari segi porsi dan tambahannya. Pelanggaran
artinya tindakan yang melampaui batas dari apa yang diperbolehkan ke porsi yang
diharamkan dan ukuran yang berlebihan, seperti berlebihan dalam mengambil hak
dari orang yang justru seharusnya dia memberikan hak itu kepada orang tersebut,
entah berupa perampasan hartanya, badan atau kehormatannya. Jika orang yang
dilanggar marah, maka orang yang melanggar justru Iebih marah kepadanya. Jika
orang yang dilanggar mengeluarkan perkataan yang pedas, maka perkataan orang
yang melanggar justru lebih pedas lagi, ini semua disebut pelanggaran dan perbuatan
yang menyimpang dari keadilan.
Pelanggaran ada Dua Macam:
Pelanggaran terhadap hak Allah, dan pelanggaran terhadap hak hamba. Pelanggaran
terhadap hak Allah seperti melanggar sesuatu yang diperbolehkan untuk
dilakukan, semacam bersetubuh dengan istri, lalu melakukan persetubuhan dengan
selain istri. Bisa juga berupa pelanggaran apa yang diperbolehkan saat
berhubungan dengan istri, lalu melakukan persetubuhan yang dilarang, seperti
menyetubuhi istri saat haid, nifas, puasa, di dubur dan Iain-lainnya.
Pelanggaran juga bisa terjadi
terhadap porsi yang diperbolehkan, lalu melakukannya dengan porsi yang lebih
banyak, seperti memandang wanita yang hendak dilamar, kesaksian, mu’amalah,
berobat dan lain-lainnya.
6. Kekejian dan Kemungkaran
Kekejian merupakan sifat dan sesuatu yang
disifati, yang artinya perbuatan atau sesuatu yang keji, yang keburukannya
jelas tampak di hadapan siapa pun dan tidak bisa dipungkiri siapa pun yang
pikirannya masih
waras. Maka terkadang kekejian ini juga ditafsiri dengan perbuatan zina dan
homoseks. Allah menyebutnya fahisyah, karena keburukannya yang tidak
mungkin dicegah. Namun perkataan yang buruk juga bisa disebut kekejian, yaitu
perkataan yang jelas tampak keburukannya, seperti umpatan, tuduhan atau yang
sejenisnya.
Sedangkan Kemungkaran juga
merupakan sifat dari sesuatu yang disifati, atau perbuatan yang mungkar.
Artinya perbuatan yang diingkari akal dan fitrah. Penisbatan kemungkaran ke
akal seperti penisbatan bau busuk yang sampai ke indera penciuman, pemandangan
buruk yang sampai ke indera penglihatan, makanan tidak enak yang sampai ke
indera rasa, suara sumbang yang sampai ke indera pendengaran. Tentu saja akal dan
fitrah akan menolaknya, karena itu merupakan kekejian, seperti penolakan setiap
indera ini. Yang mungkar menurut akal ialah sesuatu yang tidak dikenalinya dan
tidak bisa diterima. Sedangkan keburukan yang dibenci dan dihindari adalah
kekejian. Karena itu Ibnu Abbas berkata, “Kekejian adalah zina dan
kemungkaran adalah sesuatu yang tidak dikenal dalam syariat dan As-Sunnah.”
7. Mengada-adakan terhadap Allah Tanpa
Dilandasi Ilmu
Mengatakan terhadap Allah tanpa
dilandasi ilmu merupakan perbuatan haram yang paling haram dan paling besar
dosanya. Maka hal ini disebutkan pada tingkatan keempat dari perkara-perkara
yang diharamkan, yang pengharamannya telah disepakati berbagai syariat dan
agama, dalam keadaan bagaimana pun tidak diperbolehkan dan apa pun bentuknya
tetap haram, tidak seperti bangkai, darah dan daging babi, yang dalam kondisi
tertentu masih diperbolehkan.
Hal-hal yang Diharamkan itu ada
Dua Macam: Yang diharamkan Berdasarkan Barangnya, tidak diperbolehkan
dalam keadaan bagaimana pun juga, dan yang diharamkan menurut Pertimbangan
Waktunya. Allah telah menjelaskan di dalam surat Al-A’raf: 33, Empat
Tingkatan hal-hal yang diharamkan dilihat dari jenis barangnya, dan yang
lebih ringan ke tingkatan berikut yang lebih berat dan lebih besar.
Perhatikanlah baik-baik masalah ini,
“Katakanlah, Rabbku hanya mengharamkan perbuatan
yang keji, baik yang tampak atau pun yang tersembunyi.”
Kemudian menanjak
ke tingkatan yang lebih besar lagi,
“Perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar.”
Kemudian
menanjak ke tingkatan yang lebih besar lagi,
“Mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yangAllah tidak menurunkan hujjah untuk itu.”
Kemudian
menanjak ke tingkatan yang paling besar,
“Mengada-adakan terhadap Allah apa-apa yang
tidak kalian ketahui.”
Mengada-adakan sesuatu terhadap
Allah merupakan kéharaman yang paling besar dan paling berat dosanya, karena di
dalamnya terkandung
kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak layak kepada-Nya,
merubah agama-Nya, meniadakan apa yang ditetapkan-Nya dan menetapkan apa yang
ditiadakan-Nya, memusuhi siapa yang ditolong-Nya dan menolong siapa yang
dimusuhi-Nya, mencintai apa yang dibenci-Nya dan membenci apa yang dicintai-Nya,
dan memberikan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya terhadap Dzat, sifat,
perkataan dan perbuatan-Nya.
Tidak ada jenis hal-hal yang
diharamkan yang lebih berat dosanya daripada mengada-adakan terhadap Allah
sesuatu yang tidak diketahui, sebab ini merupakan cikal bakal syirik dan kufur,
dasar bid’ah dan kesesatan. Setiap bid’ah yang dianggap sesat dalam agama
karena bermula dari mengada-adakan sesuatu terhadap Allah tanpa dilandasi ilmu.
Karena itu orang-onang salaf sangat gencar pengingkarannya terhadap bid’ah ini dan
memperingatkan semua orang tentang bahaya-bahayanya. Pengingkaran mereka
terhadap bid’ah jauh lebih keras daripada pengingkaran terhadap kemungkaran,
kekejian, kezhaliman dan pelanggaran, sebab dampak negatif dari bid’ah terhadap
agama juga lebih keras. Allah juga sangat mengingkari orang yang menisbatkan
kepada agamaNya, dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, yang katanya itu
datang dari Allah. Firman-Nya,
“Dan janganlah kamu mengatakan
terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta, ‘ini halal dan
ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang
yangmengada-adakan kebohongan terhadapAllah tiadalah beruntung.”
(An-Nahl: 116).
Di antara orang salaf ada yang berkata,
“Hendaklah seseorang di antara kalian waspada untuk mengatakan, ‘Allah
menghalalkan ini dan mengharamkan yang itu’, lalu Allah berkata kepadanya,
‘Engkau dusta, karena Aku tidak menghalalkan ini dan tidak pula mengharamkan
itu.” Mengada-adakan sesuatu terhadap Allah Iebih umum daripada syirik, dan
syirik merupakan bagian dari perbuatan ini. Karena itu kedustaan terhadap
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyeret pelakunya ke neraka. Semua
dosa ahli bid’ah masuk dalam dosa jenis ini, dan taubat darinya hanya bisa
dilakukan dengan taubat dari segala bid’ah. Tapi bagaimana mungkin pelakunya
mau taubat dari bid’ah, sementara dia tidak mau mengakui bahwa perbuatannya
adalah bid’ah?
Source:
Madarijus-Salikin
(Pendakian Menuju Allah)
Penulis
: Ibnu Qayyim AI-Jauziyah;
Penerjemah
: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta:
Pustaka A1.-Kautsar, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar