DEFINISI AL-FIRQAH AN-NAJIYAH
(AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH)
Oleh : Ibnu Taimiyah
Firqah (dengan huruf fa’ dikasrahkan artinya sekelompok manusia. la
disifati dengan an-najiyah, (yang selamat), dan Al-Manshurah,
(yang mendapat pertolongan), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam:
لَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ
قَائِمَةٌ بِأَمْرِ اللهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ وَلَا مَنْ خَالَفَهُمْ
حَتَّى يَأْتِيَهُمْ أَمْرُ اللهِ عَلَى ذَلِكَ
“AKAN SENANTIASA ADA SEKELOMPOK
UMATKU YANG TEGAR DI ATAS AL-HAQ, YANG TIDAK AKAN TERKENA MUDHARAT DARI ORANG YANG ENGGAN MENOLONG
ATAU MENENTANG MEREKA, SEHINGGA DATANGLAH
KEPUTUSAN ALLAH SEDANGKAN
MEREKA TETAP DALAM KEADAAN BEGITU.”
(Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dengan
lafazhnya dari Mughirah IV/187 dan Muslim 111/1523.)
Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah merupakan pengganti atau
nama lain dari kelompok tersebut. Yang dimaksud dengan As-Sunnah adalah Thariqah
(cara/jalan) yang dianut oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam, para
sahabat beliau, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka hingga Hari Kiamat.
Adapun al-jama’ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok.
Tetapi, yang dimaksud dengan al-jama’ah dalam pembahasan aqidah ini adalah
Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti
kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang
telah dianut oleh jama’ah tersebut.”
[“Ar-Raudhah An-Nadiyyah Syarh AI- ‘Aqidah AI-Wasitiyah” hal. 14,
Zaid bin Fayyadh dan Muhammad Khalil At-Haras, hal. 16.]
Abdullah bin Mas’ud radhiallauhu ‘anhu, berkata:
الْجَمَاعَةُ مَا وَفَقَ الْحَقَّ
وَإِنْ كُنْتَ وَحْدَكَ
“JAMA’AH ADALAH APA YANG SELARAS
DENGAN KEBENARAN,
SEKALIPUN ENGKAU SEORANG DIRI.”
[lbnul Qayyim, ighatsatul Lahfan
min MashayidAsy-Saithan’ 1/70.]
Dari
‘Auf bin Malik yang berkata: Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
افْتَرَبَتِ الْيَهُودَ عَلَى إِحْدَى
وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ
وَافْتَرَقَةِ النَّصَارَى عَلَى اثْنَتَيْتِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى
وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَ وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ
لَتَفْتَرِقَنَّ أَمَّتْي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي
الجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ قِي النَّارِ
“UMAT YAHUDI BERPECAH
MENJADI TUJUH PULUH SATU GOLONGAN,
SATU GOLONGAN DI JANNAH
SEDANGKAN TUJUH PULUH GOLONGAN DI NERAKA.
UMAT NASRANI BERPECAH
MENJADI TUJUH PULUH DUA GOLONGAN,
TUJUH PULUH SATU
GOLONGAN DI NERAKA SEDANGKAN SATU GOLONGAN DI JANNAH.
DEMI ALLAH, YANG JIWAKU
DI TANGAN-NYA,
UMATKU INI AKAN BERPECAH
MENJADI TUJUH PULUH TIGA GOLONGAN,
SATU GOLONGAN DI JANNAH
SEDANGKAN TUJUH PULUH DUA GOLONGAN DI NERAKA.”
[Diriwayatkan oleb Ibnu Majah,
11/1322 dan dishahihkan oleh Al-Albani, lihat “Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir”
1/357 dan Al-Ahadits Ash-Shahihah”no. 1492. Ada beberapa riwayat mengenai
hadits ini, lihat ‘Musnad Ahmad” IV/402 dan “Aunul Ma’bud” XII/340.]
--*********--
RUKUN I M A N
MENURUT AL-FIRQAH
AN-NAJIYAH
1. Iman Kepada Allah
Ta’ala
Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah adalah
Rabb dan Raja segala sesuatu; Dialah Yang Mencipa, Yang Memberi Rezki, Yang
Menghidupkan, dan Yang Mematikan, hanya Dia yang berhak diibadahi. Kepasrahan,
kerendahan diri, ketundukan, dan segala jenis ibadah tidak boleh diberikan kepada
selain—Nya; Dia memiliki sifat-sifat kesempurnaan, keagungan, dan kemuliaan;
serta Dia bersih dari segala cacat dan kekurangan..”
2. Iman Kepada Para
Malaikat Allah
Iman kepada malaikat adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah
memiliki malaikat-malaikat, yang
diciptakan dari cahaya. Mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah,
adalah hamba-hamba Allah yang dimuliakan. Apapun yang diperintahkan kepada
mereka, mereka laksanakan. Mereka bertashih siang dan malam tanpa berhenti..
Mereka melaksanakan tugas masing-masing sesuai dengan yang diperintahkan oleh
Allah, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mutawatir dan nash-nash
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. jadi, setiap gerakan di langit dan bumi, berasal
dari para malaikat yang ditugasi di sana, sebagai pelaksanaan perintah Allah
Azza wa Jalla. Maka, wajib mengimani secara tafshil, (terperinci), para
malaikat yang namanya disebutkan oleh Allah, adapun yang belum disebutkan
namanya, wajib mengimani mereka secara ijmal, ‘global’. [“Ar-Raudhah An-Nadìyah”
hal 16 dan “AI—Aqidah At-Thahawiah’ hal. 350.]
3. Iman Kepada Kitab-kitab
Maksudnya adalah, meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Allah
memiliki kitab-kitab yang diturunkan-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya; yang benar-benar
merupakan Kalam, (firman, ucapan)-Nya. la adalah cahaya dan petunjuk. Apa yang
dikandungnya adalah benar. Tidak ada yang mengetahui jumlahnya selain Allah.
Wajib beriman secara ijmal, kecuali yang telah disebutkan namanya oleh Allah, maka
wajib untuk mengimaninya secara tafshil, yaitu: Taurat, Injil, Zabur, dan
Al-Qur’an. Selain wajib mengimani bahwa Al-Qur’an diturunkan dari sisi Allah,
wajib pula mengimani bahwa Allah telah mengucapkannya sebagaimana pula telah mengucapkan
seluruh kitab lain yang diturunkan.
Wajib pula melaksanakan berbagai perintah dan kewajiban serta
menjauhi berbagai larangan yang terdapat di dalamnya. Al-Qur’an merupakan tolok
ukur kebenaran kitab-kitab terdahulu. Hanya Al-Qur’an saja yang dijaga oleh
Allah dari pergantian dan perubahan. Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan,
dan bukan makhluk, yang berasal dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya.
[“Al-Ajwibah Al-Ushuliyah’ hal. 16 dan 17]
4. Iman Kepada Para Rasul
Iman kepada rasul-rasul adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah
mengutus para rasul untuk mengeluarkan manusia dan kegelapan kepada cahaya. Kebijaksanaan-Nya
telah menetapkan bahwa Dia mengutus para rasul itu kepda manusia untuk memberi
kabar gembira dan ancaman kepada mereka. Maka, wajib beriman kepada semua rasul
secara ijmal (global) sebagaimana wajib pula beriman secara tafshil (rinci)
kepada siapa di antara mereka yang disebut namanya oleh Allah, yaitu 25 di
antara mereka yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Wajib pula beriman
bahwa Allah telab mengutus rasul-rasul dan nabi-nabi selain mereka, yang
jumlahnya tidak diketahui oleh selain Allah, dan tidak ada yang mengetahui nama-nama
mereka selain Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Wajib pula beriman bahwa
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah yang paling mulia dan penutup para
nabi dan rasul, risalahnya meliputi bangsa jin dan manusia, serta tidak ada
nabi setelahnya.
5. Iman Kepada Kebangkitan
Setelah Mati
Iman kepada kebangkitan setelah mati adalah keyakìnan yang kuat
tentang adanya negeri akhirat. Di negeri itu Allah akan membalas kebaikan orang-orang
yang berbuat baik dan kejahatan orang-orang yang berbuat jahat. Allah mengampuni
dosa apapun selain syirik, jika Dia menghendaki. Pengertian al-ba’ts (kebangkitan)
menurut syar‘i adalah dipulihkannya badan dan dimnasukkannya kembali nyawa ke
dalamnya, sehingga manusia keluar dari kubur seperti belalang-belalang yang
bertebaran dalam keadaan hidup dan bersegera mendatangi penyeru. Kita memohon
ampunan dan kesejahteraan kepada Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
[Al-Kawasyif Al-JaÍiyah ‘An Ma’ani Al-Wasithyah’ haL 66.]
6. Iman Kepada Takdir Yang
Baik Maupun Yang Buruk Dari Allah Ta’ala.
Iman kepada takdir adalah meyakini secara sungguh-sungguh bahwa
segala kebaikan dan keburukan itu terjadi karena takdir Allah. Allah ta’ala telah
mengetahi kadar dan waktu terjadinya segala sesuatu sejak zaman azali, sebelum
menciptakan dan mengadakannya dengan kekuasaan dàn kehendak-Nya, sesuai dengan
apa yang telah diketahuí-Nya itu. Allah telah menulisnya pula di Lauh Mahfuzh sebelum
menciptakannya.
[Syarh AL-Aqidah Al-Washitiyah”, Muhammad Khalil Al-Haras, hal 19]
Banyak sekali dalil mengenai keenam rukun Iman ini, baik dari Al-Qur’an
maupun As-Sunnah.
Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
لَّيۡسَ
ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ
ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ
وَٱلنَّبِيِّۧنَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian
itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, Malaikat-malaikat, dan Nabí-nabí
..”
(Al-Baqarah : 177)
إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ
خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ
“Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut qadar (ukuran)”
(Al-Qamar: 49)
Juga
sabda Nabi dalam hadits Jibril:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَئِكَتِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“HENDAKLAH ENGKAU BERIMAN
KEPADA ALLAH,
MALAIKAT-MALAIKAT-NYA,
KITAB-KITAB-NYA,
RASUL-RASUL-NYA,
DAN HARI AKHIR,
DAN ENGKAU BERIMAN KEPADA
TAKDIR ALLAH,
YANG BAIK MAUPUN YANG BURUK.”
[Dikeluarkan oleh Muslim, I/37
no. 8]
MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL
JAMA’AH SECARA IJMAL
MENGENAI SIFAT-SIFAT ALLAH
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala, tanpa ta’thil, tamtsil,
tahrif, dan takyif, Mereka mempercayainya sebagaimana tersebut dalam nash
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
1. Tahrif
Tahrif
secara bahasa berarti merubah
dan mengganti.
Menurut
pengertian syar’i berarti: Merubah lafazh Al-Asma’ul Husna dan Sifat-sifat-Nya
Yang Maha Tinggi, atau makna-maknanya.
Tahrif ini dibagi menjadi dua:
Pertama : Tahrif dengan cara menambah,
mengurangi, atau merubah bentuk lafazh.
Contohnya
adalah ucapan kaum Jahmìyah, dan orang-orang yang mengikuti pemahaman mereka,
bahwa istawa إِسْتَوَى(berada diatas; naik) Adalah istaula
إِسْتَوْلَى (menguasai).
Disini
ada penambahan huruf lam ( ل ). Demikian
pula perkataan orang-orang Yahudi, “Hinthah (gandum) (حِنْطَةٌ)” ketika mereka diperintah untuk
mengatakan “Hiththah (bebaskan kami dari dosa)/ (حِطَّةٌ).
Contoh
lain adalah perkataan Ahli Bid’ah yang memanshubkan lafazh Allah dalam
ayat:
وَكَلَّمَ
أللَّهُ مُوسَى تَكْلِيْمًا
“Dan Allah berbicara kepada Musa dengan
langsung. “(An-Nisa’ : 164).
[memanshubkan
Maksudnya. lafazh Allah díbaca dengan harakat akhir fathah (أللهَ). Padahal semestinya harakat akhirnya
dibaca dengan dhammah (اللهُ). Dengan dímanshubkan, maka kedudukan
lafazh Allah dalam ayat tersebut menjadí obyek, sehingga arti ayat tersebut
berubah menjadi, “Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung”]
Kedua : Merubah Makna.
Artinya, tetap membiarkan
lafazh sebagaimana aslinya, tetapi melakukan perubahan terhadap maknanya.
Contohnya
adalah perkataan Ahli Bid’ah yang menafsirkan Ghadhab (marah), dengan iradatul
intiqan (keinginan untuk membalas dendam); Rahmah (kasih sayang), dengan
iradatul in’am (keinginan untuk memberi nikmat); dan Al-Yadu
(tangan), dengan an-ni’mah (nikmat).
2. Ta’thil
Ta’thil
secara bahasa berarti meniadakan. Adapun menurut pengertian syar’i adalah : meniadakan
sifat-Sifat Ilahiyah dari Allah Ta’ala, mengingkari keberadaan sifat-sifat
tersebut pada Dzat—Nya, atau mengingkari sebagian darinya. Jadi, perbedaan
antara tahrif dan ta’thil yaitu : ta’thil adalah penafian suatu makna yang benar,
yang ditunjukkan Oleh Al-Qur’an dan .As-Sunnah, sedangkan tahrif adalah penafsiran
nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan interpretasi yang bathil.
MACAM-MACAM TA’THIL
Ta’thil ada bermacam-macam:
1.
Penolakan terhadap Allah atas kesempurnaan sifat-Nya yang suci, dengan cara meniadakan
Asma’ dan Sifat-sifat-Nya atau sebagian darinya, sebagaimana yang dilakukan
oleh para penganut paham Jahmiyah dan Mu’tazilah.
2.
Meninggalkan muamalah dengan-Nya, yaitu dengan cara meninggalkan ibadah
kepada-Nya, baik secara total maupun sebagian, atau dengan cara beribadah
kepada selain-Nya di samping beribadah kepada—Nya.
3.
Meniadakan pencipta bagi makhluk.
Contohnya adalah pendapat
orang-orang yang mengatakan: Sesungguhnya, alamlah yang menciptakan segala
sesuatu dan yang mengatur dengan sendirinya.
Jadi,
setiap orang yang melakukan tahrif pasti juga melakukan ta’thil, akan tetapi
tidak semua orang yang melakukan ta’thiI melakukan tahrif Barangsiapa yang
menetapkan suatu makna yang batil dan menafikan suatu makna yang benar, maka ia
seorang pelaku tahrif sekaligus pelaku ta’thil. Adapun orang yang menafikan
sifat, maka Ia seorang mu’athil, (pelaku ta’thil), tetapi bukan muharif (pelaku
tahrif).
3. Takyif
Takyif artinya bertanya dengan kaifa, (bagaimana).
Adapun
yang dimaksud takyif di sini adalah menentukan dan memastikan hakekat
suatu sifat, dengan menetapkan bentuk/ keadaan tertentu untuknya. Meniadakan bentuk/
keadaan bukanlah berarti masa bodoh terhadap makna yang dikandung dalam
sifat-sifat tersebut, sebab makna tersebut dìketahui dari bahasa Arab. Inilah
paham yang dianut oleh kaum salaf, sebagaimana dituturkan oleh Imam Malik Rahimahullah
Ta’ala ketika ditanya tentang bentuk/ keadaan istiwa’, —bersemayam— Beliau Rahimahullah
menjawab:
الإِسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفَ مَجْهُولٌ وَالْإِمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ itu telah diketahui
(maknanya), bentuk/keadaannya tidak diketahui, mengimaninya wajib, sedangkan
menanyakannya bid’ah.”
[Fatwa Ibnu Taimiyah, V/144.]
Semua
sifat Allah menunjukkan makna yang hakiki dan pasti. Kita mengimani dan
menetapkan sifat tersebut untuk Allah, akan tetapi kita tidak mengetahui
bentuk, keadaan, dan bentuk dari sifat tersebut. Yang wajib adalah meyakini dan
menetapkan sifat-sifat tersebut maupun maknanya, secara hakiki, dengan
memasrahkan bentuk/ keadaannya. Tidak sebagaimana orang-orang yang tidak mau
tahu terhadap makna—maknanya.
4. Tamtsil
Tamsil
artinya tasybih, menyerupakan, yaitu menjadikan sesuatu yang menyerupai
Allah Ta’ala dalam sifat-sifat Dzatiyah maupun Fi’liyah-Nya.
>>
Tamtsil ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Pertama : Menyerupakan makhluk dengan
Pencipta.
Misalnya orang-orang Nasrani
yang menyerupakan Al-Masih putera Maryam dengan Allah Ta’ala dan orang-orang
Yahudi. yang menyerupakan ‘Uzair dengan Allah pula. Maha Suci Allah dari itu
semua.
Kedua : Menyerupakan Pencipta dengan makhluk.
Contohnya adalah orang-orang
yang mengatakan bahwa Allah mempunyai wajah seperti wajah yang dimilikì oleh
makhluk, memiliki pendengaran sebagaimana pendengaran yang dimiliki oleh
makhluk, dan memiliki tangan sebagaimana tangan yang dimiliki oleh makhluk,
serta penyerupaan-penyerupaan lain yang bathil. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka ucapkan.’
Source:
Syarh
Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id
bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar