7/29/2019

DEFINISI AL-FIRQAH AN-NAJIYAH - Oleh Ibnu Taimiyah

DEFINISI  AL-FIRQAH AN-NAJIYAH
(AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH)
Oleh : Ibnu Taimiyah

Firqah (dengan huruf fa’ dikasrahkan artinya sekelompok manusia. la disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan Al-Manshurah, (yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam:

لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ عَلَى ذَلِكَ

“AKAN SENANTIASA ADA SEKELOMPOK UMATKU YANG TEGAR DI ATAS AL-HAQ, YANG TIDAK AKAN TERKENA MUDHARAT DARI ORANG YANG ENGGAN MENOLONG ATAU MENENTANG MEREKA, SEHINGGA DATANGLAH KEPUTUSAN ALLAH SEDANGKAN MEREKA TETAP DALAM KEADAAN BEGITU.”

(Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dengan lafazhnya dari Mughirah IV/187 dan Muslim 111/1523.)

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah merupakan pengganti atau nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah Thariqah (cara/jalan) yang dianut oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, para sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga Hari Kiamat.

Adapun al-jama’ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-jama’ah dalam pembahasan aqidah ini adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama’ah tersebut.”

[“Ar-Raudhah An-Nadiyyah Syarh AI- ‘Aqidah AI-Wasitiyah” hal. 14, Zaid bin Fayyadh dan Muhammad Khalil At-Haras, hal. 16.]

Abdullah bin Mas’ud radhiallauhu ‘anhu, berkata:

الْجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الْحَقَّ وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ

“JAMA’AH ADALAH APA YANG SELARAS DENGAN KEBENARAN,
SEKALIPUN ENGKAU SEORANG DIRI.”

[lbnul Qayyim, ighatsatul Lahfan min MashayidAsy-Saithan’ 1/70.]

Dari ‘Auf bin Malik yang berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

افْتَرَبَتِ الْيَهُودَ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَةِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْتِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أَمَّتْي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ قِي النَّارِ

“UMAT YAHUDI BERPECAH MENJADI TUJUH PULUH SATU GOLONGAN,
SATU GOLONGAN DI JANNAH SEDANGKAN TUJUH PULUH GOLONGAN DI NERAKA.
UMAT NASRANI BERPECAH MENJADI TUJUH PULUH DUA GOLONGAN,
TUJUH PULUH SATU GOLONGAN DI NERAKA SEDANGKAN SATU GOLONGAN DI JANNAH.
DEMI ALLAH, YANG JIWAKU DI TANGAN-NYA,
UMATKU INI AKAN BERPECAH MENJADI TUJUH PULUH TIGA GOLONGAN,
SATU GOLONGAN DI JANNAH SEDANGKAN TUJUH PULUH DUA GOLONGAN DI NERAKA.”

[Diriwayatkan oleb Ibnu Majah, 11/1322 dan dishahihkan oleh Al-Albani, lihat “Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir” 1/357 dan Al-Ahadits Ash-Shahihah”no. 1492. Ada beberapa riwayat mengenai hadits ini, lihat ‘Musnad Ahmad” IV/402 dan “Aunul Ma’bud” XII/340.]

--*********--

RUKUN  I M A N
MENURUT AL-FIRQAH AN-NAJIYAH

1. Iman Kepada Allah Ta’ala

Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah Rabb dan Raja segala sesuatu; Dialah Yang Mencipa, Yang Memberi Rezki, Yang Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan, kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada selain—Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan; serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan..”

2. Iman Kepada Para Malaikat Allah

Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah memiliki  malaikat-malaikat, yang diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah, adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang diperintahkan kepada mereka, mereka laksanakan. Mereka bertashih siang dan malam tanpa berhenti.. Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dan nash-nash Al-Qur’an maupun As-Sunnah. jadi, setiap gerakan di langit dan bumi, berasal dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil, (terperinci), para malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal, ‘global’. [“Ar-Raudhah An-Nadìyah” hal 16 dan “AI—Aqidah At-Thahawiah’ hal. 350.]


3. Iman Kepada Kitab-kitab

Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang benar-benar merupakan Kalam, (firman, ucapan)-Nya. la adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah. Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka wajib untuk mengimaninya secara tafshil, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah, wajib pula mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana pula telah mengucapkan seluruh kitab lain yang diturunkan.

Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’an saja yang dijaga oleh Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan, dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. [“Al-Ajwibah Al-Ushuliyah’ hal. 16 dan 17]

4. Iman Kepada Para Rasul

Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah mengutus para rasul untuk mengeluarkan manusia dan kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepda manusia untuk memberi kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul secara ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil (rinci) kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 di antara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Wajib pula beriman bahwa Allah telab mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling mulia dan penutup para nabi dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada nabi setelahnya.

5. Iman Kepada Kebangkitan Setelah Mati

Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakìnan yang kuat tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba’ts (kebangkitan) menurut syar‘i adalah dipulihkannya badan dan dimnasukkannya kembali nyawa ke dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
[Al-Kawasyif Al-JaÍiyah ‘An Ma’ani Al-Wasithyah’ haL 66.]


6. Iman Kepada Takdir Yang Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.

Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah ta’ala telah mengetahi kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dàn kehendak-Nya, sesuai dengan apa yang telah diketahuí-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh Mahfuzh sebelum menciptakannya.
[Syarh AL-Aqidah Al-Washitiyah”, Muhammad Khalil Al-Haras, hal 19]

Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman ini, baik dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan Nabí-nabí ..”
(Al-Baqarah : 177)


إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut qadar (ukuran)”
(Al-Qamar: 49)


Juga sabda Nabi  dalam hadits Jibril:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“HENDAKLAH ENGKAU BERIMAN
KEPADA ALLAH,
MALAIKAT-MALAIKAT-NYA,
KITAB-KITAB-NYA,
RASUL-RASUL-NYA,
DAN HARI AKHIR,
DAN ENGKAU BERIMAN KEPADA TAKDIR ALLAH,
YANG BAIK MAUPUN YANG BURUK.”

[Dikeluarkan oleh Muslim, I/37 no. 8]


MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH SECARA IJMAL
MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH


Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, tanpa ta’thil, tamtsil, tahrif, dan takyif, Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash Al-Qur’an dan Al-Hadits.

1. Tahrif

Tahrif secara bahasa berarti merubah dan mengganti.
Menurut pengertian syar’i berarti: Merubah lafazh Al-Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya.

Tahrif ini dibagi menjadi dua:

Pertama : Tahrif dengan cara menambah, mengurangi, atau merubah bentuk lafazh.

Contohnya adalah ucapan kaum Jahmìyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka, bahwa istawa  إِسْتَوَى(berada diatas; naik) Adalah istaula إِسْتَوْلَى (menguasai).

Disini ada penambahan huruf lam ( ل ). Demikian pula perkataan orang-orang Yahudi, “Hinthah (gandum) (حِنْطَةٌ)” ketika mereka diperintah untuk mengatakan “Hiththah (bebaskan kami dari dosa)/ (حِطَّةٌ).
Contoh lain adalah perkataan Ahli Bid’ah yang memanshubkan lafazh Allah dalam ayat:

وَكَلَّمَ أللَّهُ مُوسَى تَكْلِيْمًا
Dan Allah berbicara kepada Musa dengan langsung. “(An-Nisa’ : 164).

[memanshubkan Maksudnya. lafazh Allah díbaca dengan harakat akhir fathah (أللهَ). Padahal semestinya harakat akhirnya dibaca dengan dhammah (اللهُ). Dengan dímanshubkan, maka kedudukan lafazh Allah dalam ayat tersebut menjadí obyek, sehingga arti ayat tersebut berubah menjadi, “Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung”]

Kedua : Merubah Makna.
            Artinya, tetap membiarkan lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.

Contohnya adalah perkataan Ahli Bid’ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul intiqan (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan iradatul in’am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu (tangan), dengan an-ni’mah (nikmat).


2. Ta’thil

Ta’thil secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : meniadakan sifat-Sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut pada Dzat—Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar, yang ditunjukkan Oleh Al-Qur’an dan .As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.

MACAM-MACAM TA’THIL

Ta’thil ada bermacam-macam:
1. Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan Asma’ dan Sifat-sifat-Nya atau sebagian darinya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.

2. Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah kepada selain-Nya di samping beribadah kepada—Nya.

3. Meniadakan pencipta bagi makhluk.
Contohnya adalah pendapat orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.

Jadi, setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi tidak semua orang yang melakukan ta’thiI melakukan tahrif Barangsiapa yang menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan sifat, maka Ia seorang mu’athil, (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif (pelaku tahrif).


3. Takyif

Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana).
Adapun yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/ keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut dìketahui dari bahasa Arab. Inilah paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa’, —bersemayam— Beliau Rahimahullah menjawab:

الإِسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفَ مَجْهُولٌ وَالْإِمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ

Istiwa’ itu telah diketahui (maknanya), bentuk/keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan menanyakannya bid’ah.”
[Fatwa Ibnu Taimiyah, V/144.]

Semua sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau tahu terhadap makna—maknanya.


4. Tamtsil

Tamsil artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.

>> Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : Menyerupakan makhluk dengan Pencipta.
Misalnya orang-orang Nasrani yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang Yahudi. yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu semua.

Kedua : Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.
Contohnya adalah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimilikì oleh makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk, serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang mereka ucapkan.’



Source:
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...