Hijrahku menuju Daulah Islam tidak
berbeda dengan hijrah kebanyakan orang selainku yang berusaha meninggalkan
negeri-negeri kafir demi hidup di negeri tauhid. Aku harus berlepas diri dari
daya dan kekuatanku, serta bertawakal kepada Allah semata guna mendapatkan
jalan keluar dari beragam bahaya dan kesulitan yang aku temui di jalan. Semua
kesulitan itu menjadi salah satu faktor mensucikan jiwa yang mengokohkanku
serta mempersiapkan kita untuk sabar dan teguh di hadapan segala rintangan yang
kita hadapi hari ini, setelah seluruh dunia berhimpun melawan Khilafah dalam
rangka memadamkan cahaya Allah Ta’ala.
Kabar Kesyahidan Mantan Suami,
Semoga Allah Menerimanya
Mantan suamiku –semoga Allah menerimanya—bertempur
bersama mujahidin Daulah Islam di Syam, di saat diriku tengah berada di
Australia bersama anak-anak kami; menanti isyarat darinya untuk berangkat
bergabung bersamanya. Enam bulan kami lalui, tepatnya pada Desember 2013, dia
bercerita kepadaku, “Aku ingin menekankan kepadamu bahwa aku telah berbaiat
kepada Daulah Islam di Irak dan Syam, amirnya adalah Abu Bakar Al-Baghdadi
Al-Husaini Al-Qurasyi. Kami telah menduga akan terjadinya pengkhianatan
faksi-faksi lainnya terhadap kami, dan mereka memerangi kami melalui media.
Sejatinya Jabhah Nushrah tidaklah seperti yang kita kira. Bahkan Daulah Islam,
mereka adalah para mujahid sejati. Mereka tidak berperang demi demokrasi atau
nasionalisme, namun demi berhukum kepada syariat. Para ikhwah bukanlah
orang-orang maksum, mereka memiliki kesalahan, namun tidak ada selain mereka
yang berakidah lurus dan manhaj yang benar. Dan demi Allah, sejatinya deklarasi
Khilafah telah dekat, dan ia (Khilafah) takkan datang selain dari mereka, bukan
dari selain mereka. Maka milikilah selalu niatan tulus dalam mencari kebenaran,
karena Allah takkan menelantarkanmu, dan bertawakallah kepada-Nya.”
Tak lama berselang, pada 4 Januari, dikabarkan bahwa
mantan suamiku bergabung dengan sekelompok mujahidin di kota Haritan, Wilayah
Aleppo. Mereka berangkat untuk membela saudara-saudara mereka yang dikhianati
oleh Shahawat. Namun selama di perjalanan menuju para ikhwah, mereka diserang
oleh kelompok kriminal “Liwa At-Tauhid”. Terjadilah baku-tembak dengan mereka
selama hampir setengah jam, sebelum mantan suamiku mendapatkan luka serius
disebabkan peluru yang bersarang di rahangnya. Ikhwah menariknya dari garis
baku tembak. Beberapa menit kemudian, dia melafalkan kalimat syahadat dan
kembali ke haribaan Rabbnya e berada di perut burung hijau berpelita yang
menggantung di Arasy Allah Maha Pengasih, insyaa Allah.
Kabar tersebut terasa sangat manis sekaligus pahit.
Aku merasa gembira karena Allah tidak mengharamkan kesyahidan yang telah
didambakannya –demikian aku menilainya dan Allah sebaik-baik penilai. Namun
juga, aku merasa khawatir karena berarti aku terpaksa berhijrah sendirian
bersama anak-anak kami.
Murtadin Membuka Aib, Mujahidin Senantiasa Jujur
Tidak butuh waktu lama hingga Allah membuka aib
Shahawat yang bekerjasama dengan orang-orang kafir dan para thaghut. Dari
mereka, Shahawat mendapatkan dana serta beragam bantuan lainnya. Mereka tidak
dapat mengimplementasikan syariat di setiap tanah yang mereka kuasai. Alih-alih
mampu memberikan keamanan dan kedamaian kepada kaum muslimin, justru kezaliman
dan kesewenang-wenangan bersebaran di wilayah-wilayah mereka. Sementara itu,
Daulah Islam sukses membebaskan kota Raqqah dan kota-kota lainnya di Syam,
serta menerapkan syariat di seluruh daerah kekuasaannya. Tetapi hal ini tidak
mencegah pengklaim Islam dan jihad untuk mencela mujahidin dan menistakan
mereka. Orang-orang itu menihilkan tindakan-tindakan mujahidin demi
menyenangkan orang-orang kafir, serta menuduh Daulah Islam telah mendistorsi
Islam. Namun sejatinya, mereka adalah para «ulama» yang kecanduan media-media
sosial; cuitan-cuitan mereka melalaikan manusia. Merekalah yang menyelewengkan
agama kita yang suci, dengan memotivasi manusia untuk mencoblos dalam
pemilu-pemilu kafir, rela hidup berdampingan penuh damai bersama orang-orang
kafir, serta menerima hukum para thaghut, dan perkara-perkara sesat lainnya.
Sementara Daulah Islam, dengan berbagai penaklukkannya
di Syam, tujuan-tujuannya senantiasa jelas. Mereka bercita-cita melapangkan
jalan untuk mengembalikan Khilafah, mereka adalah para mujahid yang jujur. Aku
berharap anak-anakku dan juga diriku berpartisipasi bersama mereka dalam
kampanye mulia mereka itu. Aku berharap anak-anakku dididik di bawah naungan
Khilafah; di mana mereka mempelajari akidah lurus dalam lingkungan yang bersih
dari kekafiran, kesyirikan, perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan secara
terbuka, dan pemujaan terhadap kemaksiatan. Sebagaimana aku mendambakan mereka
hidup dalam realita jihad. Karena jihad bukan sekadar lembaran-lembaran yang
hanya dibaca dalam kitab-kitab sejarah dan tafsir. Semua itu agar kita
mendapatkan keberuntungan di dunia dan kembali kepada Allah Ta’ala sebagai
syuhada, bukan sebagai orang-orang fasik.
Aku semakin tidak
tahan hidup di Australia. “Petunjuk” yang diberikan para ulama kami kepada kami membuat kami
muak. Bagi mereka, jalan untuk menolong orang-orang lemah dan tertindas tidak
lebih dari menyedekahkan 30 Dolar sebulan kepada badan amal. Ini adalah batasan
ketentuan yang dipijak para pengecut pemalas, bukan para lelaki jujur! Tatkala
umat berada dalam keterpurukan, kekalahan, dan terpukul disebabkan kita
meninggalkan jihad dan ketiadaan Khilafah, maka jihad menjadi satu-satunya
jalan menuju kemenangan, kekuatan, keberuntungan, dan kekuasaan di muka bumi,
serta keberuntungan di akhirat. Adakah para penyeru kesesatan mau mengakui hal
itu dan secara terang-terangan mengumandangkannya?
Langkah Pertama di Jalan Hijrah
Setelah syahidnya mantan suamiku, aku mulai
mempersiapkan hijrahku menuju Syam. Aku berangkat tak lama setelah menyelesaikan masa idahku,
namun aku merasa khawatir karena masih tinggal bersama kedua orangtuaku. Aku
tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa pergi tanpa kecurigaan keduanya
kepadaku. Aku berdoa kepada Allah dalam qiamulail (shalat tahajud), aku
memanjatkan doa, “Ya Allah, jauhkanlah siapa saja yang ingin menghalangiku di
jalan hijrah untuk merintangiku, butakanlah pandangannya!”
Allah mengabulkan doaku. Ayahku mendapat panggilan
telepon dan diinformasikan bahwa dia harus menghadiri rapat kerja yang
mengharuskannya bepergian via laut. Untuk hal itu, ayah pergi bersama ibuku.
Kemudian saudara-saudaraku disibukkan dengan urusan-urusan pribadi mereka,
sehingga memalingkan perhatian mereka dari diriku dan dari rencana hijrahku.
Pun demikian, Allah juga membutakan pandangan dinas keamanan Australia yang tak
berdaya mengumpulkan berbagai bukti untuk mencegahku bepergian dengan pesawat,
di tengah gencarnya upaya yang mereka lakukan untuk hal itu.
Aku kemudian mengatur penerbangan, seolah-olah aku
hendak pergi ke Libanon, untuk mengelabui orang-orang bahwa aku ingin
mengunjungi kerabatku di sana. Namun sesungguhnya aku berniat membeli tiket pesawat
menuju Turki, sesampainya pesawat mendarat di kota Abu Dhabi.
Beberapa hari sebelum perjalananku, saudara-saudara
lelakiku mengetahui rencana kepergianku. Lantas saudara lelakiku mengabarkan
kedua orangtuaku pada malam tanggal keberangkatanku. Keduanya sangat marah
besar, melarangku untuk pergi, dan menyuruh saudara lelakiku untuk menahan
tiket pesawat dan pasporku. Keduanya melarangku keluar dari rumah. Aku kemudian
bersujud kepada Allah, berdoa kepada-Nya, memohon-Nya agar menolongku.
Tiba-tiba Allah membalikkan hati kedua orangtuaku yang
menyetujui keberangkatanku menuju Libanon. Hanya saja keduanya ingin bertemu
denganku di Abu Dhabi. Awalnya aku ragu-ragu untuk menyetujui hal itu, namun
aku mengetahui jika aku menolaknya, maka tiket dan pasporku akan ditahan sekali
lagi. Aku pun menyetujuinya, dan bersiap untuk pergi. Sebagaimana diduga, kedua
orangtuaku mengkhawatirkan kami dan aku tidak ingin menyakiti keduanya
sebagaimana aku juga tidak mau menyebabkan kepiluan lagi dan kesedihan bagi
saudara-saudaraku dari sanak keluarga mantan suamiku.
Namun Allah Ta’ala berfirman, “Kamu tak akan
mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang
dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang
itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.
Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan
dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa
puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah:
22)
Tibalah waktu keberangkatan. Kami pun menaiki pesawat.
Sepanjang perjalanan menuju Abu Dhabi, yang menghabiskan 14 jam perjalanan,
anak-anakku sangat menjaga perilaku mereka. Aku tiada henti mengulang-ulang
istighfar, zikir-zikir, dan berdoa kepada Allah Ta›ala. Aku masih saja
khawatir, karena aku masih harus mengatur bagian kedua dari perjalanan, yaitu
pesawat dari Abu Dhabi menuju Turki. Ini mengingat, aku hanya memiliki uang
terbatas, namun aku yakin bahwa Allah takkan menelantarkanku.
Sesampainya di kota Abu Dhabi, aku berhasil keluar
dari bandara bersama anak-anakku, sebelum kedua orangtuaku menemui kami.
Kemudian kami berangkat ke kota Dubai untuk mengatur penerbangan menuju kota
Gaziantep, Turki, via Istanbul. Tiba di Gaziantep, aku benar-benar kelelahan
karena cuaca musim panas di Turki sungguh sangat meletihkan. Ditambah lagi aku
mengenakan jilbab dan cadar, membawa beberapa tas yang berat, serta berjalan di
belakang anak-anak kecilku yang sangat bersemangat. Akan tetapi Allah membekaliku
dengan kekuatan serta kesabaran, dan situasi-situasi yang akan terjadi
selanjutnya meniscayakan kekuatan dan kesabaran lebih!
Kami menginjakkan kaki di Gaziantep. Salah seorang
ikhwah menyambut kami di bandara, untuk selanjutnya mengantarkan kami ke madhafah
(rumah singgah), dan ada orang lain yang bersamanya. Tatkala kami sampai di madhafah,
mereka membawa sejumlah akhwat (saudari perempuan);
Ummu Sarah, Ummu Ammar, dan Ummu Laits beserta ketiga anaknya.
Kami kemudian berangkat, dan setelah setengah jam pergi berkendaraan, kami
diberitahu bahwa kami telah memasuk Suriah. Aku terperanjat, karena setahuku
kota Gaziantep berjarak sekitar beberapa jam perjalanan dari perbatasan Suriah.
Dua orang laki-laki mengeluarkan kami dari mobil; keduanya membantu kami
membawa anak-anak dan sejumlah tas, selama kami berjalan di suatu ladang
terbuka di kegelapan malam, dan aku berdoa kepada Allah agar menjaganya.
Setelah itu, kami diperintahkan untuk berhenti. Kami menunggu keduanya hingga
kembali ke mobil, untuk mengumpulkan tas-tas yang tertinggal.
Namun tak lama kemudian, tiba-tiba muncullah cahaya
yang semakin terang menyoroti, dibarengi suara-suara kendaraan yang semakin
nyaring bunyinya. Hingga kami pun mendengar puluhan senjata Kalashnikov
terkokang dan diarahkan kepada kami oleh sekelompok laki-laki yang berbicara
dengan bahasa Turki. Saat itu, kami menyadari bahwa kami bukan sedang berada di
Suriah, dan kami berada dalam kesulitan!
Ditangkap Pasukan Murtad Turki
Ternyata orang-orang yang menghalangi jalan kami
adalah pasukan perbatasan Turki. Di bawah ancaman senjata, mereka memerintahkan
kami untuk melepas cadar. Karena ketakutan, kami pun menuruti mereka. Namun
selanjutnya kami segera menutup kembali wajah kami, dan mereka memelototi kami
dengan mata mesum mereka. Kami tergeming. Mereka meneriaki kami seraya
memeriksa tas-tas dan mengambil isinya untuk mereka miliki, semau mereka.
Mereka lalu memasukkan kami ke bagian belakang kendaraan lapis baja, memindahkan
kami ke markas mereka. Mereka meminta kami duduk di luar, di tempat bertegel
semen, untuk melakukan interogasi. Setelah beberapa jam yang sulit, mereka
memindahkan kami ke dalam sebuah pabrik, dengan diawasi puluhan penjaga.
Beberapa jam berlalu, kembalilah sang jenderal dengan
wajah memerah penuh amarah. Dia berteriak ke arah kami berulang-ulang kali,
“Apakah kaliah Daesh?!” Kami menjawab, “Mengapa Anda bertanya seperti itu?”
“Karena di sana ada banyak Daesh di perbatasan, mereka
mengancam kami bahwa mereka akan menyerang kami, membakar ladang, dan akan
meledakkan sejumlah tempat apabila kami menyakiti kalian,” ujarnya. Aku memuji
Allah mendengar hal itu, karena dapat dipastikan bahwa para ikhwah mengetahui
kondisi kami.
Keesokan harinya, mereka mentransfer kami ke kantor
kepolisian murtad Turki. Kami keluar dari markas kepolisian, dan sejurus
kemudian kami melihat barang-barang kami berserakan di tanah. Kami menyadari
bahwa kami telah ditangkap di dekat markas kepolisian, sehingga kami ditetapkan
sebagai tersangka. Selepas itu, kami sampai di sebuah tempat milik kepolisian
di mana mereka membebani kami dengan interogasi-interogasi terus-menerus.
Selama mereka melakukan penyelidikan terhadapku, ada seorang perwira yang paling
aku benci daripada yang lainnya. Namanya Abu Qasim yang termasuk salah seorang
perwira senior. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia mempunyai otoritas untuk
membantu kami masuk ke Daulah Islam. Dia mengklaim memiliki loyalitas kepada
Daulah, namun aku tidak mempercayainya meskipun dia berpura-pura beretika dan
berwibawa. Selanjutnya, Allah membuktikan bahwa aku melakukan tindakan yang
benar saat aku menjaga jarak dengan dirinya.
Pada saat itu, Ummu Sarah tengah mengandung. Gangguan
yang dialaminya akibat penahanan menggugurkan kandungannya. Para perwira murtad
Turki kemudian membebaskannya karena merasa kasihan kepadanya. Pada periode
selanjutnya, dia mencoba lagi berhijrah dan berhasil tiba di Syam. Aku memohon
kepada Allah agar menerima amalannya.
Pada akhirnya, para perwira kepolisian mentransfer
kami ke bagian Interpol Turki. Di situ, para perwira yang dibebani dengan kasus
kami sangat mencemaskan tugas baru mereka. Kami harus menjalani banyak
interogasi. Mereka mengancam kami melarang masuk ke Turki lagi, dan mengatakan
kepada kami bahwa kami akan diserahkan ke kedutaan besar negara masing-masing.
Kami tiada henti mendebatnya, sehingga dia berkata penuh kemarahan, “Kami akan
menjebloskan kalian semua ke dalam penjara!” Kami merespons, “Penjara lebih
kami cintai daripada kami harus kembali ke negara kami.”
Ketika kami dijebloskan ke dalam penjara, kami
mengetahui bahwa Ummu Laits berhasil menyelundupkan telepon genggamnya ke dalam
penjara. Lalu dia menghubungi suaminya, dan memberitahu peristiwa-peristiwa
yang terjadi menimpa kami, hingga saat itu. Selanjutnya, Abu Laits
menghubunginya dan mengabarkannya bahwa dia berkomunikasi dengan para ikhwah.
Mereka berusaha untuk mengontak seseorang yang memiliki koneksi dengan
persoalan negosiasi untuk membebaskan kami. Benar saja, ini adalah sebuah
karamah. Ini mengingat, sel penjara kami berada di ruang bawah tanah yang tak
dapat dicapai jaringan komunikasi. Oleh karena itulah, para petugas naik ke
atas untuk menerima percakapan telepon. Kendati demikian, kami bisa melakukan
percakapan telepon tanpa masalah, segala puji bagi Allah.
Para ikhwah mengirim beberapa orang yang berbeda untuk
melakukan sejumlah wawancara bersama kami, untuk menangguhkan para petugas.
Hingga batas tertentu, mereka berhasil. Sampai suatu hari, para petugas
memberitahu kami, bahwa penerbangan telah diatur dan pada pagi hari mereka akan
mendeportasi kami ke negara kami. Pada waktu keberangkatan, para petugas datang
dan mengeluarkan kami dari sel penjara. Akan tetapi salah seorang dari mereka
menerima percakapan telepon. Dia memberi isyarat kepada kami untuk
mengembalikan kami ke sel kami, dan dia naik ke atas untuk melakukan
percakapan. Tak lama berselang, dia kembali dan mengabarkan kepada kami bahwa
kami tidak jadi pergi. Kami keheranan dengan hal itu. Lalu Ummu Laits
menghubungi suaminya untuk memberitahu perkembangan-perkembangan terbaru.
Suaminya mengabarkan bahwa Daulah Islam telah membebaskan kota Mosul! Maka kami
mengetahui bahwa para petugas kepolisian murtad berinisiatif menempuh jalur
negosiasi dengan serius disebabkan hal itu.
Dari Cengkeraman Murtadin Turki
ke Cengkeraman Shahawat
Perilaku-perilaku para petugas berubah-ubah dari hari
ke hari. Mereka mendadak lebih lembut dan santun. Mereka memberi kami makan
secara lebih teratur, dan membolehkan kami membawa anak-anak kami keluar untuk
bermain di lapangan. Lalu datanglah kabar bahwa negosiasi berjalan sukses, dan
kami akan diserahkan ke Daulah Islam. Namun dengan cukup cepat, para petugas
murtad memutus kegembiraan kami.
Aturannya adalah mereka mengirim kami kepada para
ikhwah di kota Jarablus. Namun mereka malah mengirim kami ke kota Azaz, di mana
kami menyaksikan Shahawat bekerjasama dengan para petugas perbatasan Turki.
Kami memasuki sebuah gerbang, dan melihat opsir Abu Qasim berdiri di luarnya.
Seseorang menyambut kami, sembari berkata, “Assalamu›alaikum wahai
saudari-saudariku, aku telah menunggu kalian.” Seterusnya kami dimasukkan ke
dalam beberapa ruangan. Aku mendengar laki-laki itu berpesan kepada para
penjaga, “Apapun yang kalian dengarkan, apapun yang terjadi, jangan ada orang
yang masuk atau keluar tanpa izin dariku.” Ketika kami di dalam, aku mencermati
beberapa orang laki-laki menyembunyikan asbak yang telah dipenuhi puntung rokok
dan mematikan musik yang dimainkan dalam latar belakang bersuara pelan.
Kemudian salah seorang laki-laki duduk di belakang
meja mewah untuk menampakkan bahwa dirinya orang penting. Dia mengenalkan
dirinya sebagai Abu Ali. Dan diketahui bahwa para petugas Turki mengirim para
muhajir kepadanya secara teratur. Selama proses interogasi, dia menanyakan
kepada kami tentang Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi dan Syaikh Umar Al- Shishani.
Dia bertanya kepada kami apakah kami memiliki informasi apapun terkait
pergerakan keduanya atau jika kami memiliki informasi mengenai siapapun orang
yang kenal dengan keduanya. Namun kami tidak dapat memberinya jawaban yang
dibutuhkannya. Hal itu membuatnya marah, dia mencoba untuk mengancam bahwa kami
akan dikirim ke ruangan lain yang dilengkapi dengan tempat tidur, selimut,
bantal, dan kipas angin. Ummu Laits menelepon suaminya. Ketika suaminya dan
para ikhwah mengetahui kondisi kami, mereka benar-benar marah. Kemudian dia
menenangkan kami bahwa rencana tengah dijalankan, dan kami akan dibawa ke
Daulah Islam, dengan izin Allah. hanya saja, senantiasa nampak jelas bahwa para
petugas murtad ingin membantu sekutu mereka. Tidak ada yang dapat menyelamatkan
kami dari kondisi kami selain Allah, Sang Pelindung orang-orang beriman. “Dan
Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah
Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong
(bagimu).” (An-Nisaa`: 45)
Tak lama kemudian, Abu Ali kembali ke ruangan, seraya
berkata dengan suara pelan, “Aku telah menyepakati untuk mengembalikan kalian
kepada para petugas Turki, untuk mengantarkan kalian kepada para pemuda di
Daulah. Namun aku memohon kepada kalian wahai saudari-saudariku, berbicara
kepada mereka dan mendorong mereka untuk menghentikan pertumpahan darah, agar
kita bersatu dan menghabiskan Bashar. Kemudian masing-masing kita mengambil
bagiannya untuk menciptakan komunitas apapun yang dikehendakinya. Apabila para
pemuda menghendaki syariat, mereka bisa menegakkan di tanah-tanah mereka, dan
membiarkan kami untuk menerapkan hukum di kawasan-kawasan kami dengan
undang-undang yang kami kehendaki.”
Perkataannya tersebut membuktikan hakikat persoalan.
Sebagian manusia menganggap peristiwa-peristiwa di Syam sebagai “fitnah”
(kekacauan). Akan tetapi disebut fitnah hanya oleh orang-orang yang mencoba
untuk melakukan usaha gagal dengan membuat-buat alasan bagi diri mereka untuk
tidak bergabung dengan mujahidin. Senantiasa nampak jelas bahwa Daulah Islam
berada di atas manhaj benar, berusaha untuk mengembalikan Khilafah beradasarkan
manhaj kenabian. Tujuan ini jelas bertentangan dengan agenda Shahawat dan para
tuan mereka yang diutamakan.
Sampai ke Tempat Aman
Abu Ali membawa kami ke sebuah tempat di mana Abu
Qasim dan rekan-rekan murtad sejawatnya berada. Mereka menanti kami dalam suatu
konvoi. Hubungan erat di antara keduanya sangat jelas terlihat. Abu Qasim
sendiri yang membawa kami dalam perjalanan menghabiskan waktu empat jam, namun
dia tidak mengantar kami ke kota Jarablus sebagaimana yang mereka sepakati.
Namun dia mengantar kami ke kota Suluk, ditemani Abu Yusuf, salah seorang warga
biasa yang mempunyai hubungan dengannya. Dia menyerahkan kami kepadanya
sehingga dia pun segera bergegas kabur, setelah kami sampai di tempat tujuan.
Tatkala kami tiba di kota Suluk, mereka mengeluarkan kami dari kendaraan dengan
cepat, dan sekejap mata kendaraan itu berangkat dan menghilang di balik kaki
langit. Selanjutnya kami masuk ke dalam maqar (markas), di mana sejumlah
ikhwah menyambut kami. Mereka bertanya kepada Abu Yusuf, “Di mana anjing-anjing
Turki?” Dia tertawa, seraya menjawab, “Mereka kabur.” Salah seorang ikhwah
berkata, “Ikhwah sudah menanti mereka di Jarablus untuk menawan dan memenggal
kepala mereka disebabkan perbuatan mereka!"
Allah Maha Mengetahui apa yang menyebabkan terjadinya
berbagai peristiwa yang kami lalui. Bagaimanapun, segala sesuatunya berdasarkan
ketentuan Allah Ta›ala. Dan sampai hari ini aku masih bersyukur kepada Allah
bahwa aku dan anak-anakku berada di Daulah Islam. Apapun yang telah terjadi,
aku senantiasa bersyukur kepada Allah yang telah menganugerahi kami dengan
kenikmatan hidup di Khilafah di bawah naungan tauhid dan syariat. Tempat di
mana pasukan-pasukan Salibis berhimpun hanya untuk memerangi kami, disebabkan
kami mengimani dan menerapkan “La Ilaha Illallah”. Hendaknya para Salibis
mewaspadai bahwa Khilafah sarat dengan laki-laki yang mencintai kematian
sebagaimana para Salibis mencintai kehidupan. Demikian pula dengan kaum wanita
di Daulah Islam. Janganlah mereka mengira bahwa kami akan kalah karena mereka
mentarget suami-suami kami dengan pesawat-pesawat nirawak, membombardir rumah
kami dengan roket, atau menembak anak-anak kami dengan bom fosfor. Takkan
pernah! Semua itu justru semakin menambah keyakinan kami, dengan izin Allah.
Aku memohon kepada Allah agar meneguhkan kami di jalan
lurus ini sampai kami menemui-Nya. Shalawat serta salam dan keberkahan untuk
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, para keluarga, dan sahabat beliau seluruhnya. Segala puji bagi
Allah Rabb Semesta Alam.
Source: RUMIYAH 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar