Istiqamah Oleh :Ibnu Qayyim AI-Jauziyah
Allah
berfirman,
إِنَّ
ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ
أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ
تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah kemudian mereka ISTIQAMAH (meneguhkan
pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan),
‘Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa sedih, dan bergembiralah
kalian dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian”.
(Fushshilat: 30).
“Orang-orang yang
mengatakan, Rabb kami ialah Allah kemudian mereka tetap Istiqamah, maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan”
(AI-Ahqaf: 13-14).
“Maka tetaplah Istiqamah
kamu sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat
beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kalian kerjakan.”
(Hud: 112).
Allah telah menjelaskan bahwa Istiqamah merupakan
kebalikan dari sikap yang melampaui batas.
Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang paling lurus
dan jujur serta yang paling istiqamah dalam umat ini pernah ditanya tentang
makna istiqamah. Maka dia menjawab, “Artinya, janganlah engkau menyekutukan
sesuatu pun dengan Allah. “ Maksudnya, istiqamah adalah berada dalam tauhid
yang murni.
Umar bin Al-Khaththab
juga berkata, “lstiqamah artinya engkau teguh hati pada perintah dan larangan
dan tidak menyimpang seperti jalannya rubah.”
Utsman bin Affan berkata,
“Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Allah”
Ali bin Abu Thalib dan
lbnu Abbas berkata, “Istiqamah artinya melaksanakan kewajiban-kewajiban.”
Al-Hasan berkata,
“Istiqamah pada perintah Allah artinya taat kepada Allah dan menjauhi
kedurhakaan kepada-Nya.”
Mujahid berkata,
“Istiqamah artinya teguh hati pada syahadat bahwa tiada Ilah selain Allah
hingga bersua Allah.”
Saya pernah mendengar
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata,
“Istiqamah artinya teguh
hati untuk mencintai dan beribadah kepada-Nya, tidak menoleh dari-Nya ke kiri
atau ke kanan.”
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dan Sufyan
bin Abdùllah Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam, sehingga áku tidák lagi
bertanya lagi kepada seseorang selain engkau.”
Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman
kepada Allah’, kemudian Istiqomahlah”
Di dalam Shahih Muslim disebutkan dan Tsauban
Radhiyallahu ’Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
اسْتَقِيمُوا
وَلَنْ تُحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ الصَّلَاةَ وَلَا
يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إِلَّا مُؤْمِنٌ
“Istiqamahlah kalian dan sekali-kali
kalian tidak bisa membilangnya. Ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah
shalat, dan tidak ada yang memelihara wudhu’ kecuali orang mukmin”
Di dalam Shahih Muslim juga disebutkan dari
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
berliau bersabda :
سَدَّدُوا
وَقَارِبُوا وَاعْلُمُوا أَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَيْسَ بِمُنْجِيهِ عَمُلُهُ,
قَالُوا: وَلَا أَنْتَ يَا رَسُول اللهِ؟ قَالَ: وَلَا أَنَا إِلَّا
أَنْيَتَغَمَّدَنِي اللهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ وَفَضْلٍ
“Ikutilah jalan lurus
dan berbuatlah apa yang mendekatinya.
Ketahuilah bahwa
sekali-kali salah seorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalnya”
Mereka bertanya,
“Tidak pula engkau wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab,
“Tidak pula aku,
kecuali jika Allah melimpahiku
dengan rahmat dan karunia-Nya.”
Di dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallâm menghimpun semua sendi agama. Belìau memerintahkan istiqamah,
jalan lurus dan niat yang benar dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan di
dalam hadits Tsauban beliau mengabarkan bahwa mereka tidak mampu melakukannya.
Maka beliau mengalihkannya kepada muqarabah, atau mendekati istiqamah
menurut kesanggupan mereka, seperti orang yang ingin mencapai suatu tujuan.
Kalau pun dia tidak mampu mencapainya, maka minimal dia mendekatinya. Sekalipun
begitu beliau mengabarkan bahwa istiqamah dan apa yang mendekati istiqamah ini
tidak menjamin keselamatan pada hari kiamat. Maka seseorang tidak boleh
mengandalkan amalnya, tidak membanggakannya dan tidak melihat bahwa
keselamatannya tergantung pada amalnya, tapi keselamatannya tergantung dan rahmat
dan karunia Allah.
Istiqamah merupakan kalimat yang mengandung
banyak makna, meliputi berbagai sisi agama, yaitu berdiri di hadapan Allah
secara hakiki dan memenuhi janji. Istiqamah berkaitan dengan perkataan,
perbuatan, keadaan dan niat. Istiqamah dalam perkara-perkara ini berarti. Pelaksanaannya
karena Allah, beserta Allah dan berdasarkan perintah Allah. Sebagian orang arif
berkata, “Jadilah orang yang memiliki istiqamah dan janganlah menjadi orang yang mencari
kemuliaan, karena jiwamu bergerak untuk mencari kemuliaan, sementara Rabb-mu
memintamu untuk istiqamah”.
Saya pernah mendengar Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Kemuliaan yang paling besar adalah mengikuti istiqamah.”
Menurut pengarang Manazilus-Sa’irin,
istiqamah merupakan ruh, yang karenanya keadaan menjadi hidup dan juga
menyuburkan amal manusia secara umum. Istiqamah merupakan penyekat antara dua
hal yang ada di bawah dan yang di atas.
Dia menyerupakan istiqamah dari suatu keadaan
seperti ruh bagi badan. Sebagaimana badan yang tidak memiliki ruh sama dengan
mayat, maka keadaan yang tidak memiliki istiqamah tentu akan rusak. Karena
kehidupan keadaan hanya dengan istiqamah, maka tambahan dan pertumbuhan amal
orang-orang yang zuhud hanya dengan istiqamah.
Istiqamah diserupakan dengan penyekat antara
dua hal yang berbeda, antara yang di atas dan yang di bawah. Orang yang berada
di permukaan yang tinggi tentu bisa melihat yang dekat maupun yang jauh, berbeda
dengan orang yang berada di tempat yang permukaannya lebih rendah. Dengan kata
lain, bahwa orang yang berjalan kepada Allah, pada mulanya dia berada di
permukaan yang lebih rendah, lalu dia berj alan menuju tempat yang Iebih
tinggi, istiqamah dalam perjalanannya, agar dia benar-benar sampai ke
puncaknya. Istiqamahnya merupakan penyekat dan batas antara tempat permulaan perjalanannya
dan tempat tujuannya.
Menurut
pengarang Manazilus Sa’irin, ada Tiga Derajat Istiqamah, yaitu:
1 . Istiqamah dalam
usaha untuk melalui jalan tengah, tidak melampaui rancangan ilmu, tidak
melanggar batasan ikhlas dan tidak menyalahi manhaj As-Sunnah.
Derajat ini meliputi lima perkara:
·
Amal dan usaha yang dimungkinkan.
·
Jalan tengah, yaitu perilaku antara
sisi berlebih-lebihan atau kesewenang-wenangan dan pengabaian atau penyia-nyiaan.
·
Berada pada rancangan dan gambaran
ilmu, tidak berada pada tuntutan keadaan.
·
Kehendak untuk mengesakan sesembahan,
yaitu ikhlas.
·
Menempatkan amal pada perintah, atau
mengikuti As-Sunnah.
Lima perkara inilah yang menyempurnakan
istiqamahnya orang-orang yang berada pada derajat ini. Selagi keluar dari salah
satu di antaranya, berarti mereka keluar dari istiqamah, entah keluar secara
keseluruhan ataukah sebagiannya saja. Biasanya orang-orang salaf menyebutkan
dua sendi ini, yaitu jalan tengah dalam amal dan berpegang kepada As-Sunnah.
Sesungguhnya syetan itu bisa mencium hati hamba dan juga mengintainya. Jika dia
melihat suatu indikasi ke bid’ah di dalamnya dan berpaling dan kesempurnaan
ketundukan kepada As-Sunnah, maka ia akan mengeluarkannya agar tidak berpegang kepada
As-Sunnah. Jika syetan melihat hasrat yang kuat terhadap As-Sunnah, maka ia
tidak akan mampu mempengaruhinya untuk mengeIuarkannya dari As-Sunnah. Maka ia
memerintahkannyauntuk terus berusaha, lalu bersikap sewenang-wenang terhadap diri
sendiri dan keluar dari jalan tengah, seraya berkata kepadanya, “Ini merupakan
kebaikan dan ketaatan. Semakin semangat dalam berusaha, semakin menyempurnakan
ketaatanku.” Begitulah yang terus dibisikkan syetan hingga dia keluar dari
jalan tengah dan batasannya.
lnilah keadaan golongan Khawarij yang
melecehkan orang-orang yang istiqamah, dengan membandingkan shalat, puasa dan
bacaan Al-Qur’an di antara mereka. Kedua golongan ini sama-sama keluar dan As-Sunnah
ke bid’ah.
Yang pertama keluar ke bid’ah pengabaian dan
yang kedua keluar ke bid’ah kelewat batas.
2. Istiqamah keadaan,
yaitu mempersaksikan hakìkat dan bukan keberuntungan, menolak bualan dan bukan
ilmu, berada pada cahaya kesadaran dan bukan mewaspadainya.
Dengan kata lain, istiqamah keadaan dilakukan
dengan tiga cara ini. Kaitannya dengan kesaksian hakikat, maka hakikat itu ada
dua macam: Hakikat alam dan hakikat agama, yang dipadukan hakikat ketiga, yaitu
sumber, pembentuk dan sekaligus tujuan keduanya. Mayoritas pemerhati masalah
perilaku dari muta’akhirin mengartikan hakikat ini adalah hakikat alam.
Kesaksiannya merupakan kesaksian kesendirian Allah dalam perbuatan. Sedangkan
selain Allah merupakan tempat obyek hukum dan perbuatan-Nya, seperti halnya
tempat landai yang menjadi sasaran aliran air. Menurut mereka, kesaksian
hakikat ini merupakan tujuan orang-orang yang berjalan kepada Allah.
Kesaksian
hakikat ini tidak bisa dilakukan dengan keberuntungan, karena keberuntungan
merupakan kehendak nafsu. Sementara hakikat tidak akan muncul selagi ada nafsu.
Perkataan, ‘MenoIak bualan dan bukan ilmu”,
bualan ini berarti mengaitkan keadaan kepada dirimu dan egoismemu. Istiqamah
tidak akan menjadi benar kecuali dengan meninggalkan bualan ini, entah benar entah
salah. Sebab bualan yang benar bisa memadamkan cahaya ma’rifat. Lalu bagaimana
jika bualan itu jelas dusta? Lalu pendorong untuk meninggalkan bualan ini bukan
sekedar pengetahuan tentang keburukan bualan dan dampaknya yang bisa
menghilangkan istiqamah, sehingga seseorang meninggalkannya hanya sekedar di
luarnya saja dan bukan secara hakiki. Dia harus meninggalkannya secara lahir dan
hakiki, sebagaimana seseorang yang meninggalkan sesuatu yang berbahaya bagi
dirinya secara lahir dan hakiki.
Perkataan, “Berada pada cahaya kesadaran dan
bukan mewaspadainya”, artinya terus-menerus sadar dan cahayanya tidak boleh
padam karena kegelapan kelalaian, dan melihat bahwa dirinya seperti orang yang
hendak dirampas, namun mendapat penjagaan dari Allah, dan tidak melihat bahwa
hal itu merupakan kewaspadaannya sendiri.
3. lstiqamah dengan
tidak melihat Istiqamah, tidak lengah untuk mencari Istiqamah dan keberadaannya
pada kebenaran.
Melihat istiqamah diri sendiri bisa menutupi
hakikat kesaksian dan melalaikan apa yang dipersaksikannya. Sedangkan tidak
Iengah mencari istiqamah artinya tidak Iengah mencari kesaksian penegakan
kebenaran. Jika seorang hamba mempersaksikan bahwa Allahlah yang menegakkan
segala urusan dan istiqamahnya berasal dari Allah, bukan berasal dari dirinya
dan juga bukan karena pencariannya, maka dia akan merasa bahwa bukan dirinyalah
yang mendatangkan istiqamah itu. ini merupakan konsekuensi dari kesaksian
terhadap asma Allah Al-Qayyum. Artinya keyakinan bahwa hanya Allah
sendirilah yang menangani segala urusan dan Dia tidak membutuhkan selain-Nya,
tapi semua selain-Nya tentu membutuhkan-Nya.
Source:
Madarijus-Salikin
(Pendakian Menuju Allah)
Penulis
: Ibnu Qayyim AI-Jauziyah;
penerjemah: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.
penerjemah: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar