7/19/2019

KISAH SYUHADAA


Di antara
Orang-Orang Beriman Ada Ksatria

Lahir dari orang tua yang berasal Jamaika dan Guyana, Abu ‘Abdillah al-Kanadiy dan adiknya Abu Ibrohim al-Kanadiy dibesarkan di kota Calgary di provinsi Alberta sebagai seorang Kristen sebelum kemudian masuk Islam. Abu ‘Abdillah adalah yang pertama masuk islam dan menghabiskan banyak waktunya untuk mempelajari agama dengan membaca buku dan mendengarkan ceramah. Saudaranya, Abu Ibrohim dengan segera mengetahuinya ketika ia datang berkunjung pada satu hari dan menemukan apartemennya benar-benar kosong kecuali hanya ada stereo yang ia gunakan untuk mendengarkan ceramah. Ketika ia menemukan Abu ‘Abdillah mendengarkan ceramah Syaikh Anwar al-’Awlaqi dengan seksama pada topik jihad, ia langsung berpikiran, “hebat, saudaraku sekarang telah menjadi seorang teroris.”

Abu ‘Abdillah mengambil kesempatan ini untuk mendakwahinya (yaitu menyerunya kepada Islam) dan memberinya terjemahan Al-Quran beserta beberapa buku-buku Islam, dan itu tidaklah lama sebelum akhirnya mereka berdua mendengarkan ceramah bersama-sama. Abu Ibrohim bersikap terbuka terhadap dakwah kakaknya karena ia sendiri telah merenungkan tentang Penciptanya dan juga kecewa dengan Kristen yang tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Ketika dia membaca buku yang diberikan oleh saudaranya, ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, dan setelah itu ia masuk Islam.

Mereka lalu mempelajari agama dan mendengarkan ceramah bersama-sama dan dengan cepat menjadi teman dekat dengan beberapa Muslim lainnya yang berada pada metodologi yang benar, termasuk Abu Tholhah al-Kanadiy taqobbalahullah di Calgary. Kemudian, ketika jihad mendatangi Syam, anggota kelompok mereka mulai meninggalkan Kanada satuper-satu dengan dalih berpergian ke luar negeri untuk belajar, dan satu-per-satu dari mereka mulai bermunculan di Syam. Dua bersaudara ini memperhatikan itu karena mereka terus mendengar dari anggota lainnya bahwa beberapa anggota kelompoknya telah sampai di tanah jihad dan bergabung dengan mujahidin. Abu Ibrohim memiliki keinginan untuk bepergian ke luar negeri dan mempelajari Islam, namun saudaranya sebagaimana anggota lainnya sudah membuat rencana untuk berhijroh dan berjihad, kemudian ia mengatakan kepada Abu Ibrohim untuk melupakan rencana belajarnya karena mereka berdua akan bergabung dengan para mujahidin.

Mereka segera berangkat ke Mesir dengan dalih akan belajar bahasa Arab, dengan harapan mereka dapat menemukan jalan ke Syam dari sana. Ketika demonstrasi terhadap toghut Mursi pecah, mereka mencoba menggunakannya sebagai kesempatan untuk meninggalkan negara itu dan mencari jalan ke Syam, tapi mereka ditahan di bandara dan diinterogasi oleh pihak berwenang Mesir. Pihak berwenang menginterogasi Abu Ibrohim, sementara Abu ‘Abdillah harus duduk di luar kantor sambil menunggu gilirannya untuk di-interogasi.

Abu Ibrohim membuat sebuah alibi ketika di-interogasi untuk menyembunyikan niatnya dan saudaranya untuk berhijroh dan bergabung dengan mujahidin. Ketika interogasi selesai, pihak berwenang membuat kesalahan dengan membiarkan saudaranya menunggu di luar kantor bahkan sebelum mereka memanggilnya. Hal Ini menajdi menit-menit berharga untuk memberitahu saudaranya apa yang ditanyakan dan bagaimana ia merespons sehingga mereka bisa mengkoordinasikan alibi / cerita. Setelah Abu ‘Abdillah di-interogasi, keduanya dibebaskan dan menjadikan mereka leluasa melanjutkan hijroh mereka dan mencari jalan ke Syam, di mana mereka lalu bergabung dengan “Jaysh al-Muhajirin wal-Anshor” di bawah pimpinan Syaikh Umar asy-Syisyani taqobbalahullah sebelum akhirnya bergabung dengan barisan Dawlah Islam beberapa bulan kemudian setelah Syaikh Umar memberikan bay’ah-nya untuk Amirul-Mu’minin Abu Bakr al-Baghdadiy hafidzohullah Ketika dua bersaudara ini tiba di Syam, mereka sangat bersemangat berlatih dan pergi keluar menuju medan perang.

Pada saat itu, para mujahidin sedang mempersiapkan operasi besar di Hamah, sehingga dua bersaudara ini keluar bersama dengan sisa batalion mereka, meninggalkan basis mereka di ‘Anadan di pedesaan Aleppo dan sisanya ditempatkan di Hamah untuk persiapan operasi. Mereka harus melatih kesabaran selama periode ini karena mereka harus menunggu kesempatan untuk berperang dan mencapai syahid. Namun bagi Abu ‘Abdillah, kesempatan itu akan tertunda karena ia dan sejumlah mujahidin lain di batalion mereka dikirim kembali ke ‘Anadan untuk menjaga basis mereka, merawat keluarga mujahidin yang berada di Hamah, dan menerima muhajirin yang baru bergabung dengan batalion. Dia bersyukur atas keputusan ini dan mengingatkan saudaranya bahwa Alloh sedang menguji kesabaran mereka, dan kesempatan mereka untuk berperang akan segera datang. Dan hal yang membantu menjaga kesabarannya sebagaimana ia menghadapi berbagai situasi sulit lainnya adalah bahwa Abu ‘Abdillah selalu mengingat akan kepastian adanya hikmah di balik keputusan Alloh.

Dengan demikian, ia tetap sabar meskipun kesempatannya untuk melakukan ribat (menjaga perbatasan) dan mengambil bagian dalam pertempuran melawan musuh-musuh Alloh akan datang di kemudian hari karena kondisi kesehatannya.

Dia memiliki kelainan darah yang membuatnya sulit untuk ikut serta dalam kegiatan yang dapat menyebabkan kesibukan atau stres. Namun, sebagaimana saudaranya yang menolak untuk membiarkan asmanya menghalagi jalan untuk berperang Fie sabilillah, demikian pula dengan Abu ‘Abdillah yang menolak untuk membiarkan kondisinya mencegah dia dari melakukan hal yang sama. Mereka berdua berjuang untuk berhijroh meskipun dengan kondisi mereka, dan tidak akan menyerah sebelum sampai pada titik yang mereka tuju. Setelah itu, Abu Ibrohim melakukan ribat dan juga mengambil bagian dalam sejumlah pertempuran, baik di Aleppo maupun di Hamah, sedangkan Abu ‘Abdillah menunggu dengan sabar sampai akhirnya datang peluangnya untuk melakukan ribat dan berperang beberapa bulan setelah dimulainya shohawat di Syam. Selama periode menunggu dan mempersiapkan ini, Abu ‘Abdillah berkontribusi dengan membantu upaya mujahidin pada peran lainnya.

Saudaranya telah mengambil bagian dalam operasi di Hamah, kemudian keluar dan bergabung bersama sekelompok mujahidin yang berupaya untuk mengusai kota Safiroh di pedesaan Aleppo dari rezim Nushoyriy beberapa saat sebelum dimulainya shohawat di Syam. Dia mengambil bagian dalam pertempuran di desa Tall Hasil yang berada didekat Safiroh dan dengan cepat mengajukan diri sebagai relawan ketika Komandannya meminta sekelompok ikhwah untuk menyusup ke wilayah Nushoyriy. Selama operasi, Abu Ibrohim tertembak dikakinya oleh penembak jitu.

Pelurunya menembus tulang dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk pemulihan sebelum ia akhirnya kembali ke pertempuran beberapa bulan kemudian. Selama masa pemulihan, ia membantu para mujahidin sesuai kapasitasnya, seperti mengelola keuangan batalion dan peralatan. Selama periode ini, dua bersaudara terus mendengar beberapa teman mereka dari Calgary mencapai syahid satu persatu. Mereka juga mengetahui Kehadiran Abu Tholhah al-Kanadiy di kota Aleppo dan bersemangat untuk bertemu dengannya. Mereka akhirnya mendapat kesempatan untuk melihatnya tak lama sebelum ia syahid setelah awal masa shohawat.

Beberapa bulan kemudian, Abu Ibrohim kembali ke garis depan sebagaimana Dawlah Islam melanjutkan serangan offensif di Sirrin terhadap murtaddin dari Liwa’ Thuwwar ar-Roqqoh, sebuah operasi di mana ia bertugas memimpin kelompok yang berisi sekitar selusin mujahidin. Dia lebih cocok pada peran ini daripada ikhwah lainnya, karena ia telah mendedikasikan sebagian besar waktu luangnya untuk mempelajari taktik dan strategi. Setelah mujahidin menguasai kota dan kemudian gudang penyimpanan biji-bijian, ia dan saudaranya tetap ditempatkan di sana dan ribath bersama dengan batalion mereka dalam rangka mempertahankankota terhadap setiap upaya maju dari PKK.

Tak lama kemudian, mereka berdua menuju ke Syaddadiy dan mengambil bagian dalam pertempuran yang terjadi di wilayah tersebut, selain itu juga mengambil bagian dalam pertempuran di sekitar Sirrin. Ketika Dawlah Islam membuat kemajuan besar di ‘Ayn al-Islam, dua bersaudara ini bertempur di barisan tentara Khilafah untuk maju ke arah kota, dan melanjutkan perannya dalam Gozwah dan ribat di pedesaan ‘Ayn al-Islam semasa pertempuran yang terus berkecamuk di dalam kota. Mereka dikenal sangat sengit dalam pertempuran, dan juga sangat murah hati terhadap saudara-saudaranya. Mereka akan membelikan peralatan bagi sesama mujahidin ketika melihat mereka membutuhkannya, dan juga mengizinkan mereka untuk meminjam senjatanya yang mahal untuk digunakan dalam pertempuran. Abu ‘Abdillah bahkan menyerahkan senjata pertamanya setelah dia membeli yang baru.
Beberapa bulan setelah dimulainya Gozwah untuk membebaskan ‘Ayn al-Islam dan intervensi koalisi salibis, Abu Ibrohim dan Abu ‘Abdillah mencapai syahid dalam serangan udara salibis ketika ditempatkan di Ashrof, area yang berdekatan dengan dataran Dabiq. Mereka berdua sangatlah dekat sepanjang kehidupannya dan sekarang mereka telah mencapai tujuan mereka juga bersama-sama. Mereka telah meninggalkan Kristen dan masuk Islam bersama-sama, belajar bersama, berhijroh bersama-sama, berjuang bersama-sama, dan terbunuh bersama-sama. Semoga Alloh mengumpulkan mereka bersama-sama pada hari kiamat dan masukkan mereka ke surga tingkat tertinggi.

Ditarjamah dan diseberluaskan oleh tim Penyebar berita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...