Di antara
Orang-Orang Beriman
Ada Ksatria
Lahir dari orang tua yang berasal Jamaika dan Guyana, Abu
‘Abdillah al-Kanadiy dan adiknya Abu Ibrohim al-Kanadiy dibesarkan di kota
Calgary di provinsi Alberta sebagai seorang Kristen sebelum kemudian masuk
Islam. Abu ‘Abdillah adalah yang pertama masuk islam dan menghabiskan banyak
waktunya untuk mempelajari agama dengan membaca buku dan mendengarkan ceramah.
Saudaranya, Abu Ibrohim dengan segera mengetahuinya ketika ia datang berkunjung
pada satu hari dan menemukan apartemennya benar-benar kosong kecuali hanya ada
stereo yang ia gunakan untuk mendengarkan ceramah. Ketika ia menemukan Abu ‘Abdillah
mendengarkan ceramah Syaikh Anwar al-’Awlaqi dengan seksama pada topik jihad,
ia langsung berpikiran, “hebat, saudaraku sekarang telah menjadi seorang
teroris.”
Abu ‘Abdillah mengambil kesempatan ini untuk
mendakwahinya (yaitu menyerunya kepada Islam) dan memberinya terjemahan
Al-Quran beserta beberapa buku-buku Islam, dan itu tidaklah lama sebelum
akhirnya mereka berdua mendengarkan ceramah bersama-sama. Abu Ibrohim bersikap terbuka
terhadap dakwah kakaknya karena ia sendiri telah merenungkan tentang
Penciptanya dan juga kecewa dengan Kristen yang tidak mampu memberikan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaannya. Ketika dia membaca buku yang diberikan oleh
saudaranya, ia menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, dan setelah itu
ia masuk Islam.
Mereka lalu mempelajari agama dan mendengarkan ceramah bersama-sama
dan dengan cepat menjadi teman dekat dengan beberapa Muslim lainnya yang berada
pada metodologi yang benar, termasuk Abu Tholhah al-Kanadiy taqobbalahullah di
Calgary. Kemudian, ketika jihad mendatangi Syam, anggota kelompok mereka mulai
meninggalkan Kanada satuper-satu dengan dalih berpergian ke luar negeri untuk belajar,
dan satu-per-satu dari mereka mulai bermunculan di Syam. Dua bersaudara ini
memperhatikan itu karena mereka terus mendengar dari anggota lainnya bahwa
beberapa anggota kelompoknya telah sampai di tanah jihad dan bergabung dengan
mujahidin. Abu Ibrohim memiliki keinginan untuk bepergian ke luar negeri dan
mempelajari Islam, namun saudaranya sebagaimana anggota lainnya sudah membuat
rencana untuk berhijroh dan berjihad, kemudian ia mengatakan kepada Abu Ibrohim
untuk melupakan rencana belajarnya karena mereka berdua akan bergabung dengan
para mujahidin.
Mereka segera berangkat ke Mesir dengan dalih akan
belajar bahasa Arab, dengan harapan mereka dapat menemukan jalan ke Syam dari
sana. Ketika demonstrasi terhadap toghut Mursi pecah, mereka mencoba
menggunakannya sebagai kesempatan untuk meninggalkan negara itu dan mencari
jalan ke Syam, tapi mereka ditahan di bandara dan diinterogasi oleh pihak berwenang
Mesir. Pihak berwenang menginterogasi Abu Ibrohim, sementara Abu ‘Abdillah
harus duduk di luar kantor sambil menunggu gilirannya untuk di-interogasi.
Abu Ibrohim membuat sebuah alibi ketika di-interogasi
untuk menyembunyikan niatnya dan saudaranya untuk berhijroh dan bergabung
dengan mujahidin. Ketika interogasi selesai, pihak berwenang membuat kesalahan
dengan membiarkan saudaranya menunggu di luar kantor bahkan sebelum mereka memanggilnya.
Hal Ini menajdi menit-menit berharga untuk memberitahu saudaranya apa yang
ditanyakan dan bagaimana ia merespons sehingga mereka bisa mengkoordinasikan alibi
/ cerita. Setelah Abu ‘Abdillah di-interogasi, keduanya
dibebaskan dan menjadikan mereka leluasa melanjutkan hijroh mereka dan mencari jalan
ke Syam, di mana mereka lalu bergabung dengan “Jaysh al-Muhajirin wal-Anshor”
di bawah pimpinan Syaikh Umar asy-Syisyani taqobbalahullah sebelum akhirnya
bergabung dengan barisan Dawlah Islam beberapa bulan kemudian setelah Syaikh
Umar memberikan bay’ah-nya untuk Amirul-Mu’minin Abu Bakr al-Baghdadiy hafidzohullah
Ketika dua bersaudara ini tiba di Syam, mereka sangat bersemangat berlatih dan
pergi keluar menuju medan perang.
Pada saat itu, para mujahidin sedang mempersiapkan
operasi besar di Hamah, sehingga dua bersaudara ini keluar bersama dengan sisa
batalion mereka, meninggalkan basis mereka di ‘Anadan di pedesaan Aleppo dan
sisanya ditempatkan di Hamah untuk persiapan operasi. Mereka harus melatih kesabaran
selama periode ini karena mereka harus menunggu kesempatan untuk berperang dan
mencapai syahid. Namun bagi Abu ‘Abdillah, kesempatan itu akan tertunda karena
ia dan sejumlah mujahidin lain di batalion mereka dikirim kembali ke ‘Anadan
untuk menjaga basis mereka, merawat keluarga mujahidin yang berada di Hamah,
dan menerima muhajirin yang baru bergabung dengan batalion. Dia bersyukur atas
keputusan ini dan mengingatkan saudaranya bahwa Alloh sedang menguji kesabaran
mereka, dan kesempatan mereka untuk berperang akan segera datang. Dan hal yang
membantu menjaga kesabarannya sebagaimana ia menghadapi berbagai situasi sulit
lainnya adalah bahwa Abu ‘Abdillah selalu mengingat akan kepastian adanya
hikmah di balik keputusan Alloh.
Dengan demikian, ia tetap sabar meskipun kesempatannya untuk
melakukan ribat (menjaga perbatasan) dan mengambil bagian dalam pertempuran
melawan musuh-musuh Alloh akan datang di kemudian hari karena kondisi
kesehatannya.
Dia memiliki kelainan darah yang membuatnya sulit untuk ikut
serta dalam kegiatan yang dapat menyebabkan kesibukan atau stres. Namun,
sebagaimana saudaranya yang menolak untuk membiarkan asmanya menghalagi jalan
untuk berperang Fie sabilillah, demikian pula dengan Abu ‘Abdillah yang menolak
untuk membiarkan kondisinya mencegah dia dari melakukan hal yang sama. Mereka
berdua berjuang untuk berhijroh meskipun dengan kondisi mereka, dan tidak akan menyerah
sebelum sampai pada titik yang mereka tuju. Setelah itu, Abu Ibrohim melakukan
ribat dan juga mengambil bagian dalam sejumlah pertempuran, baik di Aleppo
maupun di Hamah, sedangkan Abu ‘Abdillah menunggu dengan sabar sampai akhirnya
datang peluangnya untuk melakukan ribat dan berperang beberapa bulan setelah
dimulainya shohawat di Syam. Selama periode menunggu dan mempersiapkan ini, Abu
‘Abdillah berkontribusi dengan membantu upaya mujahidin pada peran lainnya.
Saudaranya telah mengambil bagian dalam operasi di Hamah,
kemudian keluar dan bergabung bersama sekelompok mujahidin yang berupaya untuk
mengusai kota Safiroh di pedesaan Aleppo dari rezim Nushoyriy beberapa saat
sebelum dimulainya shohawat di Syam. Dia mengambil bagian dalam pertempuran di
desa Tall Hasil yang berada didekat Safiroh dan dengan cepat mengajukan diri
sebagai relawan ketika Komandannya meminta sekelompok ikhwah untuk menyusup ke
wilayah Nushoyriy. Selama operasi, Abu Ibrohim tertembak dikakinya oleh
penembak jitu.
Pelurunya menembus tulang dan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk pemulihan sebelum ia akhirnya kembali ke pertempuran beberapa
bulan kemudian. Selama masa pemulihan, ia membantu para mujahidin sesuai kapasitasnya,
seperti mengelola keuangan batalion dan peralatan. Selama periode ini, dua
bersaudara terus mendengar beberapa teman mereka dari Calgary mencapai syahid
satu persatu. Mereka juga mengetahui Kehadiran Abu Tholhah al-Kanadiy di kota
Aleppo dan bersemangat untuk bertemu dengannya. Mereka akhirnya mendapat
kesempatan untuk melihatnya tak lama sebelum ia syahid setelah awal masa shohawat.
Beberapa bulan kemudian, Abu Ibrohim kembali ke garis depan
sebagaimana Dawlah Islam melanjutkan serangan offensif di Sirrin terhadap
murtaddin dari Liwa’ Thuwwar ar-Roqqoh, sebuah operasi di mana ia bertugas
memimpin kelompok yang berisi sekitar selusin mujahidin. Dia lebih cocok pada
peran ini daripada ikhwah lainnya, karena ia telah mendedikasikan sebagian
besar waktu luangnya untuk mempelajari taktik dan strategi. Setelah mujahidin menguasai
kota dan kemudian gudang penyimpanan biji-bijian, ia dan saudaranya tetap
ditempatkan di sana dan ribath bersama dengan batalion mereka dalam rangka
mempertahankankota terhadap setiap upaya maju dari PKK.
Tak lama kemudian, mereka berdua menuju ke Syaddadiy dan
mengambil bagian dalam pertempuran yang terjadi di wilayah tersebut, selain itu
juga mengambil bagian dalam pertempuran di sekitar Sirrin. Ketika Dawlah Islam
membuat kemajuan besar di ‘Ayn al-Islam, dua bersaudara ini bertempur di
barisan tentara Khilafah untuk maju ke arah kota, dan melanjutkan perannya
dalam Gozwah dan ribat di pedesaan ‘Ayn al-Islam semasa pertempuran yang terus berkecamuk
di dalam kota. Mereka dikenal sangat sengit dalam pertempuran, dan juga sangat
murah hati terhadap saudara-saudaranya. Mereka akan membelikan peralatan bagi sesama
mujahidin ketika melihat mereka membutuhkannya, dan juga mengizinkan mereka
untuk meminjam senjatanya yang mahal untuk digunakan dalam pertempuran. Abu ‘Abdillah
bahkan menyerahkan senjata pertamanya setelah dia membeli yang baru.
Beberapa bulan setelah dimulainya Gozwah untuk
membebaskan ‘Ayn al-Islam dan intervensi koalisi salibis, Abu Ibrohim dan Abu ‘Abdillah
mencapai syahid dalam serangan udara salibis ketika ditempatkan di Ashrof, area
yang berdekatan dengan dataran Dabiq. Mereka berdua sangatlah dekat sepanjang
kehidupannya dan sekarang mereka telah mencapai tujuan mereka juga
bersama-sama. Mereka telah meninggalkan Kristen dan masuk Islam bersama-sama, belajar
bersama, berhijroh bersama-sama, berjuang bersama-sama, dan terbunuh
bersama-sama. Semoga Alloh mengumpulkan mereka bersama-sama pada hari kiamat dan
masukkan mereka ke surga tingkat tertinggi.
Ditarjamah
dan diseberluaskan oleh tim Penyebar berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar